Anda di halaman 1dari 48

EVALUASI ANTARA 2

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Nama peserta : Tri Sulistyarini


Tanggal pemeriksaan : Rabu, 20 Desember 2017, pukul 18.00 WIB (Hari perawatan ke-1)

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama penderita : An. DN
Umur / tanggal lahir : 7 tahun 11 bulan/ 24 Desember 2009
Jenis kelamin : Perempuan
Suku, bangsa : Jawa, Indonesia
Alamat : Semarang
No RM/Reg : C6509XX/93202XX
Masuk RSDK : 19 Desember 2017

Nama Ayah : Tn. Y


Umur : 43 tahun
Pekerjaan : Sopir
Pendidikan : SMA
Nama Ibu : Ny. BBS
Umur : 41 tahun
Pekerjaan : asisten rumah tanga
Pendidikan : SMA
Penghasilan : ± Rp 600.000.-/bulan
Biaya Kesehatan : BPJS PBI Kelas III

1
B. ANAMNESIS
Anamnesis dan alloanamnesis diperoleh dari ibu penderita, penderita dan data dari
catatan medis. Dilakukan pada hari Rabu , 20 Desember 2017, pukul 18.00 WIB Hari
perawatan ke-1 di Bangsal Anak RSUP Dr Kariadi Semarang.
I. Keluhan Utama : Hendak kemoterapi CPA
II. Riwayat Penyakit Sekarang:
 ± 2 bulan sebelum masuk rumah sakit anak dikeluhkan sering pusing jika upacara di
sekolah, pusing berkurang bila anak tidak terpapar panas matahari, saat pusing anak
juga mengeluh mual, muncul ruam kemerahan di kedua pipi berbentuk seperti kupu.
Sehingga anak sering menolak ikut upacara. Anak juga mengeluhkan sering nyeri
tulang tungkai, nyeri tulang tidak memberat dengan aktivitas, nyeri tidak dipengaruhi
siang atau malam, tidak didapatkan pembengkakan sendi maupun kemerahan. Anak
sering minta dipijit ibu untuk mengurangi nyeri tulangnya. Anak masih bisa
beraktivitas bermain seperti sebelum sakit.
 ±1,5 bulan sebelum masuk rumah sakit anak dikeluhkan demam tinggi, namun suhu
tidak diukur, demam berkurang setelah 3 jam pemberian paracetamol, namun
kemudian naik lagi. Demam tidak disertai batuk, pilek, keluar cairan dari telinga,
nyeri perut, mencret, sulit buang air besar, sakit saat berkemih, warna kemih keruh,
coklat seperti teh. Nafsu makan turun. Tidak diketahui riwayat penurunan berat badan.
Berselang 2 minggu dari sejak demam anak dikeluhkan muncul ruam merah di kedua
pipi, berbentuk kupu-kupu, didapatkan perdarahan gusi, disertai bengkak di gusi. Saat
itu anak dibawa ke Puskesmas hingga 3 kali kunjungan dalam 2 minggu, semula
didiagnosis tifus dilakukan pemeriksaan laboratorium, dikatakan trombosit rendah,
kemudian anak dirujuk ke RS swasta di Semarang. Anak dirawat selama 4 hari di RS
swasta, selama perawatan anak masih demam, didapatkan luka di bibir berupa
sariawan di langit-langit dan bengkak-bengkak di gusi, mimisan tidak terlalu banyak,
tidak ada bintik-bintik merah di kulit, tidak ada buang air besar hitam, dilakukan
evaluasi laboratorium, didapatkan hasil laboratorium trombosit yang semakin
menurun. Kemudian anak dikonsulkan ke dokter anak konsultan hematologi, dan
disarankan rujuk ke RSDK.

2
Saat perawatan di RSDK didapatkan keadaan anak lemah dengan gusi bengkak,
pembesaran kelenjar getah bening di sisi kiri tunggal, didapatkan pembesaran hati 3
cm bawah arcus costa, limpa tidak membesar. Hasil pemeriksaan laboratorium saat itu
hemoglobin 7, lekosit 2.300 dan trombosit 76.000. Anak dirawat di divisi hematologi
dengan diagnosis banding anemia aplastik, keganasan hematologi. Dilakukan BMP
dan transfusi sel darah merah. Hasil BMP didapatkan kesan MDS. Perawatan 4 hari
muncul ruam merah di kedua pipi, dilakukan penilaian ulang kembali, anak dicurigai
suatu lupus eritematosus sistemik. Dilakukan pemeriksaan ANA/ dsDNA didapatkan
hasil ANA 125,2 dan dsDNA 811,6. Anak dikonsulkan ke divisi imunologi, dan
ditatalaksana sesuai protokol lupus dengan pemberian injeksi metilprednisolon. Hasil
pemeriksaan tekanan darah menunjukkan TD 130/80 mmHg (>P95), diuresis saat itu
1,3 ml/kgBB/jam, pemeriksaan urin menunjukkan adanya proteinuria (500) dan
hematuria. Pemeriksaan fungsi hati SGOT 540 SGPT 174, fungsi ginjal Ureum 13,
creatinin 0,7, LFG 102,38. Anak kemudian diprogramkan biopsi ginjal, dan
diprogramkan pengobatan nefritis lupus dengan injeksi cyclophosphamid sejak 21
November 2017. Hasil biopsi ginjal menunjukkan lesi proliferatif glomerulus difus
global, kesan Lupus Nephritis (ISN/ RPS class IV up grade to V). Klinis anak setelah
mendapat pengobatan membaik, tidak demam, sariawan menghilang, nafsu makan
meningkat, anak rutin kontrol rawat jalan, saat ini dengan pengobatan captopril 6,25
mg/ 12 jam, kalsium laktat 500 mg/ 24 jam, metilprednisolon 8 mg 2-1-1.
 Saat ini anak dirawat untuk melanjutkan protokol pengobatan nefritis lupus dengan
injeksi cyclophosphamid pulse bulan ke-2. Tidak ada keluhan demam, nafsu makan
baik, tidak sariawan, tidak mual, tidak muntah, tidak nyeri perut, tidak ada rambut
rontok.
 Anak saat ini duduk di kelas 1 SD, pernah tinggal kelas 1 kali, karena belum bisa
membaca. Anak bisa mengenal huruf, namun belum bisa merangkai kata. Anak juga
sudah bisa menghitung penjumlahan dan pengurangan sederhana. Anak pernah
dilakukan tes IQ di sekolahnya dengan hasil kecerdasan rata-rata. Di rumah anak lebih
sering bermain tablet, kadang-kadang bermain dengan teman sebaya. Stimulasi oleh
ibu kurang karena ibu bekerja, dan ayah sudah 1 tahun tidak pernah menjenguk.

3
III. Riwayat Penyakit Dahulu
- Tidak pernah ada riwayat sering sakit-sakitan sebelumnya. Tidak didapatkan keluhan
pucat, ruam kemerahan, nyeri atau bengkak sendi.
- Tidak ada riwayat transfusi sebelumnya.
- Riwayat sakit kuning disangkal.
- Anak tinggal dirumah yang padat penduduk, rumah jauh dari daerah persawahan, jauh
dari pabrik. Riwayat minum obat dalam jangka waktu lama disangkal. Di rumah sering
menggunakan obat nyamuk bakar. Riwayat terpapar dengan insektisida secara
langsung disangkal. Anak sering makan mie instan, dalam seminggu 2-3 kali. Anak
suka makan jajanan bungkus yang mengandung MSG. Anak sikat gigi sehari 1 kali,
terutama saat mandi pagi saja. Sikat gigi tidak teratur, nyeri di gigi disangkal. Anak
selalu mengenakan alas kaki jika bepergian.
- Anak pernah menjalani operasi pengambilan benjolan di leher, belakang telinga kanan
bulan Agustus 2017

IV. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita


Morbili : belum pernah Diare : (+)
Pertusis : belum pernah Disentri basiler : belum pernah
Varisela : belum pernah Disentri amuba : belum pernah
Difteri : belum pernah Demam tifoid : belum pernah
Malaria : belum pernah Kecacingan : belum pernah
Tetanus : belum pernah Operasi : belum pernah
Fraktur : belum pernah Faringitis/tonsilitis : belum pernah
Pneumonia : belum pernah Tuberkulosis : belum pernah
Bronkitis : belum pernah Alergi obat/makanan : tidak ada
Kejang : belum pernah Hepatitis : belum pernah
Batuk dan pilek : (+) Demam berdarah : belum pernah

4
V. Riwayat Penyakit Keluarga
 Kakak kandung penderita didiagnosis sindrom nefrotik sejak berusia 7 tahun, rutin
menjalani pengobatan di RSDK, namun kemudian didiagnosis sindrom nefrotik
resisten steroid, dan terjadi gagal ginjal, menjalani hemodialisis baru 2 kali, dan
meninggal di usia 14 tahun.
 Kakek penderita (dari ibu) menderita sakit ginjal sudah meninggal
 Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan ruam di wajah yang makin
parah bila terkena sinar matahari, nyeri dan bengkak sendi.
 Tidak ada anggota keluarga yang menderita kanker, kelainan darah atau benjolan
 Riwayat sakit kuning pada keluarga disangkal.
 Tidak ada anggota keluarga dengan gangguan perdarahan (mimisan, lebam pada
tubuh)
 Riwayat perkawinan sedarah (kosanguinitas) disangkal
 Riwayat keluarga yang mendapatkan transfusi darah berulang disangkal.

Pohon Keluarga

II

III

5
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Riwayat kehamilan

Lahir dari ibu G2P1A0, 34 tahun, hamil 7 bulan. Saat hamil periksa ke puskesmas 4
kali, diberi vitamin dan tablet tambah darah serta suntikan TT. Tidak pernah sakit saat
hamil, tidak pernah demam saat hamil atau menjelang persalinan, tidak pernah
mendapatkan penyinaran (radiasi/rontgen), tidak pernah minum obat-obatan atau jamu di
luar yang diberikan bidan (hanya minum vitamin dan tablet tambah darah).

Riwayat kelahiran

Anak lahir ditolong Bidan, secara spontan di klinik bidan swasta, berat lahir 1800
gram, panjang badan lahir lupa.

Riwayat paska lahir

Setelah lahir anak diperiksakan ke bidan dan puskesmas keadaan anak sehat, tidak
terdapat kejang maupun kuning. Saat ini ibu tidak menggunakan kontrasepsi.
Penderita merupakan anak ke-2, satu-satunya.
Ibu kawin ke : 1 kali Ayah kawin ke- :1
Lama Perkawinan : 15 tahun Jumlah anak meninggal : 1
Keguguran :-
Riwayat Persalinan Keadaan saat ini
No L/P Umur
(berat/keadaan lahir/penolong) (sehat/sakit/meninggal)
1. P Aterm. Spontan. Lahir ditolong 14 tahun meninggal
bidan. Lahir langsung menangis.
Berat badan lahir 3000 gram dan
panjang badan lahir lupa.
2. P Preterm. Spontan. Lahir ditolong 7 tahun Sakit ini
bidan. Lahir langsung menangis. 11 bulan
Berat badan lahir 1800 gram dan
panjang badan lahir tidak diukur.

VII. Riwayat Nutrisi


Anak mendapatkan ASI sejak lahir sampai 2 tahun
Usia 1 bulan anak sudah diberikan MPASI, seperti pisang uleg, bubur susu, bubur nasi
Kesan: ASI tidak eksklusif, MPASI dini

6
Food recall :
Hari ke-1 :
Pagi : nasi + tumis sayur + telur kecap 1 piring , susu 1 gelas  habis
Siang : nasi + opor ayam, susu 1 gelas  habis
Malam : nasi + sayur bayam + galantin 1 piring, susu 1 gelas  habis
Hari ke- 2 :
Pagi : nasi + telur kecap 1 piring, teh 1 gelas  habis
Siang : nasi + lodeh + tahu goreng 1 piring, susu 1 gelas  habis
Malam : nasi + lodeh + tahu goreng 1 piring, air putih  habis.
Hari ke-3:
Pagi : nasi + sop + ikan goreng 1 piring, air putih 1 gelas  habis
Siang : nasi + sop+tempe goreng 1 piring, teh 1 gelas  habis
Malam : nasi + telur kecap 1 piring habis, air putih 1 gelas  habis
Kesan : kualitas dan kuantitas cukup

VI. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Riwayat Pertumbuhan :
- Berat badan lahir 1800 gram dan panjang lahir lupa.
- Berat badan 1 bulan lalu 24/ 22,5 kg. Tinggi badan 136/ 132 cm
- Berat badan sekarang 49 kg. Tinggi badan sekarang 157,5 cm
- Lingkar lengan atas : 25 cm
- WAZ : NA HAZ : -0,89 SD BMI/age : -0,43 SD
Kesan : Cross sectional : Gizi baik, perawakan normal
Longitudinal : arah garis pertumbuhan : loss of growth (T3)
Riwayat Perkembangan :
 Milestone Pemeriksaan antopometri, anak perempuan usia 7 tahun, berat badan 14 kg,
tinggi badan 93 cm dan LILA 16,5 cm. WAZ 0.78 SD, HAZ 0.49 SD dan WHZ 0.64
SD Kesan gizi baik perawakan normal.

7
- Tersenyum : 2 bulan - Merangkak : 9 bulan
- Miring : 3 bulan - Berdiri : 10 bulan
- Tengkurap : 4 bulan - Berjalan : 12 bulan
- Duduk : 6 bulan
Anak sekolah hingga tamat SMP, setelah itu tidak sekolah karena alasan biaya. Anak
bekerja saat usia 14-15 tahun di pabrik sebagai mandor. Usia 15 tahun hingga sebelum sakit
anak bekerja wiraswasta bersama kakak kandung. Anak mampu bergaul dengan teman sebaya
dan tetangga, hubungan keluarga pun baik. Saat masih sekolah, anak dapat mengikuti pelajaran
dengan baik, tidak pernah tinggal kelas, pelajaran olah raga dapat diikuti dengan baik,
hubungan dengan teman dan guru baik. Saat SD dan SMP beberapa kali mendapat ranking 10
besar. Saat ini anak sering tidak masuk sekolah sejak 4 bulan yang lalu. Anak merasa sedih
atas penyakit yang dialaminya namun tetap bersemangat untuk bisa sembuh dan hidup normal
 Skor kuesioner kekuatan dan kesulitan anak SDQ (Strength And Difficulties
Questionnaire), kesan : borderline emotional symptom scale
 Pediatric symptoms checlist 17 items (PSC 17 ), kesan: kemungkinan gangguan perilaku
internalisasi
 PedsQL : physical health summary score : 81,3 (normal)
psychosocial health summary score : 78 (normal)
 Kuesioner pola asuh kesan : pola asuh demokratis
Kesan : Perkembangan anak sesuai usia
Riwayat kebutuhan dasar anak
 Asuh
- ASI diberikan sejak lahir hingga usia 2 tahun
- Imunisasi booster dilakukan pada anak saat Bulan imunisasi anak sekolah (BIAS)
- Jika sakit anak dibawa ke bidan desa atau puskesmas. Jika tidak ada perbaikan dibawa
ke RSUD Ungaran
- Anak beserta keluarga tinggal di dalam rumah permanen
- Bermain dengan keluarga teman sekolah dan tetangga dekat
- Anak diasuh oleh ibu dan ayah kandung. Sejak anak berusia 10 tahun, ibu bekerja
sebagai asisten rumah tangga sehingga tidak lagi tinggal serumah, komunikasi dengan
telepon, frekuensi bertemu setiap hari sabtu dan minggu.

8
 Asih
– Anak merupakan anak yang diinginkan oleh keluarga.
– Pasien dibesarkan oleh ibu, ayah, dan kakak kandung dengan penuh kasih sayang.
 Asah
– Stimulasi diperoleh dari ibu, ayah dan kakak kandung.

IX. Riwayat Imunisasi


- BCG : 1 kali, usia 1 bulan (scar +)
- DPT : 3 kali (usia 2,3,4 bulan)
- Hepatitis B : 4 kali (0, 2, 3, 4 bulan)
- Polio : 4 kali (0, 2, 3, 4)
- Campak : 1 kali
- BIAS : DT saat SD kelas 1, TT saat SD kelas 2, 3 dan 6
- Kesan : Imunisasi dasar lengkap sesuai umur, booster dan imunisasi remaja
belum diberikan

XI. Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan


Riwayat Sosial ekonomi :
Ayah dan ibu bekerja sebagai wiraswasta, berjualan di pasar. Ibu sebagai asisten rumah
tangga. Penghasilan keluarga ± Rp 2.000.000/ bulan. menanggung 1 orang anak yang belum
mandiri. Biaya pengobatan ditanggung BPJS PBI kelas III. Keluarga ini termasuk dalam
keluarga miskin menurut kriteria BPS (skor <10 )
Kesan : sosial ekonomi kurang.
Lingkungan :
Anak tinggal bersama ayah, kakak laki-laki, kakak perempuan, kakak ipar dan
keponakan dalam satu rumah, ukuran ± 5 x 8 m2 bangunan berdinding sebagian tembok dan
sebagian lain papan kayu, lantai semen. Terdapat 2 kamar tidur. Semua kamar terdapat jendela
kecil. Atap berupa genting, tidak ada plafon. Sumber listrik dari PLN 450 watt. Sumber air
bersih dari sumur. Dapur terletak di belakang rumah. Kamar mandi di belakang rumah, ada
septic tank dan WC. Air buangan dialirkan melalui pipa ke selokan yang dialirkan ke sungai.
Sampah dibuang di tempat pengumpulan sampah di belakang rumah lalu dibakar. Rumah

9
dihuni 6 orang. Jarak rumah penderita dan tetangga berdekatan. Jarak ke Puskesmas 5 km.
Jarak ke RSUD 25 km.

Pemeriksaan Fisik (Diperiksa di Bangsal anak : Kamis, 11 Agustus 2016, pukul 17.00 WIB
(Hari perawatan ke-6)
Anak perempuan, umur 17 tahun 2 hari, berat badan 49 kg dan tinggi badan 157 cm, lingkar
lengan atas (LILA) 25 cm.

Keadaan Umum : sadar, cukup aktif, tidak sesak, tidak edema, tampak pucat
Tanda Vital : Frekuensi Jantung : 88 x / menit.
Nadi : reguler, isi dan tegangan cukup
Frekuensi napas : 20 kali/menit
Suhu : 36.2 o C (aksiler)
Tekanan darah : 120/70 (P 50 th)
P50 : 111/66
P90 : 125/80
P95 : 129/84
P99 : 136/91
Krisis : 180/120
Keadaan Tubuh
Kulit : sawo matang, ruam malar (+) di wajah, leher, dada dan punggung,
hiperpigmentasi (+), petechie (-)
Kepala
Wajah : dismorfik (-)
Rambut : hitam, mudah dicabut, alopecia (+)
Mata : conjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-), sekret (-)
Pupil : isokor Ø3 mm/Ø3 mm, refleks cahaya/bulu mata/kornea (+) normal
Telinga : sekret (-), discharge (-), pembesaran kelenjar limfe retroaurikula (-)
Hidung : napas cuping (-), sekret (-)
Mulut
Bibir : kering (-), pucat (-), stomatitis (-), sianosis (-)
Mukosa : kering (-), bercak putih (-), ulkus (-)
Lidah : atrofi papil (-), bercak putih (-)

10
Tenggorok : Tonsil: T1-T1 hiperemis (-), detritus (-), kripte melebar (-)
Faring : mukosa hiperemis (-)
Gigi geligi : Caries dentis : 16, 21, 25, 33, gusi berdarah (-)
Leher : simetris, pembesaran kelenjar limfe (+) 2 buah di regio coli posterior,
ukuran + 1x1x1 cm, warna sperti sekitar, mobile, nyeri tekan (-)
Dada : bentuk dada normal, simetris statis dinamis, payudara tanner 4
Paru
Inspeksi : simetris statis dinamis, retraksi (-), makula hiperpigmentasi (+)
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara dasar: vesikuler (+) normal ; suara tambahan: hantaran (-),
ronkhi (-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tak terlihat, pectus carinatum/ekskavatum (-)
Palpasi : Iktus kordis teraba di linea medioclavicularis sinistra SIC V, tidak
kuat angkat, tidak melebar, tidak ada thrill
Perkusi : Batas kanan : sela iga IV garis parasternal kanan
Batas kiri : sela iga IV garis midclavicula kiri
Batas atas : sela iga II garis parasternal kiri
Auskultasi : suara jantung I dan II normal, bising (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : datar, venektasi (-), makula hiperpigmentasi (+)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), massa (-)
Limpa : S1, nyeri (-)
Hepar : 2 cm bawah arcus kosta, kenyal, tepi tajam, permukaan rata
Inguinal : Pembesaran kelenjar limfe (-)
Genital : Perempuan, orificium uretra eksterna hiperemis (-), rambut pubis (+)
tanner 4

11
Anggota gerak superior inferior
Edema : -/- -/-
Sianosis : -/- -/-
Refleks fisiologis : +/+ normal +/+ normal
Refleks Patologis : -/-
Gerakan : simetris
Tonus : normotonus
Klonus : -/-
Kekuatan otot : 5/5/5 5/5/5
Pucat : -/-

Pemeriksaan N.craniales
N. I : mencim bau (+)N
N.II, III : Refleks cahaya (+)N
N.III, IV, VI : Gerak bola mata (+)N
N.V, VII : Refleks kornea (+)N
N.VIII : Respon pendengaran (+)N
N.IX, X : Refleks menelan (+)N
N. XI : Menoleh (+)N
N.XII : Deviasi lidah (-)

Pemeriksaan Pubertas:
 Menarch usia 15 tahun
 Saat ini tidak Haid sejak 4 bulan lalu
 Lama haid 5-7 hari
 Hari Pertama Haid Terakhir 24 Maret 2016
 Pemeriksaan Tanner : A3 M4 P4
Kesan : tidak ada delayed puberty

12
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi
NILAI 5/8/16 8/8/16 10/8/16
RUJUKAN
Hb (gr/dL) 12.00 – 15.00 4.63 7.93 10.6
Ht (%) 35.0 – 47.0 13.3 23.4 30.4
Eritrosit (juta/mm3) 4.4 – 5.90 1.37 2.38 3.21
MCH ( pg) 27.00 – 32.00 33.7 33.3 32.9
MCV (fL) 76.00 – 96.00 97.1 98.2 94.7
MCHC (g/dl) 29.00 – 36.00 34.7 34.0 34.7
Leukosit (ribu/mm3) 3.6 – 11.0 7.77 4.59 9.40
Trombosit (ribu/mm3) 150.0 – 400.0 235 156 225
RDW (%) 11.6 – 14.8 26.1 21.3 18.4
MPV (fL) 4.00 – 11.00 7.42 7.93 8.01
Retikulosit (%) 0.5 – 1.5 18.5
Hitung jenis 0/0/0/70/27/0
Gambaran darah tepi Anisositosis ringan,
poikilositosis sedang
(eliptosit, ovalosit,
spherosit, burr cell),
trombosit dan leukosit
normal
Coombs Test Direk positif
Coombs Test Indirek positif

Kimia Klinik
SATUAN NILAI 5/8/16 6/8/16
RUJUKAN
GDS mg/dL 80-160 79
SGOT U/L 15 – 34 37
SGPT U/L 15 – 60 45
Ureum mg/dL 15-39 39
Kreatinin mg/dL 0.60-1.30 0.5
Na mmol/L 136-145 138
K mmol/L 3.5-5.1 4.1
Cl mmol/L 98-107 115
Ca mmol/L 2.12-2.52 1.99
Bilirubin total mg/dL 0.3-1.2 1.91
Bilirubin direk mg/dL 0.0-0.2 0.74

13
Imunoserologi 8/8/16
SATUAN NILAI RUJUKAN 8/8/16
Anti DS DNA IU/ml Negatif : 0-200 2012
Equivocal: 201-300
Positif : >300

Urin Analisa 9/8/16


HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
Warna kuning
Kejernihan agak keruh
Berat jenis 1.015 1.003 - 1.025
pH 8.0 4.8 – 7.4
Protein NEG mg/dl NEG
Reduksi NEG mg/dl NEG
Urobilinogen 1.0 mg/dl NEG
Bilirubin NEG mg/dl NEG
Aseton NEG mg/dl NEG
Nitrit NEG NEG
Sedimen
Epitel 3-6/LPK /uL
Epitel Tubulus NEG /uL 0.0 – 6.0
Lekosit 0-1/LPB /uL
Eritrosit 2-4/LPB /uL
Kristal AMORF /uL 0.0 – 10.0
Sil.Phatologi FOSFAT (+) /uL 0.0 – 0.5
Granula Kasar NEG /LPK NEG
Granula Halus NEG /LPK NEG
Sil.Hialin NEG /uL
Sil. Epitel 0-1/LPK /LPK NEG
Sil. Eritrosit NEG /LPK NEG
Sil. Leukosit NEG /LPK NEG
Mucus NEG /uL 0.00 - 0.50
Yeast Cell +/POS /uL 0.0 – 25.0
Bakteri NEG /uL 0.0 – 100.0
Sperma +/POS /uL 0.00 – 3.00
NEG

14
E. RINGKASAN
Seorang anak perempuan, 17 tahun 2 bulan, datang dengan keluhan pucat, dirawat di
RSUP hari ke-6.
Dari anamnesis didapatkan ± 2 minggu sebelum masuk RS, anak tampak pucat, lemah,
mudah lelah, lesu, malas beraktifitas namun masih dapat membantu pekerjaan di rumah. Tidak
ada tanda perdarahan spontan. Dikeluhkan ruam kemerahan yang teraba kasar di kedua pipi,
hidung, makin lama meluas ke arah telinga, dahi, leher, dada dan punggung, makin parah bila
terkena sinar marahari. anak mengeluh rambutnya rontok hingga didapatkan daerah pitak di
kepala, silau bila terkena matahari, nyeri sendi namun tidak bengkak, sariawan, demam tidak
tinggi, nyeri kepala, BB turun. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Anak tidak mengalami haid
selama 4 bulan terakhir. Karena makin pucat, anak dibawa ke bidan, disarankan ke puskesmas.
Dilakukan pemeriksaan lab darah didapatkan hasil Hb 2,7 kemudian segera dirujuk ke RSUD
Ungaran. Di RSUD anak kembali di cek lab darah, didapatkan Hb 3,6; Ht 11,7; leukosit 8100;
trombosit 270.000. Anak diberi suntikan Methylprednisolon dan direncanakan tranfusi namun
dikatakan darah tidak cocok. Anak kemudian dirujuk ke RSUP Dr Kariadi.
Pada hari pertama perawatan anak pucat, kurang aktif, didapatkan ruam malar. Tanda
vital HR 80x/mnt, nadi regular, isi dan tegangan cukup, laju napas 20 kali per menit, dan suhu
36.8 ºC. Pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva palpebra anemis, ruam malar, caries dentis,
pembesaran limfonodi coli posterior, pemeriksaan thorax dalam batas normal,
hepatosplenomegali. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 4,63 gr/dl, Ht 13,3%,
MCH 33,7 pg, MCV 97,1 fL, MCHC 34,7 gr/dl leukosit 7.700 /mmk, Trombosit
235.000/mmk, RDW 26,1 %, hitung jenis E0/B0/St0/Sg70/L27/M0, retikulosit 18,5%,
gambaran darah tepi eritrosit poikilositosis ringan (ovalosit, stomatosit, eliptosit, burr cell,
sebaran longgar), trombosit dan lekosit estimasi jumlah normal. Anak didiagnosis suspek LES,
diagnosis komorbid anemia grafis dengan diagnosis diferensial anemia hemolitik. Anak
diprogramkan transfuri washed erytrocyte (WE) 4 x 250 ml dan dirawat di bangsal anak
RSUP.
Pada hari perawatan ke-2 anak mengeluh pandangan mata kabur terutama mata kanan.
Hail konsultasi bagian oftalmologi pediatrik didapatkan kesan perdarahan retina, dilanjutkan
konsul sub bagian vitreo retina disarankan pemeriksaan Ocular Coherence Tomography
(OCT) dan didapatkan hasil perdarahan retina kedua mata, dan perdarahan makula mata

15
kanan. Pada hari perawatan ke-3, anak masih tampak pucat, pemeriksaan lab darah evaluasi
didapatkan Hb 7,93 gr/dl, Ht 23,4%, MCH 33,3 pg, MCV 98,2 fL, MCHC 34,0 gr/dl leukosit
4.590 /mmk, Trombosit 156.000/mmk, RDW 21,3 %, bilirubin total 1,91, bilirubin direk 0,74,
Anti Ds-DNA 2012. Anak didiagnosis LES, anemia hemolitik autoimun, perdarahan retina.
Anak mendapatkan tranfusi WE 2 x 250 ml, injeksi methylprednisolon 500 mg/ 24 jam
intravena pelan, selama 3 hari berturut-turut, vitamin D 1 tablet tiap 24 jam. Pada perawatan
hari ke 5 anak mulai aktif, tidak pucat, hasil lab darah evaluasi Hb 10,6 gr/dl, Ht 30,4%, MCH
32,9 pg, MCV 94,7 fL, MCHC 34,7 gr/dl leukosit 9.400 /mmk, trombosit 225.000/mmk,
RDW 18,4 %.
Saat ini anak memasuki perawatan hari ke 6. Keadaan umum sadar, aktif, tidak pucat,
tidak sesak, tidak demam. Anak didiagnosis LES dengan komorbid anemia hemolitik
autoimun, perdarahan retina, gizi baik perawakan normal. Anak telah mendapatkan tranfusi
WE 5 x 250 ml, injeksi methylprednisolon 500 mg/ 24 jam selama 3 hari, vitamin D 1 tablet
tiap 24 jam dan diet 3 x nasi dan 3 x 200 mll susu. Anak rencana akan dipulangkan besok pada
hari perawatan ke-7

F. DAFTAR PERMASALAHAN
No Masalah Aktif No Masalah Inaktif
1. Ruam malar, atralgia, rambut rontok, 1. Rendahnya pendidikan orang tua dan
alopecia pengetahuan orang tua
2. Hepatosplenomegali 2. Belum diberikan imunisasi remaja
3. Amenorea sekunder 3. Sosial ekonomi kurang
4. Tes coombs direk dan indirek positif
5. Anemia hemolitik
6. Retikulositosis
7. Perdarahan retina
8. Karies gigi
9. Kemungkinan gangguan internalisasi
(PSC-17)
10. Abnormal emotional symptom scale
(SDQ)

16
F. DIAGNOSIS BANDING
1) Lupus eritematosus sistemik (LES)
2) Anemia hemolitik e.c. LES
3) Perdarahan retina ODS dengan penurunan visus
dd retinopathy ec. LES
vasculitis ec. LES
vascular occlusive disease e.c LES
4) Amenore sekunder
5) Karies gigi
6) Gizi baik perawakan normal
7) Gangguan internalisasi diri dan abnormal emotional symptom
Dd/ Other behavioural and emotional disorders with onset usually occurring in
childhood and adolescence

G. DIAGNOSIS KERJA
1. Diagnosis Utama : lupus eritematosus sistemik (M32.1)
2. Diagnosis Komorbid : anemia hemolitik autoimun (D59.1)
Karies gigi (K02.1)
amenorea sekunder (N91.1)
Other behavioural and emotional disorders (F98.9)
with onset usually occurring in childhood and
adolescence
3. Diagnosis Komplikasi : perdarahan retina (H35.6)

H. RENCANA PENGELOLAAN
a. Rencana Pemeriksaan
- Konsultasi psikologi
- konsultasi bagian gigi mulut (saat rawat jalan)
b. Rencana terapi medikamentosa
- Infus RL 960/40/10 tpm makrodrip

17
- Injeksi Metilprednisolon 500 mg/24 jam (10 mg/KgBB/hari) syringe pump 30 menit,
selama 3 hari
- Dilanjutkan Metilprednisolon per oral 16 mg 2-2-0 (1,2 mg/kg/hari), selama 2 minggu
mulai hari ke-4
- Vitamin D 1 tab/24 jam
- Kalk 1 tab/24 jam
- Jaga oral hygien
Diet : 3 x nasi
3 x 200 cc susu
c. Asuhan nutrisi pediatrik
Perempuan, 17 tahun 2 bulan dengan BB: 49 kg, TB: 157.5 cm. Penatalaksanaan nutrisi
dengan 5 langkah Pediatric Nutrition Care :
1. Assesment : WAZ : NA, HAZ : -0,89 SD, BMI : -0,43 SD. Kesan :gizi baik,
perawakan normal.
2. Kebutuhan nutrisi sesuai berat badan dan usia adalah kalori 40 kkal/kgbb/hari,
protein 1 gram/kgbb/hari, sehingga kebutuhan kalori anak adalah 1960 kkal/hari,
protein 49 gr/hari dan kebutuhan cairan menurut Darrow 2080 cc/hari
3. Rute pemberian : oral
4. Sediaan : 3x 1 porsi nasi, 3 x 200 cc susu full cream (Total kalori 1987,5 kkal
protein 69,5 gram. Dengan angka kecukupan gizi kalori 101,4 % dan protein
141,18%)
5. Monitoring : akseptabilitas diet dan Berat badan
d. Rencana Perawatan
- Mengatasi fase flare SLE dan anemia.
- Membantu tersedianya edukasi bagi penderita.
- Mengurangi kemungkinan infeksi rumah sakit dengan cuci tangan yang baik 5
moment
- Mencegah komplikasi penyakit
- Menjaga kebersihan penderita dan ruang perawatan.
- Menjaga oral hygiene
- Memberikan perasaan nyaman kepada penderita di ruangan

18
e. Rencana Pemantauan
- Pemantauan klinis, keadaan umm, tanda vital.
- Pemantauan komplikasi LES dengan menggunakan skor SLEDAI, yang dirangkum
dalam bentuk buku saku
- Pemantauan akseptabilitas diet.
- Pemantauan efek samping pengobatan kortikosteroid dan transfusi
- Pemantauan keteraturan minum obat
- Pemantauan perkembangan, psikososial dan mental emosional tiap bulan.
f. Rencana KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi)
- Menjelaskan tentang penyakit, pemeriksaan yang akan dilakukan, pengobatan serta
prognosis penderita.
- Menjelaskan kepada orangtua dan penderita untuk segera datang ke pusat pelayanan
terdekat apabila terlihat pucat, bengkak sendi, BAK berkurang, keruh atau kemerahan,
atau timbul keluhan lain.
- Menjelaskan kepada orangtua dan penderita untuk menghindari paparan sinar
matahari, menggunakan tabir surya
- Memotivasi untuk patuh dalam mengkonsumsi obat, rutin kontrol sesuai jadwal
- Memberikan informasi kepada Puskesmas/ tenaga kesehatan dalam lingkungan
penderita, atas izin orang tua, agar mendapatkan pemantauan kesehatan serta
pengobatan yang baik.
- Menjelaskan tentang pentingnya pencegahan infeksi, menjaga kebersihan dengan
mencuci tangan.
- Menjelaskan kepada orang tua bahwa anak mengalami gangguan emosional akibat
penyakit kronis yang dialaminya, sehingga sangat membutuhkan dukungan dari orang
tua supaya tercipta kondisi lingkungan dan psikologis yang kondusif.
- Motivasi kontrol ke dokter gigi untuk menjaga kesehatan gigi - geligi
- Rencana untuk diberikan imunisasi saat remaja seperti tetanus and toxoids vaccine
(Td) dan pneumokokus vaksin saat anak sudah tidak lagi menggunakan obat
kortikosteroid.
- Menjelaskan kepada orangtua dan pasien bahwa gangguan menstruasi yang terjadi
berhubungan dengan perjalanan penyakit dan pengobatan

19
I. FOLLOW-UP (I)
HP Ke-1 HP Ke-2
(6 Agustus 2016 ) (7 Agustus 2016 )
08.00 WIB 06.00 WIB
Pucat (+), lemas, nyeri sendi (-) Pucat (+), nyeri sendi (-), ruam baru
Subyektif
(-)
Kesan Umum Sadar, kurang aktif, anemis (+) Sadar, kurang aktif, anemis (+)
Tanda Vital HR : 72x/menit, RR : 20x/menit, HR : 90 x/menit, RR : 22x/menit, N :
N : reguler isi& tegangan cukup, reguler isi& tegangan cukup,
t : 36,5°C, TD : 100/70 mmHg t : 36,8°C, TD : 110/70
Pemeriksaan BB: 49 kg Tetap
Fisik Kepala : Alopesia (+)
Mulut : ulkus (-), bibir anemis (+),
karies dentis (+)
Wajah : Malar Rash (+) di kedua pipi
Mata : anemis (+/+); Hidung: nafas
cuping (-); Mulut : sianosis(-),
Thorax : simetris, retraksi (-)
 Cor :BJ I-II N, gallop(-), bising (-)
 Pulmo : Suara dasar vesikuler
(+)/(+), suara tambahan (-)/(-)
Abdomen: supel, BU(+) normal
 Hepar: teraba 2 cm BAC, tepi
tajam, rata, kenyal
 Lien: (S1)
Ekstremitas : akral dingin (-),
Objektif

sianosis(-), Anemis (+)


Pemeriksaan Tgl 5-8-16 jam 19.39 WIB (-)
penunjang Hb 4.63 gr/dL
Ht 13,3 %
Leukosit 7.770/uL
Trombosit 235.000/uL
Glukosa Sewaktu 79 mg/dL
SGOT 37 U/L
SGPT 45 U/L 15 - 60
Ureum 39 mg/dL
Kreatinin 0.5 mg/dL
Hitung jenis : 0/0/0/70/27/0
Gambaran darah tepi:
Eritrosit : anisositosis ringan
(Normositik, makrositik),
Poikilositosis sedang ( Ovalosit,
stomatosit, eliptosit ), sebaran eritrosit
agak longgar, polikromasi +.
Trombosit : jumlah normal, Lekosit :
Jumlah tampak normal.
Elektrolit
Natrium 138 mmol/L
Kalium 4.1 mmol/L

20
Chlorida 115 mmol/L
Calcium 1.99 mmol/L

Coombs test direk positif


Coombs test indirek positif
Assesment  Suspek LES tetap
 Anemia hemolitik ec. Suspek LES
 Amenorrhea sekunder
Medikamentosa  O2 Nasal 2LPM  Parasetamol 500 mg/6 jam
 Infus RL 960/40/10 tpm makrodip  Vitamin D 1 tab/24 jam
 Kalk tab 1 tab/24 jam
 terapi lain tetap
Nutrisi 3 x nasi Tetap
3 x 200 ml susu
Plan

Program  Evaluasi keadaan umum, tanda-  melanjutkan program transfusi


tanda vital WE
 Usul : ANA test, Anti Ds DNA,  Injeksi Furosemid 20 mg mid
urine rutin transfusi, 20 mg post transfusi.
 Transfusi : WE 3 x 250 cc  Cek Darah rutin, Bilirubin total,
 Cek darah rutin pasca transfusi, Bilirubin direk post transfusi.
bilirubin total/direk,, anti ds DNA

J. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad mslsm
Quo ad sanam : dubia ad malam
Quo ad fungsionam : dubia ad malam

21
BAGAN ANALISA KASUS
R Usia pasca Jenis kelamin Infeksi Pemakaian Lingkungan: Sosial Oral Pengetahuan dan
I permpuan steroid Paparan ekonomi hygine pendidikan orang
S pubertal
insektisida kurang kurang tua rendah
I
K
O

D
I
A SLE LOE 2
G Karies gigi
N
O
S
I AIHA Other behavioural and emotional Perdarahan
S disorders with onset usually occurring retina
in childhood and adolescence

LOE 1 LOE 3 LOE 3 LOE 3


T
A
T
Kuratif Preventif Promotif Rehabilitatif
A - Inj.metil prednisolon 500 mg/24 jam - Mencegah infeksi - Edukasi hiegene sanitasi - Dukungan
- Lanjut per oral tab 16 mg 2-2-0 - Pemantauan komplikasi steroid dan psikologis
L
A selama 2 minggu, kemudian tapp off - Menghindari sinar matahari, - Oral higyne - Usulan program
K - Transfusi Wash Eritrosit menggunakan tabir surya - Meningkatkan PHBS
S
- Suplementasi Vitamin D dan kalsium keterampilan
A - Vaksinasi non live
N atenuated
A

P
R
O
G Asah LOE 2
N Asih
O
S Asuh Prognosis
I
S
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad sanam : dubia ad malam
Qou ad fungsionam : dubia ad malam
22
\

23
ANALISISIS KASUS

Kasus ini adalah seorang anak perempuan 7 tahun yang dirawat di bangsal anak
dengan diagnosis Lupus Nefritis Klas IV, anemia, hipertensi terkontrol obat.

Lupus Eritematosus Sistemik


Lupus eritematosus sistemik/ LES (systemic lupus erythematosus/ SLE) merupakan
penyakit inlamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi
klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Insidens LES pada anak
sebesar 10-20 kasus/100.000 anak dan secara umum mengalami peningkatan, sekitar 15-17%.1
LES sangat jarang terjadi sebelum usia 5 tahun. Onset LES paling sering didapatkan pada
anak perempuan usia antara 9 sampai 15 tahun. Rasio perempuan dan laki-laki adalah 2:1
sebelum pubertas dan setelah pubertas menjadi 9:1. Perbandingan jumlah pasien perempuan
dan laki-laki antara 5-10:1.2 Morbititas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi.
Berturut-turut kesintasan (survival) LES untuk 3, 5 dan 7 tahun adalah 97%, 93% dan 93%.3
Manifestasi klinis LES bervariasi, mulai dari gejala kronik intermiten hingga gejala
fase akut yang fatal. Demam intermiten atau menetap, lelah, berat badan turun, dan anoreksia
merupakan gejala LES yang aktif. Kelainan dapat terjadi pada mukokutan (ruam malar, lesi
diskoid, aloplesia, ulserasi mukosa mulut/ nasal), muskuloskeletal (artralgia, artritis), ginjal
(hematuria, proteinuria, hipertensi), susunan saraf pusat/SSP (kejang, psikosis, halusinasi),
jantung (perikarditis), paru (pleuritic), sindrom antifosfolipid (tromboemboli), vaskulitis, mata
(mata kering), dan gastrointestinal (mual, hepatitis).

24
Tabel . Manifestasi LES pada organ target4
Organ Target Manifestasi
Konstitusional Fatigue, anorexia, BB ↓, demam, limfadenopati
Muskuloskeletal Arthralgia, arthritis
Kulit Malar rash, lesi discoid livedo reticularis, vasculitis
Renal Glomerulonephritis, hypertension, sindroma nefrotik, gagal ginjal
Kardiovaskuler Pericarditis (cardiac tamponade)
Neurologi kejang, psikosis, stroke, cerebral venous thrombosis, pseudotumor cerebri,
aseptic meningitis, korea, global cognitive deficits, mood disorders,
transverse myelitis, peripheral neuritis (mononeuritis multiplex)
Paru-paru Nyeri pleuritic, pulmonary hemorrhage
Hematologi Coombs-positive hemolytic anemia, anemia kronik, trombositopenia,
lekopenia
Laboratorium LED + CRP ↑; C3 atau C4 ↓
ANA dan anti–double-stranded DNA antibodies (+)

Kelainan Renal
Lupus Nefritis merupakan penentu utama prognosis LES jangka panjang. Nefritis lebh
sering terjadi pada anak dibanding dewasa. Lupus Nefritis biasanya asimtomatik meskipun ada
yang hematuria mekroskopik dan edema sehubungan dengan sindroma nefrotik.1 Dilaporkan
bahwa sebagian besar gejala awal berupa hematuria mikroskopis, proteinuria, penurunan
filtrasi glomerulus dan hipertensi. Penyakit ginjal biasanya baru muncul 2 tahun setelah onset.
Bukti histologi biasanya mendahului kelainan sedimen urin sehingga diperlukan pemeriksaan
fungsi ginjal. Menurut penelitian Sudewi, proteinuria terjadi pada 24 dari 27 pasien dan
proteinuria meruakan manifestasi klinis tersering dari Lupus Nefritis.5 Sedangkan pada
penelitian Evalina, terdapat enam anak dengan gangguan ginjal dan ditegakkan diagnosis
sebagai lupus nefritis berdasarkan hasil pemeriksaan urinalisis yaitu terdapatnya protein,
eritrosit, dan lekosit. Hampir dua pertiga anak dan remaja yang terdiagnosis LES berkembang
menjadi penyakit ginjal.1

Pada kasus ini, pasien adalah seorang perempuan berusia 17 tahun 2 bulan, gejala
awal dirasakan saat berusia 16 tahun. Gejala klinis yang muncul berupa gejala konstitusional
seperti demam tidak tinggi yang berulang, cepat lelah, BB turun, rambut rontok dan
pembesaran kelenjar limfe. Selain itu didapatkan keterlibatan organ target berupa atralgia,
pucat dan ruam malar, tes Coomb indirek yang positif, anemia hemolitik dan peningkatan anti
Ds-DNA. Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien LES di Eropa yang diikuti selama 10 tahun,

25
manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%,
nefropati 27,9%, fotosensitivitas 22,9%, keterlibatan saraf pusat (SSP) dan neurologik 19,4%
dan demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%,
ruam diskoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan lesi subkutaneus akut 6,7% (level of evidence
3).6 Penelitian meta analisis mendapatkan bahwa manifestasi klinis SLE pada anak yang
bermakna lebih sering dibanding dewasa adalah malar rash, ulcer mucocutan, keterlibatan
ginjal, proteinuria, silinder sel urin, kejang, trombositopeni, anemia hemolitik, demam, dan
limfadenopati (OR 1.3-3.7) sedangkan sindrom Raynauld, pleuritis dan konjungtivitis sicca
lebih sering pada dewasa (level of evidence 1).7

Lupus Nefritis
Ginjal merupakan organ yang sering terlibat pada pasien dengan LES. Lebih dari 70%
pasien LES mengalami keterlibatan ginjal sepanjang perjalanan penyakitnya.6 Menurut
American College of Rheumatology, Lupus Nefritis terjadi hampir pada 80% anak dengan
Juvenile LES, dan apabila pengelolaan gagal mencapai remisi pada Lupus Nefritis ini maka
dapat menurunkan 15% 10-year survival.7
Definisi Lupus Nefritis adalah manifestasi klinis dan laboratoris yang memenuhi
kriteria ACR (proteinuria persisten >0,5 g/hari atau lebih dari +3 pada dipstik, dan/ atau
sedimen termasuk di dalamnya eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran) dan
untuk diagnosis pasti dilakukan biopsi ginjal.7
Bila tersedia fasilitas biopsi, pada semua pasien dengan bukti klinis Lupus Nefritis
aktif dan tidak terdapat kontra indikasi, maka biopsi ginjal perlu dilakukan untuk konfirmasi
diagnosis, evaluasi aktivitas penyakit, klasifikasi kelainan histopatologik ginjal, menentukan
prognosis dan terapi yang tepat.6,7 Indikasi biopsi ginjal pada LES diantaranya peningkatan
kadar kreatinin serum tanpa ada penyebab lain seperti sepsis dan hipovolum, proteinuria ≥ 1
gram per 24 jam, kombinasi antara proteinuria ≥ 0.5 gram per 24 jam dan hematuria ≥5
eritrosit /LPK atau proteinuria ≥0.5 gram per 24 jam dan silinder sel.7

26
Tabel . Klasifikasi lupus nefritis menurut World Health Organization

Klasifikasi kriteria World Health Organization (WHO) untuk lupus nefritis sudah
diperbaharui oleh International Society of Nephrolog dan Renal Pathology Society (ISN/RPS)
tahun 2003. Klasifikasi WHO dinilai berdasarkan pola histologi dan lokasi dari imun
kompleks, sementara klasifikasi ISN/RPS juga membagi menjadi lesi fokal, difus, aktif, tidak
aktif, dan kronis.8

27
Tabel . Klasifikasi lupus nefritis oleh International Society of Nephrology/Renal Pathology
Society 2003 (ISN/RPS)

Bila biopsi tidak dapat dilakukan oleh karena berbagai hal, maka klasifikasi lupus
nefritis dapat dilakukan penilain berdasarkan panduan WHO. Pemeriksaan patologi
memperlihatkan hubungan antara respon klinis dan hasil akhir. Difus proliferatif
glomerulonefritis (klas IV) mempunyai prognosis terburuk, 11-48% pasien akan mengalami
gagal ginjal dalam 5 tahun.6,7
Pada kasus, didapatkan gambaran klinis berupa kenaikan kreatinin serum dan
kenaikan laju filtrasi glomerolus dan hipertensi stage II dengan krisis hipertensi. Terdapat
proteinuria 100 mg/dl namun tidak dengan pengukuran selama 24 jam. Anti DS-DNA
equivokal, sementara C3 dan C4 tidak diperiksa dikarenakan keterbatasan lab RS. Biopsi
ginjal dilakukan dengan hasil Focal lupus nefritis (kelas III).
Kelas III didefinisikan sebagai lupus nefritis fokal pada <50% dari keseluruhan
glomeruli. Kelainan pada glomeruli berupa lesi endokapiler proliferatif atau skar glomerular
inaktif dengan atau tanpa nekrosis dinding kapiler, dengan depisot subendotelial. Penelitian
terhadap 350 spesimen didapatkan kelas III dengan kelainan segmental dan jarang sekali
global.8

28
Hasil biopsi ginjal ini menentukan terapi dan prognosis. Menurut Midna dkk, selain
adanya Lupus Nefritis juvenil proliferatif, temuan histologis kelas III dan IV serta adanya
Lupus Nefritis non remiting merupakan faktor resiko terjadinya gagal ginjal kronik dan luaran
LES anak yang buruk (level of evidence 3).9

Tatalaksana Lupus Nefritis


Penentuan terapi Lupus Nefritis dan pemilihan regimen tergantung gambaran klinis
dan patologis, sehingga biopsi ginjal sangat penting dalam penentuan terapi. Gambaran klinis
pada Lupus Nefritis berat diantaranya sedimen urin dengan tanda nefritik, SN yang memburuk
dan penurunan fungsi ginjal.
Preparat kortikosteroid dipilih berdasarkan potensi dan waktu paruh yang disesuaikan
dengan kondisi penderita. Pada prinsipnya dipilih jenis obat yang mempunyai efek anti
inflamasi kuat dan waktu paruh sependek mungkin, dengan efek samping seminimal mungkin,
dalam dosis minimum dan mudah dipergunakan. Obat yang paling memenuhi kriteria diatas
adalah prednisolon, dengan alternatif prednison atau metilprednisolon tergantung dari efek apa
yang diinginkan untuk penderita.10
Agen imunosupresif sering diperlukan untuk mengontrol LES dan memperbaiki
kualitas hidup. Siklofosfamid sering digunakan pada LES yang berat, khususnya lupus nefritis,
penyakit berat dan gangguan SSP. Sikofosfamid dengan dosis awal 500-1000 mg/m2 diberikan
dengan intravena bolus setiap bulan selama 6 bulan kemudian dilanjutkan setiap 3 bulan
sampai total 36 bulan, didahului hidrasi intravena 2 L/m2/24 jam selama 12 jam. Bila timbul
efek samping pada pemberian kortikosteroid misalnya hipertensi, pada Lupus Nefritis berat
atau Lupus Nefritis proliferatif difus sejak awal diberikan kombinasi siklofosfamid dan
kortikosteroid.11

29
Tabel . Terapi induksi pada anak dengan Lupus Nefritis

Tabel . Terapi maintenace pada anak dengan Lupus Nefritis

Terapi pilihan lain pada Lupus Nefritis yang berat terutama Lupus Nefritis kelas III
dan IV adalah Mycophenolic Mofetil (MMF/MPA) dengan respon terapi yang baik pada Lupus
Nefritis yang berat, dapat digunakan per oral dan tidak menimbulkan efek samping amenore
dan infertilitas sehingga sesuai pada remaja wanita (level of evidence 2).12 Menurut Guideline

30
yang dibuat oleh American College of Rheumatologi, untuk terapi Lupus Nefritis kelas II/ IV,
pemberian MMF sama baiknya dengan cyclophosphamid untuk terapi induksi.13

Gambar . Terapi induksi untuk Lupus Nefritis kelas III/ IV


Setelah mengatasi manifestasi akut, dosis glukokortikoid harus diturunkan secara
perlahan disertai pemantauan klinis dan laboratorium. Penilaian adekuasi terapi berdasar pada
respon klinis, pemeriksaan sel darah putih, trombosit, hemoglobin, komplemen serum, kadar
antibodi anti ds-DNA dan urinalisis. Agen imunosupresif sering diperlukan untuk mengontrol
LES dan memperbaiki kualitas hidup.14
Terapi suportif pada LES sangat penting dan menentukan luaran penyakit. Komplikasi
jangka panjang yang sering terjadi diantaranya atherosklerosis, gangguan neurokognitif dan
osteoporosis. Pemantauan pubertas, calsium dan suplementasi vitamin D untuk osteoporosis

31
juga penting. Deteksi dan penanganan komplikasi infeksi. Penatalaksanaan Renal
Replacement Terapi (RRT) dan transplantasi renal dilakukan pada gagal ginjal terminal.12
Pada kasus, terapi induksi Lupus Nefritis kelas III diberikan injeksi methylprednisolon
1 gram/ hari selama 3 hari berturut-turut, pemberian dilakukan dengan syrinc pump dan
diencerkan, kemudian diberikan selama 60 menit. BSA pasien adalah 1,18 sehingga
mendapatkan injeksi Cyclophosphamid 500 mg tiap kali pemberian (500 -1000mg/ BSA),
dilakukan per bulan selama 6 bulan. Pasien juga diterapi maintenans dengan prednison per
oral dengan dosis alternate dose sebanyak 47,2 mg (10 tablet) diberikan 4 – 3 – 3 tablet setiap
hari Senin – Rabu – Jumat. Untuk terapi supportif pasien diberikan supementasi kalsium dan
vitamin D

Penyakit Komorbid yang Menyertai LES


Hipertensi
Hipertensi karena penyakit ginjal banyak terjadi, disebabkan oleh karena penyakit
parenkim ginjal misalnya glomerulonefritis pasca streptokokus, pielonefritis, lupus
eritomatosus, anomali ginjal dan pembuluh darah ginjal. Hipertensi yang dialami pasien LES
selain dikarenakan keterlibatan LES pada ginjal juga masih mungkin disebabkan oleh paparan
steroid.10
Semua kortikosteroid dapat menyebabkan retensi natrium, yang mengakibatkan
retensi cairan. Retensi cairan yang disebabkan kortikosteroid dapat menyebabkan hipertensi,
dan pasien yang sebelumnya sudah menderita hipertensi dapat mengalami perburukan kontrol
tekanan darah. Prinsip mekanisme dari hipertensi yang diinduksi kortikosteroid adalah
stimulasi berlebih dari reseptor mineralokortikoid, yang mengakibatkan retensi natrium.
Kondisi ini mengakibatkan ekspansi volume dan peningkatan tekanan darah. Peningkatan
tekanan darah akibat penggunaan kortikosteroid ditentukan oleh dosis dan durasi penggunaan
kortikosteroid tersebut.15
Penelitian Hussain MM dkk menyatakan bahwa penderita yang mendapatkan dosis
rata-rata 75 mcg fludrocortisone selama 5 bulan akan mengalami hipertensi (level of evidence
3).15 Angiotension Corverting Enzim Inhibitor (ACEI) dan Angiotension Reseptor Bloker
(ARB) yang diberikan pada anak Lupus Nefritis dengan hipertensi dan proteinuria dapat
menunda terjadinya penurunan fungsi ginjal dan penyakit kardiovaskuler.12

32
Tabel . Obat antihipertensi yang digunakan pada anak dan remaja
Golongan obat Jenis obat Dosis dan interval
Angiotensin Captopril Dosis: 0,3 s/d 0,5 mg/kg/kali
Converting Enzyme Maksimum 6 mg/kg/hari
inhibitor (ACEi) Enalapril Dosis: 0,08 mg/kg/hari sampai 5 mg/hari
Benazepril Dosis: 0,2 mg/kg/hari sampai 10 mg/hari
Maksimum: 0,6 mg/kg/hari sampai 40 mg/hari
Lisinopril Dosis: 0,07 mg/kg/hari sampai 40 mg/hari
Fosinopril Anak > 50 kg: dosis 5 s/d 10 mg/hari
Dosis maksimum: 40 mg/hari
Quinapril Dosis: 5 s/d 10 mg/hari
Dosis maksimum: 80 mg/hari
Angiotensin Receptor Irbesartan 6 s/d 12 tahun: 75 sampai 150 mg/hari (satu kali perhari)
Blocker (ARB) ≥13 tahun: 150 s/d 300 mg/hari
Losartan Dosis: 0,7 mg/kg/hari sampai 50 mg/hari (satu kali sehari)
Dosis maksimum: 1,4 mg/kg/hari sampai 100 mg/hari
Calcium Channel Amlodipine Anak usia 6 sampai 17 tahun: 2,5 sampai 5 mg satu kali sehari
Blocker Felodipine Dosis: 2,5 mg/hari
Dosis maksimum: 10 mg/hari
Isradipine Dosis: 0,15 sampai 0,2 mg/kg/hari (dibagi 3 sampai 4 dosis)
Dosis maksimum: 0,8 mg/kg/hari sampai 20 mg/hari
Extended release Dosis 0,25 sampai 0,5 mg/kg/hari (satu sampai dua kali perhari)
Nifedipine Dosis maksimum: 3 mg/kg/hari sampai 120 mg/hari
Alpha dan Beta Labetalol Dosis: 1 s/d 3 mg/kg/hari
Blocker Dosis maksimum: 10 s/d 12 mg/kg/hari sampai 1200 mg/hari
Beta Blocker Atenolol Dosis: 0,5 s/d 1 mg/hari (satu sampai dua kali perhari)
Dosis maksimum: 2 mg/kg/hari sampai 100 mg/hari
Metoprolol Dosis: 1 s/d 2 mg/kg/hari(dua kali perhari)
Dosis maksimum: 6 mg/kg/hari sampai 200 mg/hari
Propanolol Dosis: 1-2 mg/kg/hari (dibagi dua sampai tiga dosis)
Dosis maksimum: 4 mg/kg/hari sampai 640 mg/hari
Central Alpha Clonidine Anak ≥ 12 tahun:
Blocker Dosis: 0,2 mg/hari (dibagi dua dosis)
Dosis maksimum: 2,4 mg/hari
Vasodilator Hydralazine Dosis: 0,75 mg/kg/hari
Dosis maximal: 7,5 mg/kg/hari sampai 200 mg/hari
Anak < 12 tahun:
Minoxidil Dosis: 0,2 mg/kg/hari (dibagi satu sampai 3 dosis)
Dosis maksimum: 50 mg/hari
Diuretics Hydrochloro- Dosis: 1 mg /kg/hari (sekali sehari)
thiazide
Furosemide Dosis: 0,5 mg s/d 2 mg/kg/hari
Dosis maksimum: 6 mg/kg/hari
Spironolacton Dosis: 1 mg/kg/hari (dibagi 1-2 dosis)
Triamterene Dosis: 1 s/d 2 mg/kg/hari
Dosis maksimum: 3 s/d 4 mg/hari sampai 300 mg/hari

Pada anak dengan hipertensi kronis atau yang kurang terkontrol, masalah pengobatan
menjadi lebih rumit. Beberapa anak dengan keadaan tersebut seringkali memerlukan obat
antihipertensi kombinasi untuk memantau kenaikan tekanan darah. Prinsip dasar pengobatan

33
anti hipertensi kombinasi adalah menggunakan obat-obatan dengan tempat dan mekanisme
kerja yang berbeda. Pemilihan obat juga harus sesederhana mungkin, yaitu dengan
menggunakan obat dengan masa kerja panjang, sehingga obat cukup diberikan satu atau dua
kali sehari.16
Pada kasus, pasien mengalami hipertensi stage 2 dengan beberapa kali krisis
hipertensi per hari. Dari 8 bulan sebelumnya, anak telah didiagnosis LES yang mendapatkan
terapi methylprednisolon selama 8 bulan dengan dosis 2,8 mg/kgBB/hari. Pasien juga telah
didiagnosis hipertensi dan meminum 2 obat. Selain kelainan karena penyakit ginjal yang
diderita, pemberian kortikosteroid jangka panjang dengan dosis tinggi dapat menjadi
penyebab hipertensi pada pasien ini.
Pada saat awal perawatan, obat anti hipertensi tetap diberikan seperti yang
sebelumnya. Anak mengalami krisis hipertensi dan diberikan nifedipin sublingual 0,1
mg/kg/kali, dengan pengulangan tersering adalah 4 kali, sebelum tensi stabil. Oleh sebab itu
obat anti hipertensi yang diberikan nifedipin (Ca chanel blocker) 5 mg/ 8 jam (06.00, 14.00,
22.00), Irbesartan (ARB) 300 mg/ 24 jam (06.00), ditambah dengan Furosemid (diuretik) 20
mg/ 8 jam (08.00, 16.00, 00.00), kaptopril (ACE inhibitor)12,5 mg/ 12 jam (07.00, 19.00).
Pada pasien juga diberikan diet rendah garam yang sedianya telah dikonsultasikan dengan
bagian terkait. Pemberian obat ini sesuai dengan prinsip dasar pengobatan anti hipertensi
kombinasi adalah menggunakan obat-obatan dengan tempat dan mekanisme kerja yang
berbeda.

Acute Kidney Injury (AKI) / Cedera Ginjal Akut


Cedera ginjal akut (AKI) ditandai dengan penurunan tiba-tiba fungsi ginjal yang terjadi
dalam hitungan jam hingga hari dalam mempertahankan homeostasis tubuh. Diagnosis AKI
saat ini dibuat berdasarkan adanya peningkatan kadar serum kreatinin dan / atau nitrogen urea
darah (BUN) dan / atau produksi urin yang berkurang.17

“Kriteria RIFLE”
Kreatinin serum merupakan gambaran dari Laju Filtrasi Glomerulus (LFG), yang dapat
diprakirakan dengan menggunakan rumus :

34
Gambar . Kriteria RIFLE

Penyebab gagal ginjal akut secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian, yaitu pre-renal
(hipovolemia, penurunan curah jantung, syok, peningkatan resistensi pembuluh darah ginjal),
renal (kelainan pembuluh darah ginjal, penyakit glomerolus, nekrosis tubulus akut, nefritis
interstisial), dan post-renal (sumbatan ureter, sumbatan uretra).17

Tabel. . Perbedaan GGA renal dan prerenal


Urine Prarenal Renal
Volume Sedikit Sedikit
Protein Negatif Sering positif
Sedimen Normal Torak granular, eritrosit
Berat jenis > 1020 1010 – 1015
Na urine (mmol/l) < 10 > 25
Urea urine (mmol/l) > 250 < 160
Osmolalitas (mmol/l) > 500 200– 350
Ratio osmolalitas U/P > 1.3 < 1,1
FENa <1 >1

Tata laksana AKI paling utama adalah penatalaksanaan penyakit yang mendasari.
Penatalaksanaan dibagi 2 tahap yaitu konservatif dan dialisis. Tahap konservatif bertujuan
mencegah progresifitas overload cairan, kelainan elektrolit dan asam basa, mencegah gejala

35
uremia. Bila sudah terjadi GGA renal, tujuan terapi ini adalah mempertahankan homeostasis
sambil menunggu perbaikan ginjal setelah penyakit yang mendasarinya diatasi.17
Terapi supportif dan simtomatik:
- Sirkulasi kurang baik : dopamin 5 ug/kg/menit
- Hiperkalemia : bila terdapat tanda-tanda hiperkalemia berat (ada perubahan-perubahan
pada EKG dan kadar K+ serum > 7 mEq/L), perlu segera diberikan :
o kayeksalat 1 g/kgBB/rectal atau kalitake 3x2,5 gram/hari
o Glukonas kalsikus 10%, 0.5 ml/kg BB intravena dalam 10-15 menit. Tujuannya untuk
mengatasi efek toksik K+ pada jantung.
o Sodium Bicarbonate 7,5%, 2,5 mEq/kg BB intravena selama 10-15 menit, untuk
meningkatkan ph darah sehingga terjadi intracellular shift sehingga kadar K+ serum
turun.
- Hiperfosfatemia dan Hipokalsemia: pada gagal ginjal pencegahan dilakukan dengan
mempertahankan kadar kalsium serum antara 9.0-10.0 mg/100 ml melalui pemberian
suplemen kalsium yang cukup. Dapat pula dilakukan pengikatan fosfat dalam usus dengan
menggunakan kalcium karbonate 50 mg/kg bb/hari. Vitamin D perlu disertakan dalam diit
dan sebaiknya diberikan 1,25 (OH)2 cholecalciferol sebagai vitamin D3 aktif dengan dosis
0.5-1.0 microgram per hari
- Asidosis metabolic : Asidosis harus dikoreksi apabila kadar HCO3 < 12 mEq/L dan pH
darah < 7,2. Jumlah Bikarbonat yang diperlukan = (HCO3 ideal – HCO3 aktual) x berat
badan (kg) x 0,3.
- Hipertensi : diberikan obat antihipertensi yang sesuai
- Hiponatremi : Bila kadar Na darah <120mEq/l atau timbul gejala cerebral dikoreksi dengan
NaCl hipertonik 3% (0,5 mg/ml) dalam 1-4 jam.
- Sepsis : antibiotik spektrum luas yang tidak nefrotoksik dengan modifikasi dosis.
- Edema paru : Edema paru merupakan keadaan yang sangat berbahaya dan dapat
menimbulkan kematian dalam waktu singkat. Tindakan yang dilakukan dengan
memberikan furosemid i.v. 1 mg/kg bb disertai torniket dan flebotomi. Di samping itu
dapat diberi morfin 0,1 mg/kg bb.
- Kejang : bila perlu diberi obat-obat anti kejang
- Anemia : transfusi tidak dianjurkan bila gejala-gejala klinis anemia tak terlihat atau Hb

36
masih di atas 6 g/dl, karena transfusi dapat memperberat hiperkalemia, hipertensi dan payah
jantung. Bila Hb < 6 g/dl atau Ht < 20%, tranfusi dilakukan dengan mempergunakan pack
red cell (10 ml/kg bb) dengan tetesan lambat 4-6 jam (lebih kurang 10 tetes/menit).
- Hiperuricemia : diberikan alopurinol
- Nutrisi : prinsip nutrisi yang harus diberikan adalah diit tinggi kalori rendah protein,
dengan jumlah kebutuhan kalori disesuaikan dengan umur dan berat badan. Jumlah kalori
ideal 60-100 cal/kg BB/hari diberikan terutama dalam bentuk glukosa dan lemak. Protein
dibatasi antara 0.85-1.0 gram/kg BB/hari dalam bentuk protein hewani yang bernilai
biologik tinggi. Sebaiknya disertakan pula suplementasi vitamin.
- Pengawasan yang perlu dilakukan : tanda vital, Hb, Ht, trombosit, urinalisis dan diuresis
berkala, ureum dan kreatinin plasma, elektrolit, protein dan albumin darah.
Hubungan antara gagal ginjal dengan Lupus Nefritis telah banyak diteliti. Menurut
Levey dkk, resiko gangguan ginjal meningkat pada pasien degnan kadar kreatinin awal >1,2
mg/dl. Selanjutnya, kadar kreatinin awal yang rendah dan remisi setelah terapi inisial akan
menurunkan resiko gangguan fungsi ginjal dan kemungkinan tidak membutuhkan
cyclophosphamid jangka panjang (level of evidence 3)18
Pada kasus, didapati kenaikan kreatinin dan LFG 46 ml/ BSA dan dikategorikan
stadium injury. Pada urine rutin di dapatkan BJ 1.010, proteinuria, tidak didapatkan sedimen.
Penyebab AKI pada penderita ini adalah penyebab renal yaitu Lupus Nefritis. Untuk terapi
definitif adalah penatalaksanaan Lupus Nefritis sesuai protokol dan terapi suportif yang
diberikan adalah Bicnat dan CaCO3. Penatalaksanaan hipertensi telah sesuai. Tranfusi darah
sebenarnya tidak diperlukan namun dilakukan karena persiapan biopsi ginjal dan persyaratan
anestesi. Nutrisi diberikan sejumlah 2100 kkal, protein 35 gram dan pembatasan garam. Pada
pasien seharusnya dilakukan pemeriksaan asam urat dan pemberian alopurinol. Pengawasan
yang dlakukan adalah tanda vital, Hb, Ht, trombosit, urinalisis dan diuresis berkala, ureum
dan kreatinin plasma, elektrolit.

Anemia
Anemia pada LES biasanya berhubungan dengan patogenesis meliputi anemia
penyakit kronis, hemolitik, perdarahan, insufesiensi renal, infeksi dan anemia aplastik.

37
Anemia normositik normokrom sering terjadi. Anemia yang terjadi merupakan anemia
penyakit kronik pada 60 hingga 80% pasien.19
Turunnya respon eritropoietin dan adanya autoantibodi terhadap eritropoietin
dikatakan berperan dalam patogensisnya. Kombinasi anemia hemolitik dan purpura
trombositopenia idiopatik dapat terjadi pada LES. Apabila ditemukan anemia perlu diperiksa
uji coombs untuk melihat adanya anemia hemolitik autoimun.1 Anemia pada Lupus Nefritis
dilaporkan mempunyai prognosis kurang baik dan umumnya progresif. Apabila tidak
ditemukan gejala klinis anemia seperti dispneu, mudah lelah maka tidak ada terapi yang perlu
diberikan.20

Tabel . Penyebab anemia pada LES

Pada kasus, didapatkan anemia normositik normokromik. pada gambaran darah tepi
ditemukan adanya Poikilositosis ringan (ovalosit, pear shape, tear drop, burr cell).
Pemeriksaan dilanjutkan dengan Coomb’s indirect dengan hasil negatif. Anemia yang terjadi
pada pasien adalah anemia penyakit kronik.Mengingat tidak ada gejala klinis anemia pada
pasien maka tidak memerlukan penatalaksanaan khusus.

38
Imunisasi pada LES
Imunisasi merupakan salah satu upaya pencegahan primer yang terbukti berhasil
mencegah kejadian penyakit dan kematian di dunia. Pemberian imunisasi pada remaja harus
mempertimbangkan berbagai faktor seperti prevalensi penyakit, morbiditas dan mortalitas
penyakit, kemampuan anak dalam kondisi imunodepresi dalam proses pembentukan antibodi,
risiko pemberian vaksin hidup.21 Risiko infeksi pada pasien dengan SLE meningkat 2 kali lipat
dibandingkan individu normal yang berkaitan dengan progresivitas penyakitnya ataupun terapi
immunosupresi dan kortikosteroid yang dibutuhkan untuk mengontrol penyakit. Penelitian
sistematik review kohort di Cina yang dilakukan oleh Ziqian dkk (2015) menunjukkan bahwa
infeksi merupakan penyebab kematian utama pada anak dan remaja.22 Pasien dengan SLE
mempunyai resiko tinggi mengalami infeksi bakteri encapsulated seperti pneumococcus,
meningococcus, dan Haemophilus influenza tipe B.23 Berdasarkan rekomendasi American
academy of pediatrics maka vaksin hidup kontraindikasi diberikan pada pasien yang
mendapatkan prednison dengan dosis ≥ 2mg/KgBB/hari atau lebih dari 20 mg/hari selama
lebih dari 1 minggu.23 Pasien yang sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau dalam 6
minggu setelah steroid dihentikan hanya boleh mendapatkan vaksin mati. Setelah lebih dari 6
minggu penghentian steroid, baru boleh mendapatkan vaksin hidup. Pemberian vaksin hidup
juga ditunda selama 1 bulan dari selesainya terapi immunosupressan.21
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sudah merekomendasikannya dan memasukkan
immunocompromise sebagai presumed high risk terjangkit invasive pneumococcal diseases
(IPD) dengan strength of evident B.21,24 Individu yang berumur lebih dari 10 tahun dengan
immunocompromise sebaiknya mendapatkan vaksin ulangan PPV23 (vaksin polisakarida
pneumokokus 23-valen) setelah 5 tahun pemberian dosis pertama. Pada individu yang tidak
diketahui status imunisasinya maka sebaiknya diberikan imunisasi tersebut.24 Infeksi varicella
dapat mengakibatkan mengancam kehidupan penyakit pada anak-anak menerima
imunosupresif. Vaksinasi varicella, terbukti aman dan efektif pada anak dengan SLE, harus
diberikan pada dasar pedoman yang direkomendasikan untuk vaksin hidup.21
Vaksin hidup (live attenuated virus) seperti measles dan varicella merupakan
kontraindikasi pada pasien dengan immunosupresi. Vaksinasi pada anak dan remaja yang
mendapatkan immunosupresi ataupun kortikosteroid dosis tinggi seharusnya ditunda sampai
minimal 3 bulan setelah penghentian obat-obatan tersebut. Imunisasi pasif dengan polyvalent,

39
hyperimmune ataupun heterologous human immunoglobulin (Ig) setelah kontak dengan pasien
measles dan varicella direkomendasikan untuk mencegah dan mengurangi beratnya penyakit
tersebut.Respon cepat didapatkan dalam waktu 3 hari dan akan memberikan perlindungan
selama 3-4 minggu.23

Tabel . Rekomendasi vaksinasi pada pasien dengan SLE berdasarkan bukti ilmiah 23
SLE JIA
Vaksin Tipe Bukti Bukti Bukti Bukti
efikasi keamanan efikasi keamanan
BCG Dilemahkan D D D D
Haemophilus Konjugasi B B D D
influenza
Hepatitis A Inaktif D D D D
Hepatitis B DNA rekombinan A A D D
Rotavirus Dilemahkan O O O O
Influenza Komponen inaktif B B B B
MMR Dilemahkan O O B B
Meningococcus C Komponen polisakarida D D B B
Pneumococcus Komponen polisakarida B B D D
Poliomyelitis Oral; dilemahkan D D D D
Parenteral: inaktif D D D D
Varicella Dilemahkan O O B B
Pertussis Seluruh sel inaktif D D D D
Tetanus Toksoid B B D D
Difteri Toksoid D D D D
Demam kuning Dilemahkan O C O O
HPV Inaktif O O O O

Pada pasien ini, imunisasi yang dianjurkan sesuai usia adalah hepatitis A, tifoid,
varicella dan HPV. Dari beberapa vaksin tersebut yang merupakan vaksin live attenuated
adalah varicella. Sehingga pemberian vaksi tersebut tidak dianjurkan pada pasien LES.
(level of evidence 3)

Pemantauan LES
Penilaian aktivitas penyakit dinilai berdasarkan sistem skor. Skor SLEDAI (Systemic
Lupus Erythematosus Disease Activity Index) dihitung setiap pemantauan waktu tertentu atau
umumnya diambil 3 dan 6 bulan atau ada perubahan aktivitas penyakit. Dengan melihat skor
SLEDAI dan digabung dengan kondisi klinis lain, pengobatan selanjutnya disesuaikan dengan

40
kondisi terakhir. SLEDAI merupakan prediktor yang baik untuk mortalitas dan kerusakan
ginjal serta mencerminkan perubahan aktivitas penyakit.25

Tabel . Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (SLEDAI)


Nilai Deskripsi Definisi
8 Kejang Onset baru. Telah disingkirkan penyabab metabolik, infeksi atau obat
8 Psikosis Kemampuan hidup normal berubah akibat gangguan persepsi yang berat
terhadap realitas. Termasuk halusinasi, inkoheren, asosiasi longgar,
improveerished thougth content, berfikir tidak logis, bingung,
disorganized atau perilaku kataton. Telah disingkirkan penyebab uremia
dan obat
8 Organic brain Fungsi mental berubah dengan gangguan fungsi orientasi dan memori
syndrome atau fungsi intelektual dengan manifestasi klinis yang berfluktuasi
dengan onset yang cepat. Termasuk keasadaran berkabut dengan
penurunan kapasitas untuk memfokuskan perhatian dan
ketidakmampuan mempertahankan perhatian terhadap lingkungan,
ditambah minimal 2 dari : gangguan persepsi berbicara inkoheren,
insomnia atau mengantuk siang hari, atau / aktivitas psikomotor.
Telah disingkirkan penyebab metabolic, infeksi atau obat.
8 Gangguan visual Perubahan retina. Termasuk cystoids bodies, perdarahan retina, eksudat
serous atau berdarah pada koroid, atau neuritis optic. Telah disingkirkan
penyebab hipertensi, infeksi atau obat.
8 Gangguan SSP Onset baru neuropati sensoris dan motorik.
8 Lupus headache Berat, sakit kepala persisten, migren yang tidak responsive terhadap
obat analgetik narkotik
8 CVA Onset baru cerebrovascular accident. Tidak termasuk arterosklerosis
8 Vaskulitis Ulkus, gangren, nodul jari yang keras, infark periungual, perdarahan
splinter, atau bukti adanya vaskulitis pada hasil biopsy atau angiogram
4 Artritis Artritis > 2 sendi, nyeri, dan ada tanda inflamasi (nyeri tekan, bengkak,
efusi)
4 Miositis Otot proksimal nyeri/lemah, karena keratin fosfokinase/aldolase
meningkat atau perubahan elektromiogram, atau pada biopsy terbukti
miositis
4 Urinary cast Heme-granular atau silinder eritrosit
4 Hematuria >5 eritrosit/LPB
Telah disingkirkan penyebab batu, infeksi, atau penyebab lain
4 Proteinuria >0,5 g/24jam. Onset baru atau  >0,5 g/24 jam
4 Piuria >5 leukosit/LPB. Talah disingirkan penyebab infeksi
2 Ras baru Ras inflamasi onset baru atau rekurens
2 Alopesia Hilangnya rambut abnormal yang difus, atau patchy onset baru atau
rekurens
2 Ulkus mukosa Ulkus oral dan onset nasal baru atau rekurens
2 Pleuritis Nyeri dada pada pleuritis dengan pleural rub atau efusi, atau penebalan
pleura
2 Perikarditis Nyeri pericardial dengan konfirmasi ≥ 1: rub, efusi, bukti EKG atau
bukti ekokardiogram
2 Kadar komplemen Kadar CH50, C3 atau C4 dibawah normal
darah
2 DNA binding Menurut far assay DNA binding meningkat >25%
meningkat

41
1 Panas >38°C. Telah disingirkan penyebab infeksi.
1 Trombositopenia <100.000/mm3
Leukopenia <3000/mm3
Telah disingkirkan penyebab obat

Tabel . Total Skor SLEDAI


Mid/Moderate flare Severe flare
Perubahan nilai SLEDAI >3 Perubahan nilai SLEDAI >12
Timbulnya/memburuk discoid, fotosensitif, Timbulnya/memburuk gejala SSP-LES
profundus, vaskulitis kutaneus, lupus bulosa
Ulkus nasofaring Vaskulitis
Pleuritis Miositis
Perikarditis Pk < 60.0000
Artritis Hb < 7 g/dl atau Hb > 3 g/dl
Demam (LES) Memerlukan dosis prednisone 2x lipat
dosis prednisone, tetapi tidak >0,5 mg/kgbb/hr Prednison > 0,5 mg/kgbb/hr
AINS/plaquenil Sitoksan baru, azatiprin, MTX, rawat inap (LES)
PGA 1,0 tetapi tidak 2,5 PGA 2,5

Pada kasus, total skor SLEDAI 14 (severe flare), terdiri dari gangguan retina (8),
alopesia (2), ruam baru (2). Karena penyakitnya yang berat, prognosis pada pasien quo ad
vitam dubia ad malam, quo ad sanam dubia ad malam dan quo ad fungsionam dubia ad
malam

Dampak Penyakit Kronis LES pada Tumbuh Kembang dan Psikososial


.Penderita LES memiliki kecenderungan berisiko mengalami gangguan emosional
yang negatif seperti cemas, stres atau bahkan depresi. Reaksi tersebut sesungguhnya muncul
karena mereka berusaha untuk berdaptasi. Ketika anak dengan LES membangun adaptasi
dengan konstruksi yang negatif maka beresiko cenderung mengalami depresi, sedangkan jika
konstruksi adaptasinya positif maka mereka dapat mampu bertahan. Gejala yang dapat dialami
antara lain26
 gejala emosional: merasa bersalah, merasa takut, tidak percaya diri, merasa tertekan,
merasa sedih dan sering menangis
 gejala kognitif: merasa pesimis, merasa tidak ada jalan keluar, ragu-ragu, merasa hidup
tidak bermanfaat, merasa seperti pecundang
 gejala motivasional: merasa tergantung, merasa tidak ingin menghadapi hari esok,
malas beraktivitas dan malas beraktifitas
 gejala perilaku: menjadi tidak produktif, kurang konsentrasi, dan aktivitasnya sedikit.

42
 gejala somatis: nafsu makan berkurang, sulit tidur, sering sakit, cepat lelah.

Pada kasus, anak memiliki kecenderungan berisiko mengalami gangguan depresi,


dimana anak lebih suka menutup diri terhadap teman-teman semenjak sakit, kadang –kadang
sulit tidur, mudah marah dengan kakak atau kedua orangtuanya. Palagini dkk dalam
penelitian systematic review melaporkan angka kejadian depresi pada penderita SLE 20% -
47%.27 (level of evidence 4). Kelainan psikiatri termasuk depresi dapat merupakan salah satu
manifestasi klinis LES Penelitian yang dilakukan oleh Shakiba dkk (2012) mengenai
prevalensi depresi dan gejala-gejala depresi pada penderita LES dengan pengukuran
menggunakan Beck’s depression inventory (self reported) menujukkan bahwa gejala depresi
yang ditemukan berupa fatigue dan kelemahan (82%), irritability (82,3%), bersedih (77,6%)
dan preocupation somatik (76,4%), penurunan berat badan (34,1%), dan mempunyai ide
bunuh diri (10,5%). Perbedaan yang signifikan antara aktivitas penyakit dan tingkat keparahan
depresi didapatkan pada penelitian tersebut (p=0,0001).28 (level of evidence 4) Depresi akan
memicu untuk ketidakpatuhan terhadap minum obat dan meningkatkan morbiditas serta
mortalitas yang terkait dengan penyakit yang mendasarinya.
Kualitas hidup pada keadaan sakit didefinisikan oleh World Health Organization
(WHO) adalah suatu keadaan tercukupinya keadaan fisik, mental dan sosial. Pada kasus,
kualitas hidup pasien dinilai dari kuesioner Pediatric Quality of Life Inventory dalam hal ini
pasien memiliki 81,3 physical health summary score dan 78 phsycosocial health summary
score untuk, masuk dalam kategori normal. Berdasarkan studi sebelumnya yang menggunakan
PedsQL, anak-anak dikatakan dalam kesehatan yang baik jika memiliki nilai sekitar 83. Anak
29
dalam kesehatan yang buruk jika memiliki skor di pertengahan 60 sampai kurang dari 70.
Penelitian cross sectional yang dilakukan oleh Tuck dkk (2011) dalam mengevaluasi 4 domain
(fisik, emosi, sosial dan sekolah secara fungsional) dan gejala depresi pada remaja yang telah
terdiagnosis LES melalui pengukuran mengunakan kuisioner PedsQL dan Children’s
depression inventory (CDI) menunjukkan bahwa kualitas hidup anak dengan LES tidak hanya
terpengaruh pada fungsi fisik namun juga pada domain emosi dan sekolah secara fungsional.
Kualitas hidup yang memburuk mengganggu prognosis dari pasien tersebut. (level of evidence
4) 30

43
Penderita dan keluarga dengan penyakit kronis akan menghadapi seumur hidup dengan
pengobatan medis dan ketidakpastian. Masalah yang muncul pada keluarga dapat bersifat (1)
intrapersonal (hidup dengan ketidakpastian, stres, dan mempertahankan kewaspadaan
meskipun mengalami kelelahan); (2) interpersonal (pengobatan dengan ketergantungan aturan
orang tua, dan munculnya masalah dengan staf medis, dan gangguan hubungan dengan
lingkungan sekitar); (3) masalah eksternal (manajemen regimen medis, mengejar informasi,
mengatur transportasi, akomodasi dan keuangan, mengikuti aturan pembatasan cairan dan diet
anak, dan menyeimbangkan perawatan medis dengan tanggung jawab domestik).29
Pada kasus ini, hubungan pasien dengan orang tua dan kakak cukup dekat namun
jarang bercerita apabila ada masalah. Pasien sering membantu ibu dan kakaknya bekerja,
terutama menjaga toko kelontong di rumah. Sehubungan dengan penyakitnya, keluarga
memberikan dukungan penuh dan semangat supaya hidup normal dan segera sembuh.

Pengelolaan secara Komprehensif


a. Kuratif : meliputi tim multidisipliner : terapi suportif , tatalaksana nefritis lupus meliputi
terapi kortikosteroid, terapi suportif, dukungan psikologis dan nutrisi.
b. Preventif : pemantauan terhadap komplikasi SLE, mencegah infeksi dan efek samping
pengobatan pada anak.
c. Promotif : edukasi kepada anak dan orangtua tentang pentingnya hiegene dan sanitasi dan
oral hygine.
d. Rehabilitatif : Dukungan orang tua dan anggota keluarga lain dalam penatalaksanaan
nefritis lupus, mengarahkan anak untuk melatih ketrampilan bekerja

Pengelolaan secara Holistik


Faktor lingkungan fisiko-bio-psikososial yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak.
Lingkungan lain yang berpengaruh :
a. Lingkungan mikro : mengatur pola hidup anak, kebersihan diri untuk mencegah infeksi,
menyiapkan anak agar dapat menerima penyakit yang diderita dan kemungkinan
komplikasi yang timbul, membangun komitmen anak untuk taat minum obat.

44
b. Lingkungan Mini : dukungan orang tua dan anggota keluarga lain dalam penatalaksanaan
SLE misalnya mendampingi saat kontrol, mengingatkan minum obat, memberi dukungan
da semangat, membantu mengatur pola hidup anak serta membangun suasana hubungan
keluarga yang baik.
c. Lingkungan Meso : lingkungan tetangga yang baik dan ramah, teman-teman kerja dan
sekitar rumah yang selalu mendukung dalam penatalaksanaan SLE, pengaturan diet, pola
hidup anak.Selain itu diperlukan dukungan dari dokter, paramedis, psikolog.
d. Lingkungan Makro : Kebijakan pemerintah dimana pada pasien ini sudah mendapatkan
BPJS.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Evalina R. Gambaran klinis dan kelainan imunologis pada anak dengan lupus
eritematosus sistemik di Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik Medan. Sari Pediatri.
2012; 13: 406 – 1
2. Sudewi NP, Kurniati N, Suyoko ED, Munasir Z and Akib AAP. Karakteristik klinis lupus
eritematosus sistemik pada anak. Sari Pediatri. 2009; 11: 108 - 12.
3. Mok CC, Lee KW, Lou CS and Wong RW. A prospective study of survival and
prognostic indicators of systemic lupus erythematosus in a shouthern chinese population.
Rehumatology (Oxford). 2010; 39: 399-406.
4. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan pengelolaan lupus eritematosus
sistemik. Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011
5. Sudewi NP, Kurniati N, Suyoko ED, Munasir Z and Akib AAP. Karakteristik klinis lupus
eritematosus sistemik pada anak. Sari Pediatri. 2009; 11: 108 – 12
6. Bertsias GK, Tektonidou M, Amoura Z and Aringer M. Joint European League Against
Rheumatism and European Renal Association–European Dialysis and Transplant
Association (EULAR/ERA-EDTA) recommendations for the management of adult and
paediatric nephritis lupus. Ann Rheum Dis. 2012; 71: 1771 – 82
7. Hahn BH, McMahon MA, Wilkinson A and Wallace WD. American college of
rheumatology guidelines for screening, treatment, and management of nephritis lupus.
Arthritis Care & Research. 2012; 64: 797 - 808.
8. Weening JJ, D'agati VD, Schwartz MM and Seshan SV. The classification of
glomerulonephritis in systemic lupus erythematosus revisited. Kidney International. 2004
65: 521 – 30
9. Mina R, Scheven EV, Ardoin SP, et al. Consensus treatment plans for induction therapy
of newly diagnosed proliferative nephritis lupus in juvenile systemic lupus erythematosus.
Arthritis Care & Research. 2012; 64: 375 – 83
10. Alatas H. Lupus Nefritis pada anak. In: Noer MS, Soemyarso NA, Soebandiyah K and
Prasetyo RV, (eds.). Kompendium Nefrologi Anak. Jakarta: IDAI, 2011, p. 118 – 23
11. Shmerling RH. Autoantibodies in systemic lupus erythematosus- there before you know
it. New Eng J Med. 2003; 349: 102 – 10
12. Demircin G. An update on treatment and outcome of nephritis lupus in children. Ann
Paediatr Rheum. 2013; 99: 99 – 106
13. Hahn BH, McMahon MA, Wilkinson A and Wallace WD. American college of
rheumatology guidelines for screening, treatment, and management of nephritis lupus.
Arthritis Care & Research. 2012; 64: 797 – 808
14. Ruiz-Irastorz G, Danza A and Khamashta M. Glucocorticoid use and abuse in SLE.
Rheumatology Advance Access. 2012: 1 – 9

46
15. Ferrari P. Cortisol and the renal handling of electrolytes: role in glucocorticoid- induced
hypertension and bone disease. Best Pract Res Clin Endocrinol Metab. 2003; 17: 575 – 89
16. Sekarwana N, Rachmadi D and Hilmanto D. Konsensus tatalaksana hipertensi pada anak.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2011
17. Alatas H. Gagal Ginjal Akut. In: Noer MS, Soemarso NA, Subandiyah K and Prasetyo
RV, (eds.). Kompendium Nefrologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2011, p. 207 –
14
18. Levey AS, Lan SP, Corwin HL and Kasinath BS. Progression and remission of renal
disease in nephritis lupus collaborative study. Ann Intern Med. 2002; 116: 114 - 23
19. Janoudi N and Barsidi ES. Haematological manifestation in systemic lupus
erythematosus. In: Almoalim H, (ed.). Systemic Lupus Erythematosus. Rijeka, Croatia: In
Tech, 2012, p. 363 – 82
20. Giannouli S, Voulgarelis M, Ziakas PD and Tzioufas AG. Anaemia in systemic lupus
erythematosus: from pathophysiology to clinical assessment. Ann Rheum Dis. 2006; 65:
144 – 8
21. Pedoman imunisasi di Indonesia. 3 ed. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2008.
22. Wang Z, Wang Y, Zhu R, et al. Long-term survival and death causes of systemic lupus
erythematosus in China. Medicine. 2015; 94: 1-9
23. Silva CAA, Terreri MT, Barbosa CM, Hilario MO, Pillegi GC and Ferriani VPL.
Immunization consensus for children and adolescents with rheumatic diseases. Bras J
Rheumatol. 2009; 5: 562-89
24. Gunardi H and Samuel SL. Imunisasi pada remaja. In: Amalia P, Oswari H, Hartanto F
and Kadim M, (eds.). The 2nd Adolescent Health National Symposia: Current Challenges
in Management. Child Health Department School of Medicine University of Indonesia
and Adolescent Task Force Indonesian Pediatric Society, 2009, p. 108-21
25. Bertsias GK, Tektonidou M, Amoura Z and Aringer M. Joint European League Against
Rheumatism and European Renal Association–European Dialysis and Transplant
Association (EULAR/ERA-EDTA) recommendations for the management of adult and
paediatric lupus nephritis. Ann Rheum Dis. 2012; 71: 1771 – 82
26. Prasetyo AR and Kustanti ER. Bertahan dengan Lupus. Jurnal Psikologi Undip. 2014; 13:
139-48
27. Palagini L, Mosca M, Tani C, Gemignani A, Mauri M and Bombardieri S. Depression and
systemic lupus erythematosus: a systematic review. Lupus. 2013; 2013: 409-16.
28. Zakeri Z, Shakiba M, Naruie B, et al. Prevalence of depression and depressive symptoms
in patients with systemic upus erythematosus: Iranian experience. Rheumatol Int. 2012;
32(5): 1179-87
29. Rusmil K. Kualitas hidup remaja dengan kondisi penyakit kronis. In: Amalia P, Oswari H,
Hartanto F and Kadim M, (eds.). The 2nd Adolescent Health National Symposia: Current
Challenges in Management. Child Health Department School of Medicine University of
Indonesia and Adolescent Task Force Indonesian Pediatric Society, 2009, p. 97-10
47
30. Tuck S, Willian T, Silverman ED and Levy DM. Quality of life in adolescents with
recently diagnosed childhood-onset systemic lupus erythematosus. Pediatri Rheumatology
2012; 10: 19

48

Anda mungkin juga menyukai