Wahana Interfood Nusantara adalah pemegang merek Schoko, salah satu dari lima
pemain cokelat di Indonesia. Schoko yang semula hanya mengemas ulang bubuk
cokelat pada 2006, kini menjadi pabrik pengolah biji kakao fermentasi dan
memproduksi cokelat berkualitas premium. Pasar utamanya adalah bakery berskala
besar dan kafe.
Menurut Reinald, saat ini produksinya 4.800 ton per tahun atau 80 persen dari
kapasitas terpasang yang sebesar 6.000 ton. Produksi yang sudah hampir mencapai
batas maksimal ini terus bertambah, seiring permintaan pasar yang terus meningkat.
”Permintaan ekspor juga meningkat, sementara kami hanya bisa memenuhi 1 persen
dari kapasitas kami,” ujar Reinald.
Dia mengatakan, permintaan olahan cokelat dari lokal dan pasar ekspor masih
tinggi, tetapi kapasitas produksi terbatas. Adapun, penjualan pada 2018 tercatat
Rp152 miliar, naik 9,43% dari penjualan pada 2017 sebesar Rp138,9 miliar. Sekitar
1% atau Rp1,52 miliar berasal dari penjualan ekspor.
”Masih banyak permintaan dari Australia dan Timur Tengah. Dari negara-negara
yang sudah ada saja permintaan belum bisa kami penuhi semua,” kata Reinald.
Untuk memenuhi permintaan yang terus bertambah, Schoko akan menambah pabrik
dan membeli mesin-mesin baru yang lebih modern. Dana yang diperoleh dari
penjualan saham akan digunakan untuk membeli lahan seluas 6.280 meter persegi
di Sumedang, membayar uang muka pembangunan pabrik, dan uang muka
pembelian mesin dari Eropa.
Reinald mengatakan dengan pembangunan pabrik dan pembelian mesin baru,
perseroan mampu meningkatkan kapasitas dari semula 6.000 ton per tahun menjadi
10.500 ton per tahun. Dengan begitu, perseroan dapat memperbesar pasar ekspor
dengan target kontribusi sebesar 20% terhadap total penjualan.
”Kami berharap pabrik bisa beroperasi pada 2021 sehingga menambah kapasitas
produksi kami menjadi 10.500 ton per tahun,” kata Reinald.
Rudi Ho, Vice President Corporate Finance PT UOB Kay Hian Sekuritas, selaku
penjamin emisi efek, mengatakan, Schoko akan melepaskan saham perdananya
sebanyak 168 juta lembar saham atau 33,07 persen dari saham yang ada.
Menurut Rudi, risiko dari Schoko yang utama adalah risiko ketersediaan bahan
baku, kontaminasi saat produksi dan pengiriman, serta ketersediaan suku cadang.
Industri makanan dan minuman termasuk industri yang memiliki risiko kecil.
Schoko telah menjalin kerja sama yang baik dengan petani cokelat di Jember, Pulau
Seram, Purwakarta, dan Padang sehingga risikonya bisa diminimalkan.
”Industri ini tidak terganggu dengan fluktuasi dollar, politik, dan sebagainya,”
katanya. (ARN)
Sumber : https://kompas.id/baca/utama/2019/02/21/antisipasi-permintaan-cokelat-2/
Opini Berita “Antisipasi Permintaan Cokelat”
Coklat merupakan salah satu hasil olahan makanan atau minuman yang sangat
populer. Coklat sendiri berasal dari biji kakao yang mengalami proses pengolahan yang
menjadikannya lezat untuk dikonsumsi. Menurut Euromonitor, cokelat menjadi salah satu
kategori cemilan terfavorit di dunia yang menduduki posisi ke-empat setelah kategori pastry,
biskuit, dan permen. Sedangkan data Euromonitor merilis penetrasi konsumsi cokelat di
Indonesia mencapai angka 78%. Hal tersebut tentunya terbilang tinggi untuk ukuran
konsumsi yang menjadikannya berpeluang besar dalam dunia industri. Terlebih lagi produksi
kakao di Indonesia mencapai sekitar 600.000 ton per tahun. Hal itu mebuat Indonesia tercatat
sebagai satu-satunya negara Asia penghasil kakao terbesar.