Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, dr Istanto MKes, ditetapkan sebagai
tersangka kasus korupsi. Dia menjadi tersangka dalam kasus peyimpangan dana insentif dan restribusi dari seluruh puskesmas yang ada di wilayah Banyumas. Dalam kasus tersebut Istanto yang juga mantan direktur RSUD Banyumas tersebut dinilai telah memanfaatkan dana insentif untuk kepentingan pribadi. Padahal, dana tersebut sebenarnya merupakan hak dari para karyawan Puskesmas dan UPT (Unit Pelaksana Teknis) bidang kesehatan lain yang di Kabupaten Banyumas seluruhnya sudah berstatus Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Bupati Banyumas telah mengelurkan ketentuan mengenai penyaluran dana insentif bagi UPT Puskesmas dan layanan kesehatan lain, yang menyebutkan bahwa insentif tersebut merupakan hak karyawan UPT. Namun oleh Kepala Dinas Kesehatan, dana tersebut tidak diberikan pada yang berhak. Bahkan untuk pengelolaan dana insentif tersebut, Istanto mengeluarkan Surat Keputusan sendiri yang isinya bertentangan dengan ketentuan Bupati. Berdasarkan SK Kepala Dinas Kesehatan Bernomor 050/30/SK/VI/2014, tersangka membagi-bagi dana insentif yang seluruhnya berjumlah Rp 574 juta. Antara lain, sebesar Rp 80 juta bagi dirinya sendiri, sedangkan sisanya dibagi-bagian pada pejabat dan seluruh pegawai di kantor Dinas Kesehatan. Terkait hal itu, tersangka dijerat dengan Pasal 8 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 4 ayat 1 KUHP. Berdarakan UU tersebut, tersangka diancam dengan hukuman penjara minimal empat tahun dan maksimal 15 tahun serta denda minimal Rp 150 juta dan maksimal Rp 750 juta. Berdasarkan informasi di kalangan pegawai Dinas Kesehatan, SK dari Kepala Dinas Kesehatan Banyumas yang menyimpang dari ketentuan, berawal setelah puskesmas di Kabupaten Banyumas yang seluruhnya berjumlah 39 puskesmas, ditambah UPT Balai Kesehatan Mata Masyarakat, Balai Kesehatan Paru Masyarakat, Balai Kesehatan Masyarakat Ibu dan Anak, serta Laboratorium Kesehatan Masyarakat, berubah status sebagai BLUD. Sesuai ketentuan pemerintah mengenai BLUD, maka perubahan status sebagai BLUD disertai dengan pemberian wewenang yang lebih besar pada unit BLUD. Antara lain, dalam mengelola keuangan yang diantaranya berasal dari klaim dana BPJS Kesehatan. Dana yang berasal dari BPJS tersebut, antara lain diberikan sebagai insentif jasa pelayanan medis yang diberikan pada karyawan puskesmas atau UPT pada pasiennya. Yang menjadi persoalan, perubahan status puskesmas dan UPT sebagai BLUD tersebut, tidak memberi manfaat matari bagi para pegawai yang bekerja di kantor Dinas Kesehatan. Berdasarkan hal itulah, Kepala Dinas Kesehatan kemudian mengeluarkan SK yang intinya mengambil sebagian dana insentif bagi puskesmas dan UPT untuk dibagi- bagikan pada karyawan di kantor dinas. Pada kasus korupsi tersebut termasuk jenis korupsi disektor kesehatan. Termasuk dalam area Pengadaan pelayanan oleh garda depan pekerja kesehatan. Jenis dan problem korupsinya yaitu pencurian atau menggunakan biaya pemasukan, pembelokan alokasi budget. Upaya meminimalisir korupsi harus membangun sistem kelembagaan dan karakter individu: sistem kontrol internal dan eksternal untuk deteksi korupsi, mengubah kesadaran individu dan kolektif malu bersikap dan bertindak korup, mengurangi kesempatan korupsi dengan transparansi dan partisipasi masyarakat, dan memberi gaji yang layak dengan remunerasi berbasis kinerja yang baik.