LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. SR
Umur : 32 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
Alamat : Medan, Sumatera Utara
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis, pada tanggal 25 Januari 2019
Pasien tidak mengeluh mata berair dan kotor. Pasien tidak kesulitan jika melihat
dekat. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit seperti TBC, herpes simplek
ataupun penyakit sistemik lain. Pasien tidak memiliki riwayat operasi mata
intraokuler sebelumnya seperti operasi katarak, dan riwayat trauma tembus bola
mata. Pasien menyangkal adanya trauma pada kedua daerah matanya.
Kelopak mata tidak bengkak dan tidak sulit dibuka. Bola mata dapat digerakkan.
Riwayat Alergi :
Tidak ada riwayat alergi sebelumnya
1
III. PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Nadi : 78 kali/menit
Frekuensi nafas : 22 kali/menit
Suhu : 36,3o C
Kepala : Normocephal
Leher : Pembesaran KGB dan Tiroid (-)
Thoraks : cor : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), bising usus (+) normal
Ekstremitas : Edema (-), akral hangat
Status Ophtalmologis
1. Visus
OD OS
Tajam penglihatan 6/20 (PH maju) 6/20 (PH maju)
Koreksi S -2,00 C -0,5 x 90o C -0,5 x 90o
Addisi - -
Distansia pupil 58/56 mm
Kacamata lama Tidak ada
3. Supersilia
Warna Hitam Hitam
Letak Simetris Simetris
4. Palpebra superior
Edema Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Ektropion Tidak ada Tidak ada
Entropion Tidak ada Tidak ada
Blefarospasme Tidak ada Tidak ada
Trikiasis Tidak ada Tidak ada
Sikatriks Tidak ada Tidak ada
Fissura palpebra 12 mm 12 mm
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Hordeolum Tidak ada Tidak ada
2
Kalazion Tidak ada Tidak ada
Pseudoptosis Tidak ada Tidak ada
5. Palpebra inferior
Edema Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Ektropion Tidak ada Tidak ada
Entropion Tidak ada Tidak ada
Blefarospasme Tidak ada Tidak ada
Trikiasis Tidak ada Tidak ada
Sikatriks Tidak ada Tidak ada
Fissura palpebra 12 mm 12 mm
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Hordeolum Tidak ada Tidak ada
Kalazion Tidak ada Tidak ada
Pseudoptosis Tidak ada Tidak ada
8. Konjungtiva bulbi
Injeksi konjungtiva Tidak ada Tidak ada
Injeksi siliar Ada Ada
Perdarahan Tidak ada Tidak ada
subkonjungtiva
Pterigium Tidak ada Tidak ada
Pinguekula Tidak ada Tidak ada
Nevus pigmentosus Tidak ada Tidak ada
Kista dermoid Tidak ada Tidak ada
Kemosis Tidak ada Tidak ada
9. Sistem lakrimalis
Punctum lakrimalis Terbuka Terbuka
Tes anel Tidak dilakukan Tidak dilakukan
3
10. Sklera
Warna Putih Putih
Ikterik Tidak ikterik Tidak ikterik
11. Kornea
Kejernihan Jernih Jernih
Permukaan Licin Licin
Ukuran 12 mm 12mm
Sensibilitas Menurun Menurun
Infiltrat Ada Ada
Ulkus Tidak ada Tidak ada
Perforasi Tidak ada Tidak ada
Arkus senilis Ada Ada
Edema Tidak ada Tidak ada
Tes placibo Tampak bayangan Tampak bayangan
konsentris konsentris
13. Iris
Warna Coklat Coklat
Kriptae Jelas Jelas
Bentuk Bulat Bulat
Sinekia Tidak ada Tidak ada
Koloboma Tidak ada Tidak ada
14. Pupil
Letak Di tengah Di tengah
Bentuk Bulat Bulat
Ukuran 3 mm 3 mm
Refleks cahaya Positif Positif
langsung
Refleks cahaya tak Positif Positif
langsung
15. Lensa
Kejernihan Jernih Jernih
Letak Ditengah Ditengah
Shadow test Negatif Negatif
4
Kejernihan Jernih Jernih
18. Palpasi
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Massa tumor Tidak ada Tidak ada
Tensi okuli Normal/palpasi Normal/palpasi
Tonometri Schiotz Tidak dilakukan Tidak dilakukan
V. RESUME
Pasien perempuan, Ny. SR, 32 tahun, datang ke poliklinik mata RS Pirngadi
Medan dengan keluhan penglihatan kabur sejak 1 bulan ini. Keluhan disertai mata
merah, rasa nyeri. Keluhan dirasakan pada kedua mata pasien setelah pasien rutin
memakai lensa kontak.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam batas normal. Pada
pemeriksaan oftalmologi didapatkan VOS 6/20 dengan pin hole 6/6, koreksi S -
2,00 C -0,5 x 90o, pada konjungtiva terdapat pelebaran pembuluh darah, infiltrat
punctata pada kornea dan tes fluoresin (+). Selain itu didapatkan mata berair dan
5
edema serta hiperemi pada kelopak mata. VOD didapatkan 6/20 dengan pin hole
6/6, koreksi C -0,5 x 90o, pada konjungtiva didapatkan adanya pelebaran
pembuluh darah, infiltrat punctata pada kornea dan tes fluoresin (+). Didapatkan
mata berair dan edema serta hiperemi pada kelopak mata.
VIII. KOMPLIKASI
1. Gangguan refraksi
2. Jaringan parut permanen
3. Ulkus kornea
4. Perforasi kornea
5. Glaukoma sekunder
IX. PENATALAKSANAAN
Medika mentosa :
1. Kokus gram positif : vankomisin 25-50 mg/mL
2. Batang gram negatif : Tobramicin 9-14 mg/mL
3. Kokus gram negatif : Ceftriaxone 50 mg/mL
4. Mycobacteria : Clarithromycin 10 mg/mL 0,03%
X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
KERATITIS
Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan kornea. 6 Peradangan
tersebut dapat terjadi di epitel, membran Bowman, stroma, membran Descemet, ataupun
endotel. Peradangan juga dapat melibatkan lebih dari satu lapisan kornea. Pola keratitis dapat
dibagi menurut distribusi, kedalaman, lokasi, dan bentuk. Berdasarkan distribusinya, keratitis
dibagi menjadi keratitis difus, fokal, atau multifokal. Berdasarkan kedalamannya, keratitis
dibagi menjadi epitelial, subepitelial stromal, atau endotelial. Lokasi keratitis dapat berada di
bagian sentral atau perifer kornea, sedangkan berdasarkan bentuknya terdapat keratitis
dendritik, disciform dan bentuk lainnya.6,7
Kornea merupakan bagian selaput mata yang tembus cahaya, bersifat transparan,
berukuran 11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, tebal 0,6-1 mm. Indeks bias kornea
1,375 dengan kekuatan pembiasan 80%. Sifat kornea yang dapat ditembus cahaya ini
disebabkan oleh struktur kornea yang uniform, avaskuler dan diturgesens atau keadaan
dehidrasi relatif jaringan kornea yang dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada
endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam
mencegah dehidrasi, dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih berat daripada
cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel jauh menyebabkan sifat transparan hilang dan
edema kornea, sedangkan kerusakan epitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat karena
akan menghilang seiring dengan regenerasi epitel.
Batas antara sclera dan kornea disebut limbus kornea. Kornea merupakan lensa
cembung dengan kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri. Jika kornea oedem karena suatu
sebab, maka kornea juga bertindak sebagai prisma yang dapat menguraikan sinar sehingga
penderita akan melihat halo.
7
saraf sensorik yang didapat dari percabangan pertama (oftalmika) dari nervus kranialis V
yang berjalan supra koroid, masuk kedalam stroma kornea, menembus membran bowman
dan melepaskan selubung schwannya. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan
didaerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong didaerah limbus terjadi dalam
waktu 3 bulan.
Kornea merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri
atas lima lapisan dari anterior ke posterior yaitu: lapisan epitel (yang bersambung dengan
lapisan epitel konjungtiva bulbaris), membran bowman, stroma, membran descemet dan
lapisan endotel.
1. Epitel
Lapisan epitel kornea tebalnya 50m berbentuk pipih berlapis tanpa tanduk, ada satu lapis
sel basal dan sel polygonal. Sel bersifat fat soluble substance. Pada sel basal sering
terlihat mitosis sel dan sel muda ini terdorong kedepan menjadi lapis sel sayap dan
semakin maju kedepan menjadi sel pipih, sel basal berikatan erat dengan sel basal
disampingnya dan sel polygonal didepannya melalui desmosom dan macula okluden.
Ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa melalui barrier. Sel basal
menghasilkan membran basal yang saling melekat erat. Bila terjadi gangguan akan
menjadi erosi rekuren. Ujung saraf kornea berakhir di epitel, oleh karena itu kelainan
pada epitel akan menyebabkan gangguan sensibilitas korena dan rasa sakit dan
mengganjal. Daya regenerasi epitel juga cukup besar.
2. Membran Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun
tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapisan ini tidak
8
mempunyai daya regenerasi. Kerusakan pada lapisan ini akan berakhir dengan
terbentuknya jaringan parut.
3. Stroma
Stroma merupakan lapisan yang paling tebal dari kornea, mencakup sekitar 90% dari
ketebalan kornea. Bersifat water soluble substance. Terdiri atas jaringan kolagen yang
tersusun atas lamel-lamel, pada permukaannya terlihat anyaman yang teratur sedang
dibagian perifer serat kolagen bercabang. Stroma bersifat higroskopis yang menarik air,
kadar air diatur oleh fungsi pompa sel endotel dan penguapan oleh sel epitel.
Terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai
15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak di
antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen
dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membran Descemet
Merupakan membran aselular yang tipis, kenyal, kuat dan bening, terletak dibawah
stroma dan pelindung atau barrier infeksi dan masuknya pembuluh darah. Membran ini
sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40m.
5. Endotel
Merupakan lapisan kornea yang penting untuk mempertahankan kejernihan kornea,
mengatur cairan didalam stroma kornea dan tidak mempunyai daya regenerasi, sehingga
endotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel
dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat menjaga
keseimbangan cairan akibat gangguan sistem pompa endotel, maka stroma akan bengkak
karena kelebihan cairan (edema kornea) dan hilangnya transparansi (kekeruhan) akan
terjadi. Dapat rusak atau terganggu fungsinya akibat trauma bedah, penyakit intraokuler
dan usia lanjut. Lapisan endotel berasal dari mesotalium, terdiri atas satu lapis sel
berbentuk heksagonal dengan tebal 20-40m yang melekat pada membran descmet
melalui hemi desmosom dan zonula okluden.
Kornea merupakan modifikasi dari membran mukosa dan juga modifikasi dari
9
kulit. Bagian depan kornea disusun oleh lima lapis epitel skuamosa non keratin yang
menyerupai epidermis kulit yang telah mengalami modifikasi. Sel Langerhans terdapat di
antara susuna epitel kornea.9 Lapisan terdalam sel epitel, lapisan basal, merupakan
lapisan germinativum dan melekat kepada sel basal sekitarnya dan terletak di atas sel
wing. Lapisan sel basal juga melekat ke membran basal melalui bantuan
hemidesmosom.9
Pada membran basal terdapat tiga jenis molekul utama yaitu kolagen tipe IV,
proteoglikan heparin sulfat dan protein non-kolagen (laminin, nidogen, dan osteonectin).
Membran basal merupakan sawar (barrier) fisiologis penting antara epitel dan stroma
kornea. 9,10
9
Sel epitel terluar akan berdeskuamasi ke dalam lapisan air mata. Laisan muko-protein
pada air mata berfungsi untuk melekatkan lapisan air mata kepada mikrovili epitel.10
Imunitas kornea lokal bergantung pada IgM, komplemen C1, dan sel Langerhans
(LC) yang seluruhnya ditemukan pada kornea perifer. IgG berdifusi ke dalam stroma dari
daerah limbus dan akan mencapai konsentrasi sebesar 50% dari konsentrasi serum. Inflamasi
kornea dapat merangsang migrasi LC sentripetal.
Makrofag dapat diubah menjadi antigen-presenting cell (APCs) oleh interleukin 1 (IL-
1) yang dihasilkan dari sel epitel kornea. Pristiwa ini akan merangsang ekspresi molekul
MHC kelas II pada permukaan kornea. APCs selanjutnya akan memproses peptida antigenik
agar membentuk kompleks biner dengan molekul MHC kelas II. Makrofag juga mampu
10
mencerna antigen yang berbentuk partikel, termasuk bakteri utuh seperti stafilokokus dan
amuba seperti Acanthamoeba, namun makrofag lebih efektif dalam mencerna antigen terlarut
seperti protein A dari Staphylococcus aureus yang akan dimasukkan ke dalam kantung
endositik. Ini berbeda dengan sel Langerhans yang hanya dapat mencerna antigen terlarut.
Limfosi berfungsi mensekresikan sitokin di dalam jaringan yang bekerja langsung terhadap
sel target. Interferon (IFN-g) menstimulasi ekspresi molekul MHC kelas II di dalam
keratinosit, sel epitel, sel endotel, dan fibroblas yang semuanya dapat bertindak sebagai APCs
yang memproses dan menyajikan peptida imunofenik yang bergabung sebagai kompleks
dengan molekul MHC kelas II. Sel-sel tersebut memiliki kemampuan stimulasi sinyal yang
berbeda-beda dan tidak dapat menstimulasi sel T yang tidak aktif karena sel T tersebut
membutuhkan aktivasi oleh IL-2.4
Keratitis
1) Definisi
Keratitis adalah radang pada kornea atau infiltrasi sel radang pada kornea yang
akan mengakibatkan kornea menjadi keruh sehingga tajam penglihatan menurun.
Infeksi pada kornea bisa mengenai lapisan superficial yaitu pada lapisan epitel atau
membran bowman dan lapisan profunda jika sudah mengenai lapisan stroma.2
2) Epidemiologi
Menurut Murillo Lopez (2006), Sekitar 25.000 orang Amerika terkena
keratitis bakteri per tahun. Kejadian keratitis bakteri bervariasi, dengan lebih sedikit
pada negara-negara industri yang secara signifikan lebih sedikit memiliki jumlah
pengguna lensa kontak. Insiden keratitis jamur bervariasi sesuai dengan lokasi
geografis dan berkisar dari 2% dari kasus keratitis di New York untuk 35% di Florida.
Spesies Fusarium merupakan penyebab paling umum infeksi jamur kornea di
Amerika Serikat bagian selatan (45-76% dari keratitis jamur), sedangkan spesies
Candida dan Aspergillus lebih umum di negara-negara utara. Secara signifikan lebih
sedikit yang berkaitan dengan infeksi lensa kontak.5,6
3) Etiologi
11
1. Virus
2. Bakteri
3. Jamur
4. Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari atau sunlamps. Hubungan ke sumber
cahaya yang kuat lainnya seperti pengelasan busur
5. Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak.
6. Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak cukupnya
pembentukan air mata
7. Adanya benda asing di mata
8. Reaksi terhadap obat tetes mata, kosmetik, polusi, atau partikel udara seperti debu,
serbuk sari, jamur, atau ragi
9. Efek samping obat tertentu1,2,3
a. Patofisiologi4
Mata yang kaya akan pembuluh darah dapat dipandang sebagai pertahanan
imunologik yang alamiah. Pada proses radang, mula-mula pembuluh darah mengalami
dilatasi, kemudian terjadi kebocoran serum dan elemen darah yang meningkat dan masuk ke
dalam ruang ekstraseluler. Elemen-elemen darah makrofag, leukosit polimorf nuklear,
limfosit, protein C-reaktif imunoglobulin pada permukaan jaringan yang utuh membentuk
garis pertahanan yang pertama. Karena tidak mengandung vaskularisasi, mekanisme kornea
dimodifikasi oleh pengenalan antigen yang lemah. Keadaan ini dapat berubah, kalau di
kornea terjadi vaskularisasi. Rangsangan untuk vaskularisasi timbul oleh adanya jaringan
nekrosis yang dapat dipengaruhi adanya toksin, protease atau mikroorganisme. Secara normal
kornea yang avaskuler tidak mempunyai pembuluh limfe. Bila terjadi vaskularisasi terjadi
juga pertumbuhan pembuluh limfe dilapisi sel.
kornea. Sindrom iskhemik dapat dimulai oleh berbagai stimuli. Bahwa pada proses
imunologik secara histologik terdapat sel plasma, terutama di konjungtiva yang berdekatan
dengan ulkus. Penemuan sel plasma merupakan petunjuk adanya proses imunologik. Pada
keratitis herpetika yang khronik dan disertai dengan neo-vaskularisasi akan timbul limfosit
12
yang sensitif terhadap jaringan kornea.
b. Klasifikasi2,3
1. Keratitis Bakteri
2. Keratitis Jamur
3. Keratitis Virus
4. Keratitis Herpetik
a. Keratitis Infeksi Herpes Zoster
b. Keratitis Infeksi Herpes Simplek :
Keratitis Dendritik dan Keratitis Disiformis
5. Keratitis Alergi
a. Keratokonjungtivitis
b. Keratokonjungtivitis epidemi
c. Tukak atau ulkus fliktenular
d. Keratitis fasikularis
e. Keratokonjungtivitis vernal
Berdasarkan bentuk klinisnya, keratitis diklasifikasikan menjadi:
1. Keratitis Flikten
2. Keratitis Sika
3. Keratitis Neuroparalitik
Keratitis Numuralis
Keratitis Bakterialis
Keratitis bakterial jarang terjadi pada mata normal dikarenakan adanya mekanisme
pertahanan alami kornea terhadap infeksi. Faktor predisposisi yang umum terjadi adalah
penggunaan lensa kontak, trauma, riwayat operasi kornea, kelainan permukaan bola mata,
penyakit sistemik dan imunosupresi.8
13
Bakteri merupakan penyebab keratitis terbanyak di negara maju seperti Amerika
Serikat. 8 Diperkirakan terdapat 30000 kasus keratitis bakterial di Amerika Serikat setiap
tahunnya.2 Penyebab terbanyak adalah spesies stafilokokus dan pseudomonas. Di negara
berkembang, streptokokus, stafilokokus dan pseudomonas merupakan penyebab keratitis
bakterial terbanyak.2,8,10
Tanda dan gejala klinis keratitis bakterial bergantung kepada virulensi organisme dan
durasi infeksi.2 Tanda utama adalah infiltrasi epitel atau stroma yang terlokalisisr atau difus.
Umumnya terdapat defek epitel di atas infiltrat stromal nekrotik yang berwarna putih keabu-
abuan. Tampilan umumlainnya adalah abses stroma di bawah epitel yang intak. Infiltrat dan
edema kornea dapat terletak jauh dari lokasi infeksi primer2. Ulserasi kornea dapat berlanjut
menjadi neovaskularisasi. Jika proteinase menyebabkan stromal melting maka akan terbentuk
descemetocele (gambar 4). Gejala yang dikeluhkan dapat berupa rasa nyeri, pembengkakan
kelopak mata, mata merah atau mengeluarkan kotoran, silau, dan penglihatan yang buram.4
gambar 4. descemetocele pada keratitis ulseratif yang diakibatkan oleh P. aeruginosa pada penggunaan lensa kontak
Etiologi
14
Manifestasi Klinis
Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata yang terinfeksi,
penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi kabur. Pada pemeriksaan bola mata
eksternal ditemukan hiperemis perikornea, blefarospasme, edema kornea, infiltrasi kornea.
Patogenesis
Perlekatan Bakteri
Keratitis bakterial akan terjadi jika mikroorganisme dapat melawan imunitas pejamu.
Patogen akan melekat kepada permukaan kornea yang cedera dan menghindari mekanisme
permusnahan oleh lapisan air mata dan refleks kedip. Setelah cedera terjadi, bakteri yang
bertahan akan melekat kepada tepi sel epitel kornea yang rusak dan ke membran basalis atau
stroma pada tepi luka. Glikokaliks pada epitel yang cedera sangat rentan terhadap perlekatan
mikroorganisme.10
Invasi Bakteri
Kapsul bakteri dan komponen permukaan lainnya memiliki peran yang penting dalam
menginvasi kornea. Sebagai contoh, beberapa bakteri menghindari aktivasi jalur komplemen
alternatif karena memiliki polisakarida di kapsulnya. Lipopolisakarida pada subkapsul bakteri
merupakan mediator utama terhadap terjadinya inflamasi kornea. Inokulasi endotoksin pada
intrastroma kornea akan memicu respon peradangan. Invasi bakteri ke dalam sel epitel
dimediasi sebagian oleh interaksi antara protein permukaan sel bakteri, integrin, protein
permukaan sel epitel, dan pelepasan protease bakteri. Organisme seperti N. Gonorrhoeae, N.
15
Meningitidis, Corynebacterium diphtheriae, Haemophilus aegyptus, dan Listeria
monocytogenes dapat menembus permukaan epitel kornea yang intak melalui mekanisme ini.
Setelah inokulasi terjadi, bakteri akan menginfiltrasi epitel sekitarnya dan stroma
yang lebih dalam di sekitar lokasi infeksi awal. Bakteri yang bertahan cenderung ditemukan
pada tepi infiltrat atau di dalam pusat ulserasi kornea. Multiplikasi bakteri yang tidak
terkendali di dalam stroma kornea akan mengakibatkan pembesaran fokus infeksi ke kornea
sekitarnya.
Berbagai mediator dan sel radang dapat dipicu oleh invasi bakteri dan menimbulkan
inflamasi yang mengakibatkan destruksi jaringan. Mediator inflamasi yang terlarut melliputi
sistem pembentuk-kinin, sistem pembekuan dan fibrinolitik, imunoglobulin komplemen-
komplemen, amino vasoaktif, eikosanoid, neuropeptida, dan sitokin. Kaskade komplemen
dapat dipicu untuk membunuh bakteri namun kemotaksin yang complement-dependent dapat
mengawali inflamasi fokal.
Produksi sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF)-alpha dan interleukin 1 akan
mengakibatkan adhesi dan ekstravasasi neutrofil di pembuluh darah limbus. Proses ini
dimediasi oleh glikoprotein adhesi sel seperti integrin dan selektin dan anggota superfamily
imunoglobulin seperrti intercellular adhesion molecules (ICAMs) pada sel endotel vaskular
dan leukosit.
Perekrutan sel radang akut akan terjadi beberapa jam setelah terjadinya inokulasi
bakteri. Dengan terjadinya akumulasi neutrofil pada lokasi infeksi, semakin banyak sitokin
dan komponen-komplemen yang dihasilkan untuk menarik lebih banyak leukosit. Makrofag
akan berpindah ke kornea untuk memusnahkan bakteri dan neutrofil yang telah
berdegenerasi. Inflamasi stroma yang berat dapat mengakibatkan penghancuran atroma
secara proteolitik dan nekrosis jaringan.
Keratitis bakteri adalah gangguan penglihatan yang mengancam. Oleh karena itu amat
penting untuk mengetahui cara mendiagnosis penyakit ini.
a. Anamnesis
Mendapatkan informasi dan riwayat penyakit yang tepat dan cukup adalah sangat
penting dalam mengevaluasi pasien dengan keratitis bakteri. Pasien dengan keratitis
bakteri biasanya akan mengeluh sakit pada mata yang terinfeksi, penglihatan silau,
kemerahan, berair, adanya sekret dan penglihatannya yang menjadi kabur.
b. Pemeriksaan eksternal
Pemeriksaan Slit Lamp untuk keratitis bakteri harus mencakupi evaluasi dari:
17
Sklera : Tanda-tanda peradangan, ulserasi, jaringan parut, nodul, tanda
iskemia
Gambaran klinis sugestif dari keratitis bakteri termasuk infiltrat stroma supuratif
(Terutama yang lebih besar dari 1 mm dalam ukuran) dengan pinggiran tidak jelas,
edema, dan infiltrasi sel darah putih di sekitar stroma.
Faktor Risiko
Setiap faktor atau agen yang menciptakan kerusakan pada epitel kornea adalah potensi
penyebab atau faktor risiko bakteri keratitis, beberapa faktor risiko terjadinya keratitis bakteri
di antaranya :
Pemeriksaan Penunjang
18
Kultur adalah cara untuk mengidentifikasi organisme kausatif dan satu-satunya cara
untuk menentukan kepekaan terhadap antibiotik. Kultur sangat membantu sebagai
panduan modifikasi terapi pada pasien dengan respon klinis yang tidak bagus dan untuk
mengurangi toksisitas dengan mengelakkan obat-obatan yang tidak perlu. Dalam
perawatan mata secara empiris tanpa kultur dimana respon klinisnya tidak bagus, kultur
dapat membantu meskipun keterlambatan dalam pemulihan patogen dapat terjadi.
Jika hasil kutur negatif, dokter mata dapat mempertimbangkan untuk menghentikan
pengobatan antibiotik selama 12 sampai 24 jam dan kemudian dilakukan kultur ulang.
Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Teknik Immunodiagnostik mungkin berguna
namun saat ini tidak tersedia secara luas.
Sampel kornea diperoleh dengan memakai agen anestesi topikal dan menggunakan
instrumen steril untuk mendapatkan atau mengorek sampel dari daerah yang terinfeksi
pada kornea. Kapas steril juga dapat digunakan untuk mendapatkan sampel. Ini paling
mudah dilakukan dengan perbesaran Slit Lamp.
c. Biopsi kornea
Biopsi kornea dapat diindikasikan jika terjadi respon yang minimal terhadap pengobatan
atau jika kultur telah negatif lebih dari satu kali dengan gambaran klinis yang sangat
mendukung suatu proses infeksi. Hal ini juga dapat diindikasikan jika infiltrat terletak di
pertengahan atau dalam stroma dengan jaringan atasnya tidak terlibat.
Pada pasien kooperatif, biopsi kornea dapat dilakukan dengan bantuan Slit Lamp atau
mikroskop operasi. Setelah anestesi topikal, gunakan sebuah pisau untuk mengambil
sepotong kecil jaringan stroma, yang cukup besar untuk memungkinkan pembelahan
sehingga satu porsi dapat dikirim untuk kultur dan yang lainnya untuk histopatologi.
Spesimen biopsi harus disampaikanke laboratorium secara tepat waktu.
Diagnosis Banding
19
dimediasi oleh proses immunogis yang menyerupai keratitis supuratif. Infiltrasi stroma non-
infeksious mungkin berhubungan dengan pemakaian lensa kontak (lensa kontak yang
diperpanjang-pakai) atau antigen dari infeksi bakteri lokal dan sistemik. Penyebab lainnya
adalah gangguan alergi seperti keratokonjungtivitis vernal dan keratokonjungtivitis atopik.
Trauma kornea, termasuk kimia dan cedera termal, dan benda asing kornea, juga dapat
menyebabkan keratitis infiltrasi.
d. Terapi antibiotika
Tetes mata antibiotik mampu mencapai tingkat jaringan yang tinggi dan merupakan metode
yang banyak dipakai dalam pengobatan banyak kasus. Salep pada mata berguna sewaktu
tidur pada kasus yang kurang berat dan juga berguna sebagai terapi tambahan. Antibiotik
subkonjungtiva dapat membantu pada keadaan ada penyebaran segera ke sclera atau perforasi
atau dalam kasus di mana kepatuhan terhadap rejimen pengobatan diragukan. Terapi sistemik
mungkin berguna dalam kasus yang sudah melibatkan sclera atau infeksi intraokular dan
infeksi sistemik seperti gonore. Lensa kontak yang direndam dalam antibiotik kadang-kadang
digunakan dan dapat meningkatkan penghantaran obat, tetapi modalitas ini belum
sepenuhnya dievaluasi dalam hal potensi risiko toksisitas obat.
Antibiotik topikal spektrum luas empiris digunakan pada pengobatan awal dari
keratitis bakteri. Untuk keratitis yang parah (melibatan stroma atau dengan defek yang lebih
besar dari 2 mm dengan nanah yang luas), diberikan dosis loading setiap 5 sampai 15 menit
untuk jam pertama, diikuti oleh aplikasi setiap 15 menit sampai 1 jam pada jam berikutnya.
Pada keratitis yang kurang parah, rejimen terapi dengan dosis yang kurang frekuen terbukti
efektif. Agen Cycloplegic dapat digunakan untuk mengurangi pembentukan sinekhia dan
untuk mengurangi nyeri pada kasus yang lebih parah pada keratitis bakteri dan ketika adanya
peradangan bilik anterior mata.
20
bakteri gram-positif dari fluoroquinolone generasi sebelumnya pada uji in-vitro. Namun,
fluoroquinolone generasi keempat belum disetujui FDA untuk pengobatan keratitis bakteri.
Terapi kombinasi antibiotika digunakan dalam kasus infeksi berat dan mata yang
tidak responsif terhadap pengobatan. Pengobatan dengan lebih dari satu agen mungkin
diperlukan untuk kasus-kasus penyebab mikobakteri non-tuberkulos. Antibiotik sistemik
jarang dibutuhkan, tetapi dapat diipertimbangkan pada kasus-kasus yang parah di mana
proses infeksi telah meluas ke jaringan sekitarnya (misalnya, sclera) atau ketika adanya
ancaman perforasi dari kornea. Terapi sistemik juga diperlukan dalam kasus-kasus keratitis
gonokokal.
e. Terapi kortikosteroid
Terapi topikal kortikosteroid memiliki peran bermanfaat dalam mengobati beberapa kasus
menular keratitis. Keuntungan potensial adalah penekanan peradangan dan pengurangan
pembentukan jaringan parut pada kornea, yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan.
Antara kerugiannya pula termasuk timbulnya aktivitas infeksi baru, imunosupresi lokal,
penghambatan sintesis kolagen dan peningkatan tekanan intraokular. Meskipun berisiko,
banyak ahli percaya bahwa penggunaan kortikosteroid topikal dalam pengobatan keratitis
bakteri dapat mengurangi morbiditas. Terapi kortikosteroid pada pasien yang sedang diobati
dengan kortikosteroid topikal pada saat adanya curiganya keratitis bakteri hendaklah
diberhentikan dahulu sampai infeksi telah dikendalikan.
Pengobatan tambahan diperlukan dalam kasus dimana integritas mata terganggu, seperti
permukaan kornea yang sangat tipis, atau ancaman perforasi, atau di mana ada progresivitas
yang tinggi atau endophthalmitis. Aplikasi perekat jaringan, lamellar keratoplasty, dan
penetrating keratoplasty adalah di antara pilihan pengobatan tambahan. Dilakukan juga flap
konjungtiva atau amnion graft jika komplikasi berupa ulkus kornea.
21
Komplikasi
Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis bakteri ini adalah penipisan kornea, dan
akhirnya perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophthalmitis dan hilangnya
penglihatan.
Prognosis
Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor, seperti diuraikan di bawah ini, dan dapat
mengakibatkan penurunan visus derajat ringan sampai berat.
22
dipertimbangkan dipertimbangkan
Terapi antimikroba Tetes mata topikal Tetes mata topikal Tetes mata topikal
awal fortified fortified fortified
Pertimbangkan
antibiotik intravena
23
BAB III
ANALISIS MASALAH
1. SUBJEKTIF
a. Mata nyeri dan merah disertai penglihatan menurun
Mata merah dan nyeri yang disertai penglihatan menurun paling sering
disebabkan adanya gangguan pada kornea, di mana pada kasus ini
diagnosisnya mengarah pada keratitis. Hal ini diperkuat dengan adanya
riwayat memakai lensa kontak. Epitel kornea yang tidak intak akan
memudahkan infiltrasi agen infeksius seperti virus, bakteri dan jamur yang
pada akhirnya dapat menimbulkan reaksi peradangan. Infiltrat sel-sel radang
pada kornea menyebabkan gangguan pada visual aksis sehingga penglihatan
pasien menurun. Mata merah pada pasien ini disebabkan oleh dilatasi
pembuluh darah pada daerah limbus dan konjungtiva sebagai respon terhadap
adanya peradangan yang terjadi pada kornea. Nyeri merupakan gejala-gejala
yang timbul akibat adanya defek pada kornea sehingga serabut saraf sensori
pada kornea yang berasal dari N. Trigeminus cabang ophtalmica tersensitisasi.
b. Mata silau
Mata silau pada keratitis dapat terjadi karena kejernihan kornea yang
berkurang pada bagian-bagian yang terdapat infiltrat. Hal ini terjadi akibat
cahaya yang masuk melalui kornea sebagian akan dipantulkan saat melewati
bagian yang terdapat infiltrat. Cahaya yang dipantulkan inilah yang
menyebabkan silau.
2. OBYEKTIF
a. Visus naturalis OD 6/20 dan OS 6/20
Pada pemeriksaan visus naturalis mata kanan didapatkan 6/20 dan mata kiri
6/20. Hal ini kurang sesuai dengan kondisi pasien karena infiltrat yang
terdapat pada kornea tersebar di bagian perifer sehingga tidak akan terlalu
mempengaruhi visual axis. Namun setelah diperiksa menggunakan pinhole,
penglihatan mata kanan dan mata kiri pasien membaik menjadi 6/6.
3.ASSESMENT
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis pasien
mengarah pada keratitis bakterialis. Pada keratitis bakterialis, biasanya
24
keluhan akan lebih berat dibandingkan keratitis yang disebabkan virus atau
jamur terutama pada trias kornea yaitu lakrimasi, blefarospasme dan fotofobia,
namun pada pasien keluhan yang ditunjukkan lebih ringan. Hal ini bisa terjadi
karena sebelumnya pasien sudah mendapat pengobatan berupa obat tetes mata
yang kemungkinan merupakan antibiotik, sehingga gejalanya sudah mulai
berkurang.
Diagnosis kerja : Keratitis Bakterialis ODS
4. PLANNING
Usulan pemeriksaan : hapusan langsung untuk pengecatan Gram
5. RENCANA TERAPI
Medika mentosa :
1. Kokus gram positif : vankomisin 25-50 mg/mL
2. Batang gram negatif : Tobramicin 9-14 mg/mL
3. Kokus gram negatif : Ceftriaxone 50 mg/mL
4. Mycobacteria : Clarithromycin 10 mg/mL 0,03%
25
BAB IV
KESIMPULAN
Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan kornea. Berdasarkan
distribusinya, keratitis dibagi menjadi keratitis difus, fokal, atau multifokal. Berdasarkan
kedalamannya, keratitis dibagi menjadi epitelial, subepitelial stromal, atau endotelial.
Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis bakteri ini adalah penipisan kornea, dan
akhirnya perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophthalmitis dan hilangnya
penglihatan. Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor dan dapat mengakibatkan
penurunan visus derajat ringan sampai berat. Virulensi organisme yang bertanggung jawab
atas keratitis, luas dan lokasi ulkus kornea, hasil vaskularisasi dan / atau deposisi kolagen
merupakan faktor yang menentukan prognosis.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Ophthalmology. External Eye Disease and Cornea. San Fransisco
2008-2009. p. 179-190
2. Roderick B. Kornea. In: Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta : EGC.
2009. p. 125-149.
3. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata edisi–3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2002. p.147–178
4. Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata.Edisi ketiga.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2008. h. 1-13
5. K.Weng Sehu et all. Opthalmologic Pathology. Blackwell Publishing. UK.2005. p.62
6. Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Hal: 56
7. Thygeson P. "Superficial Punctate Keratitis". Journal of the American Medical
Association.1997. 144:1544-1549. Available at : http://webeye. ophth.uiowa.edu/
dept/service/cornea/cornea.htm (accessed: januari 2019)
8. Reed, KK. 2007. Thygeson's SPK photos. Nova Southeastern University College of
Optometry 3200 South University Drive Ft. Lauderdale, Florida. Available at:
http://www.fechter.com/Thygesons.htm. (accessed: januari 2019)
9. Skuta GL,Cantor LB,Weiss JS. Structure dan Function of the External Eyedan Cornea. In :
Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Basic and CliniccalScience Cources : External Disease dan
Cornea 2008-2009. Singapore :American Academy of Ophthalmology ; 2007. p.5-14
10. S r i n i v a s a n M , e t a l . D i s t i n g u i s h i n g i n f e c t i o u s v e r s u s n o n i n f e c t i o u s k e r
a t i t i s . INDIAN Journal of Opthalmology 2006 56:3;50-56
27