Anda di halaman 1dari 4

cerpen

Semoga masih teringat jelas sisa-sisa reruntuh dalam ingatmu, puing-puing beserta tangis
kehidupan. Semoga Tulisan ini tak mengembalikan lukamu, tapi menerima dan memeluk
segalanya dengan getir yang kamu punya. Jangan sesali yang sudah pergi, jangan tangisi
yang sudah tiada. Bangkit, lihat dan syukuri apa yang masih ada.
Aku selalu percaya bahwa kekuatan terbesar yang kita miliki adalah doa dan usaha.
Sekarang dan hari-hari seterusnya kita lalui dengan segala rasa yakin dan syukur yang terus
bersuara. Tanah kita, tempat kita, dan kita sendiri harus berusaha untuk seperti sedia kala.
Sebab, guncangan beberapa saat lalu adalah pengingat dari kelalaian kita menjaga bumi sasak
ini

5 Agustus 2018. Adzan berkumandang syahdu. Pulau seribu masjid ini dengan serentak
memanggil hamba Allah untuk menunaikan shalat isya. Malam itu, suasananya agak berbeda.
Dikotaku, Praya. Baru saja hujan membasuh kering setelah seharian lagit cerah, terang-
benderang.
Adzan berlalu, di masjid-masjid shalat telah dimulai. Malam itu, tak ada yang pernah
menebak bahwa Tuhan akan menegur. Di waktu mulia itu, tak ada yang mengira bahwa
Tuhan akan memperlihatkan kuasa-Nya. Kita seringkali abai, bahkan dengan panggilan-Nya.
Menunda-nunda seruan-nya. Malam itu, disisa-sisa gerimis bumi sasak di guncang. Wajah-
wajah tiap orang panik dan ketakutan.
“Allahuakbar! Allahuakbar!”
Tak henti suara takbir dielukan. Seketika gelap. Suasana makin mencekam. Peringatan
tsunami menakuti tiap-tiap orang, meski beberapa saat setelahnya BMKG telah mencabut
peringatan itu. Dalam keadaan gelap, meninggalkan rumah lalu berlari ke tanah lapang,
melupakan alas kaki. Tak peduli dengan kerikil yang menusuk, kekhawatiran soal gempa
susulan yang lebih besar terus menakuti.
Tibalah pilu mengurung hati. Duka dan segala sedih mengungkung. Kabar mengerikan itu
datang secepat kilat, rumah-rumah di Lombok Utara telah habis; rata dengan tanah. Begitu
juga dengan kerusakan yang terjadi di Lombok Timur dan Lombok Barat. Sekian banyak
yang harus kehilangan nyawa, dan mereka yang terkapar dengan luka. Anak-anak kehilangan
orangtuanya, istri kehilangan suaminya―dan sebaliknya, juga harta telah tertimbun, tak ada
yang bisa diselamatkan.
Kotaku, alhamdulillah aman-aman saja. Hanya beberapa rumah dengan arsitektur instan
mengalami retak pada dindingnya. Tak lama, berselang menit, gempa susulan dengan skala
3-4-5 menyusul. Lengkaplah alasan mengapa kami berminggu-minggu harus tidur di teras
ataupun tenda. Berhari-hari setelahnya masih bertahan, melawan dingin yang membuat gigil.
Sekadar memasuki rumah untuk mandi atau hanya mencari baju ganti saja takut sekali.
Kalau-kalau nanti gempa datang lagi; suara atap rumah terdengar jelas diguncang―khawatir
jika nanti akan roboh. Ketakutan seperti itu menjadi hantu harian yang menakuti. Apakah
akan terus begini? Tidur diluar; beratapkan langit, berselimut dingin, dan direngkuh
kecemasan.
Bahkan, kami yang selamat saja lupa dengan saudara diluar sana. Mereka terluka, nyawa
sanak-saudara hilang, harta-benda lenyap, dan kematian seolah didepan mata. Hari-hari
berlalu dengan keadaan yang sama, dan kami lebih sering mengecek ponsel untuk
memastikan berapa kuat guncangan barusan. Menyaksikan tenda-tenda ditanah lapang, anak-
anak bermain melupakan sekolahnya, ibu-ibu memasak bersama diluar―sibuk membuat
dapur umum.
Dan, pegawai yang sebelumnya rajin berkantor, kini telah lupa dengan hari apa-tanggal
berapa. Mereka tidak peduli seberapa banyak potongan gaji. Diam dirumah ataupun ditenda,
memeluk anak-anak maupun berkumpul dengan keluarga besarnya adalah hal yang paling di
sibukkan saat itu. Tak ada lagi pikiran tentang pekerjaan dan sebagainya.
Termasuk aku, remaja 17 tahun yang kini duduk di bangku kelas tiga aliyah. Jujur,
bencana yang menimpa pulauku saat ini membuat kekhawatiran yang sangat menyita
konsentrasi. Bagaimana tidak; gempa berkali-kali terjadi, gedung sekolahku tidak
memungkinkan di huni, itu yang membuat kami libur lama sekali. Bagaimana pelajaran
disekolah? Lantas, pelajaran di tempat lesku apa harus diliburkan dulu? Dengan terpaksa
semua lembaga belajar diliburkan sesuai perintah gubernur.
Libur yang berlangsung lama. Kurasa, beberapa minggu lalu sekolah-sekolah baru saja
memulai tahun pelajaran. Dan sekarang, anak-anak sekolah bahkan di tingkat perkuliahan
mendapat jatah libur tambahan. Sayangnya, kondisi saat ini tak memungkinkan untuk
bersenang-senang, hanya membiarkan kami menjadi pengungsi tangguh―beraktivitas di
sekitar tenda, dibawah terik, dengan keadaan yang cukup sulit. Termasuk kesulitan
mendapatkan air bersih.
Itu pengalaman unik yang sering kutertawakan ketika mengingatnya. Tidak ada air keran
untuk mandi, dan kami harus mandi di sumur; menimba air sampai telapak tangan memerah
dan perih. Harus menahan haus ketika air mineral sulit didapat karena terjual habis untuk
disumbangkan.Belum lagi, menahan lapar karena bahan makanan telah habis. Itu belum
seberapa dibandingkan dengan cerita horor yang tiba-tiba menjadi lelucon setiap malam.
Sepertinya itu sungguhan, tapi aku tak sepercaya itu sebelum melihatnya sendiri. Cerita
tentang bayi yang berumur beberapa hari dimakan kuyang atau masyarakat sasak
memanggilnya selaq. Cerita tentang pencurian balita, bahkan teror selaq di masyarakat kita.
Sungguh itu membuat kami bahkan dua kali lebih waspada lagi. Tapi yang lebih mengerikan
ketika kotaku menjadi pusat berkeliarannya orang-orang jahat.
Malam itu, sejak gempa dengan magnitude 7.0 mengguncang, beberapa hari kemudian
tersiar kabar bahwa pencuri tersebar dibeberapa desa. Kabar itu bukan omong-kosong.
Buktinya, banyak sekali warga yang menangkap tersangka dalam keaadaan hidup ataupun
mati. Dan salah-satu pasar besar yang berada di Lombok Tengah―pasar Renteng, malam itu
terbakar habis dengan kerugian mencapai miliaran.
Malam-malam berikutnya, pengungsi laki-laki melakukan ronda untuk waspada terhadap
bahaya yang sama. Tidak peduli dingin, malam, gempa, atau apapun mereka menyatukan
tekad bulat untuk melindungi tanah kami dari kejahatan manapun. Ternyata benar, setiap
perencanaan Tuhan memiliki hikmah. Dibalik bencana yang mengguncang, ada
pemandangan baru yang aku temukan disebagian besar masyarakat individualis.
Keluarga-keluarga berkumpul, mengobrol dengan penuh perhatian. Para tetangga menyatu
dengan rukun, mereka berbincang saling berbagi. Tidak ada lagi yang peduli dengan gelar
bangsawan atau derajatnya. Mereka menyatu di tanah lapang, memanjatkan doa yang sama;
semoga ujian ini segera berlalu.
Minggu berikutnya, gempa berangsur menghilang. Tapi tak ada yang bisa menebak kapan
datangnya, pukul berapa, menit dan detik yang mana. Hampir pukul 12 malam, gempa
mengguncang lagi dengan kekuatan 7.0 tapi akhirnya di revisi menjadi 6.9―itu kejutan
malam senin yang mengejutkan. Anak-anak ditengah kegelapan harus tertinggal, orangtua
renta terlupakan. Entah kenapa, ini menjadi amat memilukan.
Tiga minggu tanpa kegiatan berarti, aku mulai bosan harus kembali di tenda dengan
kegiatan yang sama; makan, tidur, gempa. Di sekolah tak banyak yang bisa dilakukan, hanya
bakti sosial dan doa bersama, kemudian kembali pulang dan menuju tenda. Kadang ketika
melihat media sosial aku iri sekali dengan relawan-relawan yang siap membantu.
Akhirnya, dengan rapat bersama teman-teman, kami sepakat mengadakan kegiatan bakti
sosial di sekitar kota Praya. Anak-anak dari sekolahku, khususnya anggota ekstrakurikuler
teater, pramuka, radio, dan anak-anak rohis mengadakan bakti sosial dengan mengamen di
perempatan, lampu merah, dan banyak tempat lainnya. Hasil yang kami dapatkan lumayan
untuk disumbangkan.
Hari ke sekian dari kegiatan kami, akhirnya membuat jejak anak-anak milenial sampai ke
daerah Lombok Utara. Pemandangan yang di suguhkan pertama kali amat menyayat hati.
Atap-atap itu hancur, menyatu ke tanah. Tembok-tembok rusak parah. Jalanan beraspal
terbelah. Dan yang terluka, kini terlihat lemah diantara lilitan perbannya―mereka berusaha
tersenyum, meski itu sakit sekali. Dan kami turut merasakannya.
Setelah berkeliling dan kembali di tenda, melihat anak-anak saling berkejaran. Mereka
penuh keceriaan, satu-dua datang mendekati ketika kurayu dengan cokelat. Mereka tetap
tersenyum ditambah dengan kain kasa yang berada entah di dahi, kaki, atau tangannya. Aku
tak bisa mengungkap semua itu dengan kata-kata.
Sebelumnya, aku merasa berantakan karena harus tidur diluar rumah tanpa rasa nyaman
dan aman. Aku selalu protes dengan nyamuk-nyamuk nakal. Bahkan dengan kerikil yang
menusuk kakiku ketika berlari ketakutan dan loncat dari teras rumah yang tinggi. Syukurnya,
aku tak mencicipi seujung jari kuku pun apa yang mereka derita.
Sungguh, aku melihat pengungsi-pengungsi tangguh disini. Mereka yang menyerahkan
nyawanya, terus memanjatkan dedoa agar semua kembali damai. Mereka yang merelakan
dengan ikhlas ketika kehilangan nyawa, harta, atau apapun yang mereka punya. Jika menuruti
kata hati, air mataku tak akan henti. Tapi, dengan senyum dan tawa anak-anak itu, aku
berusaha untuk menjadi lebih tegar dari yang sebenarnya.
Sedikit ilmu yang kupunya, kubagi dengan mereka. Tentang trauma healing, sebenarnya
ini bukan penyembuhan trauma. Tetapi menyadari reaksi spontan yang wajar terjadi ketika
keadaan (gempa) seperti ini. Dengan bernyanyi, bermain-main ringan untuk melupakan
kekhawatiran mereka, juga melakukan kegiatan yang menyibukkan diri.
Sepertinya, kesedihan ini akan segera berlalu. Anak-anak kecil saja dengan mudah
menerima segalanya, mata teduh mereka menyimpan harapan besar. Mereka tak khawatir
dengan masa depan yang entah nanti bagaimana. Dan jangan membuat semuanya hancur
ketika pembicaraan kita selalu mengira-ngira bahwa bencana ini masih saja ada, tapi
bicarakanlah solusinya; sebab gempa ini adalah masalah yang harus segera ditangani. Kita
bisa! Masyarakat Lombok kuat, NTB tidak sendiri. NTB pasti bangkit lagi!

Anda mungkin juga menyukai