Anda di halaman 1dari 4

Shining of Heart

Hari Pertama kuliah yang menegangkan. Ternyata setelah lulus SMA ada yang lebih
berat lagi, ku pikir ujian-ujian yang telah banyak aku lewati di masa SMA akan berakhir dengan
kebahagiaan dalam menyelami jurusan yang aku sukai nantinya. Banyak beban berat yang sering
di post oleh kakak tingkat ku di sosial media yang menyangkut tentang perkuliahan yang
membuatku takut. Dan yang lebih ku takutkan lagi dari perkuliahan yakni jika aku tidak akan
bertemu teman baik lagi yang benar-benar setia untuk dapat membantuku memahami sesuatu.
Untung saja hari pertama kuliah ku di awali dengan perkenalan saja.

“Perkenalkan aku Latisya Az-Zahra, teman-teman bisa panggil aku Tisya. Aku dari SMA
N 1 Bandung. Salam kenal semua.” Begitu yang aku katakan kepada teman-teman sekelas waktu
itu dengan senyum yang baik setelah perkenalan. Setelah semua teman-teman berkenalan,
selanjutnya dosen di kelas pun turut memperkenalkan diri dan dilanjutkan dengan membahas apa
saja yang akan dipelajari pada mata kuliah tersebut. Dosen cantik itu cepat sekali bicaranya,
sehingga mataku tak kuasa untuk dapat memahami kata yang keluar dari bibirnya. Untuk
pertama kalinya aku berbicara kepada teman sebelah ku untuk mengulang kembali kata-kata
yang diucapkan oleh dosen ku tersebut. “Hey Andin bisakah kau membantukku sebentar, subbab
pertama kita akan membahas apa?” tegurku dengan suara berbisik kepada teman sebelahku,
“Kapita Selekta Biomolekul” jawabnya dengan berbisik pula. Ternyata banyak sekali kata-kata
baru sehingga sulit ku pahami yang keluar dari mulut dosen tersebut dan ditambah lagi sang
dosen yang berbicara sangat cepat. Hal ini membuat ku sering bertanya kepada teman sebelah
ku, untung saja ia baik mau membantuku.

Sepulang kuliah aku sempatkan diri untuk mengobrol dengan Andin teman sebelahku
tadi. Aku meminta maaf dengan Andin jika aku sangat merepotkan dirinya tadi. Disaat itu juga
aku menjelaskan kepadanya jika aku adalah seorang yang tuli. Andin pun terkejut dengan
pernyataanku tersebut, ia tak percaya kenapa aku yang tuli dapat menjawab setiap percakapan
dengan baik seperti orang normal biasanya. Kemudian aku jelaskan semua kronologi kenapa aku
bisa tuli namun bisa bicara dengan baik “Dulu ketika ku di Sekolah Menengah Pertama, aku
sedang duduk di pinggiran lapangan bersama teman-temanku sambil memakan kue manis
berbalut coklat. Bel pun berbunyi yang menandakan habisnya waktu istirahat. Ketika hendak
berangkat menuju kelas, dengan cepat bola basket menerpa sisi kanan kepalaku yang membuatku
terjatuh dari tangga atas hingga kebawah sehingga membuat telinga ku mengeluarkan darah. Aku
pun segera dibawah kerumah sakit, ternyata setelah di diagnosis oleh dokter hasilnya aku terkena
gangguan sensorineural akibat pecahnya gendang telingaku. Dokter memberi saran agar aku
dapat menggunakan alat bantu pendengaran, namun setelah ku coba hal tersebut membuat
pendengaranku tidak nyaman menggunakannya dan membuat telingaku bertambah sakit.
Akhirnya ibu mengajariku untuk dapat memahami pembicaraan seseorang melalui gerak
bibirnya, dan mulai saat itu juga aku belajar bahasa isyarat meski jarang ku menggunakannya.”.
Andin tertergun dengan semua cerita yang aku sampaikan dan merespon dengan baik semua
perkataan ku. Aku sangat senang melihat Andin akhirmya dapat memahami keadaan ku,
sehingga lambat laun kami pun menjadi sahabat dekat yang saling membantu satu sama lain.

Selama satu semester berlalu tidak ada yang menyadari ketulian ku selain Andin, hal ini
dikarenakan Andin yang selalu menamani ku. Sampai akhirnya teman-temanku yang lain
mengetahui. Suatu ketika aku sedang berjalan sendirian menuju perpustakaan, hari itu kebetulan
Andin tidak hadir kuliah karena sakit, akupun berjalan sendirian sangat menempel dengan
pinggiran tembok gedung karena aku takut akan mengganggu jalan orang. Orang-orang bingung
melihat ku termasuk teman sekelasku, mungkin pikir mereka aku sedang sedih disebabkan teman
karib nya tidak hadir kuliah untuk pertama kalinya. “Tisya, Tisya, Hey Tisya!” Lusi
memanggilku dengan keras sampai orang lain pun menoleh kepadanya selain aku. (Lusi adalah
seorang gadis yang ambisius dan memiliki watak sedikit kasar, ia memiliki geng yang suka
mengumbar kekayaan dan terkadang Tisya pun sering diejeknya karena dianggap tak sepadan
dengannya). Lusi pun menghampiriku dan menepuk pundak ku dengan keras seraya berkata
“Hey Tisya, kamu tuli ya aku panggil dengan suara keras pun kau tak menoleh sedikitpun.
Sombong kau ya, mentang-mentang dapet IPK tertinggi di jurusan lantas kau tak ingin menoleh
lagi jika dipanggil.”, akupun terkejut merasa aneh dengannya karena selama mengenalnya baru
kali ini ia menegurku. Kemudian Lusi berkata lagi, “Dua hari lagi kan ada Ujian Kimia Kuantum
tolong ajarin aku dong, soalnya aku belum paham betul apa yang diajarin oleh Pak Salim.
Pliss..”. Aku terdiam sejenak dan bingung ingin menjawab apa, namun seketika Lusi memotong
perkataan ku yang ingin berkata tidak bisa, “Ohh kamu pasti mau kan ngajari aku, oke aku
tunggu setelah makan siang ini di gazebo samping laboratorium ya. Bye .. “. Aku terkejut dan
menghela nafas ya Tuhan kenapa bisa begini jadinya, usahaku untuk menjauhi mereka akhirnya
gagal. Aku takut mereka mengetahui bahwa aku tuli dan makin menjadi mengejekku.
Setelah makan siang, dengan terpaksa aku memenuhi panggilan Lusi. “Lusi, maaf ya
sebelumnya aku cuma bisa bentar ngajarinnya karena aku ada part time job jam 3 sore nanti.”
aku memulai pembicaraan. “Oke tidak apa-apa sya, sebagai gantinya karena kamu tidak bisa
berlama-lama untuk mengajariku maka kamu harus mengerjakan seluruh latihan yang ada di
modul ini. Mungkin saja Pak Salim mengambil soal dari latihan di modul ini.” Balasnya sambil
tertawa bersama teman gengnya. Perasaan ku sudah benar bahwa ini akan terjadi seperti ini, Lusi
hanya ingin mendapatkan nilai yang tinggi tanpa adanya usaha yang keras. Terpaksa aku pun
mengerjakan semua soal yang ada di modul tersebut, sedangan Lusi dan gengnya dengan asik
mengobrol dan aku pun tidak tau mereka sedang berbicara tentang apa karena aku malas melihat
wajahnya yang mungkin sedang membicarakan orang lain. Tanpa ku sadari mereka sedang
merencanakan sesuatu, disaat aku sudah selesai mengerjakan semua soal dan berniat untuk
segera pergi Lusi berkata kepadaku, “Terimakasih ya sudah ngerjain semua soal yang ada di
modul ini. Oh ya, btw aku sebenernya punya rahasia tentang Andin tapi aku takut kamu mungkin
gak akan percaya dengan perkataan ku ini.”. “Tentang apa? Ada apa dengan Andin? Setau ku
Andin adalah teman baik yang sering sekali berbagi cerita dengan ku.” Jawab ku dengan naif.
“Waduh-waduh ternyata kamu benar-benar begitu naïf sya sehingga kamu bisa tertipu oleh
Andin yang sebenarnya hanya memanfaatkan kepintaran mu saja. Asal kau tau saja sya, Dia
pernah bermasalah waktu SMA dan sampai masuk ruang BK. Kau seharusnya percaya kepada
ku, karena aku mengenal Andin sudah sejak SMA. Hahaha kasihan kamu, mending kamu ikut
geng kami dan berteman dengan kami.” Ujar Lusi sambil menunjukkan sebuah foto yang terlihat
seperti Andin sedang berada di dalam ruang Bimbingan Konseling (BK). Akupun terdiam
dengan mata yang berkaca-kaca dan segera meninggalkan mereka. Selama perjalanan aku tak
kuasa menahan tangis, dan sangat mempercayai perkataan Lusi tadi. Aku yang tadinya berniat
untuk menjenguk Andin setelah part time job kemudian mengurungkannya.

Dua hari kemudian tepat di hari ujian Kimia Kuantum, Andin akhirnya masuk kuliah dan
datang lebih awal daripada aku. Andin dengan senyum cerianya menyapa aku. Aku tanpa sadar
pun telah terpengaruh dengan ego ku sendiri, sehingga aku seperti tak melihat Andin dan lebih
memilih tempat duduk yang berdekatan dengan gengnya Lusi. Tiba-tiba terdengar detukan
sepatu Pak Salim, kami pun segera bersiap untuk menghadapi ujian. Baru sampai di depan pintu
Pak Salim langsung memberikan instruksi dengan lontaran senyum mematikan, “Pagi anak-anak,
simpan semua catatan kalian dan siapkan pena serta kertas A4 kosong lima lembar untuk
menjawab soal.” Semua mahasiswa terkejut dan langsung bersiap diri. Selama ujian berlangsung
sesekali aku melihat keadaan Andin, memastikan ia bisa menjawab semua soalnya atau tidak jika
aku tidak disampingnya. Andin menampakkan gekstur kecemasannya seolah-olah ia tak mampu
menjawab soal ujian kali ini. Lusi tiba-tiba menyentuh pundak ku dan berbisik, “Tuh lihat
Andin, gak bakal bisa jawab ujian kalo tanpa kamu sya. Eh btw aku boleh lihat lembar
jawabanmu gak? Sini-sini kalo sudah jawab langsung kasih ke aku dong.”. Aku dengan polosnya
langsung memberikan lembar jawaban ku ke Lusi. Satu jam kemudian ujian berakhir, Andin
langsung mengahampiriku dengan wajah sedih dan berkata, “Tisya kamu ada masalah apa sama
aku? Kok kamu tiba-tiba ngejauh dari aku sih? Apa jangan-jangan kamu sudah gak mau temenan
sama aku lagi dan lebih memilih berteman dengan Lusi, karena Lusi lebih punya segalanya di
banding aku? Ayo jawab pertanyaan aku sya, hal apa yang membuat mu menjauh dari aku?”.
Aku berusaha untuk tegar dan menjawab, “Kamu tuh selama ini cuma manfaatin aku din, aku
baru tau selama ini kamu seperti itu. Aku gak suka berteman sama orang yang gak tulus kayak
kamu!”. Andin terkejut dengan perkataan Tisya, ia kini tau bahwa beberapa hari terakhir selama
ia tidak kuliah ternyata Lusi dan gengnya telah menghasut Tisya agar dapat menjauh darinya,
“Kok kamu bisa berkata begitu sih sya? Kamu pasti sudah dihasut sama Lusi, kamu jangan
percaya sama perkataannya, tolong!”. “Enggak ini bener! Lusi gak bohong karena ia punya
buktinya kalo kamu pernah berbuat buruk sama orang lain waktu SMA karena cuma mau
manfaatinnya, dan aku gak mau jadi orang yang sama sepertinya!” Jawab ku dengan nada tinggi.
“Cukup sya, cukupp. Aku gak pernah berbuat buruk kepada orang cuma karena ingin mengambil
keuntungannya. Semua bukti itu palsu sya, percaya sama aku sahabatmu.” Jawab Andin dengan
suara yang terisak. Aku pun tak kuasa membendung air mata dan akhirnya tak sengaja
mengungkapan keadaan yang sebenarnya tentang diriku, “Udah din, aku capek. Aku emang tuli
dan memang membutuhkan bantuan mu, tapi aku juga punya perasaan din.” Tisya langsung
berlari dan tak ingin mendengar perdebatan lagi. Semua orang terkejut dengan pernyataan Tisya
barusan, dan berbahagialah Lusi beserta gengnya karena telah berhasil mengungkapan prasangka
tentang aku yang telah dicurigainya sejak awal semester.
Satu minggu lamanya aku tak menegur Andin. Selama aku tak bersama Andin, aku selalu
diajak Lusi untuk bergabung dengan geng nya. Lusi mengajak ku makan di sebuah restoran
mahal. “Lusi, kenapa kamu ajak aku ke restoran mahal, aku gak punya uang untuk bayar
nantinya” Tanya ku dengan rasa takut. “Tenang aja, nanti aku bayarin.” Jawab Lusi dengan
santai. Ketika makanan sudah datang, aku dan Lusi beserta gengnya pun makan bersama, dan
aku hanya terdiam sendiri menyantapi makanan tanpa ada yang mengajak ku mengobrol
sedikitpun, “Haha, lucu sekali sih anak tuli itu makan, kayak orang yang belum makan 1000
tahun.” Ujar teman lusi dengan suara besar karena ia tau bahwa aku tak bisa mendengar
perkataannya. “Huss, kalian.. ini kesempatan kita tau biar kita bisa dapet nilai A+ terus kalo
ujian. Akhirnya kita berhasil juga buat Andin dan Tisya bermusuhan karena hal hoax. Hahaha,
dasar tuli. Otak pinter tapi tuli. Hahaha” Jawab Lusi kepada temannya. Aku melirik mereka
berbicara, dan akhirnya aku mengatahui siapa yang salah dan siapa yang benar. Aku
mengempaskan sendok ku dan berdiri seraya berkata, “Oke! Aku emang gak bisa mendengar
perkataan kalian, tapi aku punya penglihatan dan aku bisa membaca gerak mulut kalian
berbicara. Dan mulai sekarang aku gak akan pernah lagi membantu kalian apalagi berteman
dengan kalian! Dasar pembohong!.”. Tisya akhirnya meninggalkan mereka semua dan pergi
menuju rumah kos Andin yang tak jauh dari kampus.

“Permisi.. Andin .. Din .. “ Aku memanggil Andin dari pintu luar seraya mengetuk
pintunya. Pikir ku, kok gak ada jawaban ya, apa Andin lagi tidur jam segini? Atau mungkin
Andin sedang keluar sebentar. Coba aku SMS Andin dulu, “Andin, Kamu dimana sekarang?
Ada hal penting yang ingin ku sampaikan”. Dengan cepat SMS ku dibalas, “Ini ibu kosnya
Andin nak, Andin tadi jatuh pingsan di depan pintu kossannya. Sekarang Andin lagi di UGD RS
Umum.”. Berdegup kencang hati ini menghawatirkan keadaan Andin dan segera menuju rumah
sakit. Sesampai disana aku melihat tubuh Andin yang sangat kurus itu tergeletak di atas kasur
putih dengan mata terpejam. Aku tak berani membangunkannya. Selama Andin belum bangun,
aku bertanya perihal mengapa Andin bisa pingsan dan jatuh sakit seperti ini. Ibu kos nya berkata
jika Andin terkena Maag Kronis, sebenarnya sebelum terkena sakit ini ia telah mengalami
musibah perihal Ayahnya yang tidak dapat bekerja lagi karena perusahaan tempat Ayahnya
bekerja bangkrut. Oleh sebab itu Andin berusaha menghemat uang bulanannya dengan
mengurangi jatah makannya. Aku terkejut mendengar cerita tersebut, karena selama ini Andin
tidak pernah menceritakan tentang kesusahannya kepadaku. Tak lama kemudian, Andin pun
membuka matanya, berusaha melihat orang-orang yang ada disekitarnya. Ia tesenyum dengan
mata berkaca-kaca ketika melihat ku ada disampingnya seraya berkata, “Aku telah menduga jika
kau akan ada disampingku.”

-The End-

Anda mungkin juga menyukai