TINJAUAN PUSTAKA
sering terjadi dan dapat memperberat kondisi penyakit keganasan itu sendiri.
beragam. Secara umum terbagi atas 2 kelompok besar penyebab anemia pada
keganasan, yaitu yang terkait tumor secara langsung seperti proses inflamasi,
kehilangan darah, hemolisis dan invasi sel ganas ke sumsum tulang dan yang
kedua adalah terkait dengan terapi seperti kemoterapi dan radiasi. Anemia
merupakan kondisi dimana jumlah sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin
per unit volume pada darah perifer sehingga tubuh tidak bisa mengangkut oksigen
yang cukup ke dalam sel terutama pada jaringan perifer (Maccio, dkk., 2015)
perkembangan atau terapi dari kanker itu sendiri. Dari patofisiologinya sendiri,
anemia pada penyakit kanker dapat terjadi akibat penurunan produksi dan
destruksi yang berlebihan dari sel darah merah, kehilangan darah, juga berbagai
faktor kompleks seperti diet yang buruk dan asupan besi yang tidak adekuat.
Ketidakcukupan produksi sel darah merah dapat disebabkan oleh defek pada sel
tulang atau gagal ginjal. Destruksi sel darah merah juga berhubungan dengan
banyak penyebab seperti faktor internal atau obat kemoterapi, autoimun hemolitik
yang diinduksi oleh sel ganas itu sendiri contohnya pada leukemia limfositik
1
7
2
kronis atau sitokin inflamasi. Kehilangan darah mungkin terjadi pada kasus
vitamin B12 dan menurunnya produksi asam folat (Maccio dkk., 2015)
Supresi sumsum tulang merupakan salah satu efek samping dari suatu
terapi tumor, dan munculnya regimen kemoterapi baru dan kombinasi dalam
eritroid dan menyebabkan gangguan melalui kerusakan sel tubulus renal, dimana
aktivasi sistem imun tubuh dan sistem inflamasi yang ditandai dengan
interleukin yang semuanya disebut sitokin, dan dapat juga disebabkan oleh sel
kanker sendiri.
antara lain perdarahan terkait kanker itu sendiri, invasi sel tumor pada sumsum
fungsi ginjal dan fungsi sumsum tulang yang terganggu akibat pengaruh sitokin
normositer dengan penurunan besi serum dan saturasi transferin sedangkan feritin
serum bisa normal atau meningkat. Pada beberapa tahun terakhir ini, inflamasi
terkait kanker merupakan topik yang menarik dan banyak dibahas. Inflamasi
terkait kanker dapat dipicu oleh pelepasan sitokin inflamasi seperti TNF, IL 1,
eritropoetin tetapi juga menghambat pelepasan besi yang disimpan dan proliferasi
dari sel progenitor eritroid. TNF α sendiri memiliki peran yang hampir sama
anemia pada kanker yang tidak terkait dengan kemoterapi (Tabel 2.1) (Gilreath et
al., 2014)
Anemia pada pasien kanker terjadi karena adanya aktivasi sistem imun dan
sistem inflamasi oleh keganasan tersebut, serta beberapa sitokin yang dihasilkan
oleh sistem imun dan inflamasi seperti IFN, TNF α dan IL 1 merupakan faktor
inflamasi yang dapat memicu terjadinya anemia. Sitokin inflamasi IFN γ bersama-
dengan kadar IFN γ dan berhubungan terbalik dengan kadar hemoglobin dan besi.
5
Hubungan ini menandakan adanya hubungan antara aktivasi imun seluler yaitu
makrofag dan anemia pada keganasan. Paparan kronik dari TNF α juga
keganasan dan aktivitas penyakitnya. Pasien dengan penyakit yang aktif kadar
TNF α dikatakan juga meningkat. Pada suatu uji klinis dengan terapi TNF α juga
menimbulkan anemia. Sitokin lain yang juga berperan adalah IL 1, dimana hampir
sama dengan TNF α, memiliki mekanisme kerja yang cukup luas di dalam proses
penyakit kronik lain dan berhubungan dengan terjadinya anemia akibat penyakit
kecepatan produksi dan umur sel eritrosit. Mekanisme yang penting pada anemia
pada keganasan adalah adanya kegagalan relatif dari sumsum tulang dalam
melakukan usaha kompensasi saat terjadi pemendekan umur eritrosit pada pasien
dengan keganasan.
adalah anemia yang dijumpai pada penyakit kronik tertentu yang khas ditandai
sumsum tulang masih cukup (Bakta, 2006). Anemia penyakit kronik biasanya
merupakan anemia derajat ringan hingga sedang (kadar hemoglobin 8-9,5 g/dl)
kronik ditandai dengan rendahnya kadar besi serum, serum transferin yang rendah
atau normal, dengan ferritin normal atau meningkat. Kadar retikulosit sering
rendah sebagai akibat ekspresi dari produksi sel darah merah yang rendah, dan
transferrin dan dapat semakin rendah bila terjadi anemia defisiensi besi dan
penyakit kronik secara bersamaan. Kadar ferritin bisa normal atau meningkat pada
cadangan besi akibat retensi besi pada sistem retikuloendotelial, dan ferritin yang
tinggi juga sering terjadi akibat suatu aktivasi sistem imun. Anemia dengan
gambaran mikrositer sering akibat adanya kondisi defisiensi besi yang bersamaan
digunakan untuk anemia yang diperoleh akibat kondisi klinis yang luas termasuk
pada penyakit kronik merupakan anemia dengan prevalensi tertinggi kedua setelah
anemia defisiensi besi, dan terjadi pada pasien aktivasi imun kronik yang
umumnya dirawat di rumah sakit. Insiden dan prevalensi anemia meningkat ini
dikatakan meningkat berbanding lurus dengan peningkatan usia, dimana pada usia
lebih dari 85 tahun insiden ini meningkat 26,1% pada laki-laki dan 20,1% pada
wanita. Pada konteks ini hemoglobin yang rendah dapat digunakan sebagai
pada usia tua dibagi 3 kelompok yaitu anemia karena defisiensi nutrien tertentu
7
(34%), anemia pada penyakit kronik (20%) dan anemia yang tidak dapat
anemia defisiensi besi yang paling banyak pada usia tua, walaupun pada usia tua
insufisiensi renal, defisiensi hormon seks, kegagalan sumsum tulang dan penyakit
Penyebab anemia pada penyakit kronik ini masih belum dapat dijelaskan
secara lengkap terutama pada usia tua, dan cukup logis dimana suatu stres
kronik. Anemia pada penyakit kronik ini dikatakan dapat meningkatkan risiko
kematian dan perawatan rumah sakit lima kali lebih tinggi, hal ini didapatkan
pada suatu penelitian prospektif pada usia lanjut antara tahun 2003 dan 2007
Korelasi antara inflamasi kronik, anemia dan besi sudah diketahui lebih
dari 50 tahun yang lalu, tetapi baru pada dekade terakhir ditemukan suatu peptida
dari hepsidin dapat menyebabkan terjadinya defisiensi besi dan anemia yang
berat pada percobaan dengan tikus. Kemajuan besar dimulai setelah ditemukan
mekanisme kerja dari hepsidin dan kaitan antara inflamasi dan hepsidin saat ini
8
sudah terbukti. Prototipe yang paling jelas menggambarkan anemia pada inflamasi
kronik cukup tinggi dan beratnya derajat anemia tergantung dari semakin beratnya
ditegakkan bila ditemukan kondisi anemia (Hb < 13 g/dL pada pria atau Hb < 12
g/dL pada wanita) dengan kadar besi serum < 50 mg/dL, TIBC < 350 mg/dL, dan
kadar feritin serum > 20 ug/dL, serta terjadi pada kondisi klinis yang sesuai, yaitu
infeksi kronik (TB paru, bronkiektasis, infeksi jamur kronik, penyakit radang
panggul kronik, osteomielitis kronik, kolitis kronik, infeksi saluran kemih kronik),
inflammatory bowel disease dan keganasan) (Bakta, 2006; Bakta dkk., 2013).
(Roy, 2010).
9
eritropoetin yang diduga diinduksi oleh sitokin, dimana TNF-α dan IFN-ɤ
2005). Pada suatu studi dari 70 pasien dewasa dengan keganasan, termasuk
2008).
adekuat untuk sebagian besar derajat anemia, namun tidak pada seluruh
kinase, proses inilah yang dipengaruhi oleh sitokin. Sitokin-sitokin TNF-α dan
pada pasien anemia penyakit kronik akan menekan pembentukan sel induk
efek toksik langsung dari sitokin tetapi melalui efek pro-apoptotik dari sitokin.
Hal ini ditunjukkan dengan kembali normalnya pertumbuhan sel induk eritroid
kultur sel sumsum tulang tikus dan manusia. Sel induk eritroid yang lebih
(Adamson, 2008).
gangguan homeostasis besi dengan peningkatan ambilan besi dan retensi besi
eritrosit dan terjadi suatu eritropoesis dengan restriksi besi. Pada tikus, dengan
makrofag dan hepatosit. Pada suatu inflamasi kronik pengambilan besi oleh
makrofag yang aktif. Stimuli proinflamasi juga menginduksi retensi besi pada
transfer besi ferrous yang diabsorpsi dari sel enterosit duodenum ke sirkulasi.
respon imun terhadap homeostasis besi pada anemia penyakit kronik. Ekspresi
transgenik dan konstitutif pada anemia defisiensi besi yang berat pada tikus.
Inflamasi yang berat pada tikus tetapi dengan defisiensi hepsidin tidak
dan hepcidin terjadi pada beberapa jam dan hal ini tidak terjadi pada inflamasi
gangguan homeostasis besi, dapat dilihat pada gambar berikut ini.(Weiss dan
Goodnough, 2005)
autoimun akan memicu aktivasi sel T (CD3+) dan monosit. Sel ini akan
akan menstimulasi ekspresi protein fase akut hepsidin di hepar yang akan
Proses ini lebih jauh akan dipicu oleh TNF α melalui kerusakan membran
pengeluaran besi dari makrofag. Proses ini dipengaruhi oleh hepsidin. Pada waktu
menstimulasi penyimpanan dan retensi besi pada makrofag. Jadi secara umum
mekanisme ini akan menurunkan konsentrasi besi pada sirkulasi dan mengurangi
ketersediaan besi untuk sel induk eritroid. Pada Panel D, TNF α dan IFN γ dan
secara langsung menghambat diferensiasi dan proliferasi dari sel induk eritroid.
2.2 Kebanyakan tumor adalah tumor ganas solid, seperti kanker payudara dan
faktor yang menyebabkan anemia, bahwa keganasan ini juga menyebabkan reaksi
fibrosis di dalam sumsum tulang yang akan mengurangi volume rongga sumsum
tulang dan matrix sinusoid. Proses ini dapat menyebabkan gangguan pelepasan sel
darah yang matang dari sumsum tulang sehingga menimbulkan gambaran leuko
eritroblastik dengan sel darah merah dan sel-sel mieloid yang belum matang yang
yang dihasilkan oleh sel kanker itu sendiri. Deposit amiloid pada suatu mieloma
kadang keganasan tumor padat (solid) yang akan menyebabkan anemia hemolitik
mikroangiopati yang dilihat pada sebagian besar keganasan tumor solid dapat
Tabel 2.3. Anemia yang disebabkan oleh produk dari kanker (Saba, 2015).
1) (Ganz, 2003). Kemudian pada tahun 2001 hepsidin manusia telah berhasil
diidentifikasi di urine oleh Park dkk. dan diberi nama hepatic bactericidal protein
antibakteri in vitro (-cidin dari baktericidal) (Park dkk., 2001; Ganz, 2003; Leong
dan Lonnerdal, 2004). Meskipun hepsidin yang pertama diisolasi dari urine dan
plasma, namun ekspresi mRNA hepsidin terutama dijumpai di hati baik pada tikus
maupun manusia (Leong dan Lonnerdal, 2004; Ganz dan Nemeth, 2006).
16
Hepsidin umumnya tersusun dari 25 asam amino, namun dapat juga hanya
tersusun dari 20 atau 22 asam amino dengan gugus amino yang lebih pendek
(Ganz, 2003; Leong dan Lonnerdal, 2004; Ganz dan Nemeth, 2006). Pada
manusia hanya ditemukan 1 jenis gen hepsidin (HAMP gene) pada kromosom 19,
namun studi pada tikus menemukan 2 jenis gen hepsidin, Hepc 1 dan Hepc 2,
namun hanya Hepc 1 yang diduga berperan dalam metabolisme besi. Prekursor
awal dari hepsidin yang dikode oleh mRNA berukuran 0.4 kb berupa propeptida
(preprohepsidin) yang tersusun dari 84 asam amino, kemudian dipecah oleh enzim
peptidase menjadi prohepsidin dengan 60 asam amino, dan diproses lebih lanjut
oleh furin dan proprotein convertase membentuk hepsidin, suatu peptida yang
tersusun dari 20, 22 atau 25 asam amino (Park dkk., 2001; Leong dan Lonnerdal,
2004; Ganz dan Nemeth, 2006; Babitt dan Lin, 2010; Coyne, 2011).
delapan gugus sistein (yang saling dihubungkan oleh ikatan disulfida) membentuk
struktur seperti tangga, seperti terlihat pada Gambar 2.3 (Ganz, 2003). Selain itu,
terdapat pemisahan lokasi antara gugus hidrofobik dan gugus hidrofilik pada
hidrofobik terletak pada sisi yang konveks dan gugus hidrofilik pada sisi yang
konkaf Struktur ambifatik dari hepsidin dan adanya ikatan disulfida, yang
mempunyai sifat antimikroba (Deicher dan Horl, 2004; Ganz, 2006; Ganz dan
Nemeth, 2009).
17
mikroba yang sederhana dan baru timbul pada konsentrasi hepsidin yang sangat
tinggi (10-30 uM), sedangkan kapasitas anti mikroba hepsidin secara in vivo
untuk regulasi besi. Selain itu, bentuk hepsidin dengan gugus amino yang lebih
pendek (20 asam amino) ternyata merupakan bentuk yang tidak aktif, hal ini
menunjukkan bahwa gugus amino juga berperan untuk interaksi hepsidin dengan
Saat ini hepsidin telah dianggap sebagai regulator utama homeostasis besi (Weiss,
posisi strategis mereka dimana hulu penyerapan besi pada vena portal dan dekat
dengan sel Kupffer merupakan posisi yang berfungsi mendaur ulang besi serta
fungsi mereka sebagai penyimpanan besi (Gambar 2.4). Hepsidin juga dihasilkan
18
oleh beberapa sel-sel lain dalam jumlah terbatas seperti: sel-sel myeloid dan ginjal
feroportin feroportin
feroportin
feroportin feroportin feroportin
] iron iron
iron
iron
iron
Gambar 2.4 Hepsidin sebagai regulator homeostasis besi. A. Peningkatan hepsidin pada hati
akibat respon inflamasi. Kadar hepsidin yang tinggi akan merangsang terjadinya
internalisasi dan degradasi besi ferroportin. Kehilangan sel permukaan ferroportin akibat
keluarnya besi makrofag, rendahnya kadar besi plasma, penurunan eritropoesis akibat
menurunnya ikatan transferin dan besi, menyebabkan terjadinya anemia penyakit kronik.
B. Jika kadar hepsidin normal, dalam respon terhadap permintaan besi, mengatur kadar
masuknya besi ke plasma, terjadi saturasi transferin yang normal dan normal eritropoesis.
C. Hemokromatosis atau kelebihan besi akibat kadar hepsidin yang kurang menyebabkan
peningkatan besi ke plasma, saturasi transferin yang tinggi dan kelebihan penyimpanan besi
di hati. (Abbaspour dkk., 2014)
plasma, baik dalam bentuk ikatan dengan protein maupun dalam bentuk bebas
sampai terdegradasi atau diekskresi oleh ginjal. Waktu paruh hepsidin dalam
plasma relatif singkat sekitar 2-3 jam, memudahkan sistem umpan balik yang
pada ferroportin sehingga dapat mengatur pelepasan zat besi yang diserap oleh
enterosit, penyimpanan besi pada hepatosit, dan daur ulang besi oleh makrofag.
dengan mediasi ubiquitin, sehingga menghalangi pengeluaran besi dari dalam sel
(Gambar 2.4) (Weiss, 2009; Min Xu, 2010; D’Angelo G, 2013; Rivella dan
19
Crielaard, 2014). Mekanisme ini akan menahan besi dalam makrofag dan
hepatosit, mengurangi kadar zat besi pada plasma secara aktif dan menghalangi
duodenum. Ketika kadar besi tidak adekuat, ekspresi hepsidin dikurangi dan
pengeluaran besi oleh sel yang mengekspresikan ferroportin. Mekanisme ini akan
memperbaiki penyerapan dan daur ulang serta mobilisasi besi dari penyimpanan
Regulasi ekspresi hepsidin yang bergantung pada besi diatur oleh bone
morphogenetic protein (BMP) 6 yang berasal dari hati dan usus. Setelah
Secara paralel, protein High Iron FE (HFE) yang terkait erat dengan
permukaan sel secara luas, meregulasi ekspresi hepsidin melalui TfR. Pada
kondisi besi yang rendah, HFE secara dominan berikatan dengan TfR1 serta
secara aktif berkompetisi dengan Transferrin (Tf) mono dan biferric. Apabila
kadar besi plasma dan saturasi Tf tinggi, HFE digantikan oleh TfR2, kemudian
protease serine 6 (TMPRSS6) juga terlibat dalam jalur ini dengan membelah HJV
pada permukaan sel secara aktif sehingga membatasi ekspresi hepsidin yang
Gambar 2.5. Regulasi Hepsidin yang Bergantung pada Besi dan Regulasi
yang tidak Bergantung pada Besi (Rivella dan Crielaard, 2014)
ekspresi hepsidin menurun dalam kondisi besi plasma yang cukup atau bahkan
tersedia secara berlebihan. Beberapa molekul yang berperan dalam regulasi ini
dan erythroferrone (Drakesmith H dan Prentice AM, 2012; Rivella dan Crielaard,
2014).
21
besi dalam sirkulasi yang dapat digunakan oleh patogen ekstraseluler. Selain itu,
STAT3 dengan promoter HAMP, meskipun dalam kondisi kadar besi yang
Crielaard, 2014).
makrofag. Hal ini diduga akibat rangsangan oleh lipopolisakarida dan bakteri
patogen tertentu melalui Toll-like receptors (TLR) dan diduga melibatkan jalur IL
ketersediaan besi untuk mikroorganisme patogen (Babitt dan Lin, 2010). Studi
pada manusia oleh Nemeth dkk., tahun 2003, menemukan bahwa sintesis
menunjukkan bahwa hepsidin adalah reaktan fase akut tipe II. Terdapat 2 tipe
respon protein fase akut yang dihasilkan oleh hepatosit; di mana respon tipe I
diinduksi oleh golongan sitokin IL 1 (IL 1α, IL 1β, TNF α dan TNF β) dan
sitokin, sintesis mRNA hepsidin akan diinduksi oleh IL 1α, namun hal ini diduga
akibat efek tidak langsung IL 1 yang menginduksi sintesis IL 6 oleh sel hepatosit.
Pendapat ini ditunjang oleh hasil studi bahwa penambahan antagonis reseptor IL 1
tanpa anemia (Babitt dan Lin, 2010). Penurunan sintesis hepsidin pada kondisi
Factor (HIF) yang mempengaruhi ekspresi hepsidin (Ganz dan Nemeth, 2009).
menghilangkan respon ini. (Ashby dkk., 2010, Babitt dan Lin, 2010).
Suplementasi besi meningkatkan kadar hepsidin secara akut. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Diego Moretti dkk pada tahun 2015, menunjukan bahwa terjadi
Hingga saat ini hubungan antara kondisi inflamasi dan keganasan belum
keganasan yang lain, bahan onkogen justru memicu terjadinya inflamasi yang
Inflamasi adalah bagian dari respon host terhadap rangsangan lingkungan baik
internal maupun eksternal. Respon ini berfungsi untuk menetralkan hasil yang
dikeluarkan oleh rangsangan tersebut terhadap host. Respon ini bisa pirogenik,
kronis dikaitkan untuk berbagai hal yang terlibat dalam pembentukan tumor,
peradangan. Molekul-molekul ini mempunyai fungsi seluler yang sangat luas dan
menjadi pro-inflammatory (IL 1, IL 6, IL 15, IL 17, IL 23, dan TNF α), atau anti-
TNF α telah ditemukan 30 tahun yang lalu, dan merupakan suatu sitokin
sel. Pertama kali diidentifikasi sebagai sitokin anti-tumor pada sistem imunitas
innate dan adaptif. TNF α diperlukan juga untuk proliferasi dan fungsi yang
normal dari NK cells, sel T, sel B, makrofag, dan sel dendrit, serta bertindak
sebagai molekul yang penting dalam menghancurkan tumor tertentu. Akan tetapi
bukti yang terbaru menunjukkan bahwa TNF α merupakan suatu mediator utama
factor. TNF α pada awalnya diidentifikasi sebagai faktor yang memicu terjadinya
nekrosis pada tumor yang ditranplantasikan pada tikus tetapi saat ini sudah
diputuskan sebagai salah satu sitokin proinflamasi yang terlibat dalam respon
Pemberian lokal dengan dosis yang tinggi dari TNF α memiliki efek
antiangiogenik dan mempunyai efek anti tumor yang sangat kuat, di sisi lain TNF
Suatu bukti peran TNF α dalam malignansi terlihat dari percobaan pada tikus
dengan TNF α dan TNFR yang telah di knockout akan resisten terhadap skin
kegunaan dan menghasilkan efek yang berbeda-beda antara lain, dapat bertindak
diduga sebagai produk dari makrofag, TNF-α juga diduga dihasilkan oleh
metastasis. TNF α juga dapat menginduksi produk sitokin lain, faktor angiogenik,
memiliki peranan dasar pada inflamasi dan pertahanan tubuh host. TNF α manusia
dan non-hematopoetik. TNF α ditemukan dalam dua bentuk yaitu larut dan dalam
pada penyakit inflamasi kronik seperti penyakit Crohn, kolitis ulseratif dan pada
kanker. Saat ini terdapat banyak penelitian yang meneliti mengenai terapi
beberapa penyakit dengan anti TNF, termasuk anti TNF antibody, Reseptor TNF
Signal TNF α akan melalui 2 reseptor yaitu TNFR1 (juga dikenal sebagai
p55 atau TNFRSF1A) dan TNFR2 (juga dikenal dengan p75 atau TNFRSF1B)
yang menstimulasi dua jalur intraseluler yang berbeda (Gambar 2.6). TNFR1
diekspresikan pada hampir seluruh sel, tetapi ekspresi TNFR2 hanya terbatas pada
tipe sel tertentu saja seperti limfosit T, sel endotel, oligodendrosit dan beberapa
neuron subtipe tertentu. Bagian ekstraseluler pada kedua reseptor sama bagian
menimbulkan interaksi dengan wilayah lain yang terdiri atas protein TNFR1-
interaksi dengan protein yang berbeda dan hal ini akan menghasilkan reaksi
seluler yang juga berbeda. Hampir sebagian besar signal yang melalui TNF
dan TRAF1 dan mengaktifkan NF-κB survival genes. Sejak TNFR2 tidak
memiliki wilayah kematian, reseptor ini tidak dapat berinteraksi dengan wilayah
27
kematian yang mengandung adaptor TNFR1 dan TNFR2 dan memiliki fungsi
yang tumpang tindih. Struktur tiga dimensi pada komples TNF α dan TNFR2
dipecahkan. Interaksi itu dibuat dalam PRISM. Seperti terlihat pada gambar,
ikatan interaksi dari TNF α dengan reseptornya hampir seluruhnya tumpang tindih
dan kedua interaksi bersifat kompetitif, dan juga TRADD direkrut ke reseptor atau
TNF merupakan sitokin utama pada respons inflamasi akut. Infeksi yang
berat dapat memicu produksi TNF dalam jumlah besar yang menimbulkan reaksi
sistemik. TNF disebut TNF α atas dasar historis dan untuk membedakannya dari
reseptor seluler yang sama, dan menghasilkan perubahan biologi yang mirip pada
berbagai sel. TNF α diproduksi oleh neutrofil, limfosit yang diaktifkan, makrofag
sel NK, dan beberapa sel non limfoid seperti astrosit, sel endotel dan sel otot
polos, sementara TNF β nampaknya hanya diproduksi oleh sel T (Detrick dkk.,
IFN-γ yang diproduksi oleh sel T dan sel NK juga merangsang makrofag antara
lain meningkatkan sintesis TNF. Pada kadar rendah, TNF bekerja terhadap
leukosit dan endotel, menginduksi inflamasi akut. Pada kadar sedang, TNF
berperan dalam inflamasi sistemik. Pada kadar tinggi, TNF menimbulkan kelainan
TNF memiliki efek biologik antara lain, pengerahan neutrofil dan monosit
mikroba, memacu ekspresi molekul adhesi sel endotel vaskular terhadap leukosit,
28
dengan efek seperti TNF, merangsang hipotalamus yang menginduksi panas dan
seperti aspirin, menurunkan panas. TNF seperti halnya dengan IL-1 dan IL-6
disekresikan terutama oleh sel limfosit dan makrofag yang teraktifasi. TNF α
merupakan sitokin yang pleotropik dan berperan secara kompleks pada inflamasi
dan metabolisme (Bradley, J.R., 2008). TNF α berikatan pada dua reseptor
berbeda pada permukaan sel yaitu TNFRI dan TNFRII. Dilaporkan bahwa IL-6
sejak 30 tahun yang lalu. Pada tahun 1987, Blick et al mengobservasi penurunan
sintesis hemoglobin pada pasien kanker yang mendapat terapi TNF α, dimana
perbaikan kondisi anemia juga terlihat pada pasien dengan anemia pada penyakit
kronik yang mendapat terapi anti TNF. Penurunan produksi epo sebagian
disebabkan oleh efek sitokin pro inflamasi termasuk TNF α. La Ferla dkk
melaporkan inhibisi eritropoetin melalui pada sel Hep G2 merupakan akibat over
eritropoetin.
sitokin, ditemukan bahwa efek inhibisi oleh TNF α dimediasi paling dominan oleh
reseptor p55 TNF. Hasil ini berimplikasi terhadap terjadinya transkripsi NFκB,
aktivasi produk TNFα/TNFR1 pada inhibisi terhadap gen spesifik. Di sisi lain,
faktor transkripsi dari eritropoesis. Lebih jauh lagi, penelitian pada K562 dan sel
menyebabkan hambatan pada TNF α pada GATA 1 dan juga ekspresi γ globin
Pada cara yang tidak langsung TNF α mengaktivasi faktor transkripsi yaitu
dengan menghambat HIF1α pada in vitro. Kadar Eritropoetin yang rendah akan
penurunan ekspresi eritropoetin. Efek langsung TNF α melalui reseptor TNFR 1/2
eritrospesifik sebagai gen globin. TNFα juga dapat mengaktifkan GATA 2, yang
Ekspresi GATA 1 dipengaruhi oleh asetilasi dan interaksi dengan FOG1 yang
ekspresi gen γ-globin saat eritropoetin memiliki efek yang terlambat pada aktivasi
melalui mekanisme yang tidak tergantung pada status besi tubuh dan aktivitas
kinase (JAK) dan fosforilasi STAT3, suatu signaling molecule intraseluler, seperti
terlihat pada Gambar 2.13. STAT3 yang terfosforilasi akan mengalami dimerisasi
DNA di proksimal promoter hepsidin. Induksi sintesis hepsidin melalui IL-6 ini
membutuhkan jalur BMP-Smad yang utuh, di mana mutasi pada elemen BMP
proksimal akan mengganggu proses induksi sintesis hepsidin oleh IL-6 Hasil
studi eksperimental dengan model tikus maupun manusia, menunjukkan kerja IL-
6 pada sel hepatosit untuk meningkatkan produksi hepsidin. (Cheng dkk., 2009;
Selain itu, studi pada manusia yang diberikan infus dengan IL 6, ekskresi hepsidin
di urine akan meningkat 7,5 kali lipat dalam waktu 2 jam setelah pemberian infus,
yang diikuti penurunan kadar besi serum dan saturasi transferrin sebesar 30%
pada kultur sel hepatosit akan menghilangkan secara penuh respon peningkatan
Namun suatu studi pada tikus menunjukkan bahwa tikus tanpa IL 6 yang
sehingga diduga ada sitokin lain yang dapat mempengaruhi produksi hepsidin,
lanjut pada manusia (Ganz dan Nemeth, 2009). Selain IL 1, transforming growth
factor-β (TGF-β) juga ditemukan mengatur sintesis hepsidin pada tikus, namun
pada manusia oleh Nemeth dkk., tahun 2003, menemukan bahwa sintesis mRNA
atau TNF α. Studi lain pada manusia, justru menunjukkan bahwa kadar mRNA
hepsidin dapat dihambat oleh TNF-α melalui mekanisme yang tidak melibatkan
hepsidin pada sel hepatosit tikus (Lee dkk., 2004). Namun suatu penelitian
terhadap gen hemojuvelin atau yang dikenal sebagai RGMc dan HFE2
lipopolisakarida.
Gambar 2.9 Peranan penting hemojuvelin pada jalur yang tergantung besi.
(A)Model pada tikus liar dan sudah mengalami mutasi hemojuvelin. Pada tikus liar,
panah hijau menandakan respon jika terdapat kadar besi yang tinggi, dan panah
merah jika kadar besi rendah. Mekanisme ini akan menjaga homeostasis besi. Pada
mutasi hemojuvelin, sensitivitas terhadap besi menjadi terganggu, sehingga
walaupun besi tinggi, hepsidin tetap rendah sehingga terjadi kelebihan besi dan
hemokromatosis. (B) Model B menggambarkan kondisi pengaruh inflamasi akut
pada mekanisme sensitivitas besi. Sitokin fase akut baik IL 6 maupun TNF α,
menurunkan ekspresi hemojuvelin dan secara simultan merangsang peningkatan
hepsidin sehingga uptake besi akan menurun. (Niederkofler, 2005)
ekspresi hemojuvelin sedangkan efek terhadap hepsidin tidak terlalu jelas terlihat.
hasil penurunan kadar hepsidin pada terapi yang menghambat TNF α dan IL 6
Dimana diperoleh hasil perbaikan pada kadar anemia, penurunan kadar hepsidin
setelah mendapat dengan anti IL 6 yaitu tocilizumab dan TNF α yaitu infliximab
dalam 2 minggu terapi. Namun dikatakan hasil yang lebih efektif diperoleh pada
dalam perbaikan anemia dan perbaikan metabolisme besi. (Song dkk, 2013).