Anda di halaman 1dari 34

POSITIONING SAAT TERJADINYA SERANGAN HIPOKSIA SPELL

PADA PENDERITA TETRALOGI OF FALLOT

DENGAN PENDEKATAN EVIDENCE BASED PRACTICE

Sebuah tinjauan kasus Asuhan Keperawatan pada klien An. R

Di Poli Rawat jalan RSD dr. Soebandi Jember

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Gagal jantung pada anak merupakan kegawat-daruratan yang sering dijumpai oleh petugas
kesehatan dan merupakan penyulit utama dari segala jenis penyakit jantung pada bayi dan anak
dengan mortalitas yang tinggi, dan sayangnya karena keluhan dan gejalanya yang tidak khas dan
sangat bervariasi sehingga sulit dibedakan dengan akibat penyakit di luar jantung. Gagal jantung
diartikan sebagai ketidakmampuan jantung memompa darah sesuai dengan kebutuhan jaringan
tubuh atau jantung kehilangan kemampuan untuk memompa darah secara efisien. Manifestasi
klinik gagal jantung merupakan gambaran dari kejadian gangguan hemodinamik dan mekanisme
kompensasi yang sedang terjadi, dapat berupa : nafas cepat dan pendek, takikardia, tampak
kelelahan saat minum dan makan, batuk dan wheezing, berkeringat banyak, ekstrimitas teraba
dingin, kulit pucat/cyanosis, mual dan nafsu makan menurun (Prof. Dr. Dr. Teddy Ontoseno,
SpAK, SpJP, FIHA).
Di antara berbagai kelainan bawaan (congenital anomaly) yang ada, penyakit jantung
bawaan (PJB) merupakan kelainan yang paling sering ditemukan. Di Amerika Serikat, insidens
penyakit jantung bawaan sekitar 8-10 dari 1000 kelahiran hidup, sepertiga di antaranya
bermanifestasi sebagai kondisi kritis pada tahun pertama kehidupan dan 50% dari kegawatan pada
bulan pertama kehidupan berakhir dengan kematian penderita. Di Indonesia, dengan populasi 200
juta penduduk dan angka kelahiran hidup 2%, diperkirakan terdapat sekitar 30.000 penderita PJB
(Widyantoro, Bambang, 2009, 1 , http:// ppi-jepang.org, diperoleh tanggal 1 juli 2009).
Tetralogi Fallot merupakan salah satu penyakit jantung bawaan tipe sianostik yang
digambarkan dengan 4 macam kelainan, yaitu : Stenosis pulmonal, Defek Septum Ventrikel,
Hipertrofi Ventrikel kanan, overriding aorta pada septum ventrikel. Pada penyakit ini yang
memegang peranan penting adalah defek septum ventrikel dan stenosis pulmonal. Tata laksana
yang paling efisien adalah dengan dilakukannya operasi. Tetapi sayangnya tidak mudah untuk
dapatnya dilakukan operasi, disamping biayanya mahal operasipun harus dilakukan dengan
berbagai syarat. Bila berat badan anak < 10 Kg Tetralogi fallot dengan keluhan yang sudah jelas
(derajat III dan IV) hanya dapat dilakukan operasi paliatif saja, yaitu mengatasi penyebab yang
memegang peranan penting dalam munculnya masalah, dipilih beberapa penyebab dari 4 kelainan
untuk dikoreksi apakah defek septum ventrikel dan atau stenosis pulmonalnya, baru setelah anak
mencapai Berat badan > 10 Kg dapat dilakukan koreksi total (Standart Pelayanan Medis RSP dr.
Sardjito Yogyakarta).
Tentunya sebelum adanya kemampuan untuk dilakukan operasi, baik karena masalah biaya
maupun kondisi umum klien, seorang perawat harus mampu memberikan pertolongan untuk
membantu klien saat terjadinya serangan hipoksia spell. Salah satu tindakan tatalaksana dalam
mengatasi kegawatan noninvasive yang mudah dan segera dapat dilaksanakan sendiri oleh klien
dan keluarganya adalah melakukan knee chest position saat terjadinya serangan hipoksia spell
tersebut. Penatalaksanaan posisi ini lebih faali dan rasional bila dicermati dari kompleksitas etiologi
dan patofisiologi dari Tetralogi of Fallot. Dan sesuai dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan
Teknologi dunia kedokteran dan keperawatan tentunya intervensi ini perlu didukung dengan
evidence base serta kajian yang perlu ditingkatkan untuk meninjau efektifitasnya, maka dari itu
dalam praktek profesi Ners di Poli Anak RSD dr. Soebandi ini penulis tertarik untuk menerapkan
intervensi Positioning saat terjadinya serangan hipoksia Spell pada penderita tetralogi of fallot
dengan pendekatan evidence based practice.

2. Tujuan
a. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengajarkan dan menerapkan atur posisi yang benar saat terjadinya serangan
spell pada kasus Tetralogi of Fallot dengan menggunakan pendekatan evidence based practice
b. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi data evidence based pada klien dengan kasus Tetralogi of Fallot
2. Mengidentifikasi kebutuhan perubahan berdasar evidence based pada kasus kelolaan dengan
penyakit Tetralogi of Fallot
3. Menentukan perencanaan potitioning berdasarkan analisis data evidence based pada kasus
kelolaan dengan penyakit Tetralogi of Fallot
4. Melaksanakan tindakan keperawatan berdasarkan strategi perencanaan yang telah disusun
5. Mengevaluasi hasil tindakan yang telah dilakukan.
EVIDENCE BASE PRACTICE

A. Konsep Evidence Base Practice


Evidence Based Practice (EBP) adalah proses penggunaan bukti-bukti terbaik yang jelas, tegas dan
berkesinambungan guna pembuatan keputusan klinik dalam merawat individu pasien. Dalam
penerapan EBP harus memenuhi tiga kriteria yaitu berdasar bukti empiris, sesuai keinginan pasien,
dan adanya keahlian dari praktisi.
1. Model EBP
a. Model Stetler
Model Stetler dikembangkan pertama kali tahun 1976 kemudian diperbaiki tahun 1994 dan
revisi terakhir 2001. Model ini terdiri dari 5 tahapan dalam menerapkan
Evidence Base Practice Nursing.
1) Tahap persiapan. Pada tahap ini dilakukan identifikasi masalah atau isu yang muncul,
kemudian menvalidasi masalah dengan bukti atau landasan alasan yang kuat.
2) Tahap validasi. Tahap ini dimulai dengan mengkritisi bukti atau jurnal yang ada (baik
bukti empiris, non empiris, sistematik review), kemudian diidentifikasi level setiap
bukti menggunakan table “level of evidence”. Tahapan bisa berhenti di sini apabila
tidak ada bukti atau bukti yang ada tidak mendukung.
3) Tahap evaluasi perbandingan/ pengambilan keputusan. Pada tahap ini dilakukan
sintesis temuan yang ada dan pengambilan bukti yang bisa dipakai. Pada tahap ini bisa
muncul keputusan untuk melakukan penelitian sendiri apabila bukti yang ada tidak bisa
dipakai.
4) Tahap translasi atau aplikasi. Tahap ini memutuskan pada level apa kita akan
melakukan penelitian (individu, kelompok,organisasi). Membuat proposal untuk
penelitian, menentukan strategi untuk melakukan diseminasi formal dan memulai
melakukan pilot projek.
5) Tahap evaluasi. Tahap evaluasi bisa dikerjakan secara formal maupun non formal,
terdiri atas evaluasi formatif dan sumatif, yang di dalamnya termasuk evaluasi biaya.
b. Model IOWA

Model IOWA diawali dengan adanya trigger atau masalah. Trigger bisa berupa knowledge focus
atau problem focus. Jika masalah yang ada menjadi prioritas organisasi, maka baru dibentuklah
tim. Tim terdiri atas dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain yang tertarik dan paham dalam
penelitian. Langkah berikutnya adalah minsintesis bukti-bukti yang ada.Apabila bukti yang kuat
sudah diperoleh, maka segera dilakukan uji coba dan hasilnya harus dievaluasi dan
didiseminasikan.

2. Implikasi EBP Bagi Perawat


Peran perawat melayani penting dalam memastikan dan menyediakan praktik berbasis
fakta. Mereka harus terus-menerus mengajukan pertanyaan, “Apa fakta untuk intervensi ini?” atau
“Bagaimana kita memberikan praktik terbaik?” dan “Apakah ini hasil terbaik yang dicapai untuk
pasien, keluarga dan perawat?” Perawat juga posisi yang baik dengan anggota tim kesehatan lain
untuk mengidentifikasi masalah klinis dan menggunakan bukti yang ada untuk meningkatkan
praktik. Banyak kesempatan yang ada bagi perawat untuk mempertanyakan praktik keperawatan
saat itu dan penggunaan bukti untuk melakukan perawatan lebih efektif.

3. Pentingnya EBP
Mengapa EBP penting untuk praktik keperawatan:
a. Memberikan hasil asuhan keperawatan yang lebih baik kepada pasien.
b. Memberikan kontribusi perkembangan ilmu keperawatan.
c. Menjadikan standar praktik saat ini dan relevan.
d. Meningkatkan kepercayaan diri dalam mengambil keputusan.
e. Mendukung kebijakan dan rosedur saat ini dan termasuk menjadi penelitian terbaru.
f. Integrasi EBP dan praktik asuhan keperawatan sangat penting untuk meningkatkan kualitas
perawatan pada pasien.
4. Hambatan Untuk Menggunakan EBP
Hambatan dari perawat untuk menggunakan penelitian dalam praktik sehari-hari telah dikutip
dalam berbagai penelitian, diantaranya (Clifford &Murray, 2001) antara lain:
a. Kurangnya nilai untuk penelitian dalam praktek.
b. Kesulitan alam mengubah praktek.
c. Kurangnya dukungan administrative.
d. Kurangnya mentor berpengetahuan.
e. Kurangnya waktu untuk melakukan penelitian.
f. Kurangnya pendidikan tentang proses penelitian.
g. Kurangnya kesadaran tentang praktek penelitian atau berbasis bukti.
h. Laporan Penelitian/artikel tidak tersedia.
i. Kesulitan mengakses laporan penelitian dan artikel.
j. Tidak ada waktu dalam bekerja untuk membaca penelitian.
k. Kompleksitas laporan penelitian.
l. Kurangnya pengetahuan tentang EBP dan kritik dari artikel
m. Merasa kewalahan.

B. Konsep Penelitian Keperawatan


Penelitian keperawatan melibatkan penyelidikan sistematis yang dirancang khusus untuk
mengembangkan, memperbaiki, dan memperluas pengetahuan keperawatan. Sebagai bagian dari
disiplin klinis dan professional, perawat memiliki bidang keilmuan yang unik, yang membahas
praktik keperawatan, administrasi, dan pendidikan. Perawat peneliti mengkaji masalah-masalah
yang menjadi perhatian khusus untuk perawat dan pasien, keluarga dan masyarakat yang mereka
layani.
Metode penelitian keperawatan dapat kuantitatif, kualitatif, atau campuran (yaitu, triangulasi):
1. Dalam penelitian kuantitatif, peneliti menggunakan objektif, data kuantitatif (seperti tekanan
darah atau denyut nadi) atau menggunakan instrument survey untuk mengukur pengetahuan,
sikap, kepercayaan atau pengalaman.
2. Peneliti kualitatif menggunakan metode seperti wawancara atau analisis narasi untuk
membantu memahami fenomena tertentu.
3. Pendekatan triangulasi menggunakan kedua metode kuantitatif dan kualitatif.

C. Isu-Isu Yang Terkait Dengan EBP, Penelitian Keperawatan Dan Aplikasi Dalam Pelayanan EBP
Penelitian keperawatan dan aplikasi merupakan rangkaian proses yang saling berkesinambungan.
Sebelum melakukan penelitian keperawatan khususnya di area klinik, dibutuhkan data-data atau
bukti-bukti dari hasil penelitian terdahulu yang mendukung masalah yang akan kita teliti. Hasil
penelitian yang telah dilakukan, akan menjadi evindence dalam pengambilan keputusan klinis,
sehingga tindakan yang dilakukan sudah berdasar hasil penelitian yang teruji.
1. Mengidentifikasi Masalah Praktik Klinis
Langkah pertama adalah mengidentifikasi masalah atau isu praktek klinis. Sebagai
konsekuensinya, ini adalah langkah yang paling sulit karena dibutuhkan banyak pemikiran
danu paya untuk menyempurnakan pernyataan masalah untuk mengembangkan bukti-praktik
keperawatan berdasar projects.
2. Pengumpulan dan Penilaian Bukti Evidance
Langkah ke dua adalah mengumpulkan dan menilai bukti, bukti empiris (penelitian) dan bukti
non empiris. Bukti nonempiris penting untuk mendukung perubahan praktik, sedangkan bukti
empiris adalah dengan evidence termasuk uji klinis, non eksperimental dan meta analisis. Harus
dibedakan studi penelitian yang sebenarnya dengan yang bukan penelitian.Jurnal keperawatan
sangat baik dimana mengarahkan pengarang untuk memberikan judul sehingga pembaca dapat
menemukan komponen penting dari sebuah artikel penelitian.Bukti non empiris meliputi
ulasan literatur yang diterbitkan, pendapat dari artikel dan protocol/pedoman serta literature
review penelitian yang dipublikasikan.
3. Membaca dan Analisa Penelitian Empiris
Langkah pertama adalah dengan melihat abstract untuk menyaring artikel yang relevan,
kemudian membaca hasil penelitian sehingga didapatkan suatu ide penelitian dan pengaruhnya
terhadap implikasi keperawatan.
4. Meringkas Bukti Evidance
Langkah ini sangat penting untuk keberhasilan peubahan praktik keperawatan yang kita
usulkan.Sintesis temuan pada kelompok studi penelitian empiris dianggap kredibel. Halini
dilakukan dengan melakukan analisis, pada analisis isi memeriksa temuan untuk dijadikan
tema.
5. Mengintegrasikan Evidance dan Referensi Klinis
Tahap berikutnya yang perlu disintesis adalah keahlian klinis dan preferensi dari
nilainilai.Diperlukan seseorang yang memiliki keahlian klinis di bidang atau topic tertentu.
Dengan pendekatan multidisiplin akan memastikan analisis mendalam tentang hasil penelitian
yang dianalisis.

STANDAR PELAYANAN INSTALASI GAWAT DARURAT

A. Kebijakan, Strategi, Tujuan dan Sasaran


1. Pengembangan dan penerapan standar pelayanan keperawatan gawat darurat di rumah sakit,
dilaksanakan dalam upaya penurunan angka kematian dan kesakitan melalui peningkatan mutu
pelayanan keperawatan.
2. Pengembangan dan peningkatan kemampuan teknis dan manajerial tenaga keperawatan dalam
pelayanan keperawatan gawat darurat rumah sakit untuk terwujudnya kompetensi yang
diperlukan di instalasi gawat darurat.
3. Penerapan stándar pelayanan keperawatan gawat darurat di rumah sakit memerlukan dukungan
dari berbagai pihak terkait.
B. Strategi dalam Penerapan Stándar Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat.
1. Mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya yang ada dan pengembangannya
2. Meningkatkan kemampuan teknis dan manajerial
3. Meningkatkan kerjasama tim
4. Terpenuhinya sarana, prasarana, peralatan dan Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan sesuai
standar
C. Tujuan Penerapan Standar Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat
1. Umum
Meningkatkan mutu pelayanan keperawatan gawat darurat di IGD sesuai standar.
2. Khusus
a. Adanya perencanaan pelayanan keperawatan gawat darurat.
b. Adanya pengorganisasian pelayanan keperawatan gawat darurat
c. Adanya pelaksanaan pelayanan keperawatan gawat darurat
d. Adanya asuhan keperawatan gawat darurat
e. Adanya pembinaan pelayanan keperawatan gawat darurat
f. Adanya pengendalian mutu pelayanan keperawatan gawat darurat
3. Sasaran
a. Pengelola pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan : Dinas Kesehatan Provinsi,
Kabupaten/ Kota, rumah sakit
b. Pengelola pelayanan keperawatan di rumah sakit
c. Tenaga keperawatan yang bertugas di instalasi gawat darurat
d. Pengambil keputusan tingkat pusat dan daerah
e. Organisasi profesi kesehatan
f. Institusi pendidikan keperawatan dan institusi pendidikan kesehatan lainnya
D. Indikator Standar Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat
1. Standar I
Perencanaan Pelayanan Keperawatan Gawat darururat Di Rumah Sakit
a. Ketenagaan
Pernyataan :
Perencanaan ketenagaan perawat gawat darurat mencakup kebutuhan tenaga, peran dan
fungsi tenaga perawat gawat darurat serta memenuhi kualifikasi tenaga perawat gawat
darurat berdasarkan kompetensi yang telah ditentukan.
Rasional :
Tenaga perawat yang sesuai dengan kebutuhan, peran dan fungsi serta memenuhi
kualifikasi kompetensi yang ditentukan akan dapat menjamin kualitas pelayanan gawat
darurat di IGD rumah sakit yang diberikan.

Kriteria Struktur :
Ada kebijakan pimpinan rumah sakit yang mengatur kualifikasi perawat yang bertugas di
instalasi gawat darurat:
1. Perawat Pelaksana
Kualifikasi :
Pendidikan D3 keperawatan dengan pengalaman klinik dua (2) tahun Ners dengan
pengalaman klinik 1 tahun di Rumah Sakit dan sudah tersertifikasi emergency
nursing 2
Kompetensi yang harus dimiliki :
a) Mampu menguasai basic assessment primary survey dan secondary
survey.
b) Mampu memahami triase dan retriase.
c) Mampu memberikan asuhan keperawatan kegawatdaruratan; pengkajian,
diagnosa, perencanaan, memberikan tindakan keperawatan, evaluasi dan
tindak lanjut.
d) Mampu melakukan tindakan keperawatan: live saving antara lain
resusitasi dengan atau tanpa alat, stabilisasi.
e) Mampu memahami terapi definitif.
f) Mampu menerapkan aspek etik dan legal.
g) Mampu melakukan komunikasi terapeutik kepada pasien/ keluarga.
h) Mampu bekerjasama didalam tim.
i) Mampu melakukan pendokumentasian/ pencatatan dan pelaporan
2. Ketua Tim (Penanggung jawab Shift)
Seorang perawat yang bertanggung jawab dan berwenang terhadap tenaga
pelaksana keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien di
gawat darurat, yang bertanggung jawab kepada kepala ruangan IGD
Kualifikasi Ketua Tim IGD Level III dan IV :
a) D3 keperawatan dengan pengalaman lima (5) tahun di IGD dan sudah
tersertifikasi emergency nursing basic 2 dan pelatihan gawat darurat
advance lainnya.
b) Ners dengan pengalaman tiga (3) tahun di IGD dan sudah memiliki
sertifikat emergency nursing basic 2 dan pelatihan gawat darurat advance
lainnya.
c) S2 keperawatan dengan pengalaman satu (1) tahun di IGD dan sudah
tersertifikasi emergency nursing basic 2 dan pelatihan gawat darurat
advance lainnya

Kompetensi yang harus dimiliki :

a) Memiliki kemampuan sebagai perawat pelaksana


b) Mampu mengelola pelayanan asuhan keperawatan
c) Mampu menjaga mutu asuhan keperawatan

Kualifikasi Ketua Tim IGD Level I dan II :

a) D3 keperawatan dengan pengalaman kerja dua (2) tahun di IGD dan


sudah memiliki sertifikat emergency nursing basic 2
b) Ners dengan pengalaman kerja satu (1) tahun di IGD dan sudah memiliki
sertifikat emergency nursing basic 2

Kompetensi yang harus dimiliki :

a) Memiliki kemampuan sebagai perawat pelaksana


b) Mampu mengelola pelayanan asuhan keperawatan
c) Mampu menjaga mutu asuhan keperawatan
d) Mampu melakukan triase
3. Perawat Kepala Ruangan
Perawat profesional yang bertanggung jawab dan berwenang dalam mengelola
pelayanan keperawatan di instalasi gawat darurat dan secara operasional
bertanggung jawab kepada kepala IGD
Kualifikasi Kepala Ruangan IGD level III dan IV :
Minimal Ners, pengalaman sebagai perawat pelaksana tiga (3) tahun di IGD,
pengalaman menjadi ketua tim dua (2) tahun dan sudah memiliki sertifikat
emergency nursing basic 2 dan pelatihan gawat darurat advance lainnya serta
pelatihan manajemen.
Kompetensi yang harus dimiliki dan dibuktikan dengan sertifikat :
a) Memiliki kemampuan sebagai ketua tim
b) Mampu menjamin tersedianya tenaga keperawatan yang kompeten di
rumah sakit
c) Mampu mengorganisasi dan mengkoordinasi semua kegiatan keperawatan
gawat darurat dan bencana
d) Mampu membuat perencanaan dan melakukan pengembangan
keperawatan serta pelayanan gawat darurat
e) Mampu melakukan kolaborasi dan koordinasi dengan tim dan tenaga
kesehatan lain
f) Mampu melakukan fungsi manajemen dalam menggerakkan tim
kesehatan untuk mencapai tujuan
g) Mampu menjaga mutu asuhan keperawatan

Kualifikasi perawat Kepala Ruangan IGD Level I dan II :

a) Ners pengalaman kerja sebagai perawat pelaksana satu (1) tahun di


IGD, pengalaman sebagai ketua tim dua (2) tahun, memiliki sertifikat
emergency nursing basic 2 dan pelatihan manajemen
b) D 3 keperawatan pengalaman kerja sebagai perawat pelaksana dua (2)
tahun di IGD, pengalaman sebagai ketua tim dua (2) tahun, memiliki
sertifikat emergency nursing basic 2, dan pelatihan manajemen
Kompetensi yang dimiliki :
Kompetensi yang harus dimiliki dan dibuktikan dengan sertifikat :
a) Memiliki kemampuan sebagai ketua tim
b) Mampu menjamin tersedianya tenaga keperawatan yang kompeten di
rumah sakit
c) Mampu mengorganisasi dan mengkoordinasi semua kegiatan
keperawatan gawat darurat dan bencana
d) Mampu melakukan pengembangan keperawatan dan pelayanan
kesehatan pada umumnya
e) Mampu melakukan kolaborasi dan koordinasi dengan tim dan tenaga
kesehatan lain
f) Mampu melakukan fungsi manajemen dalam menggerakkan tim
kesehatan untuk mencapai tujuan
g) Mampu menjaga mutu asuhan keperawatan

4. Ada kebijakan pimpinan tentang perencanaan kebutuhan tenaga perawat mengacu


pada fungsi pelayanan instalasi gawat darurat rumah sakit, berdasarkan pada : rata-
rata jumlah pasien perhari, jumlah jam perawatan perhari (tingkat beban kerja),
serta jam efektif perawat perhari serta kompleksitas dari kasus yang ditangani di
instalasi gawat darurat (IGD) rumah sakit.
5. Semua perawat yang memberikan pelayanan keperawatan gawat darurat di IGD
memiliki Surat Tanda Registrasi (STR).

Kriteria Proses :

a) Menyusun rencana kebutuhan tenaga perawat berdasarkan rata-rata jumlah


pasien perhari, jumlah jam perawatan perhari (tingkat beban kerja), serta jam
efektif perawat perhari serta kompleksitas dari kasus yang ditangani di
instalasi gawat darurat (IGD) rumah sakit
b) Menjadi tim rekruitmen tenaga perawat yang memberikan pelayanan gawat
darurat.
c) Menyusun rencana program pengembangan SDM melalui pendidikan dan
pelatihan berkelanjutan, program pengembangan profesi.

Kriteria Hasil :

a) Tersedia tenaga keperawatan di gawat darurat sesuai kebutuhan yang


ditetapkan dengan kualifikasi yang dipersyaratkan.
b) Adanya dokumen perencanaan kebutuhan tenaga perawat dan
pengembangannya
c) Adanya tenaga perawat yang terlibat dalam tim rekruitmen tenaga perawat di
pelayanan keperawatan gawat darurat di rumah sakit
Sarana, prasarana dan peralatan IGD Rumah Sakit

Pernyataan :

Sarana, prasarana dan peralatan merupakan bagian yang akan memfasilitasi dan
mendukung semua kegiatan pelayanan keperawatan gawat darurat di rumah sakit,
sehingga dapat menjamin terlaksananya kegiatan dengan lancar dan terstandar.
Sedangkan pengelolaan sarana, prasarana, peralatan kesehatan dan logistik yang
tepat dan cepat, mendukung terwujudnya pelayanan keperawatan gawat darurat di
rumah sakit yang berkualitas.

Rasional :

Tersedianya sarana, prasarana, peralatan kesehatan dan logistik, untuk menjamin


terlaksananya pelayanan keperawatan gawat darurat di rumah sakit yang berkualitas,
efektif dan efisien.

Kriteria Struktur :

1) Adanya kebijakan pimpinan rumah sakit yang mengatur sarana, prasarana


dan peralatan kesehatan serta logistik dalam pelayanan gawat darurat di
rumah sakit.
2) Adanya standar sarana, prasarana dan peralatan kesehatan serta logistic
3) Adanya mekanisme/ alur permintaan penggunaan dan pemeliharaan
peralatan serta logistic
4) Adanya perencanaan sarana prasarana dan peralatan yang melibatkan tenaga
perawat.
5) Adanya area dekontaminasi pada IGD level IV dan IGD rumah sakit di
daerah berisiko
6) Adanya tempat penyimpanan sarana kesehatan dan logistik yang sesuai
standar yang berlaku
7) Adanya tenaga yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan dan
tersedianya jadwal pemeliharaan secara berkala.
8) Adanya SPO penggunaan dan pemeliharaan peralatan
9) Adanya sistem isolasi untuk pasien infeksius (H1N1, H5N1, SARS)
Kriteria Proses :

1) Menyusun rencana kebutuhan sarana, prasarana dan peralatan kesehatan


dan logistik berdasarkan spesifikasi yang dipersyaratkan di pelayanan
keperawatan gawat darurat
2) Menjadi tim teknis dalam pengadaan sarana, prasarana, peralatan
kesehatan dan logistik di instalasi gawat darurat
3) Melaksanakan pemantauan terhadap pemeliharaan sarana, prasarana
serta peralatan kesehatan dan uji fungsi (kalibrasi) secara teratur dan
berkala
4) Melaksanakan sistem isolasi untuk pasien yang menderita penyakit
sangat menular dan mematikan (H1N1, H5N1, SARS)

Kriteria Hasil :

1) Tersedianya sarana, prasarana, peralatan kesehatan dan logistik siap


pakai sesuai kebutuhan.
2) Adanya dokumen inventaris sarana, prasarana, peralatan kesehatan
dan logistic.
3) Adanya dokumen frekuensi pemakaian dan pemeliharaan peralatan
kesehatan secara priodik/berkala
4) Adanya dokumen hasil kalibrasi peralatan kesehatan
5) Adanya sistem isolasi untuk pasien yang menderita penyakit sangat
menular dan mematikan (H1N1, H5N1, SARS)
2. Standar II
Pengorganisasian Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat
Pernyataan :
Pengorganisasian pelayanan keperawatan gawat darurat di instalasi gawat darurat (IGD)
harus memberikan pelayanan 24 jam dalam sehari dan tujuh hari dalam seminggu.
Pengorganisasian pelayanan keperawatan gawat darurat didasarkan pada organisasi
fungsional yang terdiri dari unsur pimpinan dan unsur pelaksana, yang bertanggung
jawab dalam pelaksanaan pelayanan terhadap pasien gawat darurat, dengan tujuan
tercapainya mutu pelayanan IGD Rumah Sakit yang optimal.
Rasional :
Pengorganisasian yang baik di IGD Rumah Sakit dan tim yang handal menjamin
kesinambungan pelayanan yang berkualitas, efektif dan efisien.
Kriteria Struktur :
1) Adanya kebijakan pimpinan rumah sakit tentang pelayanan keperawatan gawat
darurat yang mencakup pembentukan organisasi, tatalaksana pelayanan di IGD
dan Monitoring evaluasi.
2) Adanya kebijakan pimpinan rumah sakit tentang sistem rujukan pasien gawat
darurat
3) Adanya struktur organisasi dan hubungan tata kerja gawat darurat
4) Adanya standar penetapan uraian tugas, tanggung jawab serta kewenangan
perawat kepala ruangan, ketua tim dan pelaksana di gawat darurat.
5) Adanya SPO penatalaksanaan bencana baik internal dan eksternal
6) Adanya kebijakan pendelegasian kewenangan melakukan tindakan medik yang
bukan live saving diatur oleh kebijakan pimpinan rumah sakit setempat atau
komite medic secara tertulis
Kriteria Proses :
1) Melaksanakan tugas sesuai dengan uraian tugas, tanggung jawab dan
kewenangan perawat dalam pelayanan IGD
2) Melakukan koordinasi dengan anggota tim kesehatan lain
3) Melakukan koordinasi dengan tim keperawatan di pelayanan IGD
4) Melaksanakan asuhan sesuai dengan metode penugasan yang ditetapkan
5) Melaksanakan penanganan bencana baik internal maupun eksternal sesuai SPO
6) Melaksanakan delegasi kewenangan untuk melakukan tindakan medik yang
bukan live saving diatur oleh kebijakan pimpinan rumah sakit setempat atau
komite medic
Kriteria Hasil :
1) Terlaksananya pelayanan keperawatan gawat darurat di IGD sesuai uraian tugas,
tanggung jawab dan kewenangan tertulis
2) Terlaksananya koordinasi dengan anggota tim keperawatan dan anggota tim
kesehatan lain
3) Terlaksananya sistem rujukan pasien gawat darurat
4) Terlaksananya penanganan bencana baik bencana internal maupun eksternal
5) Terlaksananya delegasi kewenangan untuk melakukan tindakan medik yang
bukan live saving diatur oleh kebijakan pimpinan rumah sakit setempat atau
komite medic
3. Standar III
Pelaksanan Pelayanan Keperawatan Gawat darurat
Pernyataan :
Bantuan yang diberikan pada pasien gawat darurat bertujuan untuk penyelamatan nyawa
dan mencegah kecacatan menggunakan pendekatan proses keperawatan di IGD rumah
sakit
Rasional :
Pelaksanaan pelayanan keperawatan gawat darurat dengan menggunakan pendekatan
proses keperawatan gawat darurat dengan cepat, tepat, dan cermat sesuai standar untuk
penyelamatan nyawa dan mencegah kecacatan.
Kriteria struktur :
1) Ada kebijakan pimpinan rumah sakit tentang penerapan Standar Asuhan
Keperawatan (SAK) 10 kasus kegawatdaruratan yang menyebabkan kematian
serta 10 masalah utama keperawatan gawat darurat.
2) Ada kebijakan pimpinan rumah sakit tentang Standar Prosedur Operasional
(SPO) gawat darurat sebagai pendukung pelaksanaan pelayanan keperawatan
gawat darurat.
3) Ada standar asuhan keperawatan gawat darurat meliputi pengkajian, diagnosa/
masalah keperawatan, perencanaan, intervensi dan evaluasi, minimal pada
sepuluh (10) masalah utama keperawatan gawat darurat.
4) Ada Standar Prosedur Operasional (SPO) kegawatdaruratan klinis yang
ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit
5) Ada SPO manajerial yang berisikan alur pelayanan gawat darurat sehari-hari,
bencana internal dan eksternal yang ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit
6) Ada metode penugasan perawat yang ditetapkan (manajemen kasus/ primer) di
pelayanan gawat darurat.
Kriteria Proses:

1) Melaksanakan Standar Asuhan Keperawatan (SAK) pada 10 kasus


kegawatdaruratan yang menyebabkan kematian dan 10 masalah utama
keperawatan gawat darurat.
2) Melaksanakan pelayanan keperawatan gawat darurat sesuai Standar
Prosedur Operasional (SPO)
3) Melaksanakan asuhan keperawatan gawat darurat meliputi pengkajian,
diagnose keperawatan, perencanaan, intervensi dan evaluasi
4) Melaksanakan SPO manajerial yang berisikan alur pelayanan gawat darurat
seharihari, bencana internal dan eksternal.
5) Melaksanakan kolaborasi dalam pelaksanaan asuhan keperawatan dengan
tim kesehatan lain

Kriteria Hasil :

1) Semua perawat melaksanakan SPO Klinis maupun SPO Manajerial


2) Ada dokumen/ catatan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan tiap pasien
yang mencerminkan penerapan SAK
3) Perawat menangani pasien dan keluarganya secara komprehensif

4. Standar IV
Asuhan keperawatan Gawat Darurat
Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek keperawatan
kegawat daruratan, diberikan oleh perawat yang kompeten untuk memberikan asuhan
keperawatan di IGD rumah sakit . Proses keperawatan terdiri atas lima langkah meliputi
pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana tindakan keperawatan, intervensi
keperawatan dan evaluasi.
1) Pengkajian keperawatan
Pernyataan :
Proses pengumpulan data primer dan sekunder terfokus tentang status kesehatan
pasien gawat darurat di rumah sakit secara sistematik, akurat, dan
berkesinambungan.
Rasional:
Pengkajian primer dan sekunder terfokus, sistematis, akurat, dan berkesinambungan
memudahkan perawat untuk menetapkan masalah kegawatdaruratan pasien dan
rencana tindakan cepat, tepat, dan cermat sesuai standar.
Kriteria struktur :
1) Ada format pengkajian yang baku untuk pengkajian keperawatan gawat darurat , di
rumah sakit.
2) Ada petunjuk teknis penggunaan formulir pengkajian keperawatan gawat darurat di
rumah sakit
3) Ada sistem triase yang dapat digunakan pada pengkajian keperawatan gawat darurat
di rumah sakit sehari-hari, baik bencana internal maupun eksternal.
4) Ada alat untuk pengkajian keperawatan gawat darurat meliputi : jam dengan jarum
detik, stetoskop, termometer, tensimeter, pen light (lampu senter), defibrilator, pulse
oxymetry, & EKG.

Kriteria Proses :

1) Melakukan triase
2) Melakukan pengumpulan data melalui primary dan secondary survey pada kasus
gawat darurat di rumah sakit, serta bencana internal dan eksternal.
1) Primary survey :
Airway atau dengan kontrol servikal
Breathing dan ventilasi
Circulation dengan kontrol perdarahan
Dissability pada kasus trauma, “Defibrilation, Drugs,Differential Diagnosis”
pada kasus non trauma
Exposure pada kasus trauma, EKG , “Electrolite Imbalance” pada kasus non
trauma.
2) Secondary survey :
Pengkajian head to toe terfokus, adalah pengkajian komprehensif sesuai
dengan keluhan utama pasien.
Kriteria hasil :
1) Adanya dokumen pengkajian keperawatan gawat darurat yang telah
terisi dengan benar ditandatangani, nama jelas, diberi tanggal dan
jam pelaksanaan.
2) Adanya rumusan masalah / diagnosa keperawatan gawat darurat.
3) Masalah/ diagnosa keperawatan
Pernyataan :
Masalah/ diagnosa keperawatan gawat darurat merupakan keputusan klinis
perawat tentang respon pasien terhadap masalah kesehatan aktual maupun
resiko yang mengancam jiwa.
Rasional :
Masalah/ diagnosa keperawatan yang ditegakkan merupakan dasar
penyusunan rencana keperawatan dalam penyelamatan jiwa dan mencegah
kecatatan.
Kriteria struktur :
Ada daftar masalah/ diagnosa keperawatan gawat darurat.
Kriteria proses :
Menetapkan masalah/diagnosa keperawatan mencakup : masalah, penyebab,
tanda dan gejala (PES/ PE) berdasarkan prioritas masalah.
1) Gangguan jalan nafas
2) Tidak efektifnya bersihan jalan nafas
3) Pola nafas tidak efektif
4) Gangguan pertukaran gas
5) Penurunan curah jantung
6) Gangguan perfusi jaringan perifer
7) Gangguan rasa nyaman
8) Gangguan volume cairan tubuh
9) Gangguan perfusi serebral
10) Gangguan termoregulasi

Kriteria hasil :

Ada dokumentasi masalah/ diagnosa keperawatan gawat darurat.

4) Perencanaan
Pernyataan :
Serangkaian langkah yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah/
diagnose keperawatan gawat darurat berdasarkan prioritas masalah yang
telah ditetapkan baik secara mandiri maupun melibatkan tenaga kesehatan
lain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Rasional :
Rencana tindakan keperawatan gawat darurat digunakan sebagai pedoman
dalam melakukan tindakan keperawatan yang sistematis dan efektif.
Kriteria struktur :
1) Adanya rumusan tujuan dan kriteria hasil
2) Adanya rumusan rencana tindakan keperawatan
Kriteria proses :
1) Menetapkan tujuan tindakan keperawatan penyelamatan jiwa dan
pencegahan kecacatan sesuai dengan kriteria SMART
2) Menetapkan rencana tindakan dari tiap-tiap diagnosa keperawatan
3) Mendokumentasikan rencana keperawatan.

Kriteria hasil :

1) Tersusunnya rencana tindakan keperawatan gawat darurat yang mandiri


dan kolaboratif.
2) Ada rencana tindakan keperawatan didokumentasikan pada catatan
keperawatan
3) Pelaksanaan tindakan keperawatan

Pernyataan :

Perawat melaksanakan tindakan keperawatan yang telah diidentifikasi


dalam rencana asuhan keperawatan gawat darurat.

Rasional :

Perawat mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan gawat darurat


untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Kriteria Struktur :

1) Ada rencana tindakan berdasarkan prioritas


2) Ada standar asuhan keperawatan gawat darurat di rumah sakit baik
sehari-hari maupun bencana.
3) Ada Standar Prosedur Operasional klinis
4) Tersedia format tindakan keperawatan
5) Ada kebijakan tentang informed consent disertai format yang baku
6) Ada kebijakan di rumah sakit tentang pendelegasian tindakan medis.
Kriteria Proses :

Melakukan tindakan keperawatan mengacu pada standar prosedur


operasional yang telah ditentukan sesuai dengan tingkat kegawatan
pasien, berdasarkan prioritas tindakan :

Pelayanan keperawatan gawat darurat rumah sakit :

1) Melakukan triase
2) Melakukan tindakan penanganan masalah penyelamatan jiwa
dan pencegahan kecacatan
3) Melakukan tindakan sesuai dengan masalah keperawatan yang
muncul.

Mandiri :

1) Monitor pernafasan : rate, irama, pengembangan dinding


dada, ratio inspirasi maupun ekspirasi, penggunaan otot
tambahan pernafasan, bunyi nafas, bunyi nafas abnormal
dengan atau tanpa stetoskop
2) Melakukan pemasangan pulse oksimetri
3) Observasi produksi sputum, jumlah, warna, kekentalan
4) Lakukan jaw thrust (khusus pasien dengan dugaan cedera
servikal), chin lift, atau head tilt
5) Berikan posisi semi fowler, atau
6) Berikan posisi miring aman
7) Ajarkan pasien untuk nafas dalam dan batuk efektif
8) Berikan air minum hangat sesuai kebutuhan
9) Lakukan phisioterapi dada sesuai indikasi
10) Lakukan suction bila perlu
11) Lakukan pemasangan Oro Pharingeal Airway (OPA),
Nasopharyngeal Airway (NPA), Laryngeal Mask Airway
(LMA)
Kolaborasi

1) Beri obat sesuai indikasi: bronchodilator, mukolitik,


anti biotik, steroid
2) Pemasangan endo tracheal tube (ETT)
3) Melakukan monitoring respon pasien terhadap tindakan
keperawatan
4) Mengutamakan prinsip keselamatan pasien (patient
safety), dan privacy
5) Menerapkan prinsip standar baku (standar precaution).
6) Mendokumentasikan tindakan keperawatan

Kriteria Hasil :

1) Adanya dokumen tentang tindakan keperawatan serta


respons pasien
2) Ada dokumen tentang pendelegasian tindakan medis
(standing order).

Evaluasi

Pernyataan :

Penilaian perkembangan kondisi pasien setelah dilakukan


tindakan keperawatan gawat darurat mengacu pada kriteria
hasil.

Rasional :

Hasil evaluasi menggambarkan tingkat keberhasilan tindakan


keperawatan gawat darurat.

Kriteria Struktur :

1) Ada tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan


2) Adanya catatan perkembangan pasien dari tiap
masalah/ diagnosa keperawatan
Kriteria Proses :

1) Melakukan evaluasi terhadap respon pasien pada setiap


tindakan yang diberikan (evaluasi proses).
2) Melakukan evaluasi dengan cara membandingkan hasil
tindakan dengan tujuan dan kriteria hasil yang
ditetapkan (evaluasi hasil)
3) Melakukan re-evaluasi dan menentukan tindak lanjut
4) Mendokumentasikan respon klien terhadap intervensi
yang diberikan.

Kriteria Hasil :

Ada dokumen hasil evaluasi menggunakan pendekatan SOAP


pada tiap masalah/ diagnose keperawatan

5. Standar V
Pembinaan pelayanan Keperawatan Gawat Darurat
Pernyataan :
Pembinaan pelayanan keperawatan gawat darurat meliputi pembinaan terhadap
manajemen keperawatan, penerapan asuhan keperawatan, peningkatan pengetahuan
serta keterampilan keperawatan gawat darurat di RS dan berkesinambungan.
Rasional :
Pembinaan pelayanan keperawatan gawat darurat dapat meningkatkan profesionalisme
perawat sehingga menjamin tercapainya pelayanan keperawatan yang berkualitas
Kriteria Struktur :
1) Adanya kebijakan pimpinan tentang pembinaan pelayanan keperawatan gawat
darurat.
2) Adanya mekanisme bimbingan teknis pelayanan keperawatan gawat darurat
3) Adanya program peningkatan pengetahuan dan ketrampilan perawat gawat darurat
( formal dan Informal )
4) Adanya reward dan punishment (penghargaan dan sanksi) bagi perawat di gawat
darurat
Kriteria Proses :

1) Merencanakan dan melaksanakan program bimbingan teknis, peningkatan


kemampuan, penerapan asuhan gawat darurat secara berkala
2) Melaksanakan pembinaan pelayanan pelayanan gawat darurat yang meliputi :
manajemen keperawatan, penerapan asuhan keperawatan, peningkatan
pengetahuan serta keterampilan keperawatan gawat darurat di RS dan
berkesinambungan.
3) Memberikan reward (jasa keperawatan) dan punishment (sanksi) sesuai
ketentuan
4) Melaksanakan pemantauan dan evaluasi kinerja secara periodik.
5) Melaksanakan tindak lanjut hasil pembinaan.
6) Melaksanakan pembinaan masalah etik profesi

Kriteria hasil :

1) Adanya peningkatan kinerja yang dibuktikan dengan dokumen kinerja


perawat.
2) Adanya dokumen laporan penyelesaian masalah.
3) Adanya dokumen bimbingan teknis terhadap pelayanan keperawatan gawat
darurat.
4) Adanya reward dan punishment.
5) Adanya dokumen penanganan masalah etik profesi.

6. Standar VI :
Pengendalian Mutu Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat
Pernyataan :
Pemantauan, penilaian pelayanan keperawatan serta tindak lanjutnya yang dilakukan
secara terus menerus untuk menjaga mutu pelayanan keperawatan gawat darurat.
Rasional :
Pengendalian mutu pelayanan keperawatan menjamin keselamatan, menurunkan angka
kematian dan kecacatan serta meningkatkan kepuasan pasien.
Kriteria Struktur :
1. Adanya kebijakan pimpinan sarana kesehatan tentang program keselamatan pasien
(Patient safety).
2. Adanya kebijakan tentang program pengendalian mutu keperawatan gawat
darurat.
3. Adanya indikator kinerja klinis pelayanan gawat darurat :
4. Waktu tanggap pelayanan di gawat darurat ( response time )
5. Angka kematian pasien ≤ 24 jam
6. Kepuasan pelanggan

Kriteria Proses :

1. Melaksanakan pemantauan mutu dengan menggunakan instrumen yang


terstandar
2. Melaksanakan upaya keselamatan pasien
3. Mendokumentasikan upaya keselamatan pasien dan pengendalian mutu
4. Menyusun program perbaikan kendali mutu pelayanan gawat darurat

Kriteria Hasil

1. Ada dokumen hasil pelaksanaan keselamatan pasien dan perawatan


2. Ada dokumen hasil evaluasi pelaksanaan keselamatan pasien.
3. Waktu tanggap pelayanan gawat darurat (response time) ≤ 5 menit
4. Angka kematian pasien ≤ 24 jam ≤ dua perseribu dan kepuasan Pelanggan ≥ 70%
2. ASUHAN KEPERAWATAN BERDASARKAN EVIDENCE PRACTICE

1. Evidence Based
a. Data Umum
Tanggal kunjungan : 30 Juni 2009, klien merupakan pasien tetap (kontol rutin bila obat jantung
habis)
b. Data Demografi
An. R. Reg : 154985, Laki- laki, Umur 8 tahun, belum sekolah, Berat badan 19 Kg, Alamat :Curah
Bumbu II/4 Tanggul, suku madura, pembiayaan ditanggung oleh Jamkesmas.
c. Riwayat Keperawatan
Keluhan Utama :
Post MRS 5 hari yang lalu di Ruang Anak RSUD dr. Soebandi Jember saat ini obat habis.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Sejak umur 3 tahun (5 tahun yang lalu) ibu klien mendapat informasi dari dokter saat memeriksakan
putranya ke poli anak RSD dr. Soebandi Jember bahwa putranya menderita jantung bawaan. Atas
anjuran dokter saat itu klien dirujuk ke RSP Soetomo Surabaya untuk dilakukan tindakan operasi,
tetapi setelah diberitahu kalau biaya yang diperlukan sangat tinggi (Rp. 50.000.000) ibu klien
membawa putranya kembali/tidak jadi operasi. Untuk selanjutnya klien hanya dibawa kontrol rutin
ke poli Anak RSD dr. Soebandi Jember.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Selama ini klien tidak pernah opname, kecuali 1 bulan terakhir ini klien telah opname 2 x yaitu
MRS ke-1 : tgl 12 Juni 2009 s/d 15 Juni 2009 MRS ke-2 : tgl 22 Juni 2009 s/d 25 Juni 2009

Riwayat Kehamilan, Persalinan, Post Natal :


Klien merupakan anak yang diharapkan, sejak hamil ibu rutin mengkonsumsi jamu-jamuan
tradisional, nafsu makan baik dan tidak menderita sakit. Persalinan yang dialami ibupun lancar,
bayi langsung menangis dan tidak nampak adanya kelainan. Awalnya tidak nampak adanya
kelainan pada klien, ibu baru merasakan bahwa anaknya tidak sama dengan anak yang lain setelah
berusia 3 tahun
Riwayat penyakit Keluarga :
Didalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit keturunan/kongenital maupun penyakit
menular. Ibu klien mengatakan anaknya yang pertama meninggal saat usia 2 bulan, karena kejang.

Pola Fungsi kesehatan


Pola persepsi dan tata laksana kesehatan pada ibu baik, terbukti klien diajak kontrol teratur.
Ibu klien tidak pernah berasumsi bahwa penyakit yang diderita anaknya merupakan penyakit
kutukan atau dibuat orang. Pola nutrisi : nafsu makan klien baik, bahkan bangun tidurpun klien
kadang langsung minta makan, minum cukup banyak. BAK lancar spontan dan BAB setiap hari
lembek. Pola aktifitas kondisi klien untuk beraktifitas sangat memprihatinkan, klien selalu
digendong karena bila dibuat berjalan sedikit saja klien langsung biru. Bahkan aktivitas menangis
yang terlalu lama akan menjadikan serangan biru seperti yang dialami klien saat MRS yang ke-2
klien menangis karena ditinggal ibu foto copy terlalu lama. Pola istirahat tidur : kebutuhan
istirahat/tidur klien cukup, dalam keseharian posisi tidur yang disenangi klien adalah knee chest.
Pola kognitif dan Persepsi Sensori : kognitif sulit dikaji, tipe pemalu dan klien terisolir diri dari
teman sebayanya karena kondisi yang dialaminya. Persepsi sensori baik Pola Konsep diri: Sulit
dievaluasi dengan ungkapan, klien sering bersembunyi dibalik tubuh ibunya, komunikasi non
verbal yang ditampakkan yaitu dengan tersenyum dan menangis, hanya mau berbicara dengan
ibunya dengan suara pelan. Pola Hubungan Peran: Klien merupakan anak ke-2 memiliki adik
perempuan berumur 4 tahun. Pola Sexualitas/kasih sayang: Ayah klien menikah lagi, klien sehari-
hari tinggal bersama neneknya karena ibu klien bekerja sebagai pembantu rumah tangga di
Surabaya. Pola Mekanisme Koping: Klien tipe pemalu, tidak bisa beraktifitas berlebihan, sehingga
saat menghadapi kondisi yang tidak bisa menyenangkan hanya menangis saja. Pola Nilai dan
kepercayaan: Klien sudah mampu membedakan norma yang baik/buruk. Pola Tumbuh Kembang:
deley Development. Berat badan : 15 Kg (Status Gizi 58 %) dan saat ini klien juga belum sekolah

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum: lemah, anemis -/icterus -/ cyanosis +/ dyspneu + , Suhu : 36,5 ° C, Nadi :
92 x/mnt, RR: 24 x/mnt. Thorax: Pulmo: simetris, Retraksi Inter Costal Ө, Fremitus raba normal,
sonor, suara vesikuler, Ronchi -/-, whezing -/-. Cor: Suara Gallop, Ictus cordis tampak jelas pada
ICS 4. Abdomen : flat, soepel, tympani, bising usus +. Extrimitas : Akral hangat, jari tabuh +,
oedem Ө
Pemeriksaan Penunjang (yang terakhir)
Laborat Tgl 16 Juni 2009 : Hb: 21,2 gr %, LED: 1/ 2, Leukosit: 5.200, Hj: 1/-/-/60/34/5, PCV: 72
%, Trombosit: 135.000
Photo Thorax Tgl 16 Juni 2009 : Cardiomegali, gambaran Tetralogi Fallot

d. Teraphy
Propanolol 10 mg 2 x 1 tab

2. Identifikasi Kebutuhan
Klien dengan kasus Tetralogi of Fallot perlu mendapatkan pelayanan keperawatan berdasarkan
evidence based, dari data yang telah dikumpulkan antara lain:
1. Gangguan pertukaran gas b/d penurunan aliran darah ke pulmonal
2. Penurunan cardiac output b/d adanya kelainan structural jantung
3. Gangguan perfusi jaringan b/d penurunan sirkulasi darah
4. Intoleransi aktifitas b/d ketidakseimbangan pemenuhan O2 terhadap kebutuhan tubuh
5. Risiko infeksi b/d daya tahan tubuh tidak adekuat
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d fatigue selama makan, penurunan nafsu
makan, peningkatan kebutuhan kalori.
7. Gangguan tumbuh kembang b/d oksigenasi tidak adekuat, kebutuhan nutrisi jaringan tubuh
kurang, adanya isolasi social
8. Koping keluarga tidak efektif b/d kurang pengetahuan keluarga tentang diagnosis/pragnosis
penyakit anak.

Pada kasus kelolaan An. R, terdapat masalah keperawatan yaitu :

1. Risiko penurunan cardiac output b/d adanya kelainan structural jantung


2. Intoleransi aktifitas b/d ketidakseimbangan pemenuhan O2 terhadap kebutuhan tubuh
3. Risiko infeksi b/d daya tahan tubuh tidak adekuat
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan kebutuhan kalori.
5. Gangguan tumbuh kembang b/d kebutuhan nutrisi jaringan tubuh kurang dan adanya isolasi social

Walaupun Gangguan pertukaran gas b/d penurunan aliran darah ke pulmonal merupakan masalah
utama yang sering muncul pada kasus Tetralogi of Fallot, pada kasus kelolaan ini penulis menetapkan
masalah risiko penurunan cardiac output b/d adanya kelainan structural jantung menjadi suatu problem
utama berdasarkan pertimbangan: kondisi klien masih relatif baik, tidak memerlukan rawat inap dan
tanda-tanda gangguan pertukaran gas b/d penurunan aliran darah ke pulmonal belum didapatkan, alasan
yang kedua penurunan cardiac out put adalah cord problem dari segala masalah yang muncul
selanjutnya termasuk pada akhirnya gambaran kondisi klien yang lebih buruk termasuk Gangguan
pertukaran gas, intoleransi aktifitas,gangguan tumbuh kembang, dll.

3. Perencanaan dan dasar berfikir kritis dalam pengambilan keputusan


a. Tinjauan Pustaka
Pada kondisi normal dalam sistem sirkulasi diperlukan keseimbangan dari beberapa
komponen, yaitu jantung sebagai pompa, volume darah yang mengisi rongga jantung, vaskuler
yaitu sistem arteri dan vena serta tonus vaskuler dan kadar oksigen di dalam darah. Komponen ini
bertanggung jawab terhadap perfusi jaringan dalam sistem sirkulasi. Sehingga bila salah satu
komponen tersebut, misalnya adanya masalah kurangnya volume darah/penurunan cardiac out put
pada kasus Tetralogi of Fallot maka terjadilah kegagalan jantung yang mengakibatkan penurunan
perfusi jaringan sehingga kebutuhan metabolisme sel tidak dapat terpenuhi.
Sebenarnya saat awal mulai timbul kondisi yang tidak seimbang, tubuh melakukan
berbagai mekanisme kompensasi untuk mempertahankan keseimbangan antara kebutuhan dan
pasokan terhadap oksigen serta semua bahan yang diperlukan untuk keseimbangan baru. Salah satu
kompensasi yang dapat dilakukan oleh tubuh saat terjadinya serangan hipoksia spell sebagai akibat
penurunan cardiac out put adalah knee chest position yaitu posisi dimana lutut didekatkan pada
dada, sehingga dengan adanya posisi tersebut venous return dapat cepat tercapai dan cardiac output
dapat ditingkatkan.
b. Hasil Penelitian terkait
Seperti yang dijelaskan sebelumnya satu-satunya tindakan yang paling efektif untuk
mengatasi masalah pada kasus Tetralogi of Fallot adalah operasi. Tindakan operasi ini bila
dilakukan pada saat yang tepat (tidak terlambat) memberikan hasil yang memuaskan, dengan risiko
minimal yaitu angka kesakitan rendah, dan angka kematian pasca operasi 0-1%. Murphy JG, et.al
melaporkan survival (ketahanan hidup) paska opearsi pada penderita yang menjalani operasi pada
usia kurang dari 11 tahun mencapai 98% dalam follow up 27 tahun setelah tindakan bedah
dilakukan. Semakin tua usia saat dioperasi maka survival akan semakin menurun, karena berkaitan
dengan sudah terjadinya komplikasi. Saat ini bila hanya untuk melakukan koreksi terhadap VSD
saja dapat dilakukan tindakan intervensi non bedah (tanpa bedah jantung terbuka), yaitu dengan
pemasangan alat Amplatzer Septal Occluder (ASO) (Widyantoro, Bambang, 2009, (http:// ppi-
jepang.org, diperoleh tanggal 1 juli 2009).
Tentang penelitian yang menggambarkan intervensi noninvasive tentang efektifitas
positioning Knee Chest sebagai tindakan pertolongan pertama pada klien terutama saat serangan
hiposia spell terjadi dirumah dalam arti lamanya waktu yang dapat ditoleransi hingga klien
mendapat pertolongan yang lain seperti bantuan farmakologis belum ada yang meneliti.

Desain Rencana Tindakan keperawatan

1) Pathological Pathway Tetralogi of Fallot (Carpenito 1987, Komite Medik RSUP dr. Sardjito 2000,
PICU GBST RSUP dr. Sardjito 2006)
Pengembalian vena sistemis
(vena kava superior&inferior)

Atrium kanan Ventrikel kanan

2) Pathological Pathway Intervensi Potitioning

3) Strategi perencanaan
Melihat kajian teori dan hasil riset yang telah ditelaah tentang knee chest position, karena klien
dalam perawatan di poli rawat jalan maka strategi perencanaan yang diberikan pada pasien adalah:
a. Tujuan : Ibu & klien dapat mengatasi serangan kegawatan jantung (hipoksiaSpell) dengan tindakan
noninvasive/nonfarmakologi
b. Kriteria hasil :
 Ibu & klien mengetahui maksud Positioning Hipoksia Spell
 Ibu & klien mengetahui macam-macam Positioning Hipoksia Spell
 Ibu & klien dapat memperagakan Positioning Hipoksia Spell
 Ibu & klien segera melakukan Knee Chest Position pada kondisi yang tepat (saat serangan
Hipoksia Spell)
c. Intervensi
 Mengkaji tindakan yang telah dilakukan klien dan ibu saat terjadi serangan Hipoksia Spell
 Menjelaskan pengertian dan maksud Knee Chest Position
 Ibu & klien diberikan contoh Knee Chest Position saat klien tidur dan saat berdiri
 Ibu & klien diminta memperagakan apa yang dicontohkan.

4) Pelaksanaan
Tanggal 30 Juni 2009, klien An. R. kontrol ke poli rawat jalan RSD dr. Soebandi Jember
untuk melanjutkan pengobatan propanolol, sambil menunggu antrean pemeriksaan dilakukan
kajian tentang seberapa jauh pengetahuan dan kemampuan klien dan ibu tentang Positioning saat
terjadinya Hipoksia Spell, ternyata Knee Chest Position yang diketahui ibu adalah saat kondisi tidur
saja, sementara squating Position yang dapat dilakukan bila serangan saat klien tidak tidur belum
diketahui. Klien mengatakan informasi pertama yang mengatakan dan memberikan contoh bahwa
posisi tersebut dapat mengurangi keluhan adalah dokter saat klien berobat ke poli anak RSD dr.
Soebandi Jember 5 tahun yang lalu.
Selanjutnya dari pengetahuan yang dimilikinya, diberikan tambahan pengetahuan pada ibu
tentang Knee Chest Position dan macamnya. Diperagakan pada klien secara langsung tentang Knee
Chest Position saat kondisi tidur (dilakukan diatas meja tindakan), dan Squating Position saat posisi
pasien berdiri → ibu klien aktif berpartisipasi terhadap intervensi yang diberikan

5) Evaluasi
Telah tercapai tambahan koqnitif dan psikomotor tentang Positioning Hipoksia Spell, ibu
klien dapat mengulang manfaat knee chest position dan memperagakannya, dan saat itu juga setelah
mendapat resep obat klien diperbolehkan pulang. Tujuan tercapai bila ibu dan klien mampu
mengenali secara awal tanda-tanda kegawatan dan segara melaksanakan Positioning Hipoksia Spell
dengan knee chest position, sehingga dengan demikian kegawatan jantung yang terjadi selanjutnya
diharapkan dapat diatasi tanpa memerlukan rawat inap.

3. PEMBAHASAN
Pada kasus kelolaan An R, umur 8 tahun, mendapat perawatan di poli rawat jalan RSD dr.
Soebandi Jember berdasar evidence based leaning pada klien sebagai kasus kelolaan yang sesuai
dengan teori ada 5 diagnosa yang diangkat yaitu: risiko penurunan cardiac output b/d adanya
kelainan structural jantung, Intoleransi aktifitas b/d ketidakseimbangan pemenuhan O2 terhadap
kebutuhan tubuh, risiko infeksi b/d daya tahan tubuh tidak adekuat, perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh b/d peningkatan kebutuhan kalori, gangguan tumbuh kembang b/d kebutuhan
nutrisi jaringan tubuh kurang dan adanya isolasi sosial. Dari kelima diagnosa yang ditemukan
penulis memprioritaskan risiko penurunan cardiac output b/d adanya kelainan structural jantung
sebagai diagnosa utama.
Intervensi noninvasive yaitu Knee Chest Position secara Evidence base terbukti membantu
meningkatkan cardiac output, hal ini terbukti selama 8 tahun an. R. menderita penyakit jantung
bawaan tipe sianostik yaitu Tetralogi of fallot baru bulan terakhir kali ini klien mendapat perawatan
rawat inap, dan dari anamnesa yang dilakukan penyebab serangan hipoksia spell yang
menyebabkan klien membutuhkan MRS adalah akibat klien menangis terlalu lama karena ditinggal
ibu foto copy persyaratan Jamkesmas. Menangis merupakan aktivitas dan ternyata tidak dapat
ditolelir oleh tubuh klien, sehingga klien yang juga mengalami masalah intoleransi terhadap
aktifitas, dengan adanya menangis yang terlalu lama mengakibatkan timbulnya serangan Hipoksia
Spell. Sementara itu pengetahuan klien saat itu tentang Knee Chest Position bila serangan hipoksia
spell saat klien tidak dalam kondisi tidur yaitu dengan cara squating Position belum dimiliki.
Knee Chest Position dalam beberapa literatur memang direkomendasikan untuk dilakukan
saat terjadinya serangan Hipoksia Spell dengan tujuan mempercepat venous return sehingga cardiac
output sebagai cord problem pada kasus Tetralogi of Fallot dapat ditingkatkan. Tetapi dalam
penelitian terkait belum pernah dibahas sejauh mana klien mampu bertahan dengan hanya Knee
Chest Position tanpa bantuan medikamentosa atau berapa lama jangka waktu kemampuan klien
menahan rasa sakit/tidak sampai klien mengalami neurogenik syock tanpa intervensi medika
mentosa misalnya Morfin 0,125 mg– 0,25 mg/KgBB (mengendurkan otot infundibulum) dan
Propanolol (beta Bloker) untuk mengurangi kontraktilitas miokart dengan dosis oral : 0,5 – 1
mg/kgBB/6 jam atau i.v : 0.01 – 0,15 mg/kgBB/6 – 8 jam diberikan pelan-pelan selama 10 menit
(Standart Pelayanan Medis RSP dr. Sardjito Yogyakarta). Hingga saat ini tindakan pembedahan
baik paliatif maupun koreksi total yang masih direkomendasikan karena terbukti paling efisien
dalam menangani kasus Tetralogi of Fallot, dan tindakan pembedahan tersebut bila dilakukan lebih
dini sebelum timbulnya komplikasi memiliki angka keberhasilan 99 % (http:// ppi-jepang.org,
diperoleh tanggal 1 juli 2009).
Dalam penerapan Knee Chest Position saat terjadinya serangan hipoksia spell pada
penderita Tetralogi of Fallot dengan pendekatan evidence based practice yang penulis lakukan saat
ini perlu mendapat kajian yang lebih mendalam, mengingat dalam terapan ini ada keterbatasan
yaitu hanya menggunakan 1 sampel saja, sehingga belum jelas diketahui apakah keberhasilan yang
dicapai murni karena intervensi yang diberikan ataukah karena berat ringannya kelainan yang
didapatkan, sehingga nantinya dengan penambahan jumlah sampel sekaligus akan dapat diketahui
efektifitas intervensi Knee Chest Position sekaligus akan diketahui toleransinya, kapan klien harus
mendapatkan pertolongan medika mentosa sehingga klien tidak terlambat mendapatkan
pertolongan selanjutnya.
4. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Evidence based pada klien dengan kasus kelolaan yang sesuai dengan teori ada 5 yaitu: risiko
penurunan cardiac output b/d adanya kelainan structural jantung, Intoleransi aktifitas b/d
ketidakseimbangan pemenuhan O2 terhadap kebutuhan tubuh, risiko infeksi b/d daya tahan
tubuh tidak adekuat, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan kebutuhan
kalori, gangguan tumbuh kembang b/d kebutuhan nutrisi jaringan tubuh kurang dan adanya
isolasi social
b. Kebutuhan perubahan yang paling prioritas berdasar evidence based pada kasus kelolaan
adalah risiko penurunan cardiac output b/d adanya kelainan structural
c. Intervensi Potitioning yang sesuai saat terjadinya serangan hipoksia spell berdasarkan analisis
data evidence based pada kasus kelolaan adalah knee Chest Position
d. Pelaksanaan tindakan keperawatan berdasarkan strategi perencanaan yang telah disusun dan
dari kajian pengetahuan yang telah dimiliki ibu dan klien berupa penambahan kognitif dan
psikomotor yaitu dengan pemberian informasi dan peragaan ulang terhadap sesuatu yang telah
diajarkan.
e. Asuham Keperawatan dikatakan berhasil, bila klien dapat mempertahankan kondisinya sampai
jadwal kontrol selanjutnya.
2. Saran
a. Untuk Institusi Pendidikan
1. Penerapan pendekatan evidence based practice dalam pelaksanaan praktik profesi Ners
perlu ditingkatkan agar tercipta habituasi keilmuan dalam dunia keperawatan yang dapat
dipertanggung jawabkan
2. Mahasiswa perlu difasilitasi dengan literatur up to date, diberikan bimbingan yang lebih
intensive agar selama praktik profesi ners dapat menciptakan kreasi, dan lebih familiar
dalam menerapkan Asuhan Keperawatan berdasar evidence base leaning.
b. Untuk peneliti keperawatan
Perlu dikaji ulang dengan menambah jumlah sampel kasus kelolaan, sehingga diketahui
seberapa jauh efektifitas yang sebenarnya tindakan noninvasive knee Chest Position dalam
mengatasi serangan hipoksia spell dan toleransi lama waktu yang relatif masih aman tanpa
diberikan bantuan obat-obatan, sehingga klien tidak terlambat meminta pertolongan.
DAFTAR PUSTAKA

Ontoseno, Teddy 2009 Diagnosis dan Penatalaksanaan terkini Gagal Jantung Pada Anak dalam kumpulan
materi Simposium Penatalaksanaan Terkini Kegawatdaruratan Anak, IDAI cabang jawa Timur, Jember

Widyantoro Bambang, 2009, Jantung Bawaan, 1 , http:// ppi-jepang.org, diperoleh tanggal 1 juli 2009

Brunner, Suddarth. (2002), Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah, EGC, Jakarta.

Carpenito L. Juall. (2001), Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, Jakarta.

Doengoes.E Marilynn. (2006), Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.

Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4, EGC, Jakarta.

Komite Medik RSUP dr. Sardjito, 2000, Standart Pelayanan Medis, Medika FKU gajah mada, Jogyakarta

Picu GBST RSUP dr. Sardjito, 2006, Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan kritis Anak bagi Perawat,
Tidak diterbitkan

Ontoseno, Teddy, 2007, Tetralogi Fallot dan Serangan Sianosis, http://cc.bingj.com , diperoleh tanggal 1
Juli 2009

Anda mungkin juga menyukai