Anda di halaman 1dari 22

PENDAHULUAN

Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit zoonosis yang bersifat akut,
menyerang syaraf pusat dan dapat mengakibatkan kematian pada hewan maupun
manusia. Rabies telah dikenal 2300 SM sejak jaman Mesopotamia. Pada abad ke 9
Inggris pernah mengalami masalah Rabies. Di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh
Schorl pada tahun 1884 di Bekasi pada seekor kuda, kemudian disusul laporan Esser
tahun 1889 pada kerbau di Bekasi. Kemudian oleh Penning melaporkan Rabies pada
anjing di tahun 1889. Pada tahun 1894 E.V de Haan melaporkan kasus rabies pada
manusia.
Penyebaran rabies di Indonesia bermula dari tiga provinsi yaitu Jawa Barat,
Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan sebelum perang Dunia ke-2 meletus. Pemerintah
Hindia Belanda membuat peraturan terkait rabies sejak tahun 1926 dengan
dikeluarkannya Hondsdolsheid Ordonasi Nomor 451 dan 452, yang diperkuat oleh
Staatsblad 1928 Nomor 180. Selanjutnya selama Indonesia dikuasai oleh Jepang situasi
daerah tertular rabies tidak diketahui dengan pasti (Jatikusumah, 2010).
Setelah tahun 1945 kurun waktu 35 tahun rabies menyebar hampir ke 12 (dua
belas) provinsi lain seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sulawesi Utara
(1986), Sumatera Selatan (1959), D.I aceh (1970), Lampung (1969), Jambi dan
Yogyakarta (1971), DKI dan Bengkulu (1972), Kalimantan Timur (1978). Dan pada
era tahun 1990-an provinsi di Indonesia yang masih bebas rabies adalah Bali, NTB,
NTT, Maluku dan Papua (Deptan, 2007). Berdasarkan data Direktorat Jenderal PP dan
PL Departemen Kesehatan RI (2010), saat ini 24 provinsi di Indonesia yang tertular
rabies adalah NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi,
Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Bali, NTT, Sulawesi
Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara dan Kalimantan
Tengah.
TINJAUAN PUSTAKA

Rabies
Etiologi
Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit zoonosis yang tersebar di
seluruh dunia (Zhang et.al., 2009). Penyakit rabies disebabkan oleh virus rabies yang
termasukdalamgolonganMononegavirales, family Rhabdoviridae, genus Lyssavirus
.Berdasarkansekuen RNA-nyadapatdibagimenjadi 11 genotype yaitu virus rabies
klasik, Lagos bat virus, Mokola virus, Duvenhage virus, European bat lyssavirus 1,
European lyssavirus 2, Australian bat lyssavirus, Aravan Virus, Khujand virus, Irkud
virus, West Caucasian bat virus (OIE, 2011).
Virus rabies merupakan virus single stranded non segmented RNA, panjang
180 nm dan diameter 75 nm. Semua virus family Rhabdoviridae mempunyai dua
komponen utama yaitu inti dari rantai heliks (ribonucleoprotein core/RNP) dan
envelope yang menutupinya. Envelope diperoleh dari membrane plasma selinduknya,
sifat dari envelope virus rabies antara lain mengandung lipida yang mudah dilarutkan
dalam pelarut lemak. Envelope sangat penting bagi sifat infektifitas virus rabies.
Komposisi kimia terdiri atas 74% protein, 20 % lipid, 3% karbohidrat dan 3%
RNA.Memilikigenom RNA 11-12 kb danterdiriatas 5 gen denganurutan 3’ N-P-M-G-
L 5’ yang masing-masing mengkode nucleoprotein (N), phosphoprotein (P), matrix
protein (M), glikoprotein (G) dan RNA-dependent RNA polymerase (L) (Wunneret.al.,
1991, Zhang et al., 2009).

Gambar 1. Skema genom virus rabies (Sumber : Anonim, 2010)


Didalam RNP, genom RNA diselimuti oleh nukleoprotein (N) sedangkan untuk
protein penyusun struktur virus lain seperti Phosphoprotein (P) dan polymerase (L)
merupakan salah satu komponen penyusun yang berhubungan dengan RNP.
Glycoprotein (G) merupakan protein penyusun permukaan virus yang berbentuk spike
atau duri (berjumlah kurang lebih 400 spike). Protein M bertanggung jawab sebagai
stuktur penyusun amplop dan membungkus RNP. Menurut Tordo et al., 1998dan
Zhang et al., 2006, protein G memediasi perlekatan sel melalui interaksi reseptor
seluler dan merupakan penentu utama untuk neurotropism dan neuro invassiveness
(sifat pathogenik) serta sebagai antigen permukaan yang dapat menginduksi
neutralizing antibodies(immunogenik). Region non-coding G-L digunakan untuk
analisis filogenetik. Protein N banyak digunakan sebagai target diagnosa rabies serta
dapat menginduksi imunitas protektif terhada infeksi lethal pada anjing dan mencit.
Protein P mempunyai fungsi kofaktor regulasi yaitu membantu protein L untuk
berikatan dengan promoter, displasi protein N untuk memperoleh akses menuju RNA,
membantu proses enkapsidasi dari protein N bebas. Protein Matrik (M) masih bersifat
kontroversial, masih belum jelas apakah berada pada lapisan dalam membran , bagian
axis sentral dari RNP ataupun keduanya.
Virus rabies merupakan virus yang bersifatneurotropis, sangat peka ter hadap
pelarut yang bersifat alkalis seperti sabun, desinfektan dan alkohol. Virus rabies juga
tahan terhadap pemanasan 56oC sampai 30 menit dan pemanasan kering sampai dengan
100oC tahan hidup selama 2-3 menit, cukup stabil pada pH 5-10, peka terhadap suhu
pasteurisasi dan sinar ultraviolet (Tierkel, 1975).
Cara Penularan
Rabies bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke
manusia. Penularan umumnya melalui gigitan karena virus rabies diekskresikan
melalui saliva dalam jumlah yang sangat banyak terutama pada saat hewan mengalami
viremia (Vaughn et al., 1965). Menurut Putra (2009), cara penularan rabies di lapangan
akan sangat berkaitan dengan ekobiologi HPR peka (tanpa vaksinasi) yang selanjutnya
akan mempengaruhi tingkat serangan (attack rate). Penularan rabies tidak berkaitan
dengan densitas populasi HPR. Mungkin pandangan ini benar jika herd immunity
sangat rendah dan belum mampu memutus siklus penularan, seperti kasus rabies yang
ditemukan di suatu daerah dengan wilayah geografi yang luas dan dengan populasi
HPR yang relatif tidak banyak. Tetapi untuk kejadian wabah ada indikasi kuat bahwa
ada kaitannya dengan densitas populasi dan cara pemeliharaan HPR peka, karena hal
ini berkaitan dengan contact rate antar HPR, seperti yang diperkirakan sekitar 75 ekor
per km2.
Cara penularan virus rabies antara lain melalui kontak langsung, transmisi virus
yang paling umum yaitu melalui gigitan dan kontak (antara kulit yang luka, membran
mukosa) dengan air liur hewan yang terinfeksi rabies sehingga virus yang terkandung
dalam saliva menginfeksi host yang peka. Virus rabies berada dalam saliva anjing yang
terinfeksi kurang lebih satu minggu sebelum dan sesudah munculnya gejala klinis
(Putra, 2009). Penularan melalui pencernaan biasanya terjadi antara predator dan
mangsanya. Penularan melalui aerosol terjadi pada satwa liar yang hidup dengan
kepadatan tinggi seperti serigala dan kekelawar, tetapi jarang pada manusia. Dua kasus
infeksi melalui aerosol pada manusia pernah dilaporkan terjadi di
laboratoriumdanmanusia yang terinfeksi virus rabies secara aerosol setelah berada di
dalam gua ke kelawar. Penularan melalui transplantasi pernah dilaporkan sebagai jalan
penularan antar manusia yaitu pada transplantasi kornea mata di perancis pada tahun
1980 sedangkan pada tahun 2005 dilaporkan terjadi pada transplantasi ginjal, hati dan
arterial segment. Penularan transplansental pernah dilaporkan pada skuns, kekelawar
dan sapi, namun tidak pernah dilaporkan terjadi pada manusia (Kaplan et.al., 1986 ;
Akoso, 2007; Child, 2002; Shinivasan et.al., 2005).
Menurut Putra (2009), siklus epidemiologi penularan rabies ada dua yaitu siklus
silvatik dan siklus urban (perkotaan) atau kalau di negara yang sedang berkembang
siklus rural (pedesaan). Siklus urban atau siklus rural adalah penularan rabies antar
hewan domestik. Siklus silvatik adalah penularan rabies melalui HPR liar (seperti
musang, raccoon, skunk, coyote) yang keluar dari hutan masuk ke kota menyerang
hewan domestik atau manusia. Hampir setiap tahun kasus gigitan HPR satwa liar di
Amerika Serikat dilaporkan dengan jumlah proporsi yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan hewan domestik (seperti anjing dan kucing). Rabies di hewan
domestik merupakan ancaman utama di negara berkembang. Derajat kedekatan antar
hewan domestik seperti anjing tanpa pemilik atau menjadi liar dengan manusia serta
tingkat pengetahuan masyarakat yang rendah merupakan hal utama yang menyebabkan
tingkat ancaman rabies oleh anjing lebih besar jika dibandingkan dengan hewan liar
(Jatikusumah, 2010).
Penularan rabies di Indonesia umumnya berawal dari suatu kondisi anjing yang
tidak dipelihara atau tanpa pemilik yang berkembang hingga mencapai populasi yang
sulit dikendalikan (Departemen Pertanian, 2007). Keadaan inilah yang menyebabkan
daerah-daerah di Indonesia menjadi endemis terhadap rabies. Pola penyebaran rabies
di Indonesia umumnya terjadi pada anjing liar, anjing peliharaan dan manusia (Gambar
2). Manusia adalah salah satu komponen dari siklus penyakit rabies yang merupakan
“dead end” karena hampir selalu menyebabkan kematian.

Gambar 2. Skema penyebaran rabies

Patogenesis
Patogenesis meliputi proses masuknya agen (entry), replikasi primer (primary
replication), penyebaran ke organ sasaran dan berlangsungnya infeksi di organ sasaran
(Shope, 2002). Virus rabies pada umumnya masuk kedalam tubuh melalui perlukaan
dan gigitan hewan terinfeksi rabies. Hampir 99,8 % kasus rabies pada manusia
disebabkan oleh gigitan HPR terinfeksi rabies (Child, 2002). Virus yang masuk
kedalam tubuh melalui gigitan akan bereplikasi dalam otot ataujaringan ikat pada
tempat inokulasi kemudian masuk ke syaraf tepi pada sambungan neuromuskuler
(Tsiang et.al., 1991). Virus akan berikatan dengan reseptor neurotransmitter asetilkolin
pada persimpangan neuromuskuler kemudian akan difasilitasi untuk masuk kedalam
sel syaraf. Virus dapat pula berikatan denga reseptor lainnya seperti gangliosid maupun
fosfolipid dan menyebar sampai ke susunan syaraf pusat (SSP), biasanya melalui korda
spinalis dengan kecepatan 50-100 mm/jam (Tsiang et.al., 1991; Warrell dan Warell,
2004).
Setelah sampai di susunan syaraf pusat, virus terus bereplikasi hingga masuk
menuju kelenjar ludah dan jaringan lain (ginjal dan paru) melalui syaraf tepi. Pada saat
ini akan mulai muncul gejala klinis rabies yang berupa gejala syaraf. Penyebaran virus
berlanjut dan apabila telah mencapai neocortex, maka gejala akan berubah menjadi
dumb atau bentuk paralisis. Gejala selanjutnya yang timbul kesulitan menelan,
sempoyongan, akirnya lumpuh dan mati (Tierkel, 1975; Murphy et.al., 1999). Virus
tidak saja ditemukan di selnamun dapat juga berada di kelenjar air liur, kelenjar air
mata, glandula suprarenalis dan pancreas tetapi tidak ditemukan didalam darah, limpa,
hati, kelenjar limfe, sumsum tulang atau kelenjar genitalia. Kepekaan terhadap infeksi
dan masa inkubasinya tergantung pada latar belakang genetik inang, strain virus,
konsentrasi reseptor virus pada sel inang, jumlah inokulum, beratnya laserasi, dan jarak
yang harus ditempuh virus untuk bergerak dari titik masuk SSP (Wunner, 2002).
Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi dan membedakan waktu omset symptom
rabies muncul, namun yang paling penting adalah banyaknya partikel virus yang
menginfeksi dan seberapa dekat gigitan dengan otak. Kondisi umum hospes yang
tergigit juga harus diperhatikan. Respon immune terhadap virus rabies adalah lambat
dan respon netralisasi yang baik baru akan muncul setelah virus mencapai otak. Infeksi
rabies bersifat almost always fatal yang berarti kematian. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kemampuan virus rabies dalam melakukan infeksi sel didalam
inang bergantung pada protein G dari virion dan fenotif penyakit rabies yang
diperlihatkan oleh inang bergantung pada tipe virus yang menginfeksi susunan syaraf
pusat/SSP (Coulon et.al., 1989; Etessami et.al., 2000).
Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Kepulauan Selayar
Secara astronomis Kabupaten Kepulauan Selayar terletak antara 50421 – 70351
Lintang Selatan dan 1200151 - 1220301 Bujur Timur dan termasuk salah satu Kabupaten
di Provinsi Sulawesi Selatan dengan batas-batas sebagai berikut :
- Sebelah Utara : Kabupaten Bulukumba
- SebelahTimur : Laut Flores
- Sebelah Selatan : Provinsi Nusa Tenggara Timur
- Sebelah Barat : Laut Flores dan Selat Makassar

Kabupaten Kepulauan Selayar memiliki luas 10.503,69 Km2 dengan 1.357,03


Km2 adalah luas daratan dan 9.146,66 Km2 adalah luas wilayah laut yang terdiri atas
11 Kecamatan 81 Desa dan 7 Kelurahan dengan kondisi luasan berdasarkan tutupan
lahan sebagai berikut :
- Sawah : 2.622 Ha
- Padang Rumput : 8.819 Ha
- Kebun : 30.373,25 Ha
- Ladang/Tegalan : 6.662,28 Ha
- Tambak : 928,25 Ha
- PenggunaanLainnya : 69.423,22 Ha
Sumber : Data Badan Pusat Statistik tahun 2017
Dari data sumber daya lahan di atas, menunjukkan bahwa pada dasarnya
potensi lahan yang dimiliki Kabupaten Selayar sangat besar untuk pengembangan
perkebunan dan peternakan selain potensi kelautan yang dimiliki oleh kabupaten
Kepulauan Selayar. Hal ini didasarkan pada kenyataan potensi perkebunan menduduki
peringkat atas dan masih tersedia lahan untuk peruntukan penggembalaan yang cukup
untuk pengembangan ternak.
Tabel 1. Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk menurut Kecamatan di
Kabupaten Kepulauan Selayar, 2010, 2015, dan 2016

Laju Pertumbuhan Penduduk


Jumlah Penduduk
Kecamatan per Tahun (%)
2010 2015 2016 2010-2016 2015-2016
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Pasimarannu 8.959 9.217 9.254 3,29 0,40
Pasilambena 6.786 7.388 7.495 10,45 1,45
Pasimassunggu 7.625 8.192 8.292 8,75 1,22
Takabonerate 12.296 13.293 13.469 9,54 1,32
Pasimassunggu 7.307 7.478 7.497 2,60 0,25
Timur
Bontosikuyu 14.332 14.978 15.073 5,17 0,63
Bontoharu 12.484 13.226 13.346 6,90 0,91
Benteng 21.344 24. 414 25.020 17,22 2,48
Bontomanai 12.226 12.654 12.712 3,98 0,46
Bontomatene 12.571 13. 006 13.065 3,93 0,45
Buki 6.125 6.353 6.382 4,20 0,46
Kepulauan Selayar 122.055 130.199 131.605 7,82 1,08
Keterangan: Jumlah penduduk Kepulauan Selayar 131.605 jiwa; Kepadatan penduduk/km2 97
jiwa; Laju pertumbuhan penduduk 2015-2016 1,08%. Sumber: Badan Pusat Statistik (2017)

Grafik 1 Jumlah Penduduk menurut Kecamatan di Kabupaten Kepulauan Selayar, 2010, 2015,
dan 2016

30000

25000
Jumlah Penduduk (jiwa)

20000

15000

10000 Series1

5000 Series2
Series3
0

Kecamatan
Grafik 2 Laju Pertumbuhan Penduduk menurut Kecamatan di Kabupaten Kepulauan Selayar, 2010,
2015, dan 2016

20
18
Laju Pertumbuhan (%)

16
14
12
10
8
6 Laju Pertumbuhan Penduduk
4 per Tahun (%) 2010-2016
2 Laju Pertumbuhan Penduduk
0 per Tahun (%) 2015-2016

Kecamatan

Tabel 2. Jumlah Penduduk menurut Lapangan Pekerjaan Utama di Kabupaten Kepulauan


Selayar 2015
Lapangan Jenis Kelamin
Pekerjaan Utama Laki-laki Perempuan Jumlah
(1) (2) (3) (4)
1 17.415 10.151 27.566
2 3.586 2.676 6.262
3 4.348 4.152 8.500
4 4.925 7.945 12.870
5 6.214 394 6.608
Jumlah 36.488 25.318 61.806
Keterangan:
1. Pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan
2. Industri pengolahan
3. Perdagangan besar, eceran, rumah makan, dan hotel
4. Jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan
5. Lainnya.
Sumber: Badan Pusat Statistik (2017).
Selain mata pencaharian utama masyarakat Kepulauan Selayar sebagai pekerja
kebun dan pelaut, oleh karena itu rata-rata setiap pemilik kebun mempunyai anjing
yang digunakan sebagai penjaga kebun. Selain itu kebiasaan yang dimiliki mereka
adalah berburu babi hutan karena dianggap sebagai hama, bahkan tidak segan mereka
mendatangkan anjing pemburu dari luar daerah untuk dipersilangkan dan mendapat
turunan yang baik karena dianggap mempunyai kemampuan sebagai penjaga dan
pemburu yang handal, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa anjing yang
didatangkan dari daerah tersebut merupakan endemis atau tertular rabies, hingga saat
ini kasus gigitan tersebar seiring dengan pertambahan populasi yang tidak dapat
dikendalikan.
Tabel 3. Data Populasi HPR yang berpemilik di Kabupaten Kepulauan Selayar
Jenis HPR
No Kecamatan Desa/ Kelurahan Keterangan
Anjing Kucing Monyet
1 Bontomatene Menara Indah 34 15 0
Bungaiya 45 19 0
Tanete 34 17 0
Pamatata 55 8 0
Kayubauk 56 17 0
Bontona Saluk 34 12 0
Barat Lambongan 11 12 0
Batangmata Sapo 120 22 0
Batangmata 56 13 0
Onto 95 16 0
Maharayya 80 13 0
Tamalanrea 130 30 0
2 Buki Balang Butung 156 7 0
Lalang Bata 78 10 0
Buki 46 21 0
Bontolempangan 34 13 0
Kohala 45 14 0
Mekar Indah 24 23 0
Bukit Timur 15 12 0

3 Bontomanai Polebunging 76 19 0
Barugaiya 56 21 0
Mare-Mare 67 13 0
Jambuiya 59 15 0
Parak 46 24 0
Bonea Timur 77 13 0
Bonea Makmur 85 15 0
Bontomarannu 46 23 0
Kaburu 53 12 0
Bonto Koraang 75 12 0
4 Benteng Benteng Utara 40 25 0
Benteng 45 20 0
Benteng Selatan 42 19 0
5 Bontoharu Putabangun 270 33 1
Bontobangun 122 14 0
Bontosunggu 65 35 0
Bontoborusu 23 12 0
Bontolebang 30 16 0
Bontotangga 60 20 0
Kahu-Kahu 35 8 0
Kalepadang 76 16 0
6 Bontosikuyu Patilereng 65 21 1
Patikarya 54 20 0
Harapan 58 14 0
Laiyolo Baru 66 16 0
Laiyolo 76 21 0
Binanga Sombaya 54 23 0
Lantibongan 32 15 0
Polassik 24 12 0
Lowak 37 15 0
Tambolongan 13 5 0
Appatanah 25 8 0
Khusus Bahuluang 5 3 0
7 Pasimasunggu Kembangragi 34 13 0
Labuang Pamajang 36 17 0
Masungke 47 12 0
Ma'minasa 35 9 0
Tanamalala 48 12 0
Bontosaile 34 10 0
8 Pasimasunggu Bontobaru 45 5 0
Timur Bontobulaeng 37 9 0
Bontomalling 46 13 0
Lembangbaji 23 10 0
Ujung 54 11 0
Bontojati 43 15 0
9 Pasimarannu Bonerate 34 0 2
Batubingkung 23 2 1
Bonea 7 0 5
Majapahit 13 0 0
Lambego 0 0 10
Komba-Komba 0 0 0
10 Pasilambena Kalautoa 15 3 0
Lembangmatene 24 2 0
Garaupa 6 3 0
Pulomadu 5 2 0
Karumpak 0 0 0
11 Takabonerate Kayuadi 164 12 0
Batang 8 5 0
Nyiur Indah 5 7 0
Tambuna 0 0 0
Jinato 6 4 0
Rajuni 0 3 0
Latondu 0 5 0
Tarupa 0 0 0
JUMLAH 3897 1036 20
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan, 2015
SITUASI KASUS GIGITAN HEWAN PENYEBAR RABIES DAN LANGKAH
PENANGGULANGAN RABIES DI KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

Kejadian Kasus Rabies di Kabupaten Kepulauan Selayar


Kejadian kasus gigitan HPR di Kabupaten Kepulauan Selayar dinilai sudah
sangat meresahkan dan menimbulkan kekhawatiran bagi warga masyarakat Kepulauan
Selayar khususnya di Kota, dalam 3 tahun terakhir dilaporkan sebanyak 6 kasus
gigitan, dan Kejadian kasus rabies oleh anjing liar di Kepulauan Selayar. Pertama kali
dilaporkan gigitan anjing liar terhadap warga di Kelurahan Putabangun, Kecamatan
Bontoharu pada tahun 2011, didapatkan hasil positif berdasarkan pewarnaan seller’s
dan FAT dengan ditemukan negri-bodies serta protein virus dari 1 sampel hipokampus
yang di kirim ke Balai Besar Veteriner Maros, sebanyak 1 sampel yang dinyatakan
positif (Anonimus,2011), dan laporan terakhir hasil pengujian sampel kepala anjing
yang dinyatakan positif berdasarkan pewarnaan seller’s dan FAT oleh Balai Besar
Veteriner Maros tahun 2018 (Anonimus, 2018) di Kelurahan Benteng Selatan
Kecamatan Benteng. Kejadian kasus gigitan HPR yang di Kabupaten Kepulauan
Selayar yang dilaporkan melalui platform iSIKHNAS adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Kejadian kasus gigitan HPR di Kabupaten Kepulauan Selayar
Jumlah Diagnosis Hasil
No Tanggal Kecamatan Desa/Kelurahan
(ekor) sementara laboratorium
1 7 Juni 2017 Bontomanai Bontokoraang 1 Rabies
2 7 Juni 2017 Bontomanai Kaburu 1 Rabies
3 15 Februari 2018 Benteng Benteng Selatan 1 Rabies
4 1 April 2018 Bontoharu Putabangun 1 Rabies
5 7 Desember 2018 Benteng Benteng Selatan 1 Rabies Positif
6 9 Januari 2019 Benteng Benteng 1 Rabies
Jumlah 6
Sumber: Laporan iSIKHNAS kasus penyakit prioritas rabies Kepulauan Selayar, 2018

Dilihat secara historis dalam 2 tahun terakhir terhadap kasus gigitan HPR maka
Kabupaten Kepulauan Selayar termasuk status daerah yang tertular rabies. Kriteria
suatu daerah dinyatakan tertular bila daerah tersebut dalam 2 tahun terakhir pernah ada
kasus rabies pada hewan (baik secara berurutan atau tunggal) secara klinis,
epidemiologis dan dikonfirmasikan secara laboratoris. Khususnya untuk kejadian pada
manusia, kasusnya berasal dari daerah tersebut, sedangkan berdasarkan batas daerah
adalah Pulau yang mempunyai barrier jelas dan yang mempunyai sarana pengawasan
lalu lintas HPR yang dapat mencegah penularan rabies (Anonim, 2001).
Hingga saat ini kejadian kasus rabies di Kabupaten Kepulauan Selayar belum
dapat dikendalikan meskipun telah dilakukan berbagai upaya oleh Pemerintah
Kabupaten melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan meliputi Vaksinasi rabies
pada HPR yang berpemilik, Sterilisasi dan pembatasan populasi dan KIE kepada
Masyarakat, ditandai dengan masih adanya kasus gigitan HPR terhadap manusia, oleh
karena itu perlu dilakukan langkah yang strategis dan efektif dalam pengendalian dan
penanggulangan kasus rabies di Kepulauan Selayar kedepannya.
Program Pencegahan dan Pengendalian Rabies di Kabupaten kepulauan Selayar
Pemerintah Kabupaten Kepulauan melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan
Pangan telah melakukan strategi – strategi dalam pencegahan dan pengendalian
penyakit rabies meliputi : Sosialisasi Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit
Hewan Menular, Vaksinasi rabies pada HPR berpemilik, Pembatasan populasi anjing
liar dan Pembatasan lalu lintas terhadap HPR.
Sosialisasi Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan Menular
Sosialisasi Pencegahan Penyakit Hewan Menular dirangkaikan dengan
pencegahan dan penanggulangan penyakit ternak adalah salah satu strategi kegiatan di
dalam percepatan pengendalian dan penanggulangan penyakit rabies, dengan adanya
koordinasi dan dukungan dari stakeholder dan masyarakat terhadap pelaksanaan
kegiatan tersebut diharapkan dapat menurunkan kejadian penyakit hewan yang
menular khususnya yang dapat menular kepada manusia (zoonosis) rabies.
Di dalam pelaksanaan Sosialisasi Pencegahan Penyakit Hewan Menular harus
dilakukan secara terpadu berdasarkan prinsip One Health, tidak hanya melalui
pendekatan penyakit (animal disease approach) terkait dengan kesehatan ternak saja,
tetapi juga harus melalui pendekatan kesehatan hewan secara menyeluruh (animal
health approach).
Gambar 3. Kegiatan sosialisasi pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan
menular melibatkan stakeholder terkait.
Pelaksanaan sosialisasi melibatkan stakeholder terkait, meliputi unsur
Kecamatan, Muspika, Puskesmas, kader PKK dan tokoh masyarakat dilaksanakan
untuk mendukung upaya pengendalian penyakit rabies di Kabupaten Kepulauan
Selayar. Melalui dukungan stakeholder dan masyarakat dengan meningkatkan
kewaspadaan dini terhadap bahaya penyakit hewan menular rabies dan peningkatan
pengetahuan peternak dalam pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan
menular khususnya penyakit rabies yang menjadi skala prioritas dalam pengendalian
dan penanggulangan penyakit zoonosis di Kabupaten Kepulauan Selayar. Pelaksanaan
sosialisasi pada tahun 2014, 2015 dan 2016. Di Kecamatan Bontomatene, Kecamatan
Buki, Kecamatan Bontomanai dan Kecamatan Bontoharu.
Vaksinasi rabies pada HPR berpemilik
Vaksinasi untuk memunculkan respon kekebalan terhadap penyakit rabies pada
HPR dinilai sebagai metode pencegahan yang sangat efektif yang dilakukan setahun
sekali oleh Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan pada wilayah Desa/ Kelurahan yang
tertular dan sekitarnya. Beberapa kendala dalam pelaksanaan vaksinasi rabies di
Kabupaten Kepulauan adalah prosentase cakupan kurang dari 70% populasi anjing
yang bertuan ditambah dengan sulitnya pelaksanaan vaksinasi rabies pada anjing liar.
Tabel 5. Pelaksanaan kegiatan Vaksinasi terhadap HPR yang berpemilik di Kepulauan
Selayar

HPR
No Tahun Jumlah
Anjing Kucing Monyet
1 2012 0 0 0
2 2013 1412 588 2000
3 2014 1149 484 1633
4 2015 2000 2000
5 2016 1600 1600
6 2017 1400 1400
7 2018 400 400
Sumber: Laporan vaksinasi rabies Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan
Gambar 4. Kegiatan vaksinasi rabies pada anjing berpemilik
Data populasi anjing bertuan tahun 2015 berkisar 3,897 ekor, bila merujuk dari
target cakupan vaksinasi rabies di daerah tertular, maka pelaksanaan kegiatan vaksinasi
belum berjalan optimal, vaksinasi pada anjing berpemilik tahun 2015 sebanyak 2,000
ekor berarti cakupan vaksinasi hanya sebesar 51,32%. Pertumbuhan dan perkembang
biakan HPR sangat cepat dari waktu ke waktu, sehingga sangat dimungkinkan populasi
anjing liar sangatlah tinggi dibandingkan dengan anjing yang berpemilik.
Aspek migrasi anjing di kabupaten Kepulauan Selayar cukup tinggi karena
anjing dipelihara mayoritas dengan sistem pemeliharaan yang cenderung berkeliaran
bebas tanpa di ikat (free raging dog) dan tidak adanya program kontrol laju
pertumbuhan populasi anjing, sehingga jika diketemukan anjing penderita rabies maka
tingkat kemungkinan penularan antar anjing akan tinggi dan tingkat penyebarannya
akan yang cepat meluas.
Grafik 3. Capaian target vaksinasi pada HPR berpemilik tahun 2015
5000
3897
4000

3000 Populasi HPR (ekor)


2000
2000
HPR divaksinasi
1000 (ekor)

0
2015
Waktu pelaksanaan vaksinasi yang tidak terjadwal, jumlah vaksin yang tersedia
dan kebiasaan masyarakat yang melepas liarkan anjing serta belum optimalnya
koordinasi lintas sektor dalam pelaksanaan vaksinasi juga menjadi faktor penghambat
keberhasilan program pengendalian dan penanggulangan rabies di Kabupaten
Kepulauan Selayar, oleh karena itu diharapkan kedepannya upaya dalam pengendalian
dan penanggulangan rabies di kabupaten kepulauan selayar dapat menerapkan konsep
pendekatan one health dan partisipasi masyarakat.
PENUTUP

Secara ekologi anjing sendiri bagi masyarakat Kepulauan Selayar memiliki


hubungan mutualistik sebagai hewan penjaga rumah atau perkebunan dan hewan untuk
berburu babi hutan, tetapi didalam perjalanannya anjing lambat laun menjadi salah satu
hewan yang meresahkan masyarakat dikarenakan menjadi salah satu factor penyebab
kecelakaan lalu lintas, mengganggu ketenangan warga dalam beribadah dan menjadi
kekhawatiran karena menjadi sumber penular rabies. Oleh karena itu perlu kerjasama
dan koordinasi lintas sektoral di wilayah Kabupaten Kepulauan Selayar dalam upaya
pengendalian dan penanggulangan penyakit rabies di Kepulauan Selayar melalui
konsep One Health yang merupakan pendekatan pelayanan kesehatan yang
dilaksanakan secara terpadu lintas sektor bersama masyarakat.
Dalam rangka mengefektifkan pengendalian dan penanggulangan penyakit
hewan, melalui berbagai pendekatan One Health sebagaimana dimaksud pada paragraf
diatas, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar kedepannya mengacu kepada strategi
kebijakan Nasional untuk menjamin keterpaduan dan kesinambungan penyelenggaraan
pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan menular sesuai dengan peranannya
sebagai pelaksana pedoman pemberantasan/ pembebasan penyakit hewan di daerah
meliputi:
1. Advokasi dan KIE tentang Rabies kepada masyarakat.
2. Penguatan peraturan perundangan dan kebijakan melalui pembentukan Tim
Koordinasi Pengendalian dan Penanggulangan Rabies.
3. Komunikasi resiko.
4. Penguatan kapasitas Sumber Daya Manusia Kesehatan Hewan dan penganggaran
di Kabupaten Kepulauan Selayar
5. Manajemen populasi HPR
6. Vaksinasi massal HPR
7. Penguatan surveilans dan respon terpadu.
8. Kemitraan (pelibatan dukungan masyarakat, LSM, Tokoh Pemuda, Tokoh
Agama, dsb.)
9. Pengawasan dan Pelaporan
SITUASI KEJADIAN KASUS RABIES
DI KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

Oleh :
drh. Ikhsan Fathoni Rahmat
Kepala Seksi Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner

DINAS PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN


KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR
2019

Anda mungkin juga menyukai