Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit zoonosis yang bersifat akut,
menyerang syaraf pusat dan dapat mengakibatkan kematian pada hewan maupun
manusia. Rabies telah dikenal 2300 SM sejak jaman Mesopotamia. Pada abad ke 9
Inggris pernah mengalami masalah Rabies. Di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh
Schorl pada tahun 1884 di Bekasi pada seekor kuda, kemudian disusul laporan Esser
tahun 1889 pada kerbau di Bekasi. Kemudian oleh Penning melaporkan Rabies pada
anjing di tahun 1889. Pada tahun 1894 E.V de Haan melaporkan kasus rabies pada
manusia.
Penyebaran rabies di Indonesia bermula dari tiga provinsi yaitu Jawa Barat,
Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan sebelum perang Dunia ke-2 meletus. Pemerintah
Hindia Belanda membuat peraturan terkait rabies sejak tahun 1926 dengan
dikeluarkannya Hondsdolsheid Ordonasi Nomor 451 dan 452, yang diperkuat oleh
Staatsblad 1928 Nomor 180. Selanjutnya selama Indonesia dikuasai oleh Jepang situasi
daerah tertular rabies tidak diketahui dengan pasti (Jatikusumah, 2010).
Setelah tahun 1945 kurun waktu 35 tahun rabies menyebar hampir ke 12 (dua
belas) provinsi lain seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sulawesi Utara
(1986), Sumatera Selatan (1959), D.I aceh (1970), Lampung (1969), Jambi dan
Yogyakarta (1971), DKI dan Bengkulu (1972), Kalimantan Timur (1978). Dan pada
era tahun 1990-an provinsi di Indonesia yang masih bebas rabies adalah Bali, NTB,
NTT, Maluku dan Papua (Deptan, 2007). Berdasarkan data Direktorat Jenderal PP dan
PL Departemen Kesehatan RI (2010), saat ini 24 provinsi di Indonesia yang tertular
rabies adalah NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi,
Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Bali, NTT, Sulawesi
Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara dan Kalimantan
Tengah.
TINJAUAN PUSTAKA
Rabies
Etiologi
Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit zoonosis yang tersebar di
seluruh dunia (Zhang et.al., 2009). Penyakit rabies disebabkan oleh virus rabies yang
termasukdalamgolonganMononegavirales, family Rhabdoviridae, genus Lyssavirus
.Berdasarkansekuen RNA-nyadapatdibagimenjadi 11 genotype yaitu virus rabies
klasik, Lagos bat virus, Mokola virus, Duvenhage virus, European bat lyssavirus 1,
European lyssavirus 2, Australian bat lyssavirus, Aravan Virus, Khujand virus, Irkud
virus, West Caucasian bat virus (OIE, 2011).
Virus rabies merupakan virus single stranded non segmented RNA, panjang
180 nm dan diameter 75 nm. Semua virus family Rhabdoviridae mempunyai dua
komponen utama yaitu inti dari rantai heliks (ribonucleoprotein core/RNP) dan
envelope yang menutupinya. Envelope diperoleh dari membrane plasma selinduknya,
sifat dari envelope virus rabies antara lain mengandung lipida yang mudah dilarutkan
dalam pelarut lemak. Envelope sangat penting bagi sifat infektifitas virus rabies.
Komposisi kimia terdiri atas 74% protein, 20 % lipid, 3% karbohidrat dan 3%
RNA.Memilikigenom RNA 11-12 kb danterdiriatas 5 gen denganurutan 3’ N-P-M-G-
L 5’ yang masing-masing mengkode nucleoprotein (N), phosphoprotein (P), matrix
protein (M), glikoprotein (G) dan RNA-dependent RNA polymerase (L) (Wunneret.al.,
1991, Zhang et al., 2009).
Patogenesis
Patogenesis meliputi proses masuknya agen (entry), replikasi primer (primary
replication), penyebaran ke organ sasaran dan berlangsungnya infeksi di organ sasaran
(Shope, 2002). Virus rabies pada umumnya masuk kedalam tubuh melalui perlukaan
dan gigitan hewan terinfeksi rabies. Hampir 99,8 % kasus rabies pada manusia
disebabkan oleh gigitan HPR terinfeksi rabies (Child, 2002). Virus yang masuk
kedalam tubuh melalui gigitan akan bereplikasi dalam otot ataujaringan ikat pada
tempat inokulasi kemudian masuk ke syaraf tepi pada sambungan neuromuskuler
(Tsiang et.al., 1991). Virus akan berikatan dengan reseptor neurotransmitter asetilkolin
pada persimpangan neuromuskuler kemudian akan difasilitasi untuk masuk kedalam
sel syaraf. Virus dapat pula berikatan denga reseptor lainnya seperti gangliosid maupun
fosfolipid dan menyebar sampai ke susunan syaraf pusat (SSP), biasanya melalui korda
spinalis dengan kecepatan 50-100 mm/jam (Tsiang et.al., 1991; Warrell dan Warell,
2004).
Setelah sampai di susunan syaraf pusat, virus terus bereplikasi hingga masuk
menuju kelenjar ludah dan jaringan lain (ginjal dan paru) melalui syaraf tepi. Pada saat
ini akan mulai muncul gejala klinis rabies yang berupa gejala syaraf. Penyebaran virus
berlanjut dan apabila telah mencapai neocortex, maka gejala akan berubah menjadi
dumb atau bentuk paralisis. Gejala selanjutnya yang timbul kesulitan menelan,
sempoyongan, akirnya lumpuh dan mati (Tierkel, 1975; Murphy et.al., 1999). Virus
tidak saja ditemukan di selnamun dapat juga berada di kelenjar air liur, kelenjar air
mata, glandula suprarenalis dan pancreas tetapi tidak ditemukan didalam darah, limpa,
hati, kelenjar limfe, sumsum tulang atau kelenjar genitalia. Kepekaan terhadap infeksi
dan masa inkubasinya tergantung pada latar belakang genetik inang, strain virus,
konsentrasi reseptor virus pada sel inang, jumlah inokulum, beratnya laserasi, dan jarak
yang harus ditempuh virus untuk bergerak dari titik masuk SSP (Wunner, 2002).
Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi dan membedakan waktu omset symptom
rabies muncul, namun yang paling penting adalah banyaknya partikel virus yang
menginfeksi dan seberapa dekat gigitan dengan otak. Kondisi umum hospes yang
tergigit juga harus diperhatikan. Respon immune terhadap virus rabies adalah lambat
dan respon netralisasi yang baik baru akan muncul setelah virus mencapai otak. Infeksi
rabies bersifat almost always fatal yang berarti kematian. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kemampuan virus rabies dalam melakukan infeksi sel didalam
inang bergantung pada protein G dari virion dan fenotif penyakit rabies yang
diperlihatkan oleh inang bergantung pada tipe virus yang menginfeksi susunan syaraf
pusat/SSP (Coulon et.al., 1989; Etessami et.al., 2000).
Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Kepulauan Selayar
Secara astronomis Kabupaten Kepulauan Selayar terletak antara 50421 – 70351
Lintang Selatan dan 1200151 - 1220301 Bujur Timur dan termasuk salah satu Kabupaten
di Provinsi Sulawesi Selatan dengan batas-batas sebagai berikut :
- Sebelah Utara : Kabupaten Bulukumba
- SebelahTimur : Laut Flores
- Sebelah Selatan : Provinsi Nusa Tenggara Timur
- Sebelah Barat : Laut Flores dan Selat Makassar
Grafik 1 Jumlah Penduduk menurut Kecamatan di Kabupaten Kepulauan Selayar, 2010, 2015,
dan 2016
30000
25000
Jumlah Penduduk (jiwa)
20000
15000
10000 Series1
5000 Series2
Series3
0
Kecamatan
Grafik 2 Laju Pertumbuhan Penduduk menurut Kecamatan di Kabupaten Kepulauan Selayar, 2010,
2015, dan 2016
20
18
Laju Pertumbuhan (%)
16
14
12
10
8
6 Laju Pertumbuhan Penduduk
4 per Tahun (%) 2010-2016
2 Laju Pertumbuhan Penduduk
0 per Tahun (%) 2015-2016
Kecamatan
3 Bontomanai Polebunging 76 19 0
Barugaiya 56 21 0
Mare-Mare 67 13 0
Jambuiya 59 15 0
Parak 46 24 0
Bonea Timur 77 13 0
Bonea Makmur 85 15 0
Bontomarannu 46 23 0
Kaburu 53 12 0
Bonto Koraang 75 12 0
4 Benteng Benteng Utara 40 25 0
Benteng 45 20 0
Benteng Selatan 42 19 0
5 Bontoharu Putabangun 270 33 1
Bontobangun 122 14 0
Bontosunggu 65 35 0
Bontoborusu 23 12 0
Bontolebang 30 16 0
Bontotangga 60 20 0
Kahu-Kahu 35 8 0
Kalepadang 76 16 0
6 Bontosikuyu Patilereng 65 21 1
Patikarya 54 20 0
Harapan 58 14 0
Laiyolo Baru 66 16 0
Laiyolo 76 21 0
Binanga Sombaya 54 23 0
Lantibongan 32 15 0
Polassik 24 12 0
Lowak 37 15 0
Tambolongan 13 5 0
Appatanah 25 8 0
Khusus Bahuluang 5 3 0
7 Pasimasunggu Kembangragi 34 13 0
Labuang Pamajang 36 17 0
Masungke 47 12 0
Ma'minasa 35 9 0
Tanamalala 48 12 0
Bontosaile 34 10 0
8 Pasimasunggu Bontobaru 45 5 0
Timur Bontobulaeng 37 9 0
Bontomalling 46 13 0
Lembangbaji 23 10 0
Ujung 54 11 0
Bontojati 43 15 0
9 Pasimarannu Bonerate 34 0 2
Batubingkung 23 2 1
Bonea 7 0 5
Majapahit 13 0 0
Lambego 0 0 10
Komba-Komba 0 0 0
10 Pasilambena Kalautoa 15 3 0
Lembangmatene 24 2 0
Garaupa 6 3 0
Pulomadu 5 2 0
Karumpak 0 0 0
11 Takabonerate Kayuadi 164 12 0
Batang 8 5 0
Nyiur Indah 5 7 0
Tambuna 0 0 0
Jinato 6 4 0
Rajuni 0 3 0
Latondu 0 5 0
Tarupa 0 0 0
JUMLAH 3897 1036 20
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan, 2015
SITUASI KASUS GIGITAN HEWAN PENYEBAR RABIES DAN LANGKAH
PENANGGULANGAN RABIES DI KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR
Dilihat secara historis dalam 2 tahun terakhir terhadap kasus gigitan HPR maka
Kabupaten Kepulauan Selayar termasuk status daerah yang tertular rabies. Kriteria
suatu daerah dinyatakan tertular bila daerah tersebut dalam 2 tahun terakhir pernah ada
kasus rabies pada hewan (baik secara berurutan atau tunggal) secara klinis,
epidemiologis dan dikonfirmasikan secara laboratoris. Khususnya untuk kejadian pada
manusia, kasusnya berasal dari daerah tersebut, sedangkan berdasarkan batas daerah
adalah Pulau yang mempunyai barrier jelas dan yang mempunyai sarana pengawasan
lalu lintas HPR yang dapat mencegah penularan rabies (Anonim, 2001).
Hingga saat ini kejadian kasus rabies di Kabupaten Kepulauan Selayar belum
dapat dikendalikan meskipun telah dilakukan berbagai upaya oleh Pemerintah
Kabupaten melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan meliputi Vaksinasi rabies
pada HPR yang berpemilik, Sterilisasi dan pembatasan populasi dan KIE kepada
Masyarakat, ditandai dengan masih adanya kasus gigitan HPR terhadap manusia, oleh
karena itu perlu dilakukan langkah yang strategis dan efektif dalam pengendalian dan
penanggulangan kasus rabies di Kepulauan Selayar kedepannya.
Program Pencegahan dan Pengendalian Rabies di Kabupaten kepulauan Selayar
Pemerintah Kabupaten Kepulauan melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan
Pangan telah melakukan strategi – strategi dalam pencegahan dan pengendalian
penyakit rabies meliputi : Sosialisasi Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit
Hewan Menular, Vaksinasi rabies pada HPR berpemilik, Pembatasan populasi anjing
liar dan Pembatasan lalu lintas terhadap HPR.
Sosialisasi Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan Menular
Sosialisasi Pencegahan Penyakit Hewan Menular dirangkaikan dengan
pencegahan dan penanggulangan penyakit ternak adalah salah satu strategi kegiatan di
dalam percepatan pengendalian dan penanggulangan penyakit rabies, dengan adanya
koordinasi dan dukungan dari stakeholder dan masyarakat terhadap pelaksanaan
kegiatan tersebut diharapkan dapat menurunkan kejadian penyakit hewan yang
menular khususnya yang dapat menular kepada manusia (zoonosis) rabies.
Di dalam pelaksanaan Sosialisasi Pencegahan Penyakit Hewan Menular harus
dilakukan secara terpadu berdasarkan prinsip One Health, tidak hanya melalui
pendekatan penyakit (animal disease approach) terkait dengan kesehatan ternak saja,
tetapi juga harus melalui pendekatan kesehatan hewan secara menyeluruh (animal
health approach).
Gambar 3. Kegiatan sosialisasi pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan
menular melibatkan stakeholder terkait.
Pelaksanaan sosialisasi melibatkan stakeholder terkait, meliputi unsur
Kecamatan, Muspika, Puskesmas, kader PKK dan tokoh masyarakat dilaksanakan
untuk mendukung upaya pengendalian penyakit rabies di Kabupaten Kepulauan
Selayar. Melalui dukungan stakeholder dan masyarakat dengan meningkatkan
kewaspadaan dini terhadap bahaya penyakit hewan menular rabies dan peningkatan
pengetahuan peternak dalam pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan
menular khususnya penyakit rabies yang menjadi skala prioritas dalam pengendalian
dan penanggulangan penyakit zoonosis di Kabupaten Kepulauan Selayar. Pelaksanaan
sosialisasi pada tahun 2014, 2015 dan 2016. Di Kecamatan Bontomatene, Kecamatan
Buki, Kecamatan Bontomanai dan Kecamatan Bontoharu.
Vaksinasi rabies pada HPR berpemilik
Vaksinasi untuk memunculkan respon kekebalan terhadap penyakit rabies pada
HPR dinilai sebagai metode pencegahan yang sangat efektif yang dilakukan setahun
sekali oleh Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan pada wilayah Desa/ Kelurahan yang
tertular dan sekitarnya. Beberapa kendala dalam pelaksanaan vaksinasi rabies di
Kabupaten Kepulauan adalah prosentase cakupan kurang dari 70% populasi anjing
yang bertuan ditambah dengan sulitnya pelaksanaan vaksinasi rabies pada anjing liar.
Tabel 5. Pelaksanaan kegiatan Vaksinasi terhadap HPR yang berpemilik di Kepulauan
Selayar
HPR
No Tahun Jumlah
Anjing Kucing Monyet
1 2012 0 0 0
2 2013 1412 588 2000
3 2014 1149 484 1633
4 2015 2000 2000
5 2016 1600 1600
6 2017 1400 1400
7 2018 400 400
Sumber: Laporan vaksinasi rabies Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan
Gambar 4. Kegiatan vaksinasi rabies pada anjing berpemilik
Data populasi anjing bertuan tahun 2015 berkisar 3,897 ekor, bila merujuk dari
target cakupan vaksinasi rabies di daerah tertular, maka pelaksanaan kegiatan vaksinasi
belum berjalan optimal, vaksinasi pada anjing berpemilik tahun 2015 sebanyak 2,000
ekor berarti cakupan vaksinasi hanya sebesar 51,32%. Pertumbuhan dan perkembang
biakan HPR sangat cepat dari waktu ke waktu, sehingga sangat dimungkinkan populasi
anjing liar sangatlah tinggi dibandingkan dengan anjing yang berpemilik.
Aspek migrasi anjing di kabupaten Kepulauan Selayar cukup tinggi karena
anjing dipelihara mayoritas dengan sistem pemeliharaan yang cenderung berkeliaran
bebas tanpa di ikat (free raging dog) dan tidak adanya program kontrol laju
pertumbuhan populasi anjing, sehingga jika diketemukan anjing penderita rabies maka
tingkat kemungkinan penularan antar anjing akan tinggi dan tingkat penyebarannya
akan yang cepat meluas.
Grafik 3. Capaian target vaksinasi pada HPR berpemilik tahun 2015
5000
3897
4000
0
2015
Waktu pelaksanaan vaksinasi yang tidak terjadwal, jumlah vaksin yang tersedia
dan kebiasaan masyarakat yang melepas liarkan anjing serta belum optimalnya
koordinasi lintas sektor dalam pelaksanaan vaksinasi juga menjadi faktor penghambat
keberhasilan program pengendalian dan penanggulangan rabies di Kabupaten
Kepulauan Selayar, oleh karena itu diharapkan kedepannya upaya dalam pengendalian
dan penanggulangan rabies di kabupaten kepulauan selayar dapat menerapkan konsep
pendekatan one health dan partisipasi masyarakat.
PENUTUP
Oleh :
drh. Ikhsan Fathoni Rahmat
Kepala Seksi Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner