Disusunoleh :
HANDAYANI
MUH. RIDWAN
MEILINDA SARI
PURWAKARTA
2014
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur tak lupa kami panjatkan kepada Allah SWT,yang maha
pemurah, karena berkat kemurahannya makalah ini dapat saya selesaikan sesuai
yang diharapkan dalam karya tulis ilmiah ini kami membahas tentang ”Kegiatan
Surveilans Gizi Dan Intervensi Yang Dilakukan Pada Gizi Buruk”. Karya tulis
ilmiah ini dibuat dalam Untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Program
Gizi.
Kami sangat berharap laporan ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai pengetahuan gizi buruk diindonesia.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-
kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................4
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................6
1.3 Tujuan Diskusi...........................................................................................7
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................8
2.1 Definisi......................................................................................................8
2.2 Faktor-Faktor Penyebab Gizi Buruk.........................................................9
2.3 Tindakan Pemerintah Untuk Menanggulangi Gizi Buruk.........................11
BAB IV PENUTUP.............................................................................................14
4.1 Kesimpulan................................................................................................14
4.2 Saran..........................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................15
KASUS................................................................................................................16
3
BAB 1
PENDAHULUAN
4
Soetjiningsih (1995) dalam bukunya menjelaskan bahwa dampak jangka
pendek dari kasus gizi buruk adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan
bicara serta gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang
dari kasus giziburuk adalah penurunan skor IQ, penurunan perkembangan
kognitif,gangguan pemusatan perhatian, serta gangguan penurunan rasa percaya
diri. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwakasus gizi buruk apabila tidak
dikelola dengan baik akan dapat mengancam jiwa, dan pada jangka panjang akan
mengancam hilangnya generasi penerus bangsa. Penyebab gizi buruksangat
kompleks, sementara pengelolaannya memerlukan kerjasama yang komprehensif
dari semua pihak. Bukan hanya dari dokter maupun tenaga medis saja, tetapi juga
dari pihak orang tua, keluarga, pemuka masyarakat, pemuka agama maupun
pemerintah.Pemuka masyarakat maupun pemuka agama sangat dibutuhkan dalam
membantu pemberian edukasi pada masyarakat, terutama dalam menanggulangi
kebiasaan atau mitos yang salah pada pemberian makanan pada anak. Demikian
juga posyandu dan puskesmas sebagai ujung tombak dalam melakukan skrining
atau deteksi dini dan pelayanan pertama dalam pencegahan kasus gizi buruk
(Nency, 2006).
Departemen Kesehatan (2011) telah membentuk tim asuhan gizi yang terdiri
dari dokter, perawat, bidan, ahli gizi, serta dibantu oleh tenaga kesehatan yang lain.
Diharapkan dapat memberikan penanganan yang cepat dan tepat pada kasus gizi
buruk, baik di tingkat puskesmas maupun rumah sakit untuk membantu pemulihan
kasus gizi buruk pada anak balita. Menurut WHO (2000) dalam Suwanti (2003)
cara pemulihan gizi buruk yang paling ideal adalah dengan rawat inap dirumah
sakit, tetapi pada kenyataannya hanya sedikit anak dengan gizi buruk yang dirawat
karena berbagai alasan. Salah satu contohnya dari keluarga yang tidak mampu,
karena rawat inap memerlukan biaya yang besar dan dapat mengganggu sosial
ekonomi sehari-hari. Alternatif untuk memecahkan masalah tersebut dengan
melakukan penatalaksanaan balita gizi buruk di posyandu dengan koordinasi penuh
dari puskesmas. Beberapa kajian terhadap pelaksanaan pemantauan pertumbuhan
ditemukan juga beberapa masalah yaitu seringkali balita yang mengalami gangguan
pertumbuhan bahkan gizi buruk tidak dirujuk ke puskesmas untuk tindak lanjut
sebagaimana mestinya sesuai tatalaksana gizi buruk (Suwanti, 2003).
5
Sementara kendala lain dalam pelaksanaan pemantauan adalah seperti: masalah
kemiskinan dan anak yang menderita infeksi, selain itu juga pengetahuan orang tua
yang kurang tentang pola asuh anak, sehingga asupan gizi yang cukup tidak
terpenuhi. Sedangkan kenyataan lain dilapangan, kasus gizi buruk sering
ditemukan terlambat atau ditangani tidak tepat. Hal ini terjadi karena belum semua
tenaga pelaksana gizi berpengetahuan dan terlatih untuk melaksanakan tatalaksana
gizi buruk, selain itu kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana untuk
menyiapkan formula khusus untuk balita gizi buruk,serta kurangnya tindak lanjut
pemantauansetelah balita pulang ke rumah (Kemenkes , 2010).
Berdasarkan pedoman tatalaksana gizi buruk yang keluarkan oleh Departemen
Kesehatan (2009), sebaiknya yang harus dilakukan mulai dari penemuan kasus gizi
buruk adalah perlunya pengorganisasian yaitu adanya tim asuhan gizi yang akan
mengidentifikasi sesuai tatacara yang sudah ditetapkan sampai membuat rencana
tindak lanjut, kemudian melakukan tindak lanjut dengan memberi pengobatan
sesuai diagnosa yang telah ditegakkan, serta memberikan makanan pemulihan
sesuai dengan tingkat keadaan gizi buruk yang diderita balitasampai balita tersebut
dinyatakan sembuh atau mengalami perbaikan dari keadaannya semula, kemudian
selanjutnya tetap dilakukan pengawasan keadaan dan status gizinya dengan
melakukan pengukuran antropometri (BB/TB) sampai balita tersebut status gizinya
kembali normal. Dan apabila pada tahap identifikasi ditemukan penyakit penyerta
atau tanda-tanda klinis berat pada balita, hendaknya balita dengan gizi buruk
tersebut dirujuk ke tingkat perawatan lanjut seperti rumah sakit. Dari keterangan
yang di peroleh tenaga pelaksana gizi di puskesmas seluruhnya telah dilatih
tatalaksana anak gizi buruk. Sehingga permasalahan yang muncul dan ingin
diketahui apa yang dilakukan tenaga pelaksana gizi puskesmas dalam menangani
kasus gizi buruk yang ada di wilayah kerjanya, dan apakah sudah sesuai dengan
prosedur dan standartatalaksana gizi buruk serta apakah pengetahuannya sudah
baik tentangpenatalaksanaaan gizi buruk itu sendiri.
6
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian dari gizi buruk
b. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya gizi buruk
c. Untuk mengetahui langkah-langkah investigasi, intervensi dan tatalaksana
gizi buruk
7
BAB II
PEMBAHASAN
8
Beberapa tanda-tanda klinis gizi buruk diatas menurut (Gibson, 2005), sebagai
berikut:
A. Marasmus:
1. Badan nampak sangat kurus;
2. Wajah seperti orang tua;
3. Cengeng dan atau rewel;
4. Kulit tampak keriput, jaringan lemak subkutis sedikit sampai tidak ada
(pada daerah pantat tampak seperti memakai celana longgar/ ”baggy
pants”);
5. Perut cekung;
6. Iga gambang;
7. Sering disertai penyakit infeksi (umumnya kronis) dan diare
B. Kwashiorkor :
1. Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki;
2. Wajah membulat (moon face) dan sembab;
3. Pandangan mata sayu;
4. Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa
rasa sakit dan mudah rontok;
5. Perubahan status mental, apatis, dan rewel;
6. Pembesaran hati;
7. Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau
duduk;
8. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna
menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (crazy pavement dermatosis);
9. Sering disertai penyakit infeksi (akut), anemia dan diare.
C. Marasmus Kwashiorkor: Merupakan gabungan dari beberapa gejala klinis
marasmus dan kwashiorkor.
11
Adapun strategi dan kegiatan Departemen kesehatan dan organ-organnya, untuk
memenuhi tujuan-tujuan tersebut antara lain:
1. Revitalisasi posyandu untuk mendukung pemantauan pertumbuhan
2. Melibatkan peran aktif tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuka adat dan
kelompok potensial lainnya.
3. Meningkatkan cakupan dan kualitas melalui peningkatan keterampilan
tatalaksana gizi buruk
4. Menyediakan sarana pendukung (sarana dan prasarana)
5. Menyediakan dan melakukan KIE
6. Meningkatkan kewaspadaan dini KLB gizi buruk
Kegiatan:
1. Deteksi dini gizi buruk melalui bulan penimbangan balita di posyandu
Melengkapi kebutuhan sarana di posyandu (dacin, KMS/Buku KIA,
RR)
Orientasi kader
Menyediakan biaya operasional
Menyediakan materi KIE
Menyediakan suplementasi kapsul Vit. A
2. Tatalaksana kasus gizi buruk
Menyediakan biaya rujukan khusus untuk gizi buruk gakin baik di
Puskesmas atau rumah sakit (biaya perawatan dibebankan pada pkps
bbm)
Kunjungan rumah tindak lanjut setelah perawatan di puskesmas/rs
Menyediakan paket pmt (modisko, mp-asi) bagi pasien paska perawatan
Meningkatkan ketrampilan petugas puskesmas/rs dalam tatalaksana gizi
Buruk
3. Pencegahan gizi buruk
Pemberian makanan tambahan pemulihan (MP-ASI) kepada balita yang
berat badannya tidak naik atau gizi kurang
Penyelenggaraan PMT penyuluhan setiap bulan di posyandu
Konseling kepada ibu-ibu yang anaknya mempunyai gangguan
pertumbuhan
4. Surveilen gizi buruk
Pelaksanaan pemantauan wilayah setempat gizi (PWS-Gizi)
Pelaksanaan sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa gizi buruk
Pemantauan status gizi (PSG)
5. Advokasi, sosialisasi dan kampanye penanggulangan gizi buruk
Advokasi kepada pengambil keputusan (DPR, DPRD, pemda, LSM,
dunia usaha dan masyarakat)
Kampanye penanggulangan gizi buruk melalui media efektif
6. Manajemen program:
Pelatihan petugas
Bimbingan teknis
12
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gizi buruk adalah status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau
nutrisinya di bawah standar rata-rata. Faktor yang menyebabkan gizi buruk ada tiga
hal yaitu kemiskinan, pendidikan rendah dan kesempatan kerja rendah. Ketiga hal
itu mengakibatkan kurangnya ketersediaan pangan di rumah tangga dan pola asuh
anak keliru. Di Indonesia, gizi buruk pada balita tersebar hampir merata di seluruh
propinsi. Kemiskinan dan kekurangan akan gizi yang memadai pada tingkatan
tertentu membatasi kemungkinan untuk memperbaiki gizi jutaan penduduk yang
menderita kurang pangan. Sebaliknya, sungguh mengecewakan untuk melihat
bahwa betapa seringnya praktek-praktek budaya menimbulkan kekurangan
kebutuhan dasar. Kesadaran akan praktek-praktek demikian dan pengetahuan
tentang “hambatan-hambatan” yang harus diatasi untuk dapat merubah mereka
adalah sangat penting untuk membantu masyarakat memaksimalkan sumber-
sumber pangan yang tersedia bagi mereka. Di sinilah antropologi memberikan
sumbangan besar kepada ilmu gizi dalam lapangan penelitian dan pengajaran.
3.1 Saran
Diperlukan terobosan - terobosan baru yang dapat menanggulangi masalah
gizi buruk hingga ke akar-akarnya. Oleh karena itu departemen kesehatan juga
harus bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mengatasi masalah kemiskinan,
pendidikan rendah, dan kesempatan kerja rendah. Selain itu, program gizi yang
konsisten dan berkesinambungan harus senantiasa digalakkan untuk membangun
kesadaran masyarakat dan berperan aktif dalam penanggulangan gizi buruk yang
terjadi.
14
DAFTAR PUSTAKA
http://www.indonesian-publichealth.com/2014/07/penyebab-dan-dampak-
gizi-buruk.html
http://dinkes.malangkota.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=120:penanggulangan-gizi-buruk-di-kota-
malang&catid=80&Itemid=594 oleh dinas kesehatan kota malang
15
Kasus
1. Dikota Bogor
Seperti yang telah kita kunjungi disalah satu pelayanan kesehatan yaitu
PUSLITBANG di Bogor bulan lalu. Sebelum balita masuk kedalam pelayanan ini,
balita dgn gizi buruk masuk POSYANDU terdekat kemudian disarankan untuk
melakukan perawatan jalan di PUSLIMBANG ini. Dalam proses penerimaan
pasien dilakukan antropometri untuk penentuan status gizi balita. Jika sudah
melakukan penentuan status gizi lalu dilakukan pemeriksaan gejala klinis oleh
dokter ahli untuk penentuan diagnosa balita apa memang mengalami gizi buruk,
gangguan lain atau masih status gizi baik, jika status gizi baik akan dikembalikan
penanganan pada posyandu, jika memang mengalami gizi buruk dan gangguan lain
balita akan melanjutkan penanganan rawat inap/ jalan dengan melakukan
pengawasan dan perbaikan gizi 1minggu sekali hingga 6 bln.
Sedangkan Intervensi kesehatan dan gizi dilakukan di Kota Malang melalui
beberapa kegiatan, yaitu dengan Refreshing kader posyandu tentang pelayanan gizi
setiap bulan di puskesmas dan setiap semester di Dinas Kesehatan, diantaranya:
a. Operasi timbang posyandu mulai bulan Juni 2009 oleh kader posyandu.
b. Pelacakan kasus gizi buruk oleh kader posyandu, nutrisionis dan bidan
puskesmas.
c. Peningkatan kapasitas anggota PKK dalam penanggulangan gizi buruk
dengan pendampingan keluarga sadar gizi.
d. Pemberian PMT Pemulihan balita gizi buruk melalui dana APBD,
JAMKESMAS, dan Dana Hibah LPMK.
e. Revitalisasi pelayanan gizi pada posyandu, melalui beberapa kegiatan, yaitu
: sharing honor kader dan PMT Penyuluhan, pengadaan buku KIA yang
memuat KMS laki-laki dan perempuan, penyuluhan tumbuh kembang yang
bekerjasama dengan PT. Nestle Indonesia, dan pelatian penyuluhan di meja
4 posyandu yang bekerjasama dengan Poltekkes Depkes Malang.
f. Penanggulangan gizi buruk dengan penyakit penyerta seperti TB paru,
jantung, HIV/ AIDS yang dilakukan oleh tim terpadu lintas program, lintas
sektor dan LSM.
g. Dukungan pelaksanaan PMT Pemulihan di pusat pemulihan gizi (posyandu/
rumah balita gizi buruk).
16
h. Rujukan balita gizi buruk hanya diberikan karena penyakit penyerta yang
akut.
i. Pembuatan formula susu tinggi kalori dan tinggi protein dengan merk
tertentu yang bekerjasama dengan PT. Rajawali Nusindo.
j. Pertemuan evaluasi program perbaikan gizi setiap bulan di Dinas Kesehatan
dengan peserta lintas program dan setiap semester dengan peserta lintas
sektor.
k. Penyusunan standar operasional pelayanan gizi.
l. Supervisi fasilitatif program perbaikan gizi ke puskesmas.
2. PEKALONGAN (KRjogja.com)
Menurut Ismanto, kasus gizi buruk pada 2014 ini menunjukan peningkatan jika
dibanding tahun sebelumnya 2013 sebanyak 18 balita."Oleh karena itu, kami akan
berupaya mengantisipasi terjadinya kasus buruk dengan mengajak para ibu hamil
dan menyusui untuk memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif pada anaknya,"
tandasnya.
3. Makassar
Gizi Buruk di Makassar. Kasus gizi buruk masih menghantui Sulawesi Selatan,
yang pertumbuhan ekonominya diklaim mencapai 8 persen. Dinas Kesehatan
Provinsi Sulawesi Selatan mencatat ada 116 kasus anak balita gizi buruk selama
17
Januari hingga Maret 2011. Empat daerah kantong gizi buruk di Sulsel adalah
Kota Makassar, Kabupaten Pangkep, Maros, dan Jeneponto.
Kepala Seksi Bina Gizi Masyarakat Dinas Kesehatan Sulsel Astati Mada Amin
mengatakan hal itu di Makassar, Kamis (12/5/2011) di sela-sela kampanye Proyek
Perbaikan Gizi Melalui Pemberdayaan Masyarakat (proyek NICE). "Prevalensi
tingkat gizi buruk di Makassar tahun 2010 ialah 6,8 persen, sedangkan Jeneponto
5,5 persen. Angka ideal tingkat gizi buruk harus di bawah 5 persen. Masih
tingginya kasus gizi buruk harus dikaji dari banyak hal, tetapi salah satunya ialah
minimnya keberpihakan pemerintah terhadap anggaran gizi," kata Astati.
Minimnya anggaran perbaikan gizi sangat kentara di daerah. Astati mencontohkan
Kabupaten Tana Toraja yang mengalokasikan hanya Rp 5 juta untuk program gizi.
"Apa yang bisa dilakukan dengan dana segitu, paling hanya untuk administrasi
saja," ujarnya.
Adapun di tingkat provinsi, anggaran gizi yang diterima dinas kesehatan tahun
2011 mencapai Rp 350 juta, sudah termasuk Rp 150 juta untuk sosialisasi
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Air Susu Ibu. Namun, Astati
menambahkan, anggaran itu pun lebih terserap untuk pelatihan penambahan
kapasitas dan rapat-rapat teknis. Berdasarkan Riset Kesehatan Daerah Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan tahun 2010, tingkat
prevalensi gizi buruk nasional menurun dari 5,4 persen tahun 2007 menjadi 4,9
persen tahun 2010. Kendati demikian, masih ada kesenjangan antarprovinsi.
Penanganan kasus gizi buruk dalam kondisi parah dibantu susu, makanan
bergizi, telur dan vitamin. Dan untuk gizi kurang, diberikan asupan gizi berupa
asupan susu dan makanan bergizi. "Program ini dianggap langsung menyentuh
masyarakat dan penderita gizi buruk yang ditangani Puskesmas dan Posyandu.
Sedangkan anggaran penanganan gizi buruk, telah diusulkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan 2011 dengan alokasi Rp1,2
miliar. Selain program gizi buruk, program lain juga direncanakan melakukan
sertifikasi 14 Posyandu dan Puskesmas serta 24 Puskesmas Pembantu (Pustu)
sebagai mutu pelayanan kesehatan di masyarakat yang berkualitas. Banyak upaya
dilakukan untuk mengatasi masalah Gizi buruk di Indonesia, dan diharapkan di
tahun 2015, prevalensi gizi buruk dapat turun menjadi 3,6%.Prevalensi anak balita
gizi kurang dan buruk turun 0,5 % dari 18,4% pada
19