Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anemia pada Penyakit Keganasan

Anemia pada penyakit keganasan, merupakan suatu komorbiditas yang

sering terjadi dan dapat memperberat kondisi penyakit keganasan itu sendiri.

Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada penyakit keganasan sangat

beragam. Secara umum terbagi atas 2 kelompok besar penyebab anemia pada

keganasan, yaitu yang terkait tumor secara langsung seperti proses inflamasi,

kehilangan darah, hemolisis dan invasi sel ganas ke sumsum tulang dan yang

kedua adalah terkait dengan terapi seperti kemoterapi dan radiasi. Anemia

merupakan kondisi dimana jumlah sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin

per unit volume pada darah perifer sehingga tubuh tidak bisa mengangkut oksigen

yang cukup ke dalam sel terutama pada jaringan perifer (Maccio, dkk., 2015)

Anemia terkait kanker ini merupakan kondisi yang terjadi akibat

perkembangan atau terapi dari kanker itu sendiri. Dari patofisiologinya sendiri,

anemia pada penyakit kanker dapat terjadi akibat penurunan produksi dan

destruksi yang berlebihan dari sel darah merah, kehilangan darah, juga berbagai

faktor kompleks seperti diet yang buruk dan asupan besi yang tidak adekuat.

Ketidakcukupan produksi sel darah merah dapat disebabkan oleh defek pada sel

eritropoetin, gangguan sintesis hemoglobin, gagal ginjal dan supresi sumsum

tulang atau gagal ginjal. Destruksi sel darah merah juga berhubungan dengan

banyak penyebab seperti faktor internal atau obat kemoterapi, autoimun hemolitik

yang diinduksi oleh sel ganas itu sendiri contohnya pada leukemia limfositik

1
7
2

kronis atau sitokin inflamasi. Kehilangan darah mungkin terjadi pada kasus

perdarahan akut atau koagulopati terkait tumor pada kasus disseminated

intravascular coagulation. Pada pasien keganasan, sering juga terjadi kondisi

defisiensi besi, menurunnya eritropoesis di perifer akibat menurunnya kadar

vitamin B12 dan menurunnya produksi asam folat (Maccio dkk., 2015)

2.2 Klasifikasi Anemia pada Keganasan


2.2.1. Anemia terkait kemoterapi

Supresi sumsum tulang merupakan salah satu efek samping dari suatu

kemoterapi dan radioterapi pada pasien kanker. Penggunaan obat sitotoksik

terutama golongan platinum, merupakan faktor penting terjadinya anemia terkait

terapi tumor, dan munculnya regimen kemoterapi baru dan kombinasi dalam

penggunaannya menyebabkan semakin meningkatnya tantangan dalam

penanganannya. Obat kemoterapi merangsang terjadinya apoptosis pada sel

eritroid dan menyebabkan gangguan melalui kerusakan sel tubulus renal, dimana

akan menurunkan eritropoetin endogen sehingga terjadi kondisi anemia. (Dicato

et al., 2010; Rodgers et al., 2012; Koury MJ dan Rhodes M, 2012)

2.2.2. Anemia tidak terkait kemoterapi

Terjadinya anemia pada penderita keganasan, dapat disebabkan karena

aktivasi sistem imun tubuh dan sistem inflamasi yang ditandai dengan

peningkatan beberapa petanda sistem imun seperti interferon, TNF dan

interleukin yang semuanya disebut sitokin, dan dapat juga disebabkan oleh sel

kanker sendiri.

Anemia akibat kanker secara langsung dapat dipengaruhi beberapa hal

antara lain perdarahan terkait kanker itu sendiri, invasi sel tumor pada sumsum

tulang, malnutrisi akibat tumor, metabolisme besi yang abnormal, gangguan


3

fungsi ginjal dan fungsi sumsum tulang yang terganggu akibat pengaruh sitokin

inflamasi. Pada sebagian besar kasus, terjadi kondisi anemia normokromik

normositer dengan penurunan besi serum dan saturasi transferin sedangkan feritin

serum bisa normal atau meningkat. Pada beberapa tahun terakhir ini, inflamasi

terkait kanker merupakan topik yang menarik dan banyak dibahas. Inflamasi

terkait kanker dapat dipicu oleh pelepasan sitokin inflamasi seperti TNF, IL 1,

Interferon gammma (IFNγ), yang mana tidak hanya menekan produksi

eritropoetin tetapi juga menghambat pelepasan besi yang disimpan dan proliferasi

dari sel progenitor eritroid. TNF α sendiri memiliki peran yang hampir sama

dengan IFNγ dan IL 1 pada terganggunya metabolisme besi dan proliferasi

eritroid. Namun sebagai tambahan, TNF α berperan pada penekanan produksi

eritropoetin dan meningkatkan terjadinya proses eritrofagositosis (Gambar 2.1)

(Nowrousian dkk., 1996).

Gambar 2.1. Jalur patofisiologi terjadinya anemia pada kanker yang


tidak terkait kemoterapi (Nowrousian dkk., 1996)
4

Patogenesis penting saat ini adalah inflamasi sitokin yang dapat

meningkatkan hepsidin. Hepsidin dapat menghalangi lepasnya besi yang berikatan

dengan makrofag ke transporter yaitu transferin sehingga menyebabkan sistem

hematopoesis menjadi tumpul (Maccio et al., 2005)

Terdapat beberapa kelainan laboratorium yang terjadi terkait mekanisme

anemia pada kanker yang tidak terkait dengan kemoterapi (Tabel 2.1) (Gilreath et

al., 2014)

Tabel 2.1. Temuan laboratorium pada anemia akibat kanker


Penyebab Penemuan klinis
Defisiensi besi Saturasi transferrin <15% dan feritin <30 ng/mL
Defisiensi folat dan B12 Kadar B12 dan folat yang rendah
Perdarahan Pemeriksaan darah samar pada feses yang diperoleh dari
endoskopi
Hemolisis Tes Coombs direk positif, pemeriksaan disseminated
intravascular coagulation positif, haptoglobin rendah,
meningkatnya kadar bilirubin indirek.
Penyakit ginjal Glomerular filtration rate < 60 mL/menit/1,73m2, kadar
eritropoetin yang rendah
Anemia herediter Diperoleh dari riwayat keluarga
Anemia sideroblastik Ditemukan banyak cincin sideroblast pada sumsum tulang

A. Anemia yang disebabkan sitokin atau anemia inflamasi

Anemia pada pasien kanker terjadi karena adanya aktivasi sistem imun dan

sistem inflamasi oleh keganasan tersebut, serta beberapa sitokin yang dihasilkan

oleh sistem imun dan inflamasi seperti IFN, TNF α dan IL 1 merupakan faktor

inflamasi yang dapat memicu terjadinya anemia. Sitokin inflamasi IFN γ bersama-

sama dengan neopterin sering terdapat pada keganasan hematologi yang

merupakan petanda adanya imunnitas selular. Kadar neopterin berhubungan nyata

dengan kadar IFN γ dan berhubungan terbalik dengan kadar hemoglobin dan besi.
5

Hubungan ini menandakan adanya hubungan antara aktivasi imun seluler yaitu

makrofag dan anemia pada keganasan. Paparan kronik dari TNF α juga

menyebabkan terjadinya anemia. Kadar TNF α dikatakan dipengaruhi oleh jenis

keganasan dan aktivitas penyakitnya. Pasien dengan penyakit yang aktif kadar

TNF α dikatakan juga meningkat. Pada suatu uji klinis dengan terapi TNF α juga

menimbulkan anemia. Sitokin lain yang juga berperan adalah IL 1, dimana hampir

sama dengan TNF α, memiliki mekanisme kerja yang cukup luas di dalam proses

imun dan inflamasi. Konsentrasi IL 1 meningkat pada artritis reumatoid dan

penyakit kronik lain dan berhubungan dengan terjadinya anemia akibat penyakit

kronik. (Poggiali dkk., 2014)

Terjadinya kondisi anemia adalah akibat ketidakseimbangan dari

kecepatan produksi dan umur sel eritrosit. Mekanisme yang penting pada anemia

pada keganasan adalah adanya kegagalan relatif dari sumsum tulang dalam

melakukan usaha kompensasi saat terjadi pemendekan umur eritrosit pada pasien

dengan keganasan.

1. Definisi Anemia Inflamasi

Anemia inflamasi dikenal juga dengan anemia pada penyakit kronik

adalah anemia yang dijumpai pada penyakit kronik tertentu yang khas ditandai

oleh gangguan metabolisme besi, yaitu hipoferemia sehingga penyediaan besi

yang dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin berkurang tetapi cadangan besi

sumsum tulang masih cukup (Bakta, 2006). Anemia penyakit kronik biasanya

merupakan anemia derajat ringan hingga sedang (kadar hemoglobin 8-9,5 g/dl)

dengan morfologi normokromik normositer atau bisa juga hipokromik mikrositer

akibat semakin progresifnya perjalanan penyakit. (Suega, 2014). Anemia penyakit


6

kronik ditandai dengan rendahnya kadar besi serum, serum transferin yang rendah

atau normal, dengan ferritin normal atau meningkat. Kadar retikulosit sering

rendah sebagai akibat ekspresi dari produksi sel darah merah yang rendah, dan

terjadi hipoferemia sebagai akibat perolehan besi dari sistem retikuloendotelial.

Konsekuensi dari rendahnya kadar besi serum adalah menurunnya saturasi

transferrin dan dapat semakin rendah bila terjadi anemia defisiensi besi dan

penyakit kronik secara bersamaan. Kadar ferritin bisa normal atau meningkat pada

pasien anemia penyakit kronik, dimana hal ini menggambarkan tingginya

cadangan besi akibat retensi besi pada sistem retikuloendotelial, dan ferritin yang

tinggi juga sering terjadi akibat suatu aktivasi sistem imun. Anemia dengan

gambaran mikrositer sering akibat adanya kondisi defisiensi besi yang bersamaan

dengan penyakit kronik.

Terminologi anemia pada penyakit kronik atau anemia inflamasi

digunakan untuk anemia yang diperoleh akibat kondisi klinis yang luas termasuk

diantaranya infeksi kronik, kondisi inflamasi dan penyakit keganasan. Anemia

pada penyakit kronik merupakan anemia dengan prevalensi tertinggi kedua setelah

anemia defisiensi besi, dan terjadi pada pasien aktivasi imun kronik yang

umumnya dirawat di rumah sakit. Insiden dan prevalensi anemia meningkat ini

dikatakan meningkat berbanding lurus dengan peningkatan usia, dimana pada usia

lebih dari 85 tahun insiden ini meningkat 26,1% pada laki-laki dan 20,1% pada

wanita. Pada konteks ini hemoglobin yang rendah dapat digunakan sebagai

marker dalam mendiagnosis penyakit kronis yang mendasarinya walaupun tidak

tampak pengaruhnya terhadap kondisi kesehatan. Secara umum penyebab anemia

pada usia tua dibagi 3 kelompok yaitu anemia karena defisiensi nutrien tertentu
7

(34%), anemia pada penyakit kronik (20%) dan anemia yang tidak dapat

dijelaskan (34%). Kehilangan darah dari gastrointestinal merupakan penyebab

anemia defisiensi besi yang paling banyak pada usia tua, walaupun pada usia tua

sebagian besar penyebab anemia adalah multifaktorial, termasuk diantaranya

insufisiensi renal, defisiensi hormon seks, kegagalan sumsum tulang dan penyakit

metabolik. (Price dan Schirier, 2010)

Penyebab anemia pada penyakit kronik ini masih belum dapat dijelaskan

secara lengkap terutama pada usia tua, dan cukup logis dimana suatu stres

oksidatif juga bertanggung jawab terhadap terjadinya anemia pada penyakit

kronik. Anemia pada penyakit kronik ini dikatakan dapat meningkatkan risiko

kematian dan perawatan rumah sakit lima kali lebih tinggi, hal ini didapatkan

pada suatu penelitian prospektif pada usia lanjut antara tahun 2003 dan 2007

(Poggiali dkk., 2014).

Korelasi antara inflamasi kronik, anemia dan besi sudah diketahui lebih

dari 50 tahun yang lalu, tetapi baru pada dekade terakhir ditemukan suatu peptida

antimikroba yang merupakan kunci pengaturan hormon pada homeostasis besi,

yang terlibat sebagai penyebab anemia penyakit kronik. Sejak identifikasi

hepsidin sebagai kunci pengaturan hormon, pemahaman mengenai siklus

molekular metabolisme besi meningkat secara dramatis. Terdapat suatu defek

genetik yang menyebabkan defisiensi hepsidin dan menghasilkan kondisi

overload besi atau hemokromatosis herediter. Namun sebaliknya overekspresi

dari hepsidin dapat menyebabkan terjadinya defisiensi besi dan anemia yang

berat pada percobaan dengan tikus. Kemajuan besar dimulai setelah ditemukan

mekanisme kerja dari hepsidin dan kaitan antara inflamasi dan hepsidin saat ini
8

sudah terbukti. Prototipe yang paling jelas menggambarkan anemia pada inflamasi

adalah penyakit artritis reumatoid. Secara umum prevalensi anemia penyakit

kronik cukup tinggi dan beratnya derajat anemia tergantung dari semakin beratnya

stadium penyakit (Poggiali dkk., 2014).

2. Diagnosis anemia inflamasi

Diagnosis anemia inflamasi sama dengan penyakit kronik, dimana dapat

ditegakkan bila ditemukan kondisi anemia (Hb < 13 g/dL pada pria atau Hb < 12

g/dL pada wanita) dengan kadar besi serum < 50 mg/dL, TIBC < 350 mg/dL, dan

kadar feritin serum > 20 ug/dL, serta terjadi pada kondisi klinis yang sesuai, yaitu

infeksi kronik (TB paru, bronkiektasis, infeksi jamur kronik, penyakit radang

panggul kronik, osteomielitis kronik, kolitis kronik, infeksi saluran kemih kronik),

inflamasi kronik (artritis rematoid, sistemik lupus eritematosus, sarkoidosis,

inflammatory bowel disease dan keganasan) (Bakta, 2006; Bakta dkk., 2013).

3. Patogenesis anemia inflamasi

Patogenesis anemia inflamasi sama dengan anemia penyakit kronik secara

umum melibatkan beberapa mekanisme, yaitu pemendekan masa hidup eritrosit,

gangguan produksi Eritropoetin, penurunan respon sumsum tulang terhadap

Eritropoetin dan gangguan homeostasis besi (Suega, 2014)

a. Pemendekan masa hidup eritrosit

Pemendekan masa hidup eritrosit telah ditemukan sebagai salah satu

mekanisme terjadinya anemia pada hewan dengan inflamasi kronik dan

penyakit kronik. Walaupun masih terbatasnya bukti mengenai hal tersebut,

diduga terdapat peningkatan degradasi eritrosit yaitu eritrofagositosis yang

diperantarai oleh sitokin-sitokin dan radikal bebas selama proses inflamasi

(Roy, 2010).
9

b. Gangguan produksi eritropoetin

Pada anemia penyakit kronik, dijumpai penurunan produksi

eritropoetin yang diduga diinduksi oleh sitokin, dimana TNF-α dan IFN-ɤ

akan menghambat produksi eritropoetin di ginjal (Weiss dan Goodnough,

2005). Pada suatu studi dari 70 pasien dewasa dengan keganasan, termasuk

keganasan hematologi, ditemukan hubungan terbalik antara derajat anemia

dengan kadar Eritropoetin endogen yang diperiksa dengan metode

immunoassay Selain itu, juga ditemukan adanya pengaruh regulasi negatif

dari hepsidin terhadap perkembangan prekursor eritroid in vitro (Adamson,

2008).

c. Penurunan respon terhadap eritropoetin

Eritropoetin berperan mengatur proliferasi sel eritroid, dimana pada

anemia penyakit kronik, respon eritropoetin dikatakan tumpul atau tidak

adekuat untuk sebagian besar derajat anemia, namun tidak pada seluruh

kondisi. Setelah terikat pada reseptornya, eritropoetin akan merangsang jalur

transduksi signal dan selanjutnya mengaktifkan fosforilasi mitogen dan tirosin

kinase, proses inilah yang dipengaruhi oleh sitokin. Sitokin-sitokin TNF-α dan

IL-1 secara langsung menghambat ekspresi eritropoetin in vitro, suatu kondisi

yang kemungkinan disebabkan oleh pembentukan spesies oksigen reaktif yang

diperantarai sitokin, yang selanjutnya mempengaruhi afinitas dari faktor

transkripisi yang diinduksi eritropoetin (Weiss dan Goodnough, 2005)

Pada anemia penyakit kronik proliferasi dan diferensiasi dari sel

progenitor ertrosit menurun. Suatu studi in vitro memperlihatkan makrofag

pada pasien anemia penyakit kronik akan menekan pembentukan sel induk

eritrosit. Sitokin pro inflamasi khususnya interferon C akan menghambat


10

pembentukan Burst-Forming Units-Erythroid (BFU-E) dan Colony-Forming

Units-Erythroid (CFU-E) (Weiss dan Goodnough, 2005).

Hambatan terhadap proliferasi sel induk eritroid bukan merupakan

efek toksik langsung dari sitokin tetapi melalui efek pro-apoptotik dari sitokin.

Hal ini ditunjukkan dengan kembali normalnya pertumbuhan sel induk eritroid

setelah pemberian eritropoetin dosis tinggi pada percobaan menggunakan

kultur sel sumsum tulang tikus dan manusia. Sel induk eritroid yang lebih

sensitif terhadap kondisi ini adalah CFU-E dibandingkan dengan BFU-E

(Adamson, 2008).

d. Gangguan homeostasis besi

Tanda penting terjadinya anemia pada penyakit kronik adalah

gangguan homeostasis besi dengan peningkatan ambilan besi dan retensi besi

oleh sel pada sistem retikuloendotelial. Proses ini menyebabkan pengalihan

besi dari sirkulasi ke tempat penyimpanan pada sistem retikuloendotelial

sistem, menyebabkan terbatasnya besi yang tersedia untuk sel progenitor

eritrosit dan terjadi suatu eritropoesis dengan restriksi besi. Pada tikus, dengan

pemberian injeksi sitokin proinflamasi yaitu IL 1 dan TNF α, menimbulkan

suatu kondisi hipoferremia diikuti dengan anemia. Kombinasi kedua kondisi

ini dihubungkan dengan suatu sitokin yang menginduksi ferritin, yang

merupakan protein utama yang berhubungan dengan penyimpanan besi oleh

makrofag dan hepatosit. Pada suatu inflamasi kronik pengambilan besi oleh

makrofag paling banyak terjadi melalui suatu mekanisme eritrofagositosis dan

melalui ambilan besi ferrous oleh protein Divalent Metal Transporter-1

(DMT-1). Interferon γ, lipopolisakarida, dan TNFα akan meningkatkan

ekspresi DMT-1 dan kemudian menyebabkan peningkatan ambilan besi oleh


11

makrofag yang aktif. Stimuli proinflamasi juga menginduksi retensi besi pada

makrofag dengan menurunkan ekspresi ferroportin kemudian memblok

pelepasan besi dari sel. Ferroportin merupakan eksportir besi di

transmembran, dimana proses ini dianggap bertanggung jawab terhadap

transfer besi ferrous yang diabsorpsi dari sel enterosit duodenum ke sirkulasi.

Lebih jauh lagi sitokin antiinflamasi seperti interleukin 10 dapat

menginduksi anemia melalui stimulasi ambilan besi oleh makrofag yang

dimediasi transferrin dan peningkatan stimulasi translasi pada ekspresi ferritin.

Identifikasi hepsidin, yang merupakan protein fase akut yang berperan

meregulasi besi membantu menerangkan hubungan antara inflamasi dengan

respon imun terhadap homeostasis besi pada anemia penyakit kronik. Ekspresi

hepcidin diinduksi oleh lipopolisakarida dan IL 6 dan dihambat oleh TNF α.

Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan ekspresi hepcidin

transgenik dan konstitutif pada anemia defisiensi besi yang berat pada tikus.

Inflamasi yang berat pada tikus tetapi dengan defisiensi hepsidin tidak

menimbulkan kondisi hipoferremia, sehingga hal ini disimpulkan hepsidin

terlibat sebagai pusat pada mekanisme pengalihan perjalanan besi melalui

menurunnya absorpsi besi pada duodenum, dan penghambatan pelepasan besi

oleh makrofag pada anemia penyakit kronik. Induksi hipoferremia oleh IL 6

dan hepcidin terjadi pada beberapa jam dan hal ini tidak terjadi pada inflamasi

oleh turpentine, sehingga disimpulkan hepcidin merupakan pusat dari

mekanisme terjadinya anemia pada penyakit kronik. Gen yang baru

teridentifikasi hemojuvelin mungkin berperan pada hepsidin dan menginduksi

semua mekanisme tersebut. Gangguan pada homeostasis besi dengan

terbatasnya penyediaan besi untuk sel progenitor eritroid tampaknya


12

mengganggu proliferasi sel ini dan mempengaruhi pembentukan heme. Secara

lengkap, patogenesis anemia penyakit kronik khususnya yang terkait

gangguan homeostasis besi, dapat dilihat pada gambar berikut ini.(Weiss dan

Goodnough, 2005)

Gambar 2.2. Patofisiologi yang mendasari


terjadinya anemia penyakit kronik.
13

Pada panel A, invasi mikroorganisme, munculnya sel ganas, disregulasi

autoimun akan memicu aktivasi sel T (CD3+) dan monosit. Sel ini akan

menginduksi mekanisme efektor, dengan memproduksi sitokin seperti IFN γ (dari

sel T) dan TNF α, IL 1, IL 6, dan IL 10. Pada panel B IL 6 dan lipopolisakarida

akan menstimulasi ekspresi protein fase akut hepsidin di hepar yang akan

menghambat absorpsi duodenum pada besi. Pada panel C, IFN γ, lipopolisakarida

atau keduanya meningkatkan ekspresi DMT 1 pada makrofag dan menstimulasi

ambilan besi. Sitokin antiinflamasi IL 10 meningkatkan ekspresi reseptor

transferin dan meningkatkan ambilan besi yang terikat transferin ke dalam

monosit. Sebagai tambahan makrofag yang teraktivasi akan mendegradasi eritrosit

yang mati untuk daur ulang besi.

Proses ini lebih jauh akan dipicu oleh TNF α melalui kerusakan membran

eritrosit dan menstimulasi fagositosit. IFN γ dan lipopolisakarida menurunkan

ekspresi ferroportin transporter besi pada makrofag sehingga menghambat

pengeluaran besi dari makrofag. Proses ini dipengaruhi oleh hepsidin. Pada waktu

yang sama TNF α, IL 1, IL 6 dan IL 10 menginduksi ekspresi ferritin dan

menstimulasi penyimpanan dan retensi besi pada makrofag. Jadi secara umum

mekanisme ini akan menurunkan konsentrasi besi pada sirkulasi dan mengurangi

ketersediaan besi untuk sel induk eritroid. Pada Panel D, TNF α dan IFN γ dan

menghambat produksi eritropoetin pada ginjal. Pada panel E, IFN γ dan IL 1

secara langsung menghambat diferensiasi dan proliferasi dari sel induk eritroid.

Rendahnya ketersediaan besi akan menurunkan aktivitas biologis eritropoetin

sehingga akan menghambat eritropoesis dan menyebabkan berkembangnya

anemia (Weiss dan Goodnough, 2005).


14

B. Anemia karena efek langsung neoplasma

Faktor yang berhubungan langsung dengan kanker digambarkan pada tabel

2.2 Kebanyakan tumor adalah tumor ganas solid, seperti kanker payudara dan

prostat yang kemudian menginvasi sumsum tulang. Sering terabaikan sebagai

faktor yang menyebabkan anemia, bahwa keganasan ini juga menyebabkan reaksi

desmoid atau reaksi fibrotik yaitu terjadinya peningkatan peningkatan proses

fibrosis di dalam sumsum tulang yang akan mengurangi volume rongga sumsum

tulang dan matrix sinusoid. Proses ini dapat menyebabkan gangguan pelepasan sel

darah yang matang dari sumsum tulang sehingga menimbulkan gambaran leuko

eritroblastik dengan sel darah merah dan sel-sel mieloid yang belum matang yang

dapat terlihat pada pemeriksaan darah tepi (Saba, 2015).

Tabel 2.2 Anemia akibat efek langsung keganasan (Saba, 2015).


Gejala Tipe keganasan
Perdarahan akut dan kronik Keganasan saluran cerna
Kanker kepala dan leher
Kanker urogenital
Kanker pada cervix dan vagina
Perdarahan dalam tumor Sarcoma
sendiri (intratumor) Melanoma yang sangat besar
Hepatoma
Kanker ovarium
Tumor corteks adrenal
Anemia karena proses Reticulocytosis histiocytic medular
fagositosis dari eritrosit Limfoma histiositik
Neoplasma histiositik yang lain
Penggantian sumsum tulang Leukemia
Limoma
Mieloma
Carcinoma
15

Penyakit keganasan sendiri juga dapat menghasilkan substansi atau protein

yang dihasilkan oleh sel kanker itu sendiri. Deposit amiloid pada suatu mieloma

dan amiloidosis dapat secara ekstensif menggantikan sumsum tulang.

Terbentuknya antibodi pada leukemia limfositik kronik, limfoma dan kadang-

kadang keganasan tumor padat (solid) yang akan menyebabkan anemia hemolitik

mikroangiopati yang dilihat pada sebagian besar keganasan tumor solid dapat

menghasilkan prokoagulan pada kanker.

Tabel 2.3. Anemia yang disebabkan oleh produk dari kanker (Saba, 2015).

Zat Mekanisme Jenis Keganasan


Amiloid Infiltrasi ke sumsum Diskrasia sel plasma
tulang
Antibodi Anemia hemolitik Leukemia limfositik kronik
autoimun Limfoma
Adenokarsinoma
Protein Anemia hemolitik Keganasan saluran cerna (musin)
prokoagulan mikroangiopatik Kanker prostat

2.3. Peranan Hepsidin pada Anemia Penyakit Keganasan


2.3.1. Struktur hepsidin

Hepsidin manusia berhasil diisolasi di plasma oleh Krause et al pada tahun

2000 yang disebut dengan istilah liver-expressed antimicrobial peptide-1 (LEAP-

1) (Ganz, 2003). Kemudian pada tahun 2001 hepsidin manusia telah berhasil

diidentifikasi di urine oleh Park dkk. dan diberi nama hepatic bactericidal protein

(hepsidin), karena disintesis di liver (hep- dari liver/hepatic) dan kemampuan

antibakteri in vitro (-cidin dari baktericidal) (Park dkk., 2001; Ganz, 2003; Leong

dan Lonnerdal, 2004). Meskipun hepsidin yang pertama diisolasi dari urine dan

plasma, namun ekspresi mRNA hepsidin terutama dijumpai di hati baik pada tikus

maupun manusia (Leong dan Lonnerdal, 2004; Ganz dan Nemeth, 2006).
16

Hepsidin umumnya tersusun dari 25 asam amino, namun dapat juga hanya

tersusun dari 20 atau 22 asam amino dengan gugus amino yang lebih pendek

(Ganz, 2003; Leong dan Lonnerdal, 2004; Ganz dan Nemeth, 2006). Pada

manusia hanya ditemukan 1 jenis gen hepsidin (HAMP gene) pada kromosom 19,

namun studi pada tikus menemukan 2 jenis gen hepsidin, Hepc 1 dan Hepc 2,

namun hanya Hepc 1 yang diduga berperan dalam metabolisme besi. Prekursor

awal dari hepsidin yang dikode oleh mRNA berukuran 0.4 kb berupa propeptida

(preprohepsidin) yang tersusun dari 84 asam amino, kemudian dipecah oleh enzim

peptidase menjadi prohepsidin dengan 60 asam amino, dan diproses lebih lanjut

oleh furin dan proprotein convertase membentuk hepsidin, suatu peptida yang

tersusun dari 20, 22 atau 25 asam amino (Park dkk., 2001; Leong dan Lonnerdal,

2004; Ganz dan Nemeth, 2006; Babitt dan Lin, 2010; Coyne, 2011).

Studi dengan spektrometri menunjukkan struktur hepsidin seperti pengikat

rambut, di mana kedua sisinya dihubungkan dengan ikatan disulfida. Secara

keseluruhan, hepsidin mempunyai empat ikatan disulfida intramolekuler dan

delapan gugus sistein (yang saling dihubungkan oleh ikatan disulfida) membentuk

struktur seperti tangga, seperti terlihat pada Gambar 2.3 (Ganz, 2003). Selain itu,

terdapat pemisahan lokasi antara gugus hidrofobik dan gugus hidrofilik pada

hepsidin, yang dikenal dengan istilah struktur ambifatik, di mana gugus

hidrofobik terletak pada sisi yang konveks dan gugus hidrofilik pada sisi yang

konkaf Struktur ambifatik dari hepsidin dan adanya ikatan disulfida, yang

merupakan ciri khas dari peptida antimikroba lainnya, menyebabkan hepsidin

mempunyai sifat antimikroba (Deicher dan Horl, 2004; Ganz, 2006; Ganz dan

Nemeth, 2009).
17

Gambar 2.3 Struktur hepsidin (Ganz, 2003)

Namun, secara in vitro, hepsidin hanya menunjukkan kapasitas anti

mikroba yang sederhana dan baru timbul pada konsentrasi hepsidin yang sangat

tinggi (10-30 uM), sedangkan kapasitas anti mikroba hepsidin secara in vivo

masih perlu diteliti lebih lanjut (Ganz dan Nemeth, 2009).

Studi menunjukkan bahwa ujung amino dari hepsidin berperan peting

untuk regulasi besi. Selain itu, bentuk hepsidin dengan gugus amino yang lebih

pendek (20 asam amino) ternyata merupakan bentuk yang tidak aktif, hal ini

menunjukkan bahwa gugus amino juga berperan untuk interaksi hepsidin dengan

reseptornya (Ganz dan Nemeth, 2009).

2.3.2 Peran hepsidin pada hemostasis besi

Pengeluaran besi dari monosit/makrofag dikendalikan oleh peptide hepsidin.

Saat ini hepsidin telah dianggap sebagai regulator utama homeostasis besi (Weiss,

2008). Hepsidin sebagian besar diproduksi oleh sel-sel hepatosit berdasarkan

posisi strategis mereka dimana hulu penyerapan besi pada vena portal dan dekat

dengan sel Kupffer merupakan posisi yang berfungsi mendaur ulang besi serta

fungsi mereka sebagai penyimpanan besi (Gambar 2.4). Hepsidin juga dihasilkan
18

oleh beberapa sel-sel lain dalam jumlah terbatas seperti: sel-sel myeloid dan ginjal

(Drakesmith, 2008; Weiss, 2009; Rivella dan Crielaard, 2014).

feroportin feroportin
feroportin
feroportin feroportin feroportin
] iron iron

iron
iron
iron

Gambar 2.4 Hepsidin sebagai regulator homeostasis besi. A. Peningkatan hepsidin pada hati
akibat respon inflamasi. Kadar hepsidin yang tinggi akan merangsang terjadinya
internalisasi dan degradasi besi ferroportin. Kehilangan sel permukaan ferroportin akibat
keluarnya besi makrofag, rendahnya kadar besi plasma, penurunan eritropoesis akibat
menurunnya ikatan transferin dan besi, menyebabkan terjadinya anemia penyakit kronik.
B. Jika kadar hepsidin normal, dalam respon terhadap permintaan besi, mengatur kadar
masuknya besi ke plasma, terjadi saturasi transferin yang normal dan normal eritropoesis.
C. Hemokromatosis atau kelebihan besi akibat kadar hepsidin yang kurang menyebabkan
peningkatan besi ke plasma, saturasi transferin yang tinggi dan kelebihan penyimpanan besi
di hati. (Abbaspour dkk., 2014)

Setelah disekresi, hepsidin beredar untuk waktu yang terbatas dalam

plasma, baik dalam bentuk ikatan dengan protein maupun dalam bentuk bebas

sampai terdegradasi atau diekskresi oleh ginjal. Waktu paruh hepsidin dalam

plasma relatif singkat sekitar 2-3 jam, memudahkan sistem umpan balik yang

cepat terhadap perubahan ketersediaan besi. Hepsidin bekerja secara langsung

pada ferroportin sehingga dapat mengatur pelepasan zat besi yang diserap oleh

enterosit, penyimpanan besi pada hepatosit, dan daur ulang besi oleh makrofag.

Setelah berikatan dengan hepsidin, ferroportin diinternalisasi dan terdegradasi

dengan mediasi ubiquitin, sehingga menghalangi pengeluaran besi dari dalam sel

(Gambar 2.4) (Weiss, 2009; Min Xu, 2010; D’Angelo G, 2013; Rivella dan
19

Crielaard, 2014). Mekanisme ini akan menahan besi dalam makrofag dan

hepatosit, mengurangi kadar zat besi pada plasma secara aktif dan menghalangi

penyerapan pada usus dengan menghambat transportasi besi dari enterosit

duodenum. Ketika kadar besi tidak adekuat, ekspresi hepsidin dikurangi dan

degradasi ferroportin tidak terstimulasi lagi, sehingga memungkinkan terjadinya

pengeluaran besi oleh sel yang mengekspresikan ferroportin. Mekanisme ini akan

memperbaiki penyerapan dan daur ulang serta mobilisasi besi dari penyimpanan

ferritin intraseluler (Rivella dan Crielaard, 2014).

Regulasi ekspresi hepsidin yang bergantung pada besi diatur oleh bone

morphogenetic protein (BMP) 6 yang berasal dari hati dan usus. Setelah

pengikatan BMP 6 ke hemojuvelin (HJV) dan reseptor BMP pada membran

hepatosit, terjadi fosforilasi kompleks S-Mothers Against Decapentaplegic

(SMAD)1,5,8 yang akhirnya mengaktifkan promoter ekspresi gen hepsidin

(HAMP) (gambar 2.5) (Rivella dan Crielaard, 2014).

Secara paralel, protein High Iron FE (HFE) yang terkait erat dengan

protein Major Histocompatibility Complex (MHC)-I diekspresikan pada

permukaan sel secara luas, meregulasi ekspresi hepsidin melalui TfR. Pada

kondisi besi yang rendah, HFE secara dominan berikatan dengan TfR1 serta

secara aktif berkompetisi dengan Transferrin (Tf) mono dan biferric. Apabila

kadar besi plasma dan saturasi Tf tinggi, HFE digantikan oleh TfR2, kemudian

mengaktifkan transkripsi HAMP dan ekspresi hepsidin (Rivella dan Crielaard,

2014; Beaumont, 2010). Matriptase-2 (MT-2) yang dikode oleh transmembrane

protease serine 6 (TMPRSS6) juga terlibat dalam jalur ini dengan membelah HJV

pada permukaan sel secara aktif sehingga membatasi ekspresi hepsidin yang

dimediasi BMP (Rivella dan Crielaard, 2014).


20

Gambar 2.5. Regulasi Hepsidin yang Bergantung pada Besi dan Regulasi
yang tidak Bergantung pada Besi (Rivella dan Crielaard, 2014)

Terdapat dua mekanisme regulasi lain yang mengatur ekspresi hepsidin

tanpa tergantung pada kadar besi plasma. Mekanisme pertama adalah

peningkatan aktivitas erythropoiesis baik dalam situasi fisiologis maupun

patologis seperti pada respon terhadap terjadinya anemia yang menyebabkan

ekspresi hepsidin menurun dalam kondisi besi plasma yang cukup atau bahkan

tersedia secara berlebihan. Beberapa molekul yang berperan dalam regulasi ini

adalah growth differentiation factor 15, twisted gastrulation protein homolog 1

dan erythroferrone (Drakesmith H dan Prentice AM, 2012; Rivella dan Crielaard,

2014).
21

Mekanisme kedua adalah peningkatan ekspresi hepsidin pada kondisi

inflamasi dikaitkan dengan IL 6. Setelah aktivasi sensor Parathyroid

Hormone/Parathyroid Hormone Related Protein Receptor P(PPR), sekresi IL 6

menginduksi ekspresi hepsidin dan melepaskannya dari hepar. Mekanisme

kerjanya adalah dengan berikatan langsung ke ferroportin, sehingga menyebabkan

terjadinya hypoferremia. Retensi besi sistemik ini berfungsi untuk menurunkan

besi dalam sirkulasi yang dapat digunakan oleh patogen ekstraseluler. Selain itu,

protein janus kinase (JAK)-2 teraktifasi sehingga menyebabkan fosforilasi

ferroportin dan faktor transkripsi Signal Tranducer and Activator of Transcription

(STAT)3 (Redig, 2013). Transkripsi hepsidin distimulasi melalui interaksi antara

STAT3 dengan promoter HAMP, meskipun dalam kondisi kadar besi yang

rendah. Proses inflamasi terkait kompleks protein aktivin B telah terbukti

menstimulasi regulasi hepsidin melalui aktivasi SMAD1,5,8 (Rivella dan

Crielaard, 2014).

Pada kondisi inflamasi terjadi peningkatan sintesis hepsidin oleh

makrofag. Hal ini diduga akibat rangsangan oleh lipopolisakarida dan bakteri

patogen tertentu melalui Toll-like receptors (TLR) dan diduga melibatkan jalur IL

6/ STAT3. Peningkatan sintesis hepsidin ini akan menurunkan ekspresi

ferroportin di permukaan sel secara autokrin. Meskipun jumlahnya lebih sedikit

dibandingkan hati, peningkatan sintesis hepsidin di makrofag pada kondisi infeksi

akan berperan pada mekanisme pertahanan tubuh dengan menghambat

ketersediaan besi untuk mikroorganisme patogen (Babitt dan Lin, 2010). Studi

pada manusia oleh Nemeth dkk., tahun 2003, menemukan bahwa sintesis

messenger Ribonucleic Acid (mRNA) hepsidin dapat meningkat akibat


22

rangsangan IL 6, tapi tidak dipengaruhi oleh IL 1 atau TNF α, hal ini

menunjukkan bahwa hepsidin adalah reaktan fase akut tipe II. Terdapat 2 tipe

respon protein fase akut yang dihasilkan oleh hepatosit; di mana respon tipe I

diinduksi oleh golongan sitokin IL 1 (IL 1α, IL 1β, TNF α dan TNF β) dan

meningkatkan produksi amyloid A serum, C-reactive protein, dan komplemen C3,

sedangkan respon tipe II diinduksi oleh sitokin IL 6 dan meningkatkan sintesis

fibrinogen, haptoglobin, dan α1-antitrypsin. Sintesis hepsidin akan meningkat

dalam 8 jam setelah induksi oleh IL 6 dan lipopolisakarida, namun tidak

dipengaruhi oleh IL 1α dan TNF α. Dalam waktu 24 jam setelah pemberian

sitokin, sintesis mRNA hepsidin akan diinduksi oleh IL 1α, namun hal ini diduga

akibat efek tidak langsung IL 1 yang menginduksi sintesis IL 6 oleh sel hepatosit.

Pendapat ini ditunjang oleh hasil studi bahwa penambahan antagonis reseptor IL 1

pada media yang mengandung sel monosit dengan lipopolisakarida tidak

mengurangi ekspresi hepsidin. Hal ini menunjukkan bahwa IL 1 bukan

merupakan mediator langsung dari sintesis hepsidin (Nemeth dkk., 2003).

Hipoksia merupakan inhibitor yang poten dari ekspresi hepsidin, meskipun

tanpa anemia (Babitt dan Lin, 2010). Penurunan sintesis hepsidin pada kondisi

hipoksia dapat menjelaskan adanya peningkatan pelepasan besi dari sistem

retikuoendotelial dan peningkatan absorpsi besi di usus selama kondisi hipoksia,

sehingga menyediakan cadangan besi yang cukup untuk proses eritropoiesis.

Penurunan sintesis hepsidin ini diduga terjadi melalui jalur Hypoxia-Inducible

Factor (HIF) yang mempengaruhi ekspresi hepsidin (Ganz dan Nemeth, 2009).

Penelitian yang dilakukan Ashby dkk. di London tahun 2010, menunjukkan

penurunan bermakna kadar hepsidin plasma yang dimulai 24 jam setelah


23

pemberian eritropoietin subkutan, mendekati maksimal pada hari ketiga dan

membaik secara bertahap setelah 2 minggu. Penurunan ekspresi hepsidin oleh

eritropoietin diduga terjadi akibat peningkatan aktivitas sumsum tulang yang

diduga melalui 3 mekanisme, di mana pendapat ini berdasarkan data bahwa

penekanan sumsum tulang oleh obat-obatan sitostatika atau radiasi akan

menghilangkan respon ini. (Ashby dkk., 2010, Babitt dan Lin, 2010).

Suplementasi besi meningkatkan kadar hepsidin secara akut. Pada penelitian yang

dilakukan oleh Diego Moretti dkk pada tahun 2015, menunjukan bahwa terjadi

peningkatan pada hepsidin yang bermakna 24 jam setelah pemberian ≥ 60 mg

FeSO4 (Moretti dkk, 2015).

2.4 Peranan TNF α pada Keganasan

Hingga saat ini hubungan antara kondisi inflamasi dan keganasan belum

dapat dijelaskan secara terperinci, dimana pada beberapa keganasan, kondisi

inflamasimuncul sebelum proses keganasan dan sebaliknya pada proses

keganasan yang lain, bahan onkogen justru memicu terjadinya inflamasi yang

akan membantu pertumbuhan dan perkembangan tumor (Mantovani dkk., 2008).

Inflamasi adalah bagian dari respon host terhadap rangsangan lingkungan baik

internal maupun eksternal. Respon ini berfungsi untuk menetralkan hasil yang

dikeluarkan oleh rangsangan tersebut terhadap host. Respon ini bisa pirogenik,

seperti demam. Ketika peradangan akut atau demam dimanifestasikan untuk

jangka waktu yang singkat, ia memiliki konsekuensi terapeutik. Namun, inflamasi

kronis dikaitkan untuk berbagai hal yang terlibat dalam pembentukan tumor,

termasuk transformasi seluler, promosi, kelangsungan hidup, proliferasi, invasi,

angiogenesis dan metastasis (Schetter dkk., 2010).


24

Sitokin merupakan suatu molekul mediator untuk respon imun dan

peradangan. Molekul-molekul ini mempunyai fungsi seluler yang sangat luas dan

terstimulasi ketika homeostasis jaringan berubah. Sitokin dapat di kelompokkan

menjadi pro-inflammatory (IL 1, IL 6, IL 15, IL 17, IL 23, dan TNF α), atau anti-

inflammatory (IL 4, IL 10, IL 13, transforming growth factor (TGFβ) dan

interferon (IFNα). Bergantung pada keseimbangannya, sitokin menghasilkan efek

sebagai pro atau anti-tumorigenik (Schetter dkk., 2010).

TNF α telah ditemukan 30 tahun yang lalu, dan merupakan suatu sitokin

pro-inflammatory yang mempunyai peranan penting dalam sistem imunitas,

proses peradangan, serta mengontrol proliferasi, diferensiasi, dan apoptosis dari

sel. Pertama kali diidentifikasi sebagai sitokin anti-tumor pada sistem imunitas

innate dan adaptif. TNF α diperlukan juga untuk proliferasi dan fungsi yang

normal dari NK cells, sel T, sel B, makrofag, dan sel dendrit, serta bertindak

sebagai molekul yang penting dalam menghancurkan tumor tertentu. Akan tetapi

bukti yang terbaru menunjukkan bahwa TNF α merupakan suatu mediator utama

pada cancer-related inflammation dan juga berperan sebagai tumour-promoting

factor. TNF α pada awalnya diidentifikasi sebagai faktor yang memicu terjadinya

nekrosis pada tumor yang ditranplantasikan pada tikus tetapi saat ini sudah

diputuskan sebagai salah satu sitokin proinflamasi yang terlibat dalam respon

imun innate (Wu dan Zhou, 2010).

TNF α mempunyai peran yang bimodal pada perkembangan tumor.

Pemberian lokal dengan dosis yang tinggi dari TNF α memiliki efek

antiangiogenik dan mempunyai efek anti tumor yang sangat kuat, di sisi lain TNF

α yang dihasilkan secara kronik di dalam microenvironment tumor dapat

meningkatkan pertumbuhan dan sifat invasif tumor dengan memicu


25

sitokin/kemokin lain yang terlibat di dalam progresi tumor (seperti IL 6 dan

CCL2), faktor proangiogenik (seperti VEGF, basic fibroblast growth factors,

CXCL8 dan thymidine phosphorilase) dan matrix metalloproteinases (MMPs).

Suatu bukti peran TNF α dalam malignansi terlihat dari percobaan pada tikus

dengan TNF α dan TNFR yang telah di knockout akan resisten terhadap skin

carcinogenesis (Madhusudan dkk., 2005; Sasu, 2010).

TNF α dikenal sebagai salah satu sitokin yang mempunyai banyak

kegunaan dan menghasilkan efek yang berbeda-beda antara lain, dapat bertindak

sebagai mediator normal pada homeostasis jaringan. Walaupun pertama kali

diduga sebagai produk dari makrofag, TNF-α juga diduga dihasilkan oleh

berbagai jenis sel tumor, termasuk sel B limfoma, sel T limfoma,

megakaryoblastik leukemia, akut myeloblastik leukemia (AML), kronik limfositik

leukemia, kanker payudara, karsinoma kolon, karsinoma paru, skuamous sel

karsinoma, karsinoma ovarium, cervical epithelial ovarian cancer, glioblastoma,

dan neuroblastoma TNF α mempunyai peranan yang penting pada hubungan

peradangan dengan keganasan. TNF α berperan dalam pertumbuhan dan

perubahan struktur jaringan sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan tumor dan

metastasis. TNF α juga dapat menginduksi produk sitokin lain, faktor angiogenik,

dan MMPs, dimana semuanya dapat meningkatkan ukuran tumor dan

kelangsungan hidup sel tumor (Wu dan Zhou 2010).

2.4.1 Struktur TNF α

TNF α termasuk salah satu dari sembilan sitokin proinflamasi yang

memiliki peranan dasar pada inflamasi dan pertahanan tubuh host. TNF α manusia

merupakan polipeptida 26 kDa yang aktif secara biologis sebagai protein


26

transmembran dan terdapat pada berbagai macam permukaan sel hematopoetik

dan non-hematopoetik. TNF α ditemukan dalam dua bentuk yaitu larut dan dalam

bentuk yang berikatan dengan membran. Ekspresi yang berlebihan ditemukan

pada penyakit inflamasi kronik seperti penyakit Crohn, kolitis ulseratif dan pada

kanker. Saat ini terdapat banyak penelitian yang meneliti mengenai terapi

beberapa penyakit dengan anti TNF, termasuk anti TNF antibody, Reseptor TNF

dan molekul inhibitor.

Signal TNF α akan melalui 2 reseptor yaitu TNFR1 (juga dikenal sebagai

p55 atau TNFRSF1A) dan TNFR2 (juga dikenal dengan p75 atau TNFRSF1B)

yang menstimulasi dua jalur intraseluler yang berbeda (Gambar 2.6). TNFR1

diekspresikan pada hampir seluruh sel, tetapi ekspresi TNFR2 hanya terbatas pada

tipe sel tertentu saja seperti limfosit T, sel endotel, oligodendrosit dan beberapa

neuron subtipe tertentu. Bagian ekstraseluler pada kedua reseptor sama bagian

sitoplasmanya berbeda. TNFR1 memiliki wilayah kematian yang juga

menimbulkan interaksi dengan wilayah lain yang terdiri atas protein TNFR1-

associated death domain (TRADD) dan Fas-associated death domain (FADD)

sedangkan TNFR2 tidak. Variasi pada komponen sitoplasma memicu terjadinya

interaksi dengan protein yang berbeda dan hal ini akan menghasilkan reaksi

seluler yang juga berbeda. Hampir sebagian besar signal yang melalui TNF

αmelalui TNFR1, karena resptor ini diekspresikan dimana-mana. Aktivasi

TNFR1, akan memicu terjadinya apoptosis melalui TRADD, FADD dan

inflamasi. Di sisi lain TNFR2 merekrut TNF-receptor associated factors (TRAF)2

dan TRAF1 dan mengaktifkan NF-κB survival genes. Sejak TNFR2 tidak

memiliki wilayah kematian, reseptor ini tidak dapat berinteraksi dengan wilayah
27

kematian yang mengandung adaptor TNFR1 dan TNFR2 dan memiliki fungsi

yang tumpang tindih. Struktur tiga dimensi pada komples TNF α dan TNFR2

sudah dapat diidentifikasi tetapi komplek TNF α dengan TNFR1 belum

dipecahkan. Interaksi itu dibuat dalam PRISM. Seperti terlihat pada gambar,

ikatan interaksi dari TNF α dengan reseptornya hampir seluruhnya tumpang tindih

dan kedua interaksi bersifat kompetitif, dan juga TRADD direkrut ke reseptor atau

TRAF2 (Maiorov dkk., 2014).

TNF merupakan sitokin utama pada respons inflamasi akut. Infeksi yang

berat dapat memicu produksi TNF dalam jumlah besar yang menimbulkan reaksi

sistemik. TNF disebut TNF α atas dasar historis dan untuk membedakannya dari

TNF β atau limfotoksin. TNF α dan β secara struktur berhubungan, mengikat

reseptor seluler yang sama, dan menghasilkan perubahan biologi yang mirip pada

berbagai sel. TNF α diproduksi oleh neutrofil, limfosit yang diaktifkan, makrofag

sel NK, dan beberapa sel non limfoid seperti astrosit, sel endotel dan sel otot

polos, sementara TNF β nampaknya hanya diproduksi oleh sel T (Detrick dkk.,

2008). Lipopolisakarida merupakan rangsangan poten untuk mensekresi TNF.

IFN-γ yang diproduksi oleh sel T dan sel NK juga merangsang makrofag antara

lain meningkatkan sintesis TNF. Pada kadar rendah, TNF bekerja terhadap

leukosit dan endotel, menginduksi inflamasi akut. Pada kadar sedang, TNF

berperan dalam inflamasi sistemik. Pada kadar tinggi, TNF menimbulkan kelainan

patologik syok septik.

TNF memiliki efek biologik antara lain, pengerahan neutrofil dan monosit

ke tempat infeksi serta mengaktifkan sel-sel tersebut untuk menyingkirkan

mikroba, memacu ekspresi molekul adhesi sel endotel vaskular terhadap leukosit,
28

merangsang makrofag mensekresi kemokin dan menginduksi kemotaksis dan

pengerahan leukosit, merangsang fagosit mononuklear untuk mensekresi IL-1

dengan efek seperti TNF, merangsang hipotalamus yang menginduksi panas dan

oleh karena itu disebut pirogen endogen.

Panas ditimbulkan atas pengaruh prostaglandin yang diproduksi sel

hipotalamus yang dirangsang TNF dan IL-1. Inhibitor sintesis prostaglandin

seperti aspirin, menurunkan panas. TNF seperti halnya dengan IL-1 dan IL-6

meningkatkan sintesis protein serum tertentu oleh hepatosit (Baratawidjaja, 2006).

TNF α merupakan protein dengan berat molekul 26 kDA yang

disekresikan terutama oleh sel limfosit dan makrofag yang teraktifasi. TNF α

merupakan sitokin yang pleotropik dan berperan secara kompleks pada inflamasi

dan metabolisme (Bradley, J.R., 2008). TNF α berikatan pada dua reseptor

berbeda pada permukaan sel yaitu TNFRI dan TNFRII. Dilaporkan bahwa IL-6

dapat meningkatkan efek dari TNF α. Dalam mekanisme eritropoesis TNF α

berperan menghambat eritropoesis secara langsung maupun tidak langsung

(Morceau dkk 2009)

Gambar 2.6 Struktur TNF α. TNFR1 and TNFR2 berikatan dengan


tempat yang sama dengan TNF α (Maiorov dkk., 2014)
29

Gambar 2.7 Jalur Mekanisme TNF α pada terjadinya


inflamasi (Morceau dkk 2009)

2.4.2 Mekanisme kerja TNF α

Bukti bahwa TNF α menghambat efek diferensiasi eritroid sudah diketahui

sejak 30 tahun yang lalu. Pada tahun 1987, Blick et al mengobservasi penurunan

sintesis hemoglobin pada pasien kanker yang mendapat terapi TNF α, dimana

pada penelitian in vitro memperlihatkan bahwa TNF α, menghambat pembentukan

sel BFUE. Selanjutnya Xiao dkk, melaporkan TNF α menghambat sel

glycophorin A+ yang berhubungan dengan penghambatan eritropesis. Selain itu

perbaikan kondisi anemia juga terlihat pada pasien dengan anemia pada penyakit

kronik yang mendapat terapi anti TNF. Penurunan produksi epo sebagian

disebabkan oleh efek sitokin pro inflamasi termasuk TNF α. La Ferla dkk

melaporkan inhibisi eritropoetin melalui pada sel Hep G2 merupakan akibat over

ekspresi GATA 2 dan NF-κB. Dilengkapi oleh Imagawa dkk, yang

memperlihatkan inhibisi pada produksi eritropoetin yang dimediasi oleh TNF α

merupakan akibat over ekspresi GATA 2. Bagaimanapun juga, TNF α

menghambat diferensiasi eritroid termasuk sel progenitor. Suatu penelitian pada

pasien leukemia limfositik kronik, memperlihatkan pengaruh supresif langsung


30

pada perkembangan eritroid pada stadium awal eritropoesis, akibat terjadinya

defek intrinsik pada prekursor eritroid untuk berespon terhadap stimulasi

eritropoetin.

Penelitian oleh Rusten dan Jacobsen pada tahun 1995 memperlihatkan

untuk pertama kalinya bahwa Inhibisi terhadap pembentukan eritrosit secara

langsung. Dengan menggunakan BFU E koloni yang distimulasi oleh kombinasi

sitokin, ditemukan bahwa efek inhibisi oleh TNF α dimediasi paling dominan oleh

reseptor p55 TNF. Hasil ini berimplikasi terhadap terjadinya transkripsi NFκB,

aktivasi produk TNFα/TNFR1 pada inhibisi terhadap gen spesifik. Di sisi lain,

TNF α menghambat produksi hemoglobin pada sel aclacinomycin yang

menginduksi K562. Aclanomycin adalah merupakan anthracyclin yang dapat

menyebabkan peningkatan ekspresi GATA 1, NF E2 yang merupakan kunci dari

faktor transkripsi dari eritropoesis. Lebih jauh lagi, penelitian pada K562 dan sel

HEL menyebutkan GATA 1 sebagai kunci target inhibisi TNF α. Sebagai

tambahan sitokin menginduksi penurunan ekspresi FOG 1, yang merupakan

kofaktor penting GATA 1, penekanan GATA 1 oleh degradasi proteasomal dan

menurunnya kadar asetilasi GATA 1, saat faktor transkripsi GATA 2 over

ekpresi. Hambatan pada reseptor eritropoetin, α dan γ globin, erythroid associated

factor (ERAF), hydroxymethylbilane synthetase (HMBS), and glycophorin A

(GPA) erythro-specific genes, ditemukan pada Epo-dependent TF-1 cell line.

Hasil tersebut sesuai dengan penurunan pembentukan kompleks GATA 1/FOG 1

dan peningkatan yang signifikan fosforilasi P38MAPK. Hambatan pada p38

menyebabkan hambatan pada TNF α pada GATA 1 dan juga ekspresi γ globin

pada eritropetin yang diinduksi sel TF 1 (Morceau dkk 2009).


31

Pada cara yang tidak langsung TNF α mengaktivasi faktor transkripsi yaitu

NF-κB and GATA-2, dimana terlibat pada penghambatan produksi eritropoetin

dengan menghambat HIF1α pada in vitro. Kadar Eritropoetin yang rendah akan

menurunkan signal terhadap reseptor eritropoetin, penurunan GATA 1 dan

penurunan ekspresi eritropoetin. Efek langsung TNF α melalui reseptor TNFR 1/2

juga dijelaskan. Aktivasi jalur NF-κB (p50/p65) menghambat ekspresi gen

eritrospesifik sebagai gen globin. TNFα juga dapat mengaktifkan GATA 2, yang

overekspresi dikenal untuk memicu terjadinya eritropoesis terutama pada

megakariopoiesis. TNFα menghambat GATA 1 pada K562, HEL, sel TF1.

Ekspresi GATA 1 dipengaruhi oleh asetilasi dan interaksi dengan FOG1 yang

kemudian didegradasi oleh proteasome. Lebih jauh lagi, TNF α memperlihatkan

stimulasi terhadap fosforilasi p38MAPK dalam hubungannya dengan penurunan

ekspresi gen γ-globin saat eritropoetin memiliki efek yang terlambat pada aktivasi

kinase. Kombinasi efek TNFα menghasilkan penurunan pada ekspresi gen

eritrospesifik dan produksi hemoglobin (Morceau dkk 2009).

Gambar 2.8 Mekanisme TNF α melalui jalur langsung dan


tidak langsung (Morceau dkk 2009)
32

2.5 Hubungan antara Hepsidin dan TNF α

Sintesis hepsidin dapat meningkat pada kondisi infeksi dan inflamasi,

melalui mekanisme yang tidak tergantung pada status besi tubuh dan aktivitas

eritropoiesis (Ganz, 2006). IL-6 telah terbukti dominan dalam meningkatkan

sintesis hepsidin pada inflamasi akut, melalui mekanisme transkripsi yang

tergantung signal transducer and activator of transcription 3 (STAT3) (Ganz dan

Nemeth, 2009). Terikatnya IL-6 pada reseptornya menyebabkan aktivasi janus

kinase (JAK) dan fosforilasi STAT3, suatu signaling molecule intraseluler, seperti

terlihat pada Gambar 2.13. STAT3 yang terfosforilasi akan mengalami dimerisasi

dan translokasi ke nukleus, yang selanjutnya akan berinteraksi dengan elemen

DNA di proksimal promoter hepsidin. Induksi sintesis hepsidin melalui IL-6 ini

membutuhkan jalur BMP-Smad yang utuh, di mana mutasi pada elemen BMP

proksimal akan mengganggu proses induksi sintesis hepsidin oleh IL-6 Hasil

studi eksperimental dengan model tikus maupun manusia, menunjukkan kerja IL-

6 pada sel hepatosit untuk meningkatkan produksi hepsidin. (Cheng dkk., 2009;

Babitt dan Lin, 2010).

Studi pada manusia yang diberikan infus lipopolisakarida, akan

menyebabkan peningkatan ekskresi hepsidin di urine (Ganz dan Nemeth, 2006).

Selain itu, studi pada manusia yang diberikan infus dengan IL 6, ekskresi hepsidin

di urine akan meningkat 7,5 kali lipat dalam waktu 2 jam setelah pemberian infus,

yang diikuti penurunan kadar besi serum dan saturasi transferrin sebesar 30%

(Ganz, 2006). Studi lain menunjukkan bahwa penambahan antibodi terhadap IL 6

pada kultur sel hepatosit akan menghilangkan secara penuh respon peningkatan

hepsidin akibat rangsangan lipopolisakarida. Dengan demikian, di antara sitokin-


33

sitokin yang dihasilkan oleh makrofag akibat rangsangan lipopolisakarida, IL 6

adalah sitokin yang paling berperan (Nemeth dkk., 2004).

Namun suatu studi pada tikus menunjukkan bahwa tikus tanpa IL 6 yang

mengalami inflamasi kronik, ternyata tetap terjadi peningkatan mRNA hepsidin,

sehingga diduga ada sitokin lain yang dapat mempengaruhi produksi hepsidin,

yaitu IL 1 yang telah ditemukan mampu meningkatkan mRNA hepsidin melalui

mekanisme yang tidak tergantung IL 6. Namun, masih diperlukan studi lebih

lanjut pada manusia (Ganz dan Nemeth, 2009). Selain IL 1, transforming growth

factor-β (TGF-β) juga ditemukan mengatur sintesis hepsidin pada tikus, namun

perannya pada manusia belum berhasil dibuktikan (Ganz, 2006).

Di lain pihak, sitokin TNF α memiliki peranan sangat besar dan

mekanisme yang kompleks dalam memicu terjadinya anemia pada penyakit

keganasan. Namun pengaruhnya terhadap hepsidin masih belum konsisten. Studi

pada manusia oleh Nemeth dkk., tahun 2003, menemukan bahwa sintesis mRNA

hepsidin dapat meningkat akibat rangsangan IL 6, tapi tidak dipengaruhi oleh IL 1

atau TNF α. Studi lain pada manusia, justru menunjukkan bahwa kadar mRNA

hepsidin dapat dihambat oleh TNF-α melalui mekanisme yang tidak melibatkan

IL 6 (Nemeth dkk., 2004). IFN-β juga ditemukan dapat menghambat transkripsi

hepsidin pada sel hepatosit tikus (Lee dkk., 2004). Namun suatu penelitian

terhadap gen hemojuvelin atau yang dikenal sebagai RGMc dan HFE2

menyebutkan peranan TNF α terhadap meningkatnya produksi hepsidin. Mutasi

pada Hemojuvelin dapat menyebabkan terjadinya hemokromatosis juvenil, dan

berbagai kondisi kelebihan besi, tetapi mekanismenya masih belum jelas.

Penelitian tahun 2005 ini, dengan menggunakan tikus, diperoleh penurunan


34

ekspresi hemojuvelin namun secara simultan juga meningkatkan kadar hepsidin

setelah pemberian IL 6 maupun TNF α yang menyerupai rangsangan

lipopolisakarida.

Gambar 2.9 Peranan penting hemojuvelin pada jalur yang tergantung besi.
(A)Model pada tikus liar dan sudah mengalami mutasi hemojuvelin. Pada tikus liar,
panah hijau menandakan respon jika terdapat kadar besi yang tinggi, dan panah
merah jika kadar besi rendah. Mekanisme ini akan menjaga homeostasis besi. Pada
mutasi hemojuvelin, sensitivitas terhadap besi menjadi terganggu, sehingga
walaupun besi tinggi, hepsidin tetap rendah sehingga terjadi kelebihan besi dan
hemokromatosis. (B) Model B menggambarkan kondisi pengaruh inflamasi akut
pada mekanisme sensitivitas besi. Sitokin fase akut baik IL 6 maupun TNF α,
menurunkan ekspresi hemojuvelin dan secara simultan merangsang peningkatan
hepsidin sehingga uptake besi akan menurun. (Niederkofler, 2005)

Penelitian lain juga meneliti kaitan antara proses inflamasi terhadap

hemojuvelin dan hepsidin. Diperoleh hasil IL 6 langsung meningkatkan hepsidin

tanpa mempengaruhi ekspresi hemojuvelin, sedangkan TNF α menurunkan

ekspresi hemojuvelin sedangkan efek terhadap hepsidin tidak terlalu jelas terlihat.

TNFα menekan ekspresi hemojuvelin melalui jalur TNFα response element

(TNFRE) dengan promoter hemojuvelin promoter. Sedangkan IL 6 sendiri

memicu ekspresi hepsidin melalui jalur STAT 3. (Salama, 2012).


35

Pada penelitian tahun 2013 pada pasien artritis reumatoid, memperlihatkan

hasil penurunan kadar hepsidin pada terapi yang menghambat TNF α dan IL 6

Dimana diperoleh hasil perbaikan pada kadar anemia, penurunan kadar hepsidin

setelah mendapat dengan anti IL 6 yaitu tocilizumab dan TNF α yaitu infliximab

dalam 2 minggu terapi. Namun dikatakan hasil yang lebih efektif diperoleh pada

kelompok yang mendapat terapi tocilizumab dibandingkan dengan infliximab baik

dalam perbaikan anemia dan perbaikan metabolisme besi. (Song dkk, 2013).

Anda mungkin juga menyukai