Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Fraktur Femur

1. Definisi

Black dan Hawks (2014) menjelaskan bahwa fraktur femur

adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang.

Dalam pengertian lain, Le Mone, dkk (2017) berpendapat bahwa

fraktur adalah semua kerusakan pada kontinuitas tulang. Fraktur

beragam dalam hal keparahan berdasarkan lokasi dan jenis fraktur.

Meskipun fraktur terjadi pada semua kelompok usia, kondisi ini lebih

umum pada orang yang mengalami trauma terus menerus.

Menurut Helmi (2012) fraktur femur adalah hilangnya

kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa

fraktur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot,

kulit, jaringan saraf, dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup

yang disebabkan oleh trauma langsung pada paha.

2. Klasifikasi

Salah satu sistem yang sudah dikenal dengan baik untuk

klasifikasi fraktur menggunakan gabungan istilah yang menyatakan

klasifikasi umum, posisi fragmen, dan garis fraktur, seperti simpleks,

nondislokata dan oblik untuk mendeskripsikan fraktur menurut

Kowalak, Welsh dan Mayer (2013), yaitu:


8
9

a. Klasifikasi umum fraktur

1) Simpleks (tertutup) yaitu fragmen tulang tidak menembus kulit

2) Compound (terbuka) yaitu fragmen tulang menembus kulit

3) Inkompleta (parsial) yaitu kontinuitas tulang belum terputus

seluruhnya

4) Kompleta (total) yaitu kontinuitas tulang sudah terputus

seluruhnya

b. Klasifikasi berdasarkan posisi fragmen

1) Kominutiva (remuk) yaitu tulang pecah menjadi sejumlah

potongan kecil-kecil

2) Impakta yaitu salah satu fragmen fraktur terdorong masuk ke

dalam fragmen yang lain

3) Angulata (bersudut) yaitu kedua fragmen fraktur berada pada

posisi yang membentuk sudut terhadap yang lain

4) Dislokata yaitu fragmen fraktur saling terpisah dan

menimbulkan deformitas

5) Nondislokata yaitu kedua potongan tulang tetap

mempertahankan kelurusan tulang yang pada dasarnya masih

normal.

6) Overriding yaitu fragmen fraktur saling menumpuk sehingga

keseluruhan panjang tulang memendek

7) Segmental yaitu fraktur terjadi pada dua daerah yang

berdekatan dengan segmen sentral yang terpisah


10

8) Avulsi yaitu fragmen fraktur tertarik dari posisi nornal karena

kontraksi otot atau resistensi ligamen

c. Klasifikasi berdasarkan garis fraktur

1) Linier yaitu garis fraktur berjalan sejajar dengan sumbu tulang

2) Longitudinal yaitu garis fraktur membentang dalam arah

longitudinal (tetapi tidak sejajar) disepanjang sumbu tulang

3) Oblik yaitu garis fraktur menyilang tulang pada sudut sekitar

45 derajat terhadap sumbu tulang

4) Spiral yaitu garis fraktur menyilang tulang pada sudut yang

oblik sehingga menciptakan pola spiral

5) Transversal yaitu garis fraktur membentuk sudut tegak lurus

terhadap sumbu tulang

Helmi (2012) berpendapat bahwa fraktur femur dibagi menjadi

fraktur intertrokhanter femur yaitu patah tulang yang bersifat

ekstrakapsular dari femur dan sering terjadi pada lansia dengan

kondisi osteoporosis, subtrokhanter femur adalah fraktur dengan garis

patahan yang berada 5 cm distal dari trokhanter minor, fraktur batang

femur yaitu fraktur yang biasanya terjadi karena trauma langsung,

fraktur suprakondiler femur, dan fraktur kondiler femur.

3. Etiologi

Menurut Wijaya dan Putri (2013) penyebab terjadinya fraktur

yaitu karena kekerasan/ trauma langsung, trauma tidak langsung, dan

akibat tarikan otot. Sedangkan Lukman dan Ningsih (2009)


11

menyebutkan bahwa fraktur biasanya disebabkan oleh trauma yang

menyebabkan tulang mendapat tekanan berlebih.

Fraktur femur terbuka dapat disebabkan karena trauma langsung

pada paha, sedangkan fraktur femur tertutup dapat disebabkan oleh

trauma langsung atau kondisi tertentu seperti degenerasi tulang yang

dapat menyebabkan fraktur patologis (Muttaqin, 2013).

4. Patofisiologi

Menurut Wijaya dan Putri (2013) trauma langsung adanya gaya

dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolik,

patologik menyebabkan ketidakmampuan tulang menahan beban serta

kemamapuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka maupun

tertutup. Sehingga apabila tulang mendapat tekanan berat,

menyebabkan terjadinya fraktur femur tertutup jika patahan tidak

menembus kulit atau fraktur femur terbuka jika patahan tulang

menembus kulit. Terputusnya tulang dapat mengakibatkan

ketidakmampuan dalam melakukan pergerakan kaki sehingga

menyebabkan hambatan mobilitas.

5. Tanda dan Gejala

Lukman dan Ningsih (2013) menyebutkan bahwa gejala umum

fraktur adalah rasa sakit, pembengkakan, dan kelainan bentuk.

Sedangkan menurut Smeltzer dan Bare (2014) tanda dan gejala klinis

yang sering muncul pada pasien dengan fraktur femur adalah nyeri

akut, penurunan fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus,


12

dan pembengkakan lokal serta ekimosis. Namun tidak semua

manifestasi ini terdapat dalam setiap fraktur femur.

6. Komplikasi

Wahid (2013) menjelaskan bahwa komplikasi awal yang dapat

terjadi pada pasien fraktur femur adalah kerusakan arteri,

kompartement syndrom, emboli lemak, infeksi, avaskular necrosis

(AVN), dan syok. Sedangkan komplikasi lanjutan yang dapat terjadi

pada pasien fraktur femur antara lain delayed union, non union, dan

mal union.

7. Pemeriksaan Diagnostik

Wijaya dan Putri (2013) menyebutkan bahwa pemeriksaan

diagnostik fraktur diantaranya yaitu pemeriksaan rontgen, scan tulang,

dan hitung darah lengkap.

8. Penatalaksanaan Medik

Penatalaksanaan fraktur menurut Wijaya dan Putri (2013), yaitu :

a. Fraktur terbuka

Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh

bakteri dan disertai perdarahan yang hebat. Hal yang perlu

dilakukan adalah pembersihan luka, debridement atau eksisi

jaringan mati, hecting situasi, dan pemberian antibiotik.


13

b. Seluruh fraktur

1) Rekognisis atau pengenalan yaitu menyangkut diagnosis

fraktur dengan melakukan pengkajian melalui pemeriksaan dan

keluhan dari klien.

2) Reduksi atau manipulasi atau reposisi yaitu mengem-balikan

fragmen tulang pada kesejajarannya yang dapat dilakukan

dengan reduksi tertutup, traksi dan reduksi terbuka.

3) Retensi atau immobilisasi fraktur adalah mempertahankan

posisi reduksi dalam posisi kesejajaran yang benar sampai

terjadi penyatuan, immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi

eksterna dan interna.

4) Rehabilitasi yaitu proses penyembuhan fraktur.

Menurut Astuti (2012) penatalaksanaan fraktur dengan ORIF

merupakan prosedur bedah medis yang tindakannya mengacu

pada fiksasi plate dan screw. Indikasi ORIF diantaranya adalah

fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis

tinggi (fraktur collum femur), fraktur yang tidak bisa direposisi

secara tertutup atau fiksasi eksternal, fraktur yang dapat

direposisi namun sulit dipertahankan, fraktur yang berdasarkan

pengalaman memberi hasil yang lebih baik dengan operasi

misalnya fraktur femur (Kneale, 2011)


14

9. Tahapan Penyembuhan Fraktur

Tahap-tahap penyembuhan fraktur menurut Wijaya dan Ningsih

(2013) yaitu:

a. Fase Inflamasi yaitu saat tubuh berespon pada tempat cedera

dengan adanya pembentukan hematoma.

b. Fase Proliferasi sel yaitu terbentuknya benang-benang fibrin

sehingga terjadi revaskularisasi, kemudian terbentuk jaringan ikat

fibrus dan tulang rawan (osteosid).

c. Fase Pembentukan kalus merupakan pertumbuhan jaringan fibrus

yang menghubungkan fragmen patahan tulang.

d. Fase Opsifikasi yaitu proses penulangan kalus/ pengambilan

jaringan tulang yang baru dengan mineral terus menerus ditimbun

sampai tulang benar-benar bersatu.

e. Fase Remodeling merupakan tahap akhir perbaikan patah tulang

meliputi pengambilan jaringan yang mati dan reorganisasi.

B. Konsep Hambatan Mobilitas di Tempat Tidur

1. Definisi

Hambatan mobilitas di tempat tidur menurut Herdman dan

Kamitsuru (2015) adalah keterbatasan pergerakan mandiri dari satu

posisi ke posisi lain di tempat tidur.


15

2. Batasan Karakteristik Hambatan Mobilitas di Tempat Tidur

Herdman dan Kamitsuru (2015) menyebutkan batasan karakteristik

hambatan mobilitas di tempat tidur yaitu hambatan kemampuan

bergerak antara posisi duduk lama dan terlentang, hambatan

kemampuan bergerak antara posisi terlentang dan duduk, hambatan

kemampuan bergerak antara posisi telungkup dan terlentang, hambatan

kemampuan bergerak untuk reposisi dirinya sendiri di tempat tidur,

serta hambatan kemampuan untuk miring kiri dan kanan.

3. Faktor yang Berhubungan

Herdman dan Kamitsuru (2015) menyatakan bahwa faktor yang

berhubungan pada hambatan mobilitas di tempat tidur diantaranya

yaitu nyeri, gangguan neuromuskular, gangguan muskuloskeletal,

kekuatan otot tidak memadai, obesitas, fisik tidak bugar, agens

farmasetikal, kurang pengetahuan tentang stategi mobilitas dan

keterbatasan lingkungan.

4. Pengelolaan Hambatan Mobilitas di Tempat Tidur pada Fraktur Femur

Wahid (2013) menyatakan bahwa pengelolaan hambatan

mobilitas pada pasien fraktur dapat dilakukan dengan membantu

latihan rentang gerak pasif dan aktif pada ekstremitas yang sakit

maupun yang sehat untuk meningkatkan sirkulasi darah

muskuloskeletal dan mencegah kontraktur, mendorong perawatan diri

sesuai keadaan pasien untuk meningkatkan kemandirian pasien, serta


16

mengevaluasi kemampuan mobilisasi untuk menilai perkembangan

keadaan pasien.

C. Konsep Asuhan Keperawatan Post Operasi ORIF Fraktur Femur

dengan Fokus Studi Hambatan Mobilitas di Tempat Tidur

1. Pengkajian

a. Wawancara

Menurut Wijaya dan Putri (2013) pengkajian yang dilakukan pada

klien fraktur femur, meliputi:

1) Identitas klien

2) Keluhan utama

3) Riwayat penyakit sekarang

Pada pasien fraktur/patah tulang dapat disebabkan oleh

trauma/kecelakaan, degeneratife dan patologis yang didahului

dengan perdarahan, kerusakan jaringan yang mengakibatkan

nyeri, bengkak, kebiruan, pucat, perubahan warna kulit dan

kesemutan.

4) Riwayat penyakit dahulu

Apakah klien pernah mengalami fraktur femur atau pernah

punya penyakit menular/ menurun sebelumnya.

5) Riwayat penyakit keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang/

penyakit yang lain yang sifatnya menurun/ menular.


17

6) Riwayat Psikososial

Pengaruh klien di kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga

ataupun masyarakat.

7) Pola-pola Fungsi Kesehatan

Pola persepsi kesehatan, pola nutrisi dan metabolisme, pola

eliminasi, pola istirahat dan tidur, pola aktivitas dan latihan,

pola persepsi dan konsep diri, pola sensori kognitif, pola

hubungan peran, pola penanggulangan stress, pola reproduksi

seksual, dan pola kepercayaan.

b. Pemeriksaan Fisik

Menurut Helmi (2012) pemeriksaan fisik pada pasien

fraktur femur di bagi menjadi 2 meliputi gambaran umum dan

pemeriksaan lokal. Secara gambaran umum meliputi keadaan

umum, kesadaran pasien, tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik

head to toe. Sedangkan pengkajian fokus keadaan lokal meliputi

look (inspeksi) perhatikan apa yang akan dilihat, feel (palpasi) dan

move (pergerakan terutama pada rentang gerak).

Cara melakukan pemeriksaan fisik move yaitu dengan

memperhatikan gerakan yang dilakukan secara aktif maupun pasif

apakah klien dapat melakukan gerakan atau ada rasa sakit ketika

melakukan gerakan. Hasil pemeriksaan yang didapat adalah

ketidakmampuan menggerakan kaki dan penurunan kekuatan otot

ekstremitas bawah dalam melakukan pergerakan. (Muttaqin, 2013)


18

2. Diagnosa Keperawatan

Salah satu masalah keperawatan yang muncul pada klien dengan post

operasi ORIF fraktur femur adalah hambatan mobilitas di tempat tidur

berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal (Herdman &

Kamitsuru, 2015)

3. Perencanaan

Berdasarkan diagnosa keperawatan yang ditegakkan, menurut

Moorhead, Johnson, Maas dan Swanson (2016); Bulechek, Butcher,

Dochterman dan Wagner (2016) dapat disusun intervensi sebagai

berikut :

NOC : Posisi Tubuh: Berinisiatif Sendiri

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan

hambatan mobilitas di tempat tidur pasien teratasi dengan kriteria

hasil:

Tabel 2.1

Kriteria hasil yang diharapkan pada perencanaan

No. Indikator Skala

Awal Tujuan

1 Bergerak dari posisi berbaring ke posisi - 5

duduk

2 Bergerak dari posisi duduk ke posisi - 5

berbaring

3 Bergerak dari posisi duduk ke posisi - 4


19

berdiri

4 Bergerak dari posisi berdiri ke posisi - 4

duduk

Keterangan:

1. Sangat terganggu

2. Banyak terganggu

3. Cukup terganggu

4. Sedikit terganggu

5. Tidak terganggu

NIC : Terapi Latihan: Mobilitas Sendi

a. Tentukan level motivasi pasien untuk meningkatkan atau

memelihara pergerakan sendi.

b. Monitor lokasi dan kecenderungan adanya nyeri dan

ketidaknyamnan selama pergerakan.

c. Bantu pasien mendapatkan posisi tubuh yang optimal untuk

pergerakan sendi pasif maupun aktif.

d. Dukung latihan ROM aktif.

e. Lakukan latihan ROM pasif sesuai indikasi.

f. Dukung pasien untuk duduk di tempat tidur, disamping tempat

tidur (menjuntai) atau di kursi, sesuai toleransi.

g. Dukung ambulasi jika memungkinkan tanpa memberi beban pada

kaki yang dilakukan operasi dengan menggunakan bantuan kruk

dan tidak menapakkan kaki yang dioperasi.


20

h. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam mengembangkan dan

menerapkan sebuah program latihan.

4. Implementasi

Penulis akan melaksanakan implementasi sesuai rencana tindakan

dalam intervensi keperawatan menurut Bulechek, dkk (2016).

5. Evaluasi

Evaluasi yang diharapkan dari diagnosa hambatan mobilitas di tempat

tidur berdasarkan intervensi keperawatan menurut Moorhead, dkk

(2016) dan Bulechek, dkk (2016) adalah dengan kriteria hasil sebagai

berikut :

Tabel 2.2

Kriteria hasil akhir Evaluasi

No. Indikator Skala

Awal Tujuan Akhir

1 Bergerak dari posisi berbaring - 5 -

ke posisi duduk

2 Bergerak dari posisi duduk ke - 5 -

posisi berbaring

3 Bergerak dari posisi duduk ke - 4 -

posisi berdiri

4 Bergerak dari posisi berdiri ke - 4 -

posisi duduk
21

Keterangan :

1. Sangat terganggu

2. Banyak terganggu

3. Cukup terganggu

4. Sedikit terganggu

5. Tidak terganggu

Anda mungkin juga menyukai