Anda di halaman 1dari 10

KECAKAPAN KOMUNIKASI

Pengaruh Model Komunikasi S-R terhadap Pemahaman Panelis dalam


Pengujian Sensoris

Disusun Oleh :
KUKUH ASMORO D 155100100111004
KHANSA ANASIA 155100100111034
AF`IDATUL LUTFITA S 155100101111002
WAHYU INTAN PRASTIWI 155100107111003
APRILIA PUTRI RAHAYU 155100107111011
FITRIAN AULIA 155100107111035

Kelas D

Dosen Pengampu : Widya Pujarahma, S.I.Kom.,M.Communication

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
BAB I

Pendahuluan

Manusia adalah mahluk sosial yang perlu berkomunikasi, berinteraksi dan sangat
bergantung dengan manusia lain (Priandono, 2014). Hal tersebut dapat terlihat dalam
berbagai kondisi di kehidupan baik yang bersifat komersial, hubungan personal, kerjasama
dengan orang lain untuk menyelesaikan sebuah permasalahan. Dengan demikian
komunikasi sangat penting dalam kehidupan kita sehari-hari, manusia tidak akan bisa tanpa
ada komunikasi sama sekali dalam kehidupannya. Banyak masalah dan perpecahan suatu
komunitas karena komunikasi yang berjalan tidak efektif. Menurut istilah komunikasi berasal
dari bahasa inggris “communication”, yang secara terminilogis yaitu merujuk pada adanya
proses penyampaian suatu pertanyaan oleh seseorang kepada orang lain (Rakhmat, 2005).
Untuk memahami pengertian komukasi lebih efektif intinya komunikasi merupakan interaksi
diantara 2 orang atau lebih, baik secara verbal maupun non verbal. Ada beberapa
paradigma pengertian komunikasi menurut para ahli, salah satunya yaitu berdasarkan
paradigma Laswell yang mengatakan secara sederhana proses komunikasi adalah pihak
komunikator membentuk (encode) pesan dan menyampaikannya melalui suatu saluran
tertentu kepada pihak penerima yang menimbulkan efek tertentu (Rakhmat, 2005).
Komunikasi terbagi menjadi 13 model, terdiri dari model S-R, model Aristoteles,
model lasswell, Shannon dan Weaver, Wilbur Schramm, Newcomb, Westley dan Mac Lean,
Gerbner, Berlo, DeFleur, Tubbs, Gudykunst dan Kim, dan Interaksional. Adapun model yang
akan kami bahas yakni model yang pertama yaitu model S-R. Model S-R merupakan model
dasar yang berhubungan dengan stimulus respon dan dipengaruhi oleh psikologi, yang
beraliran behavioristik (Elisa, 2014). Model komunikasi S-R ini bersifat timbal balik yang
dapat memberikan berbagai persepsi respon dari penerima, bisa respon positif atau
negative. Respon tersebut bergantung terhadap stimulus yang kita berikan kepada
responden. Adapun contoh dari model komunikasi S-R yang kami bahas yaitu praktikum
analisa sensoris. Analisa sensoris yaitu suatu metode untuk menganalisa, mengukur, dan
menafsirkan respon yang dirasakan dari suatu produk melalui indera manusia (Tarwendah,
2017). Pengujian analisa sensoris ini biasanya membutuhkan panelis. Panelis merupakan
seseorang yang bertugas mencicipi suatu produk dari segi organoleptik. Panelis dibagi
menjadi 2 kategori ada panelis terlatih dan panelis tidak terlatih. Selain itu dalam analisa
sensoris terdapat atribut sensoris, yaitu kumpulan kata untuk mendeskripsikan karakteristik
sensori pada suatu produk pangan, diantaranya adalah warna, rupa, bentuk, rasam dan
tekstur (Tarwendah, 2017). Atribut sensoris ini biasanya dapat dinyatakan dengan skala
angka yang dapat menunjukkan tingkat kesukaan seorang panelis.
Keterkaitannya model komunikasi S-R dengan praktikum analisa sensoris yakni
adanya komunikasi yang terjalin dimana ketika asisten praktikum (stimulus) memberikan
pengarahan kepada panelis (responden) mengenai proses pengujian analisa sensoris, tata
cara pengisian kuisioner yang diberikan dan urutan pencicipan produk maka secara tidak
langsung asisten praktikum memberikan stimulus kepada panelis sehingga panelis akan
memberikan respon terhadap stimulus tersebut, baik respon secara verbal maupun non
verbal. Dengan adanya keterkaitan model komunikasi S-R tersebut maka dapat diketahui
bahwa model komunikasi S-R berpengaruh terhadap praktikum analisa sensoris. Pengaruh
yang diberikan bisa positif apabila pengarahan yang kita berikan jelas, runtut, dan dijelaskan
secara lengkap sehingga persepsi yang timbul diantara panelis seragam, sedangkan jika
sebelum pengujian tidak ada pengarahan terlebih dahulu atau pengarahan yang kita berikan
tidak jelas, membingungkan, dan penyampaiannya tidak enak maka pengaruh yang timbul
bisa negatif karena panelis akan semakin tidak paham dan memiliki persepsi yang berbeda-
beda. Hal tersebut dapat mempengaruhi hasil dari pengujian. Dengan demikian model
komunikasi S-R efektif digunakan pada pengujian sensoris, dengan dilakukan pengarahan
yang jelas, runtut, dan lengkap.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh komunikasi terhadap pengujian sensoris ?


2. Bagaimana pengaruh model komunikasi S-R terhadap pengujian sensoris?
3. Apakah model komunikasi S-R efektif digunakan pada pengujian sensoris?

Tujuan

1. Untuk mengetahui pengaruh komunikasi terhadap pengujian sensoris


2. Untuk mengetahui pengaruh model komunikasi S-R terhadap pengujian sensoris
3. Untuk mengetahui keefektifan model komunikasi S-R pada pengujian sensoris
Bab II
Tinjauan Pustaka

A. Komunikasi (KAKA)
B. Model Komunikasi
C. Model S-R

D. Analisis Sensoris

Sensori berasal dari kata “sensory” yang berarti organ indra. Evaluasi sensori
merupakan kegiatan penilaian/evaluasi terhadap suatu objek dengan menggunakan organ
indra. Evaluasi sensori sering disebut sebagai penilaian organoleptik. Evaluasi sensori
termasuk dalam proses dengan atribut-atribut tertentu untuk mengidentifikasi dan menilai
suatu produk kemudian menganalisis dan menginterpretasikan data yang diperoleh. Atribut-
atribut tersebut dapat diamati melalui panca indra, seperti penglihatan (mata), penciuman
(hidung), pencecap (lidah), peraba (ujung jari), dan pendengaran (telinga) dimana masing-
masing indra tersebut mempunyai peran penting dalam proses identifikasi dan pengukuran
atribut mutu pangan. Dalam pengaplikasian di bidang pangan, evaluasi sensori sangat
diperlukan untuk mengetahui kebutuhan pasar sebelum produk dipasarkan. Dengan adanya
evaluasi sensori, diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi perusahaan pangan
sebagai fungsi internal seperti penjaminan mutu pangan maupun tahapan awal dalam
pengambilan keputusan sebelum memasarkan produk. Sebagian besar di perusahaan
mengaplikasikan hasil evaluasi sensoris sebagai dasar argumen untuk mengklaim kegiatan
pengembangan produk yang harus dilakukan atau diupayakan sehingga menghasilkan
penemuan produk baru yang berpotensi nilai komersial tinggi.
lmu evaluasi sensori meliputi beberapa hal yang berhubungan dengan fungsi
pancaindra, terutama yang menyangkut 3 fenomena utama, yaitu tibanya rangsangan
(stimulus), proses pengindraan (sensation), dan tanggapan (response) manusia terhadap
rangsangan tersebut. Titik berat ilmu ini ialah proses fisiko-psikologik dan intinya pada
proses pengindraan serta berkaitan erat dengan pelaksanaan uji sensori dan evaluasi sifat-
sifat sensori terhadap suatu objek (panganan).
Evaluasi sensori sebagai alternatif dalam menentukan proses pangan optimal sehingga
menghasilkan produk dengan nilai ekonomis yang tinggi. Selain aplikasinya untuk melihat
karakter dan untuk evaluasi produk pangan, ilmu ini dapat juga digunakan pada bidang
lingkungan, higiene produk, diagnosis penyakit, pengujian kimia dan bidang-bidang lainnya.
Fungsi primer evaluasi sensori adalah untuk mendapatkan data yang valid dan reliable/dapat
dipertanggungjawabkan sehingga dapat digunakan sebagai landasan pengambilan
keputusan.
Beberapa parameter penting dalam mutu sensori diantaranya bentuk, ukuran, warna,
tekstur, aroma, dan rasa. Ciri khas dari sensori ialah penggunaan manusia sebagai
instrumen pengukur yang disebut dengan panelis. Oleh karena itu, hasil reaksinya bersifat
fisiko-psikologik dan sering kali sulit dideskripsikan. Selain itu, pengolahan informasi yang
diperoleh dari suatu kegiatan evaluasi sensori bersifat spesifik. Sifat mutu sensori semata
dicerminkan dari sifat sensori yang tidak berhubungan dengan sifat fisiknya. Misalnya, sifat
sensori yang menunjukkan kelezatan (lezat - tidak lezat), yang bersifat sangat subjektif dan
penilaiannya dipengaruhi oleh latar belakang, tradisi, kebiasaan, pengalaman pendidikan,
gaya hidup, dan prestige. Sedangkan sifat mutu sensori juga ada yang berkorelasi langsung
dengan sifat fisik, seperti tekstur berupa kekerasan yang diukur dengan ujung jari sebagai
sifat sensori dapat dikorelasikan dengan sifat tekstur yang diukur dengan instrumen/alat
sebagai sifat fisik.
Evaluasi sensori dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan mengenai tingkatan
mutu produk. Dengan evaluasi sensori dapat diketahui adanya pembedaan (difference),
kesukaan (preference) ataupun deskripsi suatu produk pangan. Pembedaan, contohnya
adalah produk A berbeda dengan produk B, sedangkan kesukaan, menunjukkan produk A
adalah produk yang paling disukai di antara beberapa produk lain yang diuji. Deskripsi
adalah uraian suatu sifat sensori secara verbal.

E. Cara Pengujian Uji Organoleptik

Produk Dalam evaluasi sensori, respons dari suatu pengujian sangat ditentukan oleh
pengalaman panelis dalam menilai suatu kriteria atribut mutu. Namun, interaksi pancaindra
dalam menilai suatu produk secara spontan, kemudian memberikan responsnya dapat
diperhitungkan untuk melihat respons panelis apabila dihadapkan dengan suatu produk
pangan untuk pertama kalinya. Pada umumnya panelis secara otomatis akan melakukan
urutan penggunaan pancaindra yang sama apabila akan merespons suatu rangsangan yang
mengenai pancaindranya. Beberapa langkah yang mungkin dilakukan oleh seseorang bila
dihadapkan pada suatu produk pangan untuk pertama kali adalah sebagai berikut.

a. Melihat

b. Meraba

c. Membau atau mencium

d. Mengecap atau mengunyah.

Deskripsi masing-masing langkah tersebut secara terperinci adalah sebagai berikut.

a. Melihat
Penglihatan sangat penting untuk menyampaikan persepsi panelis terhadap suatu
produk pangan. Produk yang tidak mempunyai penampilan menarik (dibandingkan dengan
gambaran yang tersimpan dalam memori) dapat menjadi penyebab bagi seseorang dalam
memutuskan untuk tidak bereaksi lebih lanjut, seperti ingin memegang atau ingin mencicipi.
Penglihatan terhadap suatu objek mampu memberikan pengaruh yang nyata terhadap
respons dari berbagai jenis indra yang lain.

b. Meraba
Perabaan terhadap produk dapat memberikan berbagai jenis informasi tentang tekstur,
suhu, dan konsistensi suatu produk. Perabaan dalam hal ini adalah perabaan menggunakan
ujung jari.

c. Membau/mencium/menghirup
Membau, mencium atau menghidu produk dapat memberikan informasi terhadap jenis
bau-bauan tertentu. Komponen bau yang dapat dirasakan adalah komponen yang bersifat
volatil.

d. Mengecap atau mengunyah


Apabila produk pangan masuk ke dalam mulut, sejumlah rangsangan atau sensasi
distimulasikan dan memberikan berbagai informasi. Informasi yang dapat diperoleh adalah
informasi mengenai tekstur dan rasa dalam mulut. Selain itu juga informasi yang berasal dari
suara yang mungkin ke luar bila seseorang mengunyah sesuatu yang menimbulkan persepsi
terhadap tekstur produk yang dikunyahnya. Pengujian dengan cara mengecap atau
mengunyah harus dilakukan dengan hati-hati (pelan-pelan dan saksama).
Jadi, cara menguji suatu produk pangan secara berurutan adalah dengan melihat –
meraba – menghirup – dan memakan/mengunyah.

F. Metode Uji Organoleptik

Pada prinsipnya terdapat 3 jenis uji organoleptik, yaitu uji pembedaan (discriminative
test), uji deskripsi (descriptive test) dan uji afektif (affective test). Kita menggunakan uji
pembedaan untuk memeriksa apakah ada perbedaan diantara contohcontoh yang disajikan.
Uji deskripsi digunakan untuk menentukan sifat dan intensitas perbedaan tersebut. Kedua
kelompok uji di atas membutuhkan panelis yang terlatih atau berpengalaman. Sedangkan uji
afektif didasarkan pada pengukuran kesukaan (atau penerimaan) atau pengukuran tingkat
kesukaan relatif. Pengujian Afektif yang menguji kesukaan dan/atau penerimaan terhadap
suatu produk dan membutuhkan jumlah panelis tidak dilatih yang banyak yang sering
dianggap untuk mewakili kelompok konsumen tertentu.

1. Pengujian Deskriminatif (Pembedaan)


Uji diskriminatif terdiri atas dua jenis, yaitu uji difference test (uji pembedaan) yang
dimaksudkan untuk melihat secara statistik adanya perbedaan diantara contoh dan sensitifity
test, yang mengukur kemampuan panelis untuk mendeteksi suatu sifat sensori. Diantara uji
pembedaan adalah uji perbandingan pasangan (paired comparation test) dimana para
panelis diminta untuk menyatakan apakah ada perbedaan antara dua contoh yang disajikan;
dan uji duo-trio (dou-trio test) dimana ada 3 jenis contoh (dua sama, satu berbeda) disajikan
dan para penelis diminta untuk memilih contoh yang sama dengan standar. Uji lainnya
adalah uji segitiga (traingle test), yang sama seperti uji duo-trio tetapi tidak ada standar yang
telah ditentukan dan panelis harus memilih satu produk yang berbada. Berikutnya adalah uji
rangking (ranking test) yang meminta para panelis untuk merangking sampel-sampel
berkode sesuai urutannya untuk suatu sifat sensori tertentu. Uji sensitivitas terdiri atas uji
treshold, yang menugaskan para penelis untuk mendeteksi level treshold suatu zat atau
untuk mengenali suatu zat pada level tresholdnya. Uji lainnya adalah uji pelarutan (dilution
test) yang mengukur dalam bentuk larutan jumlah terkecil suatu zat dapat terdeteksi. Kedua
jenis uji di atas dapat menggunakan uji pembedaan untuk menentukan treshoild atau batas
deteksi.
Pada umumnya digunakan bila ingin diketahui adanya perbedaan antarsampel yang
diuji. Dalam aplikasinya, hal tersebut sangat ditentukan oleh kemampuan panelis untuk
mendeteksi dan mengenali adanya perbedaan di antara sampel-sampel yang diuji.
Kepekaan yang baik dari seorang panelis sangat dibutuhkan pada uji ini karena biasanya
perbedaan antar sampel hanya sedikit saja, yang mungkin tidak dapat terdeteksi oleh
panelis yang tidak terlatih.

2. Uji Deskriptif
Uji deskripsi didisain untuk mengidentifikasi dan mengukur sifat-sifat sensori. Dalam
kelompok pengujian ini dimasukkan rating atribut mutu dimana suatu atribut mutu
dikategorikan dengan suatu kategori skala (suatu uraian yang menggambarkan intensitas
dari suatu atribut mutu) atau dapat juga “besarnya” suatu atribut mutu diperkirakan
berdasarkan salah satu sampel, dengan menggunakan metode skala rasio.
Uji deskripsi digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik sensori yang penting pada
suatu produk dan memberikan informasi mengenai derajat atau intensitas karakteristik
tersebut. Uji ini dapat membenatu mengidentifikasi variabel bahan tambahan (ingredien)
atau proses yang berkaitan dengan karakteristik sensori tertentu dari produk. Informasi ini
dapat digunakan untuk pengembangan produk baru, memperbaiki produk atau proses dan
berguna juga untuk pengendalian mutu rutin. Uji deskriptif tgerdiri atas Uji Scoring atau
Skaling, Flavor Profile & Texture Profile Test dan Qualitative Descriptive Analysis (QDA). Uji
skoring dan skaling dilakukan dengan menggunakan pendekatan skala atau skor yang
dihubungkan dengan desnripsi tertentu dari atribut mutu produk. Dalam sistem skoringf,
angka digunakan untuk menilai intensitas produk dengan susunan meningkat atau menurun.

3. Metoda Afektif
Metode ini digunakan untuk mengukur sikap subjektif konsumen terhadap produk
berdasarkan sifat-sifat organoleptik. Hasil yang diperoleh adalah penerimaan (diterima atau
ditolak), kesukaan (tingkat suka/tidak suka), pilihan (pilih satu dari yang lain) terhadap
produk. Metode ini terdiri atas Uji Perbandingan Pasangan (Paired Comparation), Uji
Hedonik dan Uji Ranking.
Biasanya Uji kesukaan atau penerimaan diaplikasikan untuk menentukan tingkat
penerimaan serta kesukaan konsumen terhadap suatu produk pangan. Uji kesukaan biasa
digunakan untuk meriset kesukaan konsumen terhadap suatu produk pangan tertentu
dengan panelis yang mewakili konsumen secara umum. Uji deskripsi biasanya diaplikasikan
untuk pengembangan produk agar kegiatan pengembangan tersebut menghasilkan produk
yang sesuai dengan target yang diinginkan. Selain itu uji deskripsi dapat bermanfaat dalam
reformulasi produk menggunakan ingredient atau proses baru, serta untuk menginvestigasi
adanya perbedaan antara produk hasil pengembangan dengan produk komersial yang
sudah ada di pasar. Untuk dapat melakukan uji deskripsi diperlukan panelis yang sangat
terlatih dan mengerti betul karakteristik sensori produk yang diuji.
Uji perbandingan pasangan digunakan untuk uji pilihan. Panelis diminta memilih satu
contoh yang disukai dari dua contoh yang disajikan. Prosedurnya adalah sebagai berikut :
Dua contoh yang diberi kode disajikan bersamaan dengan cara penyajian yang sama,
misalnya dalam bentuk ukuran, suhu dan wadah. Panelis diminta memilih mana yang
disukai. Untuk mendapatkan hasil yang baik, jumlah panelis disarankan lebih dari 50 orang.
Uji hedonik merupakan pengujian yang paling banyak digunakan untuk mengukur tingkat
kesukaan terhadap produki. Tingkat kesukaan ini disebut skala hedonik, misalnya sangat
suka, suka, agak suka, agak tidak suka, tidak suka, sangat tidak suka dan lain-lain. Skala
hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut rentangan skala yang dikehendaki.
Dalam analisi datanya, skala hedonik ditransformasikan ke dalam skala angka dengan
angka manaik menurut tingkat kesukaan (dapat 5, 7 atau 9 tingkat kesukaan). Dengan data
ini dapat dilakukan analisa statistik. Dalam uji rangkaing diuji 3 aatau lebih contoh dan
panelis diminta untuk mengurutkan secara menurun atau manaik menurut tingkat kesukaan
(memberi peringkat). Panalis dapat diminta untuk meranking kesukaan secara keseluruhan
atau terhadap atribut tertentu seperti warna atau flavor. Contoh diberi kode dan disajikan
secara seragam, dan disajikan bersamaan. Panelis diminta menyusun peringkat atau
ranking berdasarkan tingkat kesukaannya.

Oleh karena itu, pemilihan dan pelatihan calon panelis tidak diperlukan karena tanpa
keberadaan panelis terlatih pun hal ini dapat dilakukan. Pelatihan justru dapat menyebabkan
bias dalam hasilnya dan kontraproduktif. Dalam hal ini, yang diperlukan adalah pemilihan
kelompok responden yang dapat mewakili populasi target dari para pengguna produk
(konsumen target). Kesuksesan suatu perusahaan pangan adalah apabila produk mereka
terjual dan menghasilkan peningkatan keuntungan. Oleh karena itu, pembuatan desain dan
pemasaran produk yang sesuai dengan keinginan konsumen menjadi hal yang sangat
penting yang perlu dilakukan oleh setiap industri pangan. Pengertian terhadap kebutuhan
konsumen, pengukuran mutu secara deskriptif, dan implementasi kebutuhan tersebut dalam
suatu pengembangan proses produksi merupakan aplikasi yang sangat penting dari suatu
kegiatan evaluasi sensori.
BAB 3
PEMBAHASAN

METODE 1 (AFI)

METODE 2 (KUKUH)

KORELASI PENGUJIAN SENSORI DENGAN KOMUNIKASI MODEL S-R (KHANSA)


DAFTAR PUSTAKA

Amerine, M.A., Pangbom, R.M. and Roessler, E.B. 1965. Principles of Sensory Evaluation of
Food. New York: Academic Press

Elisa. 2014. Model-Model Komunikas. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada


Larmord, E. 1977. Laboratory Methods for Sensory Evaluation of Food. Ottawa: Canada
Department of Agriculture.

Meilgaard, M., Civille, G.V., and Carr, B.T. 1999. Sensory Evaluation Technique. 3 rd Edition.
Washington D.C.: CRC Press.

Moskowitz, H.R. 1983. Product Testing and Sensory Evaluation of Food. Westport,
Connecticut: Food and Nutrition Press, Inc.

Piggot, J.R. 1984. Sensory Analysis of Food. London: Elsevier Appl. Science Publ.

Priandono, T., E. 2014. Kepercayaan Klien Terhadap Konsultan Hubungan Masyarakat.


Jurnal Penelitian Komunikasi. Vol 17 (1):1-14
Rakhmat, J. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya
Soekarto, S.T. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian.
Jakarta: Bharata Karya Aksara
Tarwendah, I.,P. 2017. Jurnal Review: Studi Komparasi Atribut Sensoris dan Kesadaran
Merek Produk Pangan. Jurnal Pangan dan Agroindustri. Vol 5 (2):66-73

Anda mungkin juga menyukai