Anda di halaman 1dari 35

85

ANEMIA APLASTIK
Bambang Permono, IDG Ugrasena, Mia Ratwita A.

BATASAN
Anemia aplastik adalah suatu kelainan yang ditandai oleh pansitopenia pada
darah tepi dan penurunan selularitas sumsum tulang.

PATOFISIOLOGI
1. Defek sel induk hematopoetik
2. Defek lingkungan mikro sumsum tulang
3. Proses imunologi

Kurang lebih 70% penderita anemia aplastik mempunyai penyebab yang tidak
jelas, dinamakan idiopatik. Defek sel induk yang didapat (acquired) diduga
disebabkan oleh obat-obat: busulfan, kloramfenikol, asetaminofen,
klorpromazina, benzenebenzol, metildopa, penisilin, streptomisin, sulfonamid
dan lain-lain.
Pengaruh obat-obat pada sumsum tulang diduga sebagai berikut :
 Penekanan bergantung dosis obat, reversible dan
dapat diduga sebelumnya (obat-obat anti tumor)
 Penekanan bergantung dosis, reversible, tetapi
tidak dapat diduga sebelumnya.
 Penekanan tidak bergantung dosis obat
(idiosinkrasi)

Microenvironment :
Kelainan microenvironmet memegang peranan terjadinya anemia aplastik.
Akibat radiasi, pemakaian kemoterapi yang lama atau dosis tinggi, dapat
menyebabkan microarchitecture mengalami sembab yang fibrinus dan
infiltrasi sel. Faktor humoral misalnya eritropoitin, ternyata tidak mengalami
penurunan.
Cell Inhibitors :
Pada beberapa penderita anemia aplastik, dapat dibuktikan adanya T-limfosit
yang menghambat pertumbuhan sel-sel sumsum tulang pada biakan.

GEJALA KLINIS
Gejala-gejala timbul sebagai akibat dari :
 Anemia : pucat, lemah, mudah lelah, dan berdebar-debar.
 Leukopenia ataupun granulositopenia : infeksi bakteri, virus, jamur, dan
kuman patogen lain.
 Trombositopenia : perdarahan seperti petekia, ekimosa, epistaksis,
perdarahan gusi dan lain-lain.
Hepatosplenomegali dan limfadenopati tidak lazim ditemukan pada anemia
aplastik.
86

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS


Kriteria anemia aplastik yang berat
Darah tepi :
Granulosit < 500/mm3
Trombosit < 20.000/mm3
Retikulosit < 1,0%
Sumsum tulang :
Hiposeluler < 25%

DIAGNOSIS BANDING
 Leukemia akut
 Sindroma Fanconi : anemia aplastik konstitusional
dengan anomali kongenital.
 Anemia Ekstren-Damashek : anemia aplastik
konstitusional tanpa anomali kongenit
 Anemia aplastik konstitusional tipe II
 Diskeratosis kongenital

PENATALAKSANAAN
 Hindari infeksi eksogen maupun endogen, seperti :
Pemeriksaan rektal
Pengukuran suhu rektal
Tindakan dokter gigi
Pada tindakan-tindakan di atas, resiko infeksi bakteri meningkat
 Simtomatik
 Anemia : transfusi sel darah merah padat (PRC)
 Perdarahan profus atau trombosit < 10.000/mm 3 :
transfusi trombosit (tiap unit/10 kgBB dapat meningkatkan
jumlah trombosit  50.000/mm3)
 Transfusi trombosit untuk profilaksis tidak
dianjurkan.
 Transfusi leukosit (PMN)
 Efek samping : panas badan, takipnea, hipoksia,
sembab paru (karena timbul anti PMN leukoaglutinin)
 Kortikosteroid
Prednison 2 mg/kgBB/24 jam, untuk mengurangi fragilitas
pembuluh kapiler, diberikan selama 4-6 minggu.
 Steroid anabolik
 Nandrolon dekanoat : 1-2 mg/kg/minggu IM
(diberikan selama 8 -12 minggu
 Oksimetolon : 3-5 mg/kg/hari per oral
 Testosteron enantat : 4-7 mg/kg/minggu IM
 Testosteron propionat : ½ -2 mg/kg/hari sublingual
Efek samping :
87

 Virilisme, hirsutisme, akne hebat,


perubahan suara (revesibel sebagian bila obat
dihentikan
 Pemberian jangka panjang dapat
menimbulkan adenoma karsinoma hati, kolestasis.
 Hepatotoksik pada pemberian sublingual

 Transplantasi sumsum tulang :


Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama bagi anak-
anak dan dewasa muda dengan anemia aplastik berat. Hindari
transfusi darah yang berasal dari donor keluarga sendiri pada calon
transplantasi sumsum tulang.

KOMPLIKASI
 Anemia dan akibat-akibatnya (karena
pembentukannya berkurang)
 Infeksi
 Perdarahan

PROGNOSIS
 Anemia aplastik ± 80% meninggal (karena
perdarahan atas infeksi). Separuhnya meninggal dalam waktu 3-4 bulan
setelah diagnosis.
 Anemia aplastik ringan ± 50% sembuh sempurna
atau parsial. Kematian terjadi dalam waktu yang lama.

DAFTAR PUSTAKA
1. Epstein FH. The Pathophysiology of
Acquired Anemia Aplastic. N Eng. J. Med 1997, 336 : 1365-1372.
2. Young NS. Bone Marrow Aplasia : The
Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. Education
Programme of The 26th Congress of The International Society of
Hematology, Singapore:
3. ISH, 1996.
4. Young NS, Alter BP. Aplastic anemia :
Acquired and Inherited. Philadelphia : WB Saunders,1994.
5. Young NS. Pathogenesis and
Pathophysiology of Aplastic Anemia Dalam. Hoffman R, Benz EJ,
88

Shattil SJ dkk. Penyunting. Hematology : Basic Principles and


Practice, edisi ke-2. NewYork
6. : Churchill Livingstone, 1995 : 299-325

ANEMIA DEFISIENSI BESI


Bambang Permono, IDG Ugrasena, Mia Ratwita A.

BATASAN
Anemia yang disebabkan kurangnya zat besi untuk sintesis hemoglobin.

PATOFISIOLOGI
Zat besi (Fe) diperlukan untuk pembuatan heme dan hemoglobin (Hb).
Kekurangan Fe mengakibatkan kekurangan Hb. Walaupun pembuatan eritrosit
juga menurun, tiap eritrosit mengandung Hb lebih sedikit dari pada biasa
sehingga timbul anemia hipokromik mikrositik.

ETIOLOGI
Kekurangan Fe dapat terjadi bila :
 makanan tidak cukup mengandung Fe
 komposisi makanan tidak baik untuk penyerapan Fe (banyak sayuran,
kurang daging)
 gangguan penyerapan Fe (penyakit usus, reseksi usus)
 kebutuhan Fe meningkat (pertumbuhan yang cepat, pada bayi dan
adolesensi, kehamilan)
 perdarahan kronik atau berulang (epistaksis, hematemesis,
ankilostomiasis).

EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari 50%
penderita ini adalah ADB dan terutama mengenai bayi,anak sekolah, ibu hamil
dan menyusui. Di Indonesia masih merupakan masalah gizi utama selain
kekurangaan kalori protein, vitamin A dan yodium. Penelitian di Indonesia
mendapatkan prevalensi ADB pada anak balita sekita 30-40%, pada anak
sekolah 25-35% sedangkan hasil SKRT 1992 prevalensi ADB pada balita
sebesar 55,5%. ADB mempunyai dampak yang merugikan bagi kesehatan
anak berupa gangguan tumbuh kembang, penurunan daya tahan tubuh dan
daya konsentrasi serta kemampuan belajar sehingga menurunkan prestasi
belajar di sekolah.

DIAGNOSIS
89

I. Anamnesis
1. Riwayat faktor predisposisi dan etiologi :
 Kebutuhan meningkat secara fisiologis
 masa pertumbuhan yang cepat
 menstruasi
 infeksi kronis
 Kurangnya besi yang diserap
 asupan besi dari makanan tidak adekuat
 malabsorpsi besi
 Perdarahan
 Perdarahan saluran cerna (tukak lambung,
penyakit Crohn, colitis ulserativa)
2. Pucat, lemah, lesu, gejala pika

II. Pemeriksaan fisis


 anemis, tidak disertai ikterus, organomegali dan
limphadenopati
 stomatitis angularis, atrofi papil lidah
 ditemukan takikardi ,murmur sistolik dengan atau tanpa
pembesaran jantung

III. Pemeriksaan penunjang


 Hemoglobin, Hct dan indeks eritrosit (MCV, MCH,
MCHC) menurun
 Hapus darah tepi menunjukkan hipokromik mikrositik
 Kadar besi serum (SI) menurun dan TIBC meningkat ,
saturasi menurun
 Kadar feritin menurun dan kadar Free Erythrocyte
Porphyrin (FEP) meningkat
 sumsum tulang : aktifitas eritropoitik meningkat

DIAGNOSIS BANDING
Anemia hipokromik mikrositik :
 Thalasemia (khususnya thallasemia minor) :
 Hb A2 meningkat
 Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun
 Anemia karena infeksi menahun :
 biasanya anemia normokromik normositik. Kadang-
kadang terjadi anemia hipokromik mikrositik
 Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun
 Keracunan timah hitam (Pb)
 terdapat gejala lain keracunan Pb
 Anemia sideroblastik :
 terdapat ring sideroblastik pada pemeriksaan sumsum
tulang
90

PENYULIT
Bila Hb sangat rendah dan keadaan ini berlangsung lama dapat terjadi payah
jantung.

PENATALAKSANAAN
I. Medikamentosa
Pemberian preparat besi (ferosulfat/ferofumarat/feroglukonat) dosis 4-6 mg
besi elemental/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, diberikan di antara waktu
makan. Preparat besi ini diberikan sampai 2-3 bulan setelah kadar hemoglobin
normal.
Asam askorbat 100 mg/15 mg besi elemental (untuk meningkatkan absorbsi
besi).

II. Bedah
Untuk penyebab yang memerlukan intervensi bedah seperti perdarahan karena
diverticulum Meckel.

III. Suportif
Makanan gizi seimbang terutama yang mengandung kadar besi tinggi
yang bersumber dari hewani (limfa, hati, daging) dan nabati (bayam,
kacang-kacangan).

IV. Lain-lain (rujukan sub spesialis, rujukan spesialisasi lainnya)


Ke sub bagian terkait dengan etiologi dan komplikasi (Gizi, Infeksi,
Pulmonologi, Gastro-Hepatologi, Kardiologi).

PEMANTAUAN
I. Terapi
 Periksa kadar hemoglobin setiap 2 minggu
 Kepatuhan orang tua dalam memberikan obat
 Gejala sampingan pemberian zat besi yang bisa berupa gejala
gangguan gastro-intestinal misalnya konstipasi, diare, rasa
terbakar diulu hati, nyeri abdomen dan mual. Gejala lain dapat
berupa pewarnaan gigi yang bersifat sementara.

II. Tumbuh Kembang


 Penimbangan berat badan setiap bulan
 Perubahan tingkah laku
 Daya konsentrasi dan kemampuan belajar pada anak usia
sekolah dengan konsultasi ke ahli psikologi
 Aktifitas motorik

Langkah Promotif/Preventif
91

Upaya penanggulangan AKB diprioritaskan pada kelompok rawan yaitu


BALITA, anak usia sekolah, ibu hamil dan menyusui, wanita usia subur
termasuk remaja putri dan pekerja wanita. Upaya pencegahan efektif untuk
menanggulangi AKB adalah dengan pola hidup sehat dan upaya-upaya
pengendalian faktor penyebab dan predisposisi terjadinya AKB yaitu berupa
penyuluhan kesehatan, memenuhi kebutuhan zat besi pada masa pertumbuhan
cepat, infeksi kronis/berulang pemberantasan penyakit cacing dan fortifikasi
besi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hillman RS, Ault KA. Iron Deficiency Anemia. Hematology in
Clinical Practice. A Guide to Diagnosis and Management. New York;
McGraw Hill, 1995 : 72-85.
2. Lanzkowsky P. Iron Deficiency Anemia. Pediatric Hematology
and Oncology. Edisi ke-2. New York; Churchill Livingstone Inc, 1995 :
35-50.
3. Nathan DG, Oski FA. Iron Deficiency Anemia. Hematology of
Infancy and Childhood. Edisi ke-1. Philadelphia; Saunders, 1974 : 103-
25.
4. Recht M, Pearson HA. Iron Deficiency Anemia. Dalam :
McMillan JA, DeAngelis CD, Feigin RD, Warshaw JB, penyunting.
Oski’s Pediatrics : Principles and Practice. Edisi ke-3. Philadelphia;
Lippincott William & Wilkins, 1999 : 1447-8.
5. Schwart E. Iron Deficiency Anemia. Dalam : Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, Penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke-16. Philadelphia; Saunders, 2000 : 1469-71.
92

HEMOFILIA
Bambang Permono, IDG Ugrasena, Mia Ratwita A.

BATASAN
Hemofilia adalah penyakit kongenital herediter yang disebabkan karena
gangguan sintesis faktor pembekuan darah.
Ada 3 jenis hemofilia :
 Hemofilia A : defek faktor VIII (AHF)
 Hemofilia B : defek faktor IX (prevalensi hemofilia A :
B = (5-8) : 1)
 Hemofilia C : defek faktor XI (jarang)

EPIDEMIOLOGI
Hemofilia A merupakan bentuk yg paling sering dijumpai (hemoflia A 80-
85%, hemofilia B 15-20%). Prevalensinya adalah 1 : 10.000 kelahiran bayi
laki.

DIAGNOSIS
I. Anamnesis
Keluhan penyakit ini dapat timbul saat :
 Lahir : perdarahan lewat tali pusat.
 Anak yang lebih besar : perdarahan sendi sebagai akibat
jatuh pada saat belajar berjalan.
 Ada riwayat timbulnya ”biru-biru” bila terbentur
(perdarahan abnormal).

II. Pemeriksaan fisis


Adanya perdarahan yang dapat berupa :
 hematom di kepala atau tungkai atas/bawah
 hemarthrosis
93

 sering dijumpai perdarahan interstitial yang akan


menyebabkan atrofi dari otot, pergerakan terganggu dan terjadi
kontraktur sendi. Sendi yang sering terkena adalah siku, lutut,
pergelangan kaki, paha dan sendi bahu.
III. Pemeriksaan penunjang
 APTT/masa pembekuan memanjang
 PPT (Plasma Prothrombin Time) normal
 SPT (Serum Prothrombin Time) pendek
 Kadar fibrinogen normal
 Retraksi bekuan baik

DIAGNOSIS BANDING
1. Von Willebrand’s disease
2. Defisiensi vitamin K

PENATALAKSANAAN
Hemofilia A
1. Transfusi faktor VIII : preparat berupa fresh pooled plasma, fresh
frozen plasma, cryoprecipitate atau AHF concentrate.
Patokan terapi (bila tersedia fasilitas) kurang lebih sebagai berikut :
Macam Kadar Dosis unit/kg bb per 12 Terapi pelengkap
perdarahan F.VIII jam
sampai
(%)
Spontan dalam 40-50 20-25 (2-3 hari) Prednison
sendi, otot 2 mg/kg bb/hari (1x)
1 mg/kg bb/hari (x2)
Immobilisasi

40-50 20-25 Prednison


Hematuria (sp gross hematuri 2 mg/kg bb/hari (1x)
menghilang) 1 mg/kg bb/hari (x2)
(EACA kontraindikasi)
30-40
60-80 (5-7 hari) Fisioterapi jika ada
Hematoma di gangguan saraf oleh
tempat karena tekanan
berbahaya
10-15 (1 hari)
20-30 Perawatan gigi
profilaktik EACA 100
Tindakan gigi : mg/kg bb/hari/6 jam (7
ekstraksi 1 gigi 20-25 (1-3 hari) hari)
40-50
Kumur antiseptik
Ekstraksi 50-75
multiple 100-150
94

Skrining inhibitor, assay


F.VIII tiap jam (ideal)
Operasi besar, Human AHF concentrate
trauma kepala, dosis tinggi, proplex (faktor
kecelakaan II, VIII, IX, X) AHF Siklofosfamid iv atau
berat sapi/babi oral, plasmapheresis

Pasien dengan
inhibitor F.VIII

Keterangan :
EACA = aminocaproic acid

2. Transfusi darah/plasma segar efek preparat AHF kurang


memuaskan.
3. Kortikosteroid : mengurangi kebutuhan faktor VIII, meningkatkan
resistensi kapiler dan mengurangi reaksi radang. Dapat diberikan
pada hematuria.
4. Pencegahan perdarahan : pasien hemofilia klasik seharusnya selalu
mendapat AHF sebagai profilaksis. Dosis AHF 20 unit/kg bb/tiap 48
jam akan mempertahankan kadar faktor VIII diatas 1% sehingga
perdarahan spontan terhindarkan.
Hemofilia B
 Transfusi preparat PPSB (mengandung protrombin/F.II,
proconvertin/F.VIII, Stuart faktor/F.X dan antihemofilia B/F.IX)
 Dosis : patokan dosis untuk faktor VIII dapat digunakan
untuk hemofilia B (defisiensi faktor IX).
 Dosis profilasis 10 unit/kg BB (2 kali seminggu).

PEMANTAUAN
I. Terapi
Efek samping terapi
 Hepatitis B dan hepatitis C dapat terjadi pada penderita
hemofilia karena transmisi virus. Dianjurkan pemeriksaan
fungsi hati setiap 6 bulan.
 Monitor kemungkinan AIDS dan kelainan imunologi.
95

II. Tumbuh Kembang


Gangguan tumbuh kembang dapat terjadi bila terdapat komplikasi
kontraktur sendi. Hal ini dapat dicegah dengan penanganan secara
komprehensif. Yang terdiri dari dokter anak, dokter gigi, ahli bedah
ortopedi, ahli jiwa dan ahli patologi klinik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Higartner MW, Corrigan JJ. Coagulation disorders. Dalam :
Miller DR. Baehner RL, Miller LP, penyunting Blood diseases of inflancy
and childhood; edisi ke-7. St. Louis : Mosby; 1995 : 924-86.
2. Lanzkowsky P. Manual of Pediatric Hematology and
Oncology; edisi ke-2. New York : Churchill Livingstone Inc. 1995 : 254-
62.
3. Montgomery RR, Gill JC, Scott JP. Hereditary Clotting Factor
Deficiencies (Bleeding Disorders). Dalam : Nelson WE, Behrman RE,
Kliegman RM, Arvin AM, penyunting Nelson Text Book of Pediatric cs ;
edisi ke-16. Philadelphia : WB Saunders Co. 2000 : 1508-11.

HIPERLEUKOSITOSIS
Bambang Permono, IDG Ugrasena, Mia Ratwita A.

BATASAN
Hiperleukositosis adalah jumlah leukosit, darah tepi yang melebihi 100.000/.

EPIDEMIOLOGI
Keadaan ini ditemukan pada 9-13% anak dengan leukemia limfoblastik akut
(LLA), pada 5-22% anak dengan leukemia non limfoblastik akut (LNLA) dan
pada hampir semua anak dengan leukemia mieloitik kronik (LMK) fase
kronik.
Jumlah leukosit darah tepi pada awal diagnosis leukemia akut merupakan
faktor yang sangat penting dalam menentukan prognosis. Jumlah leukosit
yang tinggi merupakan salah satu penyebab tingginya angka relaps, baik
relaps di sumsum tulang maupun di luar sumsum tulang dan rendahnya angka
kesintasan (survival) penderita leukemia akut. Di samping merupakan faktor
penyebab terjadinya relaps keadaan hiperleukositosis dapat menyebabkan
terjadinya berbagai komplikasi yang mengancam jiwa penderita yang
memerlukan tindakan segera sehingga keadaan ini dikategorikan sebagai
keadaan kedaruratan onkologi (oncology emergency) yaitu :
96

Sindrom lisis tumor


Sindrom Lisis Tumor merupakan kondisi kelainan metabolik sebagai akibat
nekrosis sel-sel tumor atau apoptosis fulminan, baik yang terjadi secara
spontan maupun setelah terapi. Kelainan yang terjadi meliputi : hiperkalemia,
hiperurisemia, hiperfosfatemia, dan hipokalsemia.

EPIDEMIOLOGI
Insiden sindrom lisis tumor tidak diketahui secara pasti. Prevalensinya
bervariasi pada berbagai jenis keganasan. Penelitian terhadap pasien dengan
limfoma non Hodgkin oleh Hande dan Garrow (1993) didapatkan sebanyak
42% pasien mengalami sindrom lisis tumor pada hasil pemeriksaan
laboratoriumnya (asimptomatik) dan hanya sebanyak 6% pasien menunjukkan
gejala tumor lisis tumor secara klinis. Penelitian pada anak-anak dengan
leukemia limfoblastik akut yang sedang dalam fase induksi kemoterapi
didapatkan sebanyak 70% penderita tanpa menunjukkan gejala klinis namun
hasil laboratoriumnya menunjukkan telah terjadi sindrom lisis tumor dan
hanya 3% yang menunjukkan gejala klinis. Tidak didapatkan perbedaan
predileksi insiden sindrom lisis tumor pada laki-laki dan perempuan, ras, atau
usia. Beberapa penulis melaporkan terjadinya gangguan fungsi ginjal lebih
sering pada usia yang lebih.

PATOFISIOLOGI
Kerusakan sel yang cepat sebagai akibat terapi sitostatika akan diikuti
keluarnya materi intraseluler ke sistem sirkulasi. Keluarnya materi intraseluler
ini melebihi kemampuan mekanisme buffer seluler dan kemampuan eksresi
ginjal, sehingga timbul kekacauan metabolisme. Secara klinis sindrom lisis
tumor dapat terjadi secara spontan, namun paling sering terjadi 48-72 jam
sesudah dimulainya terapi keganasan. Lisis sel yang terjadi dengan cepat
secara langsung akan menyebabkan pengeluaran ion kalium dan fosfat intrasel
sehingga terjadi hiperkalemia dan hiperfosfatemia. Asam nukleat purin yang
dikeluarkan pada saat kerusakan sel, oleh enzim xhantin oksidase hepar akan
dimetabolisme menjadi asam urat yang dapat menyebabkan terjadinya
hiperurisemia. Hiperfosfatemia akut akan mengakibatkan terjadinya
hipokalsemia dan presipitasi kalsium fosfat di jaringan lunak.
Fosfat merupakan anion intraseluler yang pada saat lisis sel-sel tumor
sejumlah besar fosfat akan keluar sel dan menimbulkan hiper fosfatemia.
Hipokalsemia bisa menyertai hiperfosfatemia karena fosfat akan berikatan
dengan kalsium dan mengendap di jaringan dalam bentuk kalsium fosfat,
termasuk di jaringan ginjal. Menurut Jones DP pengobatan hipokalsemia pada
keadaan hiperfosfatemia akan meningkatkan resiko kalsifikasi,
nefrokalsinosis/nefrolitiasis. Hipokalsemia juga bisa timbul karena
menurunnya aktivitas enzim 1-hidroksilase di tubulus proksimal dan
menurunnya kadar 1.25 dihidroksi vitamin D3. Pada sindrom lisis tumor
terjadi penurunan reabsorpsi fosfat di tubulus proksimal menyebabkan
97

peningkatan eksresi fosfat dalam urine. Hal ini meningkatkan resiko


nefrokalsinosis dan obstruksi tubulus karena presipitasi kalsium fosfat.
Asidosis metabolik dapat meningkatkan perpindahan fosfat dari intraseluler ke
ekstraseluler sehingga konsentrasi fosfat dalam plasma meningkat dan beban
filtrasi glomerulus juga ikut meningkat. Pemberian natrium bikarbonat untuk
alkalinisasi urine akan menurunkan kelarutan kalsium fosfat intravaskuler
sehingga resiko presipitasi kalsium fosfat meningkat. Gagal ginjal akut dan
pelepasan asam-asam intraseluler dalam jumlah besar akan menimbulkan
asidemia; menurunnya konsentrasi bikarbonat dan kesenjangan anion yang
melebar. Kondisi asidemia akan memperberat ketidakseimbangan elektrolit
yang terjadi pada sindrom lisis tumor.

MANIFESTASI KLINIS
Tidak didapatkan keluhan atau manifestasi klinis yang khas dan spesifik.
Keluhan dan kelainan klinis yang timbul merupakan perwujudan kelainan
metabolik yang mendasari.

TERAPI
Tujuan pengelolaan sindrom lisis tumor adalah mencegah gagal ginjal dan ke
tidak seimbangan. Dengan hidrasi yang adekuat melalui cairan intravena D5
¼ NS 3 liter/m2 luas permukaan tubuh perhari akan memperbaiki gangguan
elektrolit, meningkatkan volume intravaskuler, meningkatkan aliran darah ke
ginjal, meningkatkan GFR dan volume urine dan mengurangi kemungkinan
dialisis. Elektrolit yang berat, untuk itu biasanya dilakukan dengan
meningkatkan produksi urine, menurunkan konsentrasi asam urat, dan
meningkatkan kelarutan asam urat dalam urine.
Hidrasi
Hidrasi intravena dilakukan 24-48 jam sebelum kemoterapi dan dilanjutkan
sampai 48-72 jam sesudahnya akan menurunkan kecepatan pengendapan
urat di ginjal dan meningkatkan klirens ura. Hidrasi dilakukan dengan cairan
D5 ¼ NS 2-4 kali kebutuhan rumatan, dengan demikian GFR dan produksi
urine akan meningkat. Produksi urine dipertahankan tidak kurang dari 3
ml/kg/jam untuk anak < 9 tahun atau 90-100 ml/m2 luas permukaan tubuh/jam
untuk anak yang lebih tua dengan BJ urine tidak lebih dari 1,010. Kalium dan
kalsium harus dihindari dalam cairan intravena.
Diuretik bisa diberikan pada pasien dengan produksi urine yang tidak adekuat.
Jika produksi urine 60 ml/m2/jam, manitol dapat diberikan dengan dosis 0,5
mg/kbBB selama 15 menit kemudian diikuti dengan pemberian furosemid 1-2
mg/kg berat badan. Penggunaan diuretik, khususnya furosemid bisa
dipertimbangkan pada penderita yang sudah terhidrasi dengan baik tapi
produksi urine belum adekuat, pada penderita normovolemik dengan
hiperkalemia, dan pada penderita yang terbukti mengalami overload cairan.

Alkalinisasi Urine
98

Penggunaan natrium bikarbonat isotonis secara intravena untuk mendorong


diuresis alkali mempunyai efek meningkatkan kelarutan asam urat dan
mengurangi pengendapan asam urat intratubuler. Penambahan natrium
bikarbonat 40-80 mEq/liter, 100-125 mEq/m2 atau 75-100 mEq/liter cairan
hidrasi akan membuat pH urine berkisar antara 7,0-7,5 dan BJ urine tidak
lebih dari 1,010 sehingga eksresi asam urat menjadi lebih efisien.

Pengobatan Hiperurisemia
Beri alopurinol dosis 10 mg/kk bb/hari

LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT


Bambang Permono, IDG Ugrasena, Mia Ratwita A.

BATASAN
Leukemia adalah suatu keganasan organ pembuat darah, sehingga sumsum
tulang didominasi oleh klon maligna limfositik dan terjadi penyebaran sel-sel
ganas tersebut ke darah dan semua organ tubuh.

EPIDEMIOLOGI
Leukemia menempati 40% dari semua keganasan pada anak. Faktor risiko
terjadi leukemia adalah kelainan kromosom, bahan kimia, radiasi, faktor
hormonal, infeksi virus.

PATOGENESIS DAN KLASIFIKASI


 Blastosit abnormal gagal berdiferensiasi menjadi bentuk dewasa,
sementara proses pembelahan berlangsung terus. Sel-sel ini
99

mendesak komponen hemopoitik normal sehingga terjadi kegagalan


sumsum tulang. Disamping itu, sel-sel abnormal melalui peredaran
darah melakukan infiltrasi ke organ-organ tubuh.
 Klasifikasi :
Dikenal 2 golongan besar leukemia akut :
 Leukemia limfoblastik akut (LLA) : sel induk berasal dari
sel induk sistem limfoid
 Leukemia mieloblastik akut (LMA) : sel induk berasal dari
sel induk sistem mieloid

DIAGNOSIS
I. Anamnesis
 Anemia, sering demam, perdarahan, berat badan turun, anoreksia,
kelemahan umum.
 Keluhan pembesaran kelenjar getah bening dan perut.

II. Pemeriksaan fisis


 Anemis dan tanda perdarahan : mukosa anemis, perdarahan, ulsera,
angina Ludwig
 Pembesaran kelenjar limfe general
 Splenomegali, kadang hepatomegali.
 Pada jantung terjadi gejala akibat anemia.
 Infeksi pada kulit, paru, tulang.

III. Pemeriksaan penunjang


o Anemia normositik normokromik, kadang kadang dijumpai
normoblas.
o Pada hitung jenis terdapat limfoblas. Jumlah limfoblas dapat
menyampai 100%.
o Trombositopeni, uji tourniquet positif dan waktu perdarahan
memanjang.
o Retikulositopenia.
o Kepastian diagnostik : pungsi sumsum tulang, terdapat
pendesakan eritropoiesis, trombopoesis, dan granulopoesis. Sumsum
tulang di dominasi oleh limfoblas.
o Rontgen foto toraks AP dan lateral untuk melihat infiltrasi
mediastinal.
o Lumbal pungsi : untuk mengetahui ada infiltrasi ke cairan
serebrospinal.

PENATALAKSANAAN
1. Protokol pengobatan
Protokol pengobatan menurut IDAI ada 2 macam yaitu :
100

a. Protokol half dose metothrexate (Jakarta 1994) lihat


Lampiran
b. Protokol Wijaya Kusuma (WK-ALL 2000) lihat
lampiran
2. Pengobatan suportif
Terapi suportif misalnya transfusi komponen darah, pemberian antibiotik,
nutrisi, dan psikososial.

PEMANTAUAN
I. Terapi
Komplikasi terapi adalah alopesia, depresi sumsum tulang,
agranulositosis. Sepsis merupakan komplikasi selama pengobatan
sitostatika.
Pada pemberian kortikosteroid dapat terjadi perubahan perilaku,
misalnya marah, dan nafsu makan yang berlebihan.
II. Tumbuh Kembang
Pasien secepatnya masuk sekolah. Dalam jangka lama perlu diobservasi
fungsi hormonal dan tumbuh kembang anak.

PROGNOSIS
Prognosis tidak baik. Angka kematian tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bagemann, Rastetter J. Atlas of Acute Leukemia. In Clinical Hematology
rd
ed. Thieme, Stuttgart. 1986 pp 243-48.
2. Berg SL, Steuber CP, Poplack DG. Clinical Manifestation of Acute
Lymphoblastic Leukemia. In Hoffman ed : Hematology : Basic Principles
and Practice 3rd ed. Churchill Livingstone Inc. 2000, pp 1070-76.
3. Miller DR. Baehner RL, Mc Millan CW, Miller LP. Blood Disease of
Infancy and Childhood. 5th ed. St. Louis : Mosby Co., 1997 : 619.
4. Nathan DB, Oski FA. Hematology of Infancy and Childhood 2 nd ed.
Philadelphia : WB Saunders, 2000 : 979.
5. Pui Ching H. Childhood Leukemia. N Eng J Med 1995 : 332 : 1618-27.
6. Sandlund J, Harrison PL, Rivers G, Behm FG, FG, Head D, Boyett J
rubritz JE, et all. Persistence of Lymphoblasts in Bone Marrow on Day 15
101

and Days 22 to 25 of Remission Induction Predicts a Dismal Treatment


Outcome in Children With Acute Lymphoblastic Leukemia Blood, 202 :
100 : 43-6.

LIMFOMA NON HODGKIN


Bambang Permono, IDG Ugrasena, Mia Ratwita A.

BATASAN
Limfoma non hodgkin adalah keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat
padat yang pada dasarnya merupakan keganasan sel limfosit.
EPIDEMIOLOGI
Limfoma merupakan penyakit keganasan yang sering ditemukan pada anak
sepertiga leukemia dan keganasan susunan syaraf pusat. Angka kejadian
tertinggi pada umur 7-10 tahun dan jarang dijumpai pada usia dibawah 2
tahun. Laki-laki lebih sering bila dibandingkan wanita dengan perbandingan
2,5 : 1. Angka kejadiannya setiap tahun diperkirakan meningkat dan di USA
102

16,4 persejuta anak dibawah usia 14 tahun. Angka kejadian limfoma


malignum di Indonesia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.

KLASIFIKASI HISTOPATOLOGI
Klasifikasi yang banyak dipergunakan adalah dari Rappaport (R), Kiel (K),
Lukes and Collins, WHO dan Working Formulation (WF).

Tabel 1. : Klasifikasi histopatologi LNH pada anak

KIEL RAPPAPORT WORKING


FORMULA
High grade High grade
Limfoblastik Burkitt’s Difus undiferentiated Small non cleaved cell
dan bentuk lainnya (Burkitt’s dan non Burkitt’s)

Limfoblastik Limfoblastik difus Limfoblatik


komoluted
Limfoblastik non
klasifikasi

Imunoblastik Histiositik difus Imunoblastik sel besar


Sentroblastik Intermediate grade
Difus sel besar

GEJALA KLINIS DAN LABORATORIUM

 Masa intra abdominal dan intratorakal (masa mediastinum) sering


disertai efusi pleura.
 Pada anak lebih besar sering ditemukan masa mediastinal (25-35%)
khususnya pada limfoma limfoblastik sel T. Gejala yang menonjol
adalah nyeri, disfagi, sesak napas, pembengkakan daerah leher, muka,
dan sekitar leher, akibat obstruksi vena kava superior.
 Pembesaran kelenjar limfe (limfadenopati) di sebelah atas diafragma
meliputi leher, supraklavikular atau aksiler, tetapi jarang sekali
pembesaran kelenjar limfe retroperitoneal.
 Pembesaran limpa dan hati menunjukkan keterlibatan sumsum tulang
sering menunjukkan gejala leukemia limfoblastik akut.
 Gambaran laboratorium dalam batas normal, kadar LDH dan asam urat
menggambarkan adanya tumor lisis maupun nekrosis jaringan.

DIAGNOSIS
 Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik sangat penting.
103

 Diagnosis ditegakkan dengan biopsi, pemeriksaan sitologis cairan efusi


maupun aspirasi sumsum tulang, bila dimungkinkan dengan
pemeriksaaan imunologik dan sitogenik.
 Pemeriksaan lain adalah pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, fungsi
ginjal, cairan serebrospinal, asam urat, LDH, USG abdomen dan
scanning tulang.

Tabel 2. : Skema Stadium LNH Dari St. Jude Children’s Research


Hospital

PENATALAKSANAAN
Kemoterapi dengan menggunakan protokol COMP terdiri dari :
 Fase induksi :
- Siklofosfamid 1,2 g/m2 iv (hari ke-1)
- Vinkristin 2 mg/m2 iv (hari ke-3, 10, 18, 26)
- Metotreksat 300 mg/m2 iv (hari ke-12)
- Metotreksat 6,25 mg/m2 it (hari ke-4, 30, 34)
- Prednison 60 mg/m2 po (hari ke-3 sampai 30 kemudian
diturunkan bertahap sampai hari ke-40
 Fase rumatan :
- Siklofosfamid 1,0 g/m2 iv (minggu ke-0, 4, 8, 12, 16, 20)
- Vinkristin 1,5 mg/m2 iv (minggu ke-0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16,
18, 20)
- Metotreksat 300 mg/m2 iv (minggu ke-2, 6, 10, 14, 18)
- Metotreksat 6,25 mg/m2 it (minggu ke-4, 8, 12, 16, 20)
- Prednison 60 mg/m2 po selama 5 hari (minggu ke-0, 4, 8, 12, 16,
20)
Selama kemoterapi dilakukan pemeriksaan fungsi hati, ginjal tiap bulan.
104

DAFTAR PUSTAKA
1. Patte C. Non Hodgkin’s Lymphoma. Dalam Pinkerton CR and Plowman
PN penyunting. Paediatric Oncology. Edisi ke-2. London; Chapman & Hall
Medical; 1997 : 278-295.
2. Oberlin O, Mc Dowell HP. Hodgkin’s Disease. Dalam Pinkerton CR and
Plowman PN penyunting. Paediatric Oncology. Edisi ke-2. London; Chapman
& Hall Medical; 1997 : 296-319.
3. Hudson MM, Donaldson SS. Dalam Poplack DG, Pizzo PZ penyunting.
Principles and Prcatice of Pediatric Oncology. Edisi ke-4. Philadelphia;
Lippincott Williams & Wilkins; 2002 : 661-705.
4. Magrath It. Malignant Non-Hodgkin’s Lymphomas in Children. Dalam
Poplack DG, Pizzo PA penyuting. Principles and Practice of Pediatric
Oncology. Edisi ke-4. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins; 2002 :
661-705.
5. Büyüpamukçu M. Non-Hodgkin’s Disease. Dalam Voute PA, Kalifa C,
and Barret A penyunting. Cancer in Children Clinical Management, Edisi ke-
4. New York; Oxford University Press; 1999 : 119-136.
6. Oberlin O. Hodgkin’s Disease. Dalam Voute PA, Kalifa C, and Barret A
penyunting. Cancer in Children Clinical Management, Edisi ke-4. New York;
Oxford University Press; 1999 : 137-153.
7. Lanzkowsky MB, ChB. Hodgkin’s Disease. Dalam Lanzkowsky MB,
ChB, penyunting. Manual of Pediatric Hematology Oncology. Edisi ke-2.
New York; Churchill Livingstone; 1995 : 347-373.
8. Lanzkowsky MB, ChB. Non-Hodgkin’s Disease. Dalam Lanzkowsky
MB, ChB, penyunting. Manual of Pediatric Hematology Oncology. Edisi ke-2.
New York; Churchill Livingstone; 1995 : 375-396.

PERDARAHAN AKIBAT DEFISIENSI VITAMIN K


Bambang Permono, IDG Ugrasena, Mia Ratwita A

BATASAN
Kecenderungan terjadinya perdarahan akibat gangguan proses koagulasi yang
disebabkan oleh kekurangan vitamin K atau dikenal dengan Vitamin K
Deficiency Bleeding (VKDB).

PATOFISIOLOGI
105

Vitamin K diperlukan untuk sintesis prokoagulan faktor II, VII, IX dan X


(kompleks protrombin) serta protein C dan S yang berperan sebagai
antikoagulan (menghambat proses pembekuan). Selain itu Vitamin K
diperlukan untuk konversi faktor pembekuan tidak aktif menjadi aktif.
Ada 3 Kelompok :
 VKDB dini
 VKDB klasik
 VKDB lambat atau acquired prothrombin complex deficiency (APCD)
 Secondary prothrombin complex (PC) deficiency

EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian VKDB berkisar antara 1:200 sampai 1:400 kelahiran bayi
yang tidak mendapat vitamin K profilaksis. Di Indonesia, data mengenai
VKDB secara nasional belum tersedia. Hingga tahun 2004 didapatkan 21
kasus di RSCM Jakarta, 6 kasus di RS Dr. Sardjito Yogyakarta dan 8 kasus di
RSU Dr. Soetomo Surabaya.

DIAGNOSIS
Anamnesis
 onset perdarahan
 lokasi perdarahan
 pola pemberian makanan
 riwayat pemberian obat-obatan pada ibu selama kehamilan

Pemeriksaan fisik
 Adanya perdarahan di saluran cerna, umbilikus, hidung, bekas sirkumsisi
dan lain sebagainya

Pemeriksaan penunjang
 Waktu pembekuan memanjang
 PPT (Plasma Prothrombin Time) memanjang
 Partial Thromboplastin Time (PTT) memanjang
 Thrombin Time normal
 USG, CT Scan atau MRI untuk melihat lokasi perdarahan

Tabel : Perdarahan akibat defisiensi vitamin K pada anak


VKDB dini VKDB klasik VKDB lambat Secondary PC
(APCD) defici
ency
106

Umur < 24 jam 1-7 hari 2 minggu-6 bulan Segala usia


(terbanyak 3-5 (terutama 2-8
hari) minggu)
Penyebab Obat yang diminum - - Intake - obstruksi
& selama kehamilan Pemberian Vit K bilier
Faktor makanan inadekuat -penyakit hati
resiko terlambat - Kadar -malabsorbsi
- vit K rendah -intake kurang
Intake Vit K pada ASI (nutrisi
inadekuat - Tidak parenteral)
- dapat
Kadar vit K profilaksis vit
rendah pada K
ASI
-
Tidak dapat
profilaksis
vit K
Frekuensi < 5% pada kelompok 0,01-1% 4-10 per 100.000
resiko tinggi (tergantung pola kelahiran
makan bayi) (terutama di Asia
Tenggara)
Lokasi Sefalhematom, GIT, umbilikus, Intrakranial (30-
perdarahan umbilikus, hidung, tempat 60%), kulit,
intrakranial, suntikan, bekas hidung, GIT,
intraabdominal, GIT, sirkumsisi, tempat suntikan,
intratorakal intrakranial umbilikus, UGT,
intratorakal
Pencegahan -penghentian / -Vit K Vit K profilaksis
penggantian obat profilaksis (oral / (im)
penyebab im) - asupan vit K
- asupan vit K yang adekuat
yang adekuat
DIAGNOSIS BANDING
VKDB dibedakan dengan gangguan hemostasis lain misalnya gangguan
fungsi hati.

PENATALAKSANAAN
Pencegahan VKDB
Dapat dilakukan dengan pemberian vitamin K Profilaksis
 Vitamin K1 pada bayi baru lahir 1 mg im (dosis tunggal) atau per oral 3
kali @ 2 mg pada waktu bayi baru lahir, umur 3-7 hari dan umur 1-2
tahun
 Ibu hamil yang mendapat pengobatan antikonvulsan mendapat
profilaksis vitamin K1 5 mg/hari selama trimester ketiga atau 10 mg im
pada 24 jam sebelum melahirkan. Selanjutnya bayinya diberi vitamin
K1 1 mg im dan diulang 24 jam kemudian
107

Pengobatan VKDB
 Vitamin K1 dosis 1-2 mg/hari selama 1-3 hari
 Fresh frozen plasma (FFP) dosis 10-15 ml/kg

PURPURA TROMBOSITOPENIK IMUN (PTI)


Bambang Permono, IDG Ugrasena, Mia Ratwita A.

SINONIM : Autoimmune Thrombocytopenic Purpura, Morbus Wirlhof,


purpura Hemorrhagica

BATASAN
Merupakan kelainan perdarahan (bleeding disorders) pada anak usia 2–4
tahun, dengan insiden 4-8 kasus per 100.000 anak per tahun. Terjadi akut,
biasanya sembuh sendiri dalam 6 bulan dan jika PTI terjadi pada usia < 1
108

tahun atau > 10 tahun biasanya kronik dan dihubungkan dengan kelainan
imunitas.

PATOFISIOLOGI
Pada PTI akut, telah dipercaya bahwa penghancuran trombosit meningkat
karena adanya antibodi yang dibentuk saat terjadi respon imun terhadap
infeksi bakteri/virus atau pada imunisasi, yang bereaksi silang dengan antigen
dari trombosit. Mediator-mediator lain yang meningkat selama terjadinya
respon imun terhadap infeksi, dapat berperan dalam terjadinya penekanan
terhadap produksi trombosit.

DIAGNOSIS
I. Anamnesis
 Trombositopenia terjadi 1-3 minggu setelah infeksi bakteri atau virus
(infeksi saluran nafas atas atau saluran cerna), misalnya Rubella,
Rubeola, Chicken Pox atau vaksinasi dengan virus hidup.
 Riwayat perdarahan, gejala dan tipe perdarahan, lama perdarahan,
riwayat sebelum perdarahan.
 Riwayat pemberian obat-obat, misalnya heparin, sulfonamid,
quinidine/quinine, aspirin.
 Riwayat ibu menderita HIV, riwayat keluarga yang menderita
trombositopenia atau kelainan hematologi.

II. Pemeriksaan fisis


 Perhatikan manifestasi perdarahan (Tabel 1), tipe perdarahan
termasuk perdarahan retina, beratnya perdarahan.
 Perabaan hati, limpa, kelenjar getah bening.
 Infeksi
 Gambaran dismorfik yang diduga kelainan kongenital termasuk
kelainan tulang, kehilangan pendengaran.

Tabel 1. : Stadium berdasarkan jumlah trombosit, manifestasi klinis dan


petunjuk intervensi pada anak dengan PTI

Stadium Trombosit Gejala dan Rekomendasi


( x 109 / l ) Pemeriksaan fisik

1 > 50- tidak ada tidak ada


2 > 20 tidak ada pengobatan individual
(terapi / preventif)
3 > 20 dan / atau perdarahan mukosa dirawat di RS dan
109

<10 perdarahan minor IVIG atau


kortikosteroid

III.Pemeriksaan penunjang
 Morfologi eritrosit, leukosit dan retikulosit biasanya normal.
 Hemoglobin, indeks eritrosit dan jumlah leukosit normal.
 Trombositopenia, besar trombosit normal atau lebih besar (giant
platelet), masa perdarahan (Bleeding Time) memanjang.
 Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang tidak perlu bila gambaran
klinis dan laboratorium klasik, tapi bila ditemukan
limfadenopati, organomegali, anemia atau kelainan jumlah
leukosit perlu dilakukan.

Tabel 2. : Gambaran PTI akut dan kronik

AKUT KRONIK
Umur 2-6 tahun Dewasa
Jenis kelamin Laki : wanita = 1 : 1 Laki : Wanita = 1 : 3
Ada infeksi yang + 80 % Jarang
mendahului
Permulaan Akut Perlahan-lahan
Jumlah trombosit < 20.000/mm3 40.000-80.000/mm3
Eosinofili dan Sering Jarang
limfositosis
Kadar IgA Normal Lebih rendah
Lama penyakit Biasanya 2-6 minggu Berbulan-bulan sampai bertahun-
tahun
Prognosis Penyembuhan spontan Perjalanan penyakit menahun
pada 80% kasus dengan jumlah trombosit naik turun

DIAGNOSIS BANDING
 Anemia aplastik dan leukemia akut : gambaran darah tepi dan sumsum
tulang biasanya cukup khas.
 Septikemia pada stadium permulaan : penderita tampak sakit.
 Penyakit imunologik seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE) : tes
sel LE, tes ANA (Antinuclear antibody).

PENATALAKSANAAN
Beberapa kemungkinan pengobatan PTI pada anak dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. : Beberapa kemungkinan pengobatan PTI pada anak


Dosis inisial 0,8 g/kg BB, 1 kali pemberian. Diulang
dengan dosis yang sama jika jumlah trombosit < 30 x
Intravenous 109/l pada hari ke-3 (72 jam setelah infus pertama).
immunoglobulin Pada perdarahan emergensi: 0,8 g/kg BB, 1-2 kali
110

(IVIG) pemberian, bersama-sama dengan kortikosteroid dan


transfusi trombosit.
Pada PTI kronis : 0,4 g/kg BB/x, setiap 2-8 minggu.
Kortikosteroid 4 mg prednison/kg BB/hari/po atau iv selama 7 hari,
kemudian tappering of dalam periode 7 hari.
Pada perdarahan emergensi: 8-12.00 mg
metilprednisolon/kg BB/iv atau 0,5-1,0 mg
deksametason/kg BB/iv atau po, bersama-sama dengan
IVIG atau transfusi trombosit.
Anti-R(D) antibody 10-25 lg/kg BB/ hari selama 2-5 hari, intravena dalam
50 cc NaCl 0,9% dan habis dalam 30 menit.
a-interferon 3 x 106 unit subkutan, 3 kali per minggu selama 4
minggu
Siklosporin 3-8 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2-3 dosis
Azatioprin 50-300 mg/m2 per os/hari selama > 4 bulan

Catatan :
 Transfusi trombosit pada umumnya tidak diberikan berhubung
adanya zat anti terhadap trombosit.
 Splenektomi kadang-kadang dilakukan pada PTI akut dengan dugaan
perdarahan otak. Biasanya dilakukan bersama dengan transfusi
trombosit dalam jumlah yang besar.

KOMPLIKASI
 Anemia karena perdarahan hebat
 Perdarahan otak setelah anak jatuh (rudapaksa pada kepala)
 Sepsis pasca splenektomi
111

DAFTAR PUSTAKA
1. Lanzlowsky P. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Edisi
ke-2. New York : Churchill Livingstone; 1995, h. 202-3.
2. Lilyman JS. Disorders of Platellets. I. Thrombocytopenia and
Thrombocytosis. Dalam : Lillyman JS, Hann IM, penyunting.
Paediatric Hematology. Edisi ke-1. Edinburgh : Churchill
Livingstone; 1992, h. 129-68.
3. Beardsky DS. Platelet Abnormalities in Infancy and Childhood.
Dalam : Nathan DG, Oski FA, penyunting. Hematology of Infancy
and Childhood. Edisi ke-4. Philadelphia : Saunders; 1993, h. 1561-
604.
4. Grabowski EF, Corrigan JJ. Hemostasis : General Considerations.
Dalam: Miller DR, Baehner RL, Miller LP, penyunting. Blood
Diseases of Infancy and Childhood. Edisi ke-7. St. Louis : Mosby;
1995, h. 849-923.
112

TALASEMIA
Bambang Permono, IDG Ugrasena, Mia Ratwita A.

BATASAN
Thalassemia adalah suatu kelompok anemia hemolitik kongenital herediter
yang diturunkan secara autosomal, disebabkan oleh kekurangan sintesis rantai
polipeptid yang menyusun molekul globin dalam hemoglobin.

PATOFISIOLOGI
 Molekul globin terdiri atas sepasang rantai- dan sepasang rantai lain yang
menentukan jenis Hb. Pada orang normal terdapat 3 jenis Hb, yaitu Hb A
(merupakan > 96% dari Hb total, tersusun dari 2 rantai- dan 2 rantai-
= 22), Hb F (< 2% = 22) dan HbA2 (< 3% = 22). Kelainan
produksi dapat terjadi pada ranta- (-thalassemia), rantai- (-
thalassemia), rantai- (-thalassemia), rantai- (-thalassemia),
maupun kombinasi kelainan rantai- dan rantai- (-thalassemia).
 Pada thalassemia-, kekurangan produksi rantai beta menyebabkan
kekurangan pembentukan 22 (Hb A); kelebihan rantai- akan
berikatan dengan rantai- yang secara kompensatoir Hb F meningkat;
sisanya dalam jumlah besar diendapkan pada membran eritrosit sebagai
Heinz bodies dengan akibat eritrosit mudah rusak (ineffective
erythropoesis).

EPIDEMIOLOGI
Frekuensi gen thalassemia di Indonesia berkisar 3-10%. Berdasarkan angka
ini, diperkirakan lebih 2000 penderita baru dilahirkan setiap tahunnya di
Indonesia.

DIAGNOSIS
I. Anamnesis
Keluhan timbul karena anemia: pucat, gangguan nafsu makan, gangguan
tumbuh kembang dan perut membesar karena pembesaran lien dan hati.
Pada umumnya keluh kesah ini mulai timbul pada usia 6 bulan.

II. Pemeriksaan fisis


 Pucat
 Bentuk muka mongoloid (facies Cooley)
 Dapat ditemukan ikterus
 Gangguan pertumbuhan
 Splenomegali dan hepatomegali yang menyebabkan perut membesar

III. Pemeriksaan penunjang


1. Darah tepi :
 Hb rendah dapat sampai 2-3 g %
113

 Gambaran morfologi eritrosit : mikrositik hipokromik, sel


target, anisositosis berat dengan makroovalositosis,
mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda
Howell-Jolly, poikilositosis dan sel target. Gambaran ini lebih
kurang khas.
 Retikulosit meningkat.
2. Sumsum tulang (tidak menentukan diagnosis) :
 Hiperplasi sistem eritropoesis dengan normoblas terbanyak
dari jenis asidofil.
 Granula Fe (dengan pengecatan Prussian biru) meningkat.
3. Pemeriksaan khusus :
 Hb F meningkat : 20%-90% Hb total
 Elektroforesis Hb : hemoglobinopati lain dan mengukur kadar
Hb F.
 Pemeriksaan pedigree: kedua orangtua pasien thalassemia
mayor merupakan trait (carrier) dengan Hb A2 meningkat (>
3,5% dari Hb total).
4. Pemeriksaan lain :
 Foto Ro tulang kepala : gambaran hair on end, korteks
menipis, diploe melebar dengan trabekula tegak lurus pada
korteks.
 Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang : perluasan
sumsum tulang sehingga trabekula tampak jelas.

DIAGNOSIS BANDING
Thalasemia minor :
 anemia kurang besi
 anemia karena infeksi menahun
 anemia pada keracunan timah hitam (Pb)
 anemia sideroblastik

PENATALAKSANAAN
I. Medikamentosa
o Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan
setelah kadar feritin serum sudah mencapai 1000 g/l atau
saturasi transferin lebih 50%, atau sekitar 10-20 kali transfusi
darah.
 Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari subkutan
melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal
selama 5 hari berturut setiap selesai transfusi darah.
o Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi,
untuk meningkatkan efek kelasi besi.
o Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang
meningkat.
114

o Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat


memperpanjang umur sel darah merah.

II. Bedah
Splenektomi, dengan indikasi:
 limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita,
menimbulkan peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya
terjadinya ruptur
 hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi
darah atau kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250
ml/kg berat badan dalam satu tahun.

III.Suportif
Transfusi darah :
Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan
kedaan ini akan memberikan supresi sumsum tualang yang adekuat,
menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan
pertumbuhan dan perkembangan penderita. Pemberian darah dalam
bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1
g/dl.

IV.Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)


Tumbuh kembang, kardiologi, Gizi, endokrinologi, radiologi, Gigi

PEMANTAUAN
I. Terapi
 Pemeriksaan kadar feritin setiap 1-3 bulan, karena kecenderungan
kelebihan besi sebagai akibat absorbsi besi meningkat dan transfusi
darah berulang.
 Efek samping kelasi besi yang dipantau: demam, sakit perut, sakit kepala,
gatal, sukar bernapas. Bila hal ini terjadi kelasi besi dihentikan.
II.Tumbuh Kembang
Anemia kronis memberikan dampak pada proses tumbuh kembang,
karenanya diperlukan perhatian dan pemantauan tumbuh kembang
penderita.
III. Gangguan jantung, hepar dan endokrin
Anemia kronis dan kelebihan zat besi dapat menimbulkan gangguan
fungsi jantung (gagal jantung), hepar (gagal hepar), gangguan endokrin
(diabetes melitus, hipoparatiroid) dan fraktur patologis.
115

DAFTAR PUSTAKA
1. Brozovic M, Henthorn J. Investigation of abnormal hemoglobins and
thalassemia. In: Dacie JV, Lewis SM, eds. Practical Hematology. 8th ed.
Churchill Livingstone Edinburgh, 1995 : 249.
2. Cappellini N, Cohen A, Eleftheriou A, Piga A, Porter J. Guidelines for the
Clinical Management of Thalassaemia. Thalassaemia International
Federation, April 2000.
3. Eleftheriou A. Clinical Management of Thalassaemia. In : Compliance to
Iron Chelation Therapy With Desferrioxamine. Thalassaemia
International Federation 2000 : 14-6.
4. Miller DR. Baehner RL, Mc. Millan CW, Miller LP. Blood Disease of
Infancy and Childhood. 5th ed. St. Louis : Mosby Co., 1997 : 619.
5. Nathan DB, Oski FA. Hematology of Infancy and Childhood. 2 nd ed.
Philadelphia : WB Saunders, 2000 : 979.
6. Wahidiyat I, Thalassemia dan Permasalahannya di Indonesia. Naskah
lengkap Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak (KONIKA) Jakarta,
1999 : 293-6.
116

TUMOR WILMS
Bambang Permono, IDG Ugrasena, Mia Ratwita Andarsini

BATASAN
Tumor Wilms adalah tumor ganas embrional ginjal yang berasal dari
metanefros. Nama lain tumor ini adalah nefroblastoma atau embrioma renal.

EPIDEMIOLOGI
Tumor wilms merupakan tumor ganas ginjal yang terbanyak pada bayi dan
anak. Sekitar 80% tumor ini terjadi pada anak di bawah 6 tahun, dengan
puncak insidens pada umur 2-4 tahun. Tumor Wilms dapat juga dijumpai pada
neonatus. Tumor Wilms terhitung 6% dari seluruh penyakit keganasan pada
anak.
Insiden penyakit ini hampir sama di setiap negara, karena tidak ada perbedaan
ras, iklim dan lingkungan, yaitu diperkirakan 8 per 1 juta anak di bawah umur
15 tahun. Perbandingan insiden laki-laki dan perempuan hampir sama. Lokasi
tumor biasanya unilateral, lebih sering di sebelah kiri, bisa juga bilateral
(sekitar 5%).

ETIOLOGI
Tumor Wilms berasal dari proliferasi patologik blastema metanefron akibat
tidak adanya stimulasi yang normal dari duktus metanefron untuk
menghasilkan tubuli dan glomeruli yang berdiferensiasi baik. Perkembangan
blastema renalis untuk membentuk struktur ginjal terjadi pada umur
kehamilan 8-34 minggu. Sehinga diperkirakan bahwa kemampuan blastema
primitif untuk merintis jalan ke arah pembentukan tumor Wilms, apakah
sebagai mutasi germinal atau somatik, itu terjadi pada usia kehamilan 8-34
minggu.
Sekitar 1,5% penderita mempunyai saudara atau anggota keluarga lain yang
juga menderita tumor Wilms. Hampir semua kasus unilateral tidak bersifat
keturunan yang berbeda dengan kasus tumor bilateral. Sekitar 7-10% kasus
Tumor Wilms diturunkan secara autosomal dominan. Mekanisme genetik
yang berkaitan dengan penyakit ini, belum sepenuhnya diketahui. Pada
penderita sindrom WAGR (tumor Wilms, aniridia, malformasi genital dan
retadasi mental) memperlihatkan adanya delesi sitogenetik pada kromosom
11, daerah p13. Pada beberapa penderita, ditemukan gen WT1 pada lengan
pendek kromosom 11, daerah p13. Gen WT1 secara spesifik berekspresi di
ginjal dan dikenal sebagai faktor transkripsi yang diduga bertanggung jawab
untuk berkembangnya tumor Wilms.

PATOLOGI
Tumor Wilms tersusun dari jaringan blastema metanefrik primitif. Disamping
itu tumor ini sering mengandung jaringan yang tidak biasanya terdapat pada
117

metanefron normal, misalnya jaringan tulang, tulang rawan dan epitel


skuamous. Gambaran histologik yang sangat beragam merupakan suatu ciri
dari tumor Wilms. Gambaran klasik tumor Wilms bersifat trifasik, termasuk
sel epitel blastema dan stroma. Berdasarkan korelasi histologis dan klinis,
gambaran histopatologik tumor Wilms dapat dikelompokkan dalam tiga
kelompok, yaitu tumor risiko rendah (favourable), tumor risiko sedang dan
tumor risiko tinggi (unfavourable).
Stadium
The National Wilms Tumor Study (NWTS) membagi 5 stadium tumor Wilms,
yaitu :
Stadium I
Tumor terbatas di dalam jaringan ginjal tanpa menembus kapsul. Tumor ini
dapat di reseksi dengan lengkap.
Stadium II
Tumor menembus kapsul dan meluas masuk ke dalam jaringan ginjal dan
sekitar ginjal yaitu jaringan perirenal, hilus renalis, vena renalis dan kelenjar
limfe para-aortal. Tumor masih dapat direseksi dengan lengkap.
Stadium III
Tumor menyebar ke rongga abdomen (perkontinuitatum), misalnya ke hepar,
peritoneum dan lain-lain.
Stadium IV
Tumor menyebar secara hematogen ke rongga abdomen, paru-paru,otak dan
tulang.

Sebelum diberikan kemoterapi, ada beberapa evaluasi yang harus dilakukan :


1. Anamnesa : apakah ada keluarga yang menderita willms tumor, penyakit
yang menyertai, riwayat keluarga untuk kanker, kelainan kongenital,
tumor jinak.
2. Diagnosa fisik : tekanan darah, berat badan, tinggi badan, hepar, lien,
pembesaran kelenjar getah bening, massa abdomen (tempat dan ukuran).
Anomali : hemihipertropi, genitalia external abnormal (hipospadia,
criptosidism, duplikasi ureteral, ektopik ginjal), stigmata dari sindroma
beckwith-wiedeman : aniridia, hamartroma.
3. Data laboratorium
Darah lengkap, fungsi ginjal, fungsi hati, alkali phosphatase, LDH dan VMA.
Radiologi : foto thoraks (PA dan lateral), IVP, USG, CT Scan abdomen
dengan kontras.
Pengobatan tumor wilms terdiri dari operasi (pembedahan), kemoterapi
dan radioterapi.

GEJALA KLINIK
Tumor dalam perut (tumor abdomen) merupakan gejala tumor Wilms yang
paling sering (75-90%), yang sebagian besar diketahui pertama kali oleh orang
tua atau keluarga penderita. Kadang-kadang ditemukan secara kebetulan oleh
seorang dokter pada saat melakukan pemeriksaan fisik. Tumor Wilms dapat
118

membesar sangat cepat, yang dalam beberapa keadaan disebabkan karena


terjadinya perdarahan.
Hematuri (makroskopis) terdapat pada sekitar 25% kasus, akibat infiltrasi
tumor ke dalam sistem kaliks. Hipertensi ditemukan pada sekitar 60% kasus,
diduga karena penekanan tumor atau hematom pada pembuluh-pembuluh
darah yang mensuplai darah ke ginjal, sehingga terjadi iskemi jaringan yang
akan merangsang pelepasan renin, atau tumor sendiri mengeluarkan renin.
Gejala lain berupa anemia, penurunan berat badan, infeksi saluran kencing,
demam, malaise dan anoreksia. Pada beberapa penderita dapat ditemukan
nyeri perut yang bersifat kolik, akibat adanya gumpalan darah dalam saluran
kencing. Tumor Wilms tidak jarang dijumpai bersama kelainan kongenital
lainnya, seperti aniridia, hemihipertrofi, anomali saluran kemih atau genitalia
dan retardasi mental.
DIAGNOSIS
Diagnosis tumor Wilms berdasarkan atas :
- gejala klinik
- pemeriksaan radiologik (IVP dan USG), laboratorium LDH
- dipastikan dengan pemeriksaan histopatologik jaringan tumor
Dengan pemeriksaan IVP tampak distorsi sistem pielokalises (perubahan
bentuk sistem pielokalises) dan sekaligus pemeriksaan ini berguna untuk
mengetahui fungsi ginjal. USG merupakan pemeriksaan non invasif yang
dapat membedakan tumor solid dengan tumor yang mengandung cairan.
Dengan pemeriksaan USG, tumor Wilms nampak sebagai tumor padat di
daerah ginjal. Hasil pemeriksaan laboratorium yang penting yang menunjang
untuk tumor Wilms adalah kadar lactic dehydrogenase (LDH) meninggi dan
Vinyl mandelic acid (VMA) dalam batas normal.

Terapi
Modalitas pengobatan tumor Wilms terdiri dari, operasi (pembedahan),
kemoterapi dan radioterapi. Pada tumor stadium I dan II dengan jenis sel
favorable, dilakukan operasi dengan kombinasi kemoterapi dactinomycin dan
vincristin tanpa pemberian radiasi abdomen. Tumor stadium III dengan jenis
sel favorable diberikan pengobatan pembedahan dengan kombinasi
daktinomisin, vinkristin dan doksorubisin disertai radiasi abdomen. Untuk
tumor stadium IV dengan jenis sel favorable, diberikan kombinasi
daktinomisin, vinkristin dan doksorubisin. Penderita ini mendapat pula radiasi
abdomen dan paru bila sudah ada penyebaran ke dalam jaringan paru. Pada
kasus stadium II sampai IV dengan jenis sel anaplastik (unfavorable)
diberikan pengobatan pembedahan dengan kombinasi daktinomisin, vinkristin
dan doksorubisin ditambah siklofospamid. Pada penderita ini menerima pula
radiasi abdomen dan paru.

Prognosis
Beberapa faktor menentukan prognosis, yaitu ukuran tumor, gambaran
histopatologik, umur penderita dan stadium atau tingkat penyebaran tumor.
119

Mereka yang mempunyai prognosis yang baik adalah penderita yang


mempunyai ukuran tumor masih kecil, tingkat diferensiasi sel tinggi secara
histopatologik, stadium masih dini atau belum ada metastasis dan umur
penderita di bawah dua tahun.

PROTOKOL NEFROBLASTOMA
STADIUM I (Intermediate Grade and Aplasia)

Nama : ............... BB/TB/LPT: .... kg..... cm


Umur/tanggal lahir : ............... No. CM :................
Jenis Kelamin : ..........................................
Alamat : ..........................................

DAFTAR PUSTAKA
1. Aron BS. Wilm’s tumor a clinical study of eighty-one patients. Cancer,
1974; 33 : 637-46.
2. Breslow N, Olsham A, Beckwith JB, Green DM. Epidemiology of
Wilm’s Tumor. MPO, 1993; 21 : 172-181.
3. Cassady JR, Tefft M, Filler RM. Consideration in the radiation therapy
of Wilm’s tumor. Cancer, 1973; 32 : 598-607.
4. Chintagumpala MM, Steuber CP. Nephroblastoma. Dalam : Mc Millan
JA, penyunting. Oski’s pediarics principles and practice. Edisi ke-3.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 1999. h. 515-7.
5. Cowell JK, Wadey RB, Buckle BB, Pritchard J. The aniridia-Wilm’s
tumor association : molecular and genetic analysis of chromosome
deletions on the short arm of chromosome 11. Hum Genet, 1989; 82 :
123-6.
6. De Camargo B, Weitzman S. Nephroblastoma. Dalam : Voute PA, Kalifa
C, Barret A, penyunting. Cancer in children : clinical management. Edisi
ke-4. New York : Oxford; 1998. h. 259-73.
7. Ehrlich RM, Goodwin WE. The surgical treatment of nephroblastoma
(Wilm’s tumor). Cancer, 1973; 32 : 1145-9.
8. Lanzkowsky P. Wilm’s Tumor. Dalam : Manual of pediatric hematology
and oncology. Edisi ke-2. New York : Churchill Livingstone; 1995. h.
437-51.
9. Madden SL, Cook DM, Morris JF, Gashler A, Sukhatme VP, Rauscher
FJ. Transcriptional repression mediated by the WT1 Wilms tumor gene
product. Science, 1991; 253 : 1550-3.
10. Schwartz CE, Haber DE, Stanton VP, Strong LC, Skolnick MH, Housman
DE. Familial predisposition to Wilms tumor does not segregate with the
WT1 gene. Genomics, 1991; 10 : 927-30.

Anda mungkin juga menyukai