Anda di halaman 1dari 7

B.

Sistem matrilineal menurut perspektif sosiologi


Dalam masyarakat pedesaan, Gaddens menggunakan konsep masyarakat pra
modern, ditemukan empat lingkungan yang menumbuhkembangkan
kepercayaan yaitu, dengan kekerabatan komunitas masyarakat lokal, kosmologi
religius, dan tradisi pada masyarakat pra modern. Hubungan kekerabatan
merupakan konteks lingkungan yang dapat menjadi asal muasal tumbuh
kembangnya suatu kepercayaan hubungan kekerabatan menyediakan suatu mata
rantai hubungan sosial yang dapat diandalkan yang secara prinsip dan Umum
dilakukan untuk media organisasi yang relasi kepercayaan. 1
Dalam masyarakat Minangkabau misalnya, memperlihatkan bahwa jaringan
hubungan yang dibentuk oleh sistem kekerabatan matrilineal yang bermula dari
hubungan semenda, senini, dan suku telah menjadi perekat hubungan sesama
satu kerabat dan sebagai jembatan yang menghubungi dengan kelompok
pertama kelompok luar hubungan kekerabatan Minangkabau yang menjadi
perekat dan jembatan relasional tersebut pada gilirannya menerbitkan bibit
kepercayaan baik antara sesama kerabat maupun dengan kelompok luar.2
Sistem matrilineal turut mendorong budaya Merantau khususnya bagi kaum
laki-laki, pola imigrasi suku Minangkabau melalui Merantau menurut Naim
memberi efek dan prospek pada masyarakat baik secara demografis ekonomis
dan sosial budaya, secara demografis budaya Merantau masyarakat Minangkabau
yang telah menjadi fenomena yang terus-menerus ikut mempengaruhi distribusi
penduduk Sumatera Barat, artinya tanpa kebiasaan Merantau tersebut jumlah
penduduk masyarakat Sumatera Barat mungkin lebih besar dari yang ada
sekarang ini.3
Merantau membawa dampak positif dan negatif aspek positifnya adalah adanya
bantuan terhadap daerah asal, sedangkan aspek negatif dari Merantau
menyebabkan banyaknya sumber daya alam yang tidak dapat dimanfaatkan
secara baik karena makin lama makin sedikit orang muda yang bersemangat
1
Damsar,Pengantar sosiologi pedesaan,2016, Kencana, Jakarta hlm 100.
2
ibid, hlm. 104
3
Febri yulika,Estimologi Minangkabau: makna pengetahuan dalam filsafat adat
Minangkabau, 2017, isi Padang Panjang, Sumatera Barat, hlm. 84
tinggal di kampung. Dari perspektif budaya, Merantau bukanlah semata-mata
karena proses pembangunan tetapi lebih mengakar dalam sejarah kehidupan
orang Minang, merantau bagi masyarakat Minangkabau benar-benar telah
melembaga sehingga Pergi Merantau memiliki prestasi tersendiri. 4
Adat Minangkabau bersifat matrilineal. Dalam menentukan tempat tinggal
suami-istri, adat Minangkabau menganut sistem matrilokal. Dalam adat
Minangkabau, yang berkuasa dan bertanggung jawab dalam sebuah rumah tangga
adalah ibu yang didampingi oleh mamak (saudara laki-laki ibu), sedangkan ayah
hanya sebagai tamu. Dalam perkawinan, menurut adat Minangkabau yang
meminang bukan laki-laki atau keluarganya, akan tetapi pihak perempuan. Dalam
pembagian harta warisan kaum/suku jatuh pada kepada perempuan, sementara
kaum laki-laki tidak mendapatkan bagian apa-apa. Perempuan menempati
kedudukan yang istimewa.5
Garis keturunan menurut ibu, menimbulkan kecendrungan negatif bagi laki-
laki di Minangkabau. Mereka dianggap hanyalah sebagai “pejantan”, yang
dinikahi oleh perempuan untuk menjaga eksistensi suku sang perempuan. Tapi sisi
lain, matrilineal telah memberikan status yang jelas bagi seorang anak, bahwa ia
adalah anak dari ibunya. Sebagaimana telah diketahui dalam masalah seksual,
patrilineal telah menempatkan perempuan pada posisi yang rendah (belum lagi
penderitaan dan sakit karena hamil).
Amri Marzali dalam penelitiannya tentang matrilineal di Minangkabau
memaparkan bahwa bentuk keluarga luas sebagai bentuk keluarga masyarakat
Minangkabau. Dalam tulisan ini bentuk keluarga luas masih dijalankan atau hanya
sebagai bentuk ideal pada masyarakat Silungkang sebagai lokasi penelitian Amri
Marzali.6
Berubahnya bentuk keluarga luas ke keluarga batih, maka banyak nilainilai lain
yang berubah. Misalnya pergeseran peran mamak dan ayah. Pada masa sekarang,
saudara laki-laki ibu (mamak) tidak lagi mempunyai hak dan kewajiban terhadap
anak dari saudara perempuannya (kemenakan).
4
ibid, hlm. 89
5
Ilyas, Yunahar. 2006. Ketaraan Jender dalam Al Qur’an: Studi Pemikiran Para Mufasir. Penerbit
Labda Press; Yogyakarta. hlm. 47
6
Marzali, Amri. “Dapatkah Sistem Matrilineal Bertahan Hidup di Kota Metropolitan?”, Antropologi
Indonesia 24(61):1-15, 2001.
Tanggung jawab terhadap anak sepenuhnya terletak di tangan ayah. Pada masa
sekarang, ayah bertindak sebagai “ayah biologis” dan juga “ayah sosial”.
Pernyataan dalam 6 tulisan Amri Marzali yang mengatakan “bapak adalah ayah
biologis dari anakanaknya, sedangkan ayah sosial dari anak-anak tersebut adalah
mamaknya” tidak akan ditemukan lagi di lapangan.7
Prof. Mr. M. Nasroen dalam bukunya "Dasar Falsafah Adat Minangkabau"
mengatakan bahwa ada hal yang mendasar dalam sistem kebudayaan
Minangkabau adalah sistem sosial yang matrilineal. Sistem ini menunjukkan
keaslian adat itu sendiri, sebab sistem matrilineal merupakan sistem yang asli dan
pertama dianut oleh masyarakat di dunia ini. Sistem ini akan tetap kuat dan
berlaku dalam masyarakat Minangkabau sampai sekarang, dia tidak akan
mengalami evolusi, sehingga menjadi sistem patrilineal sebagaimana yang
dikawatirkan Maretin.8 Sistem ini menjadi langgeng dan mapan karena sistem ini
memang sejiwa dengan adat Minangkabau yang universal, yang meliputi seluruh
segi kehidupan manusia, baik kehidupan secara individu maupun kehidupan
bermasyarakat.
Adat dan sistem matrilineal bersama-sama diciptakan yang berdasarkan
pengamatan terhadap alam terkembang bagi orang Minangkabau Alam takambang
itu dijadikan sebagai guru. Dengan demikian dalam membentuk sistem sosial
yang universal, mereka juga berpedoman kepada prinsip-prinsip dan ketentuan-
ketentuan yang berlaku pada alam. Ini bisa kita lihat misalnya dalam pepatah-
pepatah Minangkabau yang selalu menyebutkan unsur alam dalam menetapkan
sesuatu yang dijadikan adat. Sistem sosial matrilineal di Minangkabau dibentuk
berdasarkan kepada ketentuan ketentuan alam yang qodrati.
Secara alamiah yang mengandung, melahirkan, menyusukan, mengajarkan anak
berkata-kata dan mendidiknya adalah seorang ibu. Sedangkan ayah sedikit sekali
mendapat kesempatan untuk bergaul dengan anak-anak dan memperhatikan
kebutuhan kebutuhannya. Seorang ayah lebih banyak berada diluar rumah karena
harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan istri dan anaknya.9

7
ibid,. hlm. 11
8
Iva Ariani, Nilai filosofis maretilinial minangkabau, 2012, UGM pers, Yogyakarta,hlm. 7
9
ibid, hlm. 18
Konsekwensinya tidak jarang terjadi anak-anak lebih dekat dan merasa
nyaman ketika berada disamping ibunya. Kondisi-kondisi alamiah seperti inilah
yang dijadikan sebagai sumber dalam menetapkan suatu sistem sosial di
Minangkabau. Sistem sosial yang ditetapkan berdasarkan kondisi kondisi objektif
alamiah tersebut menyebabkan sistem ini menjadi sistem yang universal dan
sangat kuat mengakar dalam masyarakat Minangkabau.
Sehingga betapapun derasnya arus perubahan yang dibawa merong-rong
kekokohan posisinya, dia tetap tegar. Misalnya arus perubahan yang dibawa oleh,
arus modernisasi ataupun arus merantau. Faktor-faktor tersebut tidak mampu
menggeser kedudukan ini, bahkan yang terjadi malah sebaliknya, faktor-faktor ini
membuat posisinya semakin kuat.10 Makanya kekawatiran akan melemahnya
sistem matrilineal dan akan bergeser oleh sistem patrilineal tidak perlu menjadi
suatu ketakutan yang berkepanjangan sebab sistem ini akan tetap dianut oleh
masyarakat Minangkabau, selama masih ada kaum ibu yang mempertahankan
citranya dan qodratnya sebagai wanita.
Meskipun banyak faktor-faktor yang bertentangan, seperti faktor agama Islam
yang mencoba mempertentangkan dengan sistem patrilineal, tapi faktor ini tidak
mampu menggoyahkan eksistensi ini. Dimana sampai sekarang masyarakat
Minangkabau masih menganut agama Islam, akan tetapi dalam hal ini terjadi
proses akomodasi yang seimbang. Dalam artian disatu pihak orang Minangkabau
harus menjalankan esensi ajaran Islam yang murni dan di disatu pihak mereka
tetap mempertahankan keaslian adat dan sistemnya.
Proses akomodasi yang tidak merugikan salah satu pihak ini ditambah oleh
suatu produk kata Tsuyushi Kato dalam tesisnya yang berjudul "Matriliny and
Migration Evolving Minangkabau Tradition in Indonesia" tahun 1982. Adat
Minangkabau bersifat matrilineal. Dalam menentukan tempat tinggal suami-istri,
adat Minangkabau menganut sistem matrilokal. Dalam adat Minangkabau, yang
berkuasa dan bertanggung jawab dalam sebuah rumah tangga adalah ibu yang
didampingi oleh mamak (saudara laki-laki ibu), sedangkan ayah hanya sebagai
tamu. Dalam perkawinan, menurut adat Minangkabau yang meminang bukan laki-
laki atau keluarganya, akan tetapi pihak perempuan.

10
ibid, hlm. 19
Dalam pembagian harta warisan kaum/suku jatuh pada kepada perempuan,
sementara kaum laki-laki tidak mendapatkan bagian apa-apa. Perempuan
menempati kedudukan yang istimewa.11
Garis keturunan menurut ibu, menimbulkan kecendrungan negatif bagi laki-laki di
Minangkabau. Mereka dianggap hanyalah sebagai “pejantan”, yang dinikahi oleh
perempuan untuk menjaga eksistensi suku sang perempuan. Tapi sisi lain,
matrilineal telah memberikan status yang jelas bagi seorang anak, bahwa ia adalah
anak dari ibunya. Sebagaimana telah diketahui dalam masalah seksual, patrilineal
telah menempatkan perempuan pada posisi yang rendah (belum lagi penderitaan
dan sakit karena hamil).
Di Minangkabau, perempuan diperbolehkan untuk memasuki wilayah publik.
Perempuan Minang tidak dikurung di rumah dan hanya berkecimpung di sektor
domestik saja. Perempuan memegang peranan dalam pengambilan keputusan
politik dalam kaum/suku dan diperbolehkan untuk menduduki jabatan publik. 12
Dalam sejarah, Kerajaan Minangkabau pernah dipimpin oleh raja Perempuan,
yang bernama “Bundo Kanduang”. Hanya tiga posisi yang tidak boleh ditempati
perempuan, yaitu Manti (pemimpin adat), Malin (pemimpin agama), dan
Dubalang (pemimpin keamanan suku). Selain dari tiga posisi ini, perempuan
dipersilahkan untuk berkiprah dan mendudukinya.13” (Diskusi Gebu Minang di
Asrama Mahasiswa Bundo Kanduang Yogyakarta).
Matrilineal adalah sistem masyarakat yang sangat afirmatif memberikan ruang
dan hak-hak kepada kaum perempuan. Namun di pihak lain, teoritisasi
kontemporer, seperti Nozick Feminisme di Indonesia, masih “barang baru”
(produk Barat) di Perempuan di Minangkabau telah mendapat legitimasi yang
kuat dalam hal mendapatkan hak kepemilikan pribadi dan kebebasan berkiprah di
dunia politik. Perempuan Minang oleh adat diberikan hak property, memiliki
sawah, rumah, ladang dan tanah.

11
Ilyas, Yunahar. 2006. Ketaraan Jender dalam Al Qur’an: Studi Pemikiran Para Mufasir. Penerbit
Labda Press; Yogyakarta. hlm. 49
12
Dalam Diskusi “Memahami Sistem Matrilineal Minangkabau” 25 Desember 2007 yang lalu di
Yogyakarta, Dr. Raudha Thaib (Budayawan Sumatera Barat),
13
Diskusi “Gebu Minang” di Asrama Mahasiswa Bundo Kanduang Yogyakarta.
Dalam keluarga mereka sulit diintimidasi oleh suami, karena mamak (saudara
laki-laki dari sukunya) akan senantiasa memberikan perlindungan kepada
perempuan tersebut. Sehingga sangat kecil kemungkinan suami bisa
sewenangwenang (melakukan kekerasan) terhadap istri.
Jika perempuan harus keluar untuk memasuki industri publik, maka untuk konteks
matrilineal Minangkabau ini tidak diperlukan lagi karena perempuan telah
memiliki property yang bisa ia sewakan atau dikelola, maka property tersebut
semakin bertambah (paling tidak tetap jumlahnya seperti semula). Perempuan
Minang tidak mesti harus mengolah sendiri, tapi ia cukup menjadi manajer dari
pengelolaan pertambahan asset yang dimiliki. Biasanya yang difungsikan sebagai
pekerja untuk menambah asset tersebut adalah suami.14

BAB IV
PENUTUPAN
A. Kesimpulan

14
Iva Ariani, Nilai filosofis maretilinial minangkabau, 2012, UGM pers, Yogyakarta,hlm. 25
Sistem kekerabatan materilineal merupakan sistem kekerabatan yang ditarik
dari garis ibu atau unilineal dari pihak ibu, maetrilinieal hanya di anut oleh 10
negara di asia salah satunya Minangkabau yang berada di Indonesia.
Sistem kekerabatan ini memposisikan wanita sebagai penjaga dan pemelihara
harta adapun untuk keputusan dan semua tanggung jawab yang bersangkutan
dengan keluarga dan semenakan diatur oleh mamak yakni saudara laki-laki
tertua.
Sistem penikahan yang terjadi pada masyatakat adat ini matriolik yakni laki-
laki akan tinggal dan mengikuti istri sedangkan untuk fungsi dann tugas laki-
laki sebagai pekerja, adapun unntuk hak waris laki-laki berada dibawah
perempuan bagiannya tapi laki-laki berkewajiban untuk memperbanyak
kekayaan dan mengurusi urusan keluarga perempuannya.
B. Saran
TEU BOGA SARAN

Anda mungkin juga menyukai