Anda di halaman 1dari 33

Laporan Kasus THT-KL

EPISTAKSIS

Diajukan sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL RSUDZA/FK Unsyiah Banda Aceh

Oleh:
Rizki Puji Isnanda (1707101030007)
Sando Putra Kopertino Malau (1707101030008)
Mirza Halim Othman (1707101030021)

Pembimbing:
dr. T. Husni TR, M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS

BAGIAN/ SMF ILMU KESEHATAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUDZA BANDA ACEH
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah,
dan kesempatan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan
judul "Epistaksis". Penyusunan tugas ini merupakan pemenuhan syarat untuk
menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik senior di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan
THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Seiring rasa syukur atas terselesaikannya tugas ini, dengan rasa hormat dan
rendah hati penulis sampaikan terimakasih kepada:
1. Pembimbing, dr. T. Husni TR, M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS atas arahan dan
bimbingannya dalam penyusunan laporan kasus ini.
2. Sahabat-sahabat kepaniteraan klinik senior di bagian THT-KL yang telah
membantu dalam bentuk motivasi dan dukungan semangat.
Sebagai manusia yang tidak lepas dari kekurangan, penulis menyadari
bahwa penyusunan laporan ini masih jauh dari sempurna. Penulis sangat
mengharapkan banyak kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan
tugas ini. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Banda Aceh, November 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
2.1 Anatomi hidung .................................................................................. 3
2.2 Definisi ............................................................................................... 5
2.3 Etiologi ............................................................................................... 6
2.4. Patofisiologi ........................................................................................ 10
2.5. Gejala Klinis ...................................................................................... 11
2.6. Diagnosis ............................................................................................ 11
2.7. Penatalaksanaan .................................................................................. 14
2.8 Pencegahan ........................................................................................ 17
2.9 Komplikasi ......................................................................................... 17
2.10 Prognosis ........................................................................................... 18
BAB 3 LAPORAN KASUS ..................................................................................
3.1. Identitas Pasien ................................................................................... 19
3.2. Anamnesis .......................................................................................... 19
3.3. Pemeriksaan Fisik ............................................................................... 20
3.4. Pemeriksaan Penunjang ...................................................................... 21
3.5. Diagnosis ............................................................................................ 23
3.6. Tatalaksana ......................................................................................... 23
3.7. Planning .............................................................................................. 23
3.8. Prognosis ............................................................................................ 23
3.9. Follow Up Harian ................................................................................ 24
3.10. Foto Klinis ......................................................................................... 25
BAB 4 ANALISA MASALAH .............................................................................. 26
BAB 5 KESIMPULAN ......................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 30

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Epistaksis merupakan kondisi kegawatdaruratan yang umum ditemukan di


bagian Telinga Hidung Tenggorokan. Epistaksis merupakan kondisi klinis yang
dapat terjadi pada semua umur dengan berbagai penyebab. 1
Epistaksis bisa disebabkan karena kelainan lokal maupun sistemik. Kelainan
lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, benda asing, tumor, dan pengaruh udara
lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskular, kelainan darah,
infeksi sistemik, kelainan hormonal, kelainan kongenital, dan perubahan tekanan
atmosfer.1
Epistaksis merupakan masalah medis umum, dimana sekitar 60% penduduk
akan mengalami setidaknya satu kali episode epistaksis seumur hidup dan hanya
sekitar 6% dari penderita epistaksis yang mencari bantuan medis. Epistaksis
bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu tanda atau gejala. Kebanyakan ringan
dan dapat berhenti sendiri tanpa bantuan medis. Epistaksis biasanya terjadi
spontan dengan perdarahan yang sedikit, mungkin juga banyak, sehingga pederita
ketakutan dan merasa perlu menemui dokter untuk mendapatkan bantuan medis.1
Prevalensi epistaksis tidak banyak diketahui oleh karena episode epistaksis
dapat berhenti sendiri sehingga tidak banyak orang yang melaporkan kejadian ini
ke rumah sakit ataupun pelayanan kesehatan yang lainnya.1
Prevalensi epistaksis pada pria dan wanita umumnya sama, dan distribusi
umur penderita epistaksis biasanya terjadi pada usia <20 tahun dan >40 tahun.
Menurut Nguyen (2011), epistaksis kebanyakan terjadi pada laki-laki (58%)
dibandingkan dengan perempuan (42%).2
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Etnic Comitte of Hospital Clinicals,
Faculty of Medicine in Brazil, tercatat 40 pasien yang di diagnosis epistaksis, 23
pasien perempuan (67,5%) dan 13 pasien laki-laki (32,5%). Usia berkisar 4-78
tahun, tetapi rata-rata terjadi pada usia 20-40 tahun dan usia anak SD.
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan dari hidung, yaitu dari
bagian anterior dan bagian posterior. Pada epistaksis anterior, perdarahan terjadi
pada pleksus Kiesselbach, biasanya perdarahan dapat berhenti spontan dan mudah

1
2

diatasi. Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sphenopalatina


dan arteri etmoidalis posterior, perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti
sendiri.2
Epistaksis anterior lebih sering dijumpai pada anak-anak, sedangkan
epistaksis posterior lebih sering dijumpai pada orang tua dengan riwayat penyakit
hipertensi, arteriosklerosis, atau penyakit kardiovaskular lainnya.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit,jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari os nasal, prosesus
frontalis os maksila,dan prosesus nasalis os frontalis. Kerangka tulang rawan
terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis
superior,sepasang kartilago nasalis lateralis inferior,tepi anterior kartilago
septum.1,2,3
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dipisahkan oleh
septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum
nasi mempunyai 4 buah dinding. Dinding medial hidung ialah septum nasi.
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Septum dilapisi oleh
perikondrium pada bagian tulang rawan dan dan periosteum pada bagian tulang
sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.2,3
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu konka inferior, media,
superior, dan suprema yang biasanya rudimenter. Di antara konka-konka dan
dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.Ada 3 meatus
yaitu meatus inferior, media, dan superior. Di meatus nasi bermuara sinus-sinus
paranasalis. Dan yang di inferior bermuara duktus nasolakrimalis Dinding inferior
rongga hidung dibentuk oleh os maksila dan palatum. Dinding superior atau atap
hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis.3

3
4

Gambar 1. Anatomi Hidung

Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis; arteri karotis eksterna
dan karotis interna. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak
pada cavum nasi melalui:
a. Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan
melalui foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga
perempat posterior dan dinding lateral hidung.
b. Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang
berjalan melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian
inferoanterior septum nasi. Sistem karotis interna melalui arteri
oftalmika mempercabangkan arteri ethmoid anterior dan posterior yang
mendarahi septum dan dinding lateral superior.1,4

Gambar 2. Vaskularisasi Hidung


5

Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan sensoris dari
nervus etmoidalis anteior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang
berasal dari nervus oftalmikus (N. V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besarnya
mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina.1
Gangglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion
ini menerima serabut saraf sensoris dari nervus maksila (N. V2), serabut
parasimpatis dari nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis
dari nerus petrosus profundus. Gangglion sfenopalatina terletak di belakan dan
sedikit di atas ujung posterior konka media.1
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel- sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung.1

Gambar 3. Inervasi pada bagian hidung

2.2 Definisi
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga
hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari
suatu kelainan yang hampir 90 % dapat berhenti sendiri. Perdarahan dari hidung
dapat merupakan gejala yang sangat mengganggu dan dapat mengancam nyawa.
6

Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara
efektif.1

2.3 Epidemiologi
Hampir 60% populasi di dunia mengalami epistaksis sekali seumur hidup.
Data epidemiologi yang lengkap tidak didapatkan karena tidak ada studi
epidemiologi yang dilakukan dan hanya sekitar 6-10 % pasien epistaksis yang
berobat.1,4

2.4 Etiologi

Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput


mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah
Pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi
bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah
yang kaya anastomosis.
Pada penelitian Manickam didapatkan bahwa etiologi dari epistaksis adalah
idiopatik (37%), deviasi septum hidung (20%), penggunaan NSAID (19), septal
angioma (7%), angiofibroma nasofaring (5%), polip sinonsal (3%), ulkus septum
(2%), karsinoma nasofaring (2%), rinosporidiosis (2%), kelainan liver (2%),
trombositopenia (1%).5
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau
kelainan sistemik:
2.4.1 Lokal
a. Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek
hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau
sebagai akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau
kecelakaan lalu lintas. Trauma karena sering mengorek hidung dapat
menyebabkan ulserasi dan perdarahan di mukosa bagian septum anterior.
Selain itu epistaksis juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau
trauma pembedahan.1
7

Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam.
Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka
yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan. Bagian
anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar
aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung.
Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari
menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan
erosi membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan.1,4,6
b. Infeksi Lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti
rhinitis atau sinusitis. Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan
merusak mukosa. Inflamasi akan menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah setempat sehingga memudahkan terjadinya perdarahan di
hidung.
c. Neoplasma7
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan
intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah,
Hemangioma, angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat. Karena
pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang abnormal dan pembentukan
pembuluh darah yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga
memudahkan terjadinya perdarahan.
d. Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah
perdarahan telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic
telangiectasia/Osler's disease). Juga sering terjadi pada Von Willendbrand
disease. Telengiectasis hemorrhagic hereditary adalah kelainan bentuk
pembuluh darah dimana terjadi pelebaran kapiler yang bersifat rapuh
sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.1
e. Pengaruh Lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa.
Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang
disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal selain itu bisa di sebabkan
8

oleh zat-zat kimia yang bersifat korosif yang dapat menyebabkan


kekeringan mukosa sehingga pembuluh darah gampang pecah1
f. Deviasi Septum
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari
septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Selain itu
dapat menyebabkan turbulensi udara yang dapat menyebabkan terbentuknya
krusta. Pembuluh darah mengalami ruptur bahkan oleh trauma yang sangat
ringan seperti mengosok-gosok hidung.1,5
2.4.2 Sistemik
a. Kelainan Darah
Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis adalah
trombositopenia, hemofilia dan leukemia.1,4
b. Penggunaan obat-obatan khususnya aspirin
Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat
pula mempredisposisi epistaksis berulang. Aspirin mempunyai efek
antiplatelet yaitu dengan menginhibisi produksi tromboksan, yang pada
keadaan normal akan mengikat molekul-molekul trombosit untuk membuat
suatu sumbatan pada dinding pembuluh darah yang rusak. Aspirin dapat
menyebabkan proses pembekuan darah menjadi lebih lama sehingga dapat
terjadi perdarahan. Oleh karena itu, aspirin dapat menyebabkan epistaksis.4
c. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140
mmHG dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmhg. Hipertensi
merupakan penyebab kedua setelah trauma. Hal ini diakibatkan karena
kontrol tekanan darah yang buruk. Epistaksis sering terjadi pada tekanan
darah tinggi karena kerapuhan pembuluh darah yang di sebabkan oleh
penyakit hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi pembuluh darah terus
menerus yang mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis.7
d. Arterosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi
keadaan tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa
9

mengompensasi dengan vasodilatasi, menyebabkan rupture dari pembuluh


darah.4
e. Diabetes Melitus
Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan
mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat
menyebabkan sel endotelial pada pembuluh darah mengambil glukosa lebih
dari normal sehingga terbentuklah lebih banyak glikoprotein pada
permukaannya dan hal ini juga menyebabkan basal membran semakin
menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal tapi lemah
sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis dapat terjadi pada
pasien diabetes mellitus.1
f. Demam Berdarah
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-
antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan
agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan
sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan
perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphat), sehingga
trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit
dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran
faktor platelet III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID =
koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor
pembekuan. Oleh karena itu epistaksis sering terjadi pada kasus demam
berdarah.1
g. Alkoholisme
Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal sehingga
menyebabkan terjadinya sumbatan pada pembuluh darah. Hal ini
menyebabkan terjadinya hipoksia dan kematian sel. Selain itu hal ini
10

menyebabkan peningkatan tekanan intravascular yang dapat mengakibatkan


pecahnya pembuluh darah sehingga dapat terjadi epistaksis.4

2.5 Patofisiologi
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang
sukar ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari
bagian anterior dan posterior.1,4
2.5.1 Epistaksis Anterior
Lebih dari 90% epistaksis berasal dari septum anterior, dimana
perdarahannya disuplai oleh pleksus Kiesselbach pada area yang disebut Little’s
area. Area ini merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai anak-anak.
Dapat juga berasal dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri
(spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.1

Gambar 4. Epistaksis Anterior

2.5.2 Epistaksis Posterior


Berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Karena
umumnya berasal dari arteri, perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti
sendiri sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Perdarahan
dari bagian posterior nasi ini berisiko tinggi terjadi sumbatan jalan nafas serta
aspirasi. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular.1
11

Gambar 5. Epistaksis Posterior

2.6 Gejala Klinis


Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan
belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya
perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.8
Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh
mengorek hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat
pengeringan mukosa hidung berlebihan. Penting mendapatkan riwayat trauma
terperinci. Riwayat pengobatan atau penyalahgunaan alkohol terperinci harus
dicari. Banyak pasien minum aspirin secara teratur untuk banyak alasan. Aspirin
merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat menyebabkan pemanjangan
waktu perdarahan. Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung beberapa waktu
dan bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen dalam sangat banyak produk.
Alkohol merupakan senyawa lain yang banyak digunakan, yang mengubah fungsi
pembekuan secara bermakna.8

2.7 Diagnosis
Penegakan diagnosis pada epistaksis dapat dilakukan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesis hal-hal yang penting dicari tahu adalah:
a. Riwayat perdarahan sebelumnya.
b. Lokasi perdarahan.
c. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau keluar
dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak.
12

d. Lamanya perdarahan dan frekuensinya


e. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
f. Hipertensi
g. Diabetes melitus
h. Penyakit hati
i. Gangguan koagulasi
j. Trauma hidung yang belum lama
k. Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan fisik adalah lampu kepala,
spekulum hidung, alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kassa.1
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi
dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk
mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung.1
Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan
semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah
membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk
mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung
dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu
larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin
1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat
vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk
sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan
dilakukan evaluasi.1
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari
hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan
pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah
menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa:3
a) Rinoskopi anterior: Pemeriksaan harus dilakukan secara teratur dari
anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi,
dinding lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa dengan cermat.
13

Gambar 6. Pemeriksaan Rinoskopi Anterior

b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien
dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan
neoplasma.
c) Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi,
karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering
berulang.
d) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau
infeksi.
e) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan
penyakit lainnya.

Gambar 7. Tampilan endoskopi epistaksis posterior


14

f) Skrining terhadap koagulopati


Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu
tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan.
g) Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah
kesehatan yang mendasari epistaksis.

2.8 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah memperbaiki keadaan umum,
mencari sumber perdarahan, menghentikan perdarahan, mencari faktor penyebab
untuk mencegah berulangnya perdarahan.1,5
Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi,
pernapasan, serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu
misalnya dengan memasang infus. Jalan napas dapat tersumbat oleh darah atau
bekuan darah sehingga perlu dibersihkan atau dihisap dengan menggunakan
suction.1
Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya
dilihat apakah perdarahan dari anterior atau posterior.
2.8.1 Penatalaksanaan Epistaksis Anterior
Perdarahan anterior sering berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian
depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior, terutama
anak-anak dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-
15 menit. Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat perdarahan dapat
dikaustik dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Sesudahnya area
tersebut diberikan krim antibiotik. Bila dengan cara ini perdarahan masih tetap
berlangsung, maka perlu dilakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari
kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian
pelumas ini agar tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan
baru saat dimasukkan atau dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah,
disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon
dipertahankan selama 2 x 24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi
hidung. Selama 2 hari ini dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor
15

penyebab epistaksis. Bila perdarahan masih belum berhenti, dipasang tampon


baru.1,4

Gambar 8. Tampon Anterior

2.8.2 Penatalaksanaan Epistaksis Posterior


Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya
perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi
anterior. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan
tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini dibuat dari kasa
padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3
utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di sisi berlawanan.1,4
Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan
bantuan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di
orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang
tampon Bellocq, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai benang
keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk
untuk dapat melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada
perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua
benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan
nares anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap di tempatnya.
Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien.
Gunanya adalah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari.
Hati-hati mencabut tampon karena dapat menyebabkan laserasi mukosa.1
16

Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma
digunakan bantuan dua kateter, masing-masing melalui kavum nasi kanan dan
kiri, dan tampon posterior terpasang di tengah-tengah nasofaring.1

Gambar 9. Tampon Bellocq

Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan Folley catheter dengan


balon. Balon diletakkan di nasofaring dan dikembangkan dengan air atau udara.

Gambar 10. Tampon Posterior dengan Folley catheter

Jika dengan menggunakan tampon perdarahan tetap tidak berhenti, maka


langkah selanjutnya adalah dengan pembedahan. Metode pembedahan yang
dipilih adalah endoscopic clipping/ligation atau koagulasi pada arteri
spenopalatina. Pada kasus epistaxis yang parah dengan metode pembedahan gagal
atau pasien dengan risiko tinggi anestesi, alternatif yang dapat dipilih adalah
embolisasi.4
17

2.9 Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah untuk mencegah terjadinya
perdarahan yang berulang. Setelah perdarahan untuk sementara dapat diatasi
dengan pemasangan tampon, selanjutna perlu dicari penyebabnya. Perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal,
gula darah, hemostasis. Pemeriksaan foto polos atau CT Scan sinus dapat
dilakukan jika dicurigai adanya sinusitis.1,4

2.10 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksis sendiri atau dari
usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi
aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok,
anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat
menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi coroner sampai
infark miokardium sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini,
pemberian infus atau transfuse darah harus dilakukan secepatnya. Akibat
pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu diberikan
antibiotik.1
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media,
septikemia atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan
antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon
harus dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut, dipasang tampon baru. Selain itu,
dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba
Eustachius, dan bloody tears akibat mengalirnya darah secara retrograd melalui
duktus nasolakrimalis.1,4
Pemasangan tampon posterior dapat menyebabkan laserasi palatum mole
atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat diikatkan pada
pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena
dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.1
18

2.11 Prognosis
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada
pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering
kambuh dan prognosisnya buruk.6
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : Ny. Enny Rita
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 57 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Langsa
Agama : Kristen
Tanggal Masuk RS : 21 November 2018
No RM : 1-19-17-25

3.2. Anamnesis
Keluhan Utama :
Keluar darah dari mulut dan hidung

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien merupakan rujukan dari RSIA dengan keluhan keluar darah dari
hidung sebelah kiri dan mulut sejak 2 jam sebelum masuk RSUZA. Awalnya
keluar darah dari hidung kiri sejak ± 3 hari yang lalu dengan volume ± 125 cc
berwarna merah segar, namun berhenti setelah dipasang tampon hidung di
RSIA. Pasien juga mengeluhkan tidak nyaman saat menelan karena darah
terasa terus mengalir. Hidung terasa gatal (-) dan nyeri (-). Riwayat trauma
hidung (-), pandangan ganda (-), telinga berdenging (-). Tidak nyaman saat
menelan karena darah terus mengalir.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Hipertensi tidak terkontrol ± 10 tahun yang lalu. Riwayat keluar darah dari
hidung 11 tahun yang lalu.

19
20

3.3. Pemeriksaan Fisik


1) Status Generalis :
a. Keadaan umum: Sakit Sedang
b. Kesadaran: Compos mentis (E4M6V5)
c. Vital sign:
 TD : 180/100 mmHg
 RR : 20 x/menit
 N : 98 x/menit
 T : 36,7 C
d. Kepala: Normochepali,konjungtiva palpebra inferior anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-).
e. Leher : Pembesaran kelenjar limfoid (-), peningkatan JVP (-)
f. Thorax:
I : simetris (+/+) statis dan dinamis
P : SF kanan = SF kiri, nyeri tekan (-)
P : Sonor (+/+)
A : Vesikuler, wheezing (-/-), rhonki (-/-)
g. Jantung: Bunyi jantung I dan II reguler, gallop (-), murmur (-),
h. Abdomen:
I : Ditensi (-)
A : Bising usus (+)
P : Timpani
P : Pembesaran organ tidak teraba, nyeri tekan (-)
i. Ekstremitas: Edema (-), sianosis (-)
2) Status Lokalis
a. Regio auricular : CAE lapang (+/+), serumen (-/-) minimal, sekret(-/-),
MT (intact/intact), refleks cahaya (+/+), tampak membran timpani
hiperemis (+/+)
b. Regio nasalis :
Rinoskopi Anterior Dekstra Sinistra
Vestibulum Nasi Lapang, tenang Lapang, darah minimal
Kavum nasi dan Lapang Lapang, darah minimal
Dasar kavum nasi
Mukosa Hiperemis(-) Hiperemis(-)
21

Konka nasi inferior :


- ukuran Eutrofi Sulit dinilai
- warna Hiperemis (-)
- edema Tidak ada
- permukaan licin
Konka nasi media :
- ukuran Tidak tampak Sulit dinilai
- warna
- edema
- permukaan
Meatus nasi inferior Sekret (-) Sulit dinilai
Meatus nasi media Sekret (-) Sulit dinilai
Septum nasi normal Sulit dinilai
Sekret Tidak ada Sulit dinilai
Krusta Tidak ada Sulit dinilai
Massa : Tidak ada Sulit dinilai
- warna
- permukaan
- konsistensi

c. Regio orofaring : Arkus faring simetris, uvula di tengah, tonsil (T1/T1),


dinding faring posterior tampak rembesan darah, gigi
karies (+) M1 dan M2 kiri dan kanan, gigi busuk (-)
d. Regio colli : Pembesaran KGB (-), peningkatan JVP (-)

3.4. Pemeriksaan Penunjang


A. Pemeriksaan Darah Rutin dan Kimia Darah

JENIS PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN

HEMATOLOGI
Hemoglobin 14.6 12,0 – 15,0 g/dl g/dL
Hematokrit 40 45 - 56% %
3 3
Eritrosit 4.8 4,2- 5.40 /mm 106/mm3
3 3
Leukosit 17.2 4,5 – 10,5. 10 /mm 103/mm3
3 3
Trombosit 289 150 – 45.10 / mm 103/mm3
MCV 83 80 – 100 fL fL
MCH 30 27 -31 pg Pg
22

MCHC 36 32 – 36% %
RDW 12.4 11,5 – 14,5 % %
MPV 10.2 7,2 – 11,1 fL fL
Hitung Jenis:
Eosinofil 0 0-6 %
Basofil 0 0-2 %
Netrofil Batang 0 2-6 %
Netrofil Segmen 70 50-70 %
Limfosit 25 20-40 %
Monosit 5 2-8 %
GDS 301 <200 mg/dL
Ureum 48 13-43 mg/dL
Kreatinin 0,79 0,51-0,95 mg/dL
Elektrolit:
Natrium 142 132-146 mg/dL
Kalium 4,7 3,7-5,4 mg/dL
Klorida 94 98-106 mg/dL

B. Gambaran Radiologi
23

Dari foto thorax AP, trakea berada di tengah, paru dalam batas normal, dan
jantung dalam batas normal, kedua sudut costophrenicus tajam.

3.5. Diagnosis
Epistaksis Posterior e.c. Hipertensi

3.6. Tatalaksana
3.6.1. Non Medikamentosa
a. Tampon Posterior dengan kateter
b. Tampon Anterior dengan tampon silokain.

3.6.2. Medikamentosa
a. IVFD RL 20 gtt/menit
b. Inj. Ceftriaxone 1 gr/8jam
c. Inj. Asam Traneksamat 500 mg/8jam
d. Inj. Vitamin K 1amp/24 jam
e. Inj. Ranitidin 1amp/12jam

3.7. Planning
Konsul IPD untuk tatalaksana hipertensi dan hiperglikemia :
- Amlodipin tab 10mg/24 jam
- Valsartan tab 80 mg/24 jam
- Diet MB
Konsul kardiologi untuk tatalaksana hipertensi emergensi:
- Diet Rendah Garam 1500 kkal/hari
- Amlodipin tab 10 mg/24 jam

3.8 Prognosis
a. Quo ad vitam : dubia ad bonam
b. Quo ad sanationam : dubia ad bonam
c. Quo ad functionam : dubia ad bonam
24

3.9. Follow Up Harian


Tanggal S O A Th
23/11/18 Keluar darah TD: Epistaksis - IVFD RL 20 gtt/menit
AD 1 dari hidung 180/100mmHg Posterior ec - Inj Ceftriaxone 1 gr/8jam
dan mulut. N: 93 bpm Hipertensi - Inj. Asam Traneksamat
RR: 20x/i 500 mg/8jam
T: 36,6 C - Inj.Vitamin K 1amp/24
S/L nasalis :
jam
Cavum Nasi
Lapang (+/sdn),
Sekret (-/sdn) P/ Evaluasi tanda vital dan
Konka Inferior perdarahan, pertahankan
Eutropi (+/sdn) tampon 5 hari.
Septum deviasi
(-/sdn) Pasase
Udara (+/sdn)
rembesan darah
(-/+)
23/11/18 Keluar darah TD: Epistaksis - IVFD RL 20 gtt/menit
AD 2 dari hidung 180/100mmHg Posterior ec - Inj Ceftriaxone 1 gr/8jam
dan mulut. N: 90 bpm Hipertensi - Inj. Asam Traneksamat
Perut terasa RR: 18 x/i 500 mg/8jam
penuh. T: 36,7 C - Inj.Vitamin K 1amp/24
S/L nasalis :
jam
Cavum Nasi
Lapang (+/sdn), - Inj.Ranitidin 1amp/12jam
Sekret (-/sdn)
Konka Inferior P/
Eutropi (+/sdn) - Evaluasi tanda vital dan
Septum deviasi perdarahan, pertahankan
(-/sdn) Pasase tampon 5 hari.
Udara (+/sdn)
rembesan darah
(-/+)
25

3.10. Foto Klinis Pasien


BAB III
LAPORAN KASUS

Pasien merupakan rujukan dari RSIA dengan keluhan keluar darah dari
hidung sebelah kiri dan mulut sejak 2 jam sebelum masuk RSUZA. Awalnya
keluar darah dari hidung kiri sejak ± 3 hari yang lalu dengan volume ± 125 cc
berwarna merah segar, namun berhenti setelah dipasang tampon hidung di RSIA.
Pasien juga mengeluhkan tidak nyaman saat menelan karena darah terasa terus
mengalir. Dari anamnesis menunjukkan bahwa pasien mengalami perdarahan
yang dicurigai berasal dari pleksus Woodruff, dimana perdarahan yang terjadi
pada arteri sfenopalatina atau arteri etmoidalis posterior akan memunculkan gejala
perdarahan yang hebat dan tidak bisa berhenti sendiri serta perdarahan terjadi ke
dalam faring disertai dengan pemasangan tampon anterior yang gagal mengontrol
perdarahan.
Pasien mempunyai penyakit hipertensi dengan riwayat pengobatan yang
tidak teratur. Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama kejadian epistaksis
spontan. Pasien-pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan epistaksis
umumnya didapatkan tekanan darahnya tinggi. Kejadian epistaksis yang umum
terjadi pada pasien hipertensi disebabkan oleh perubahan vaskularisasi pada
bagian nasal akibat arteriosklerosis. Lamanya hipertensi yang tidak terkontrol juga
menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan kekakuan dari arteri nasal.
Pemeriksaan rinoskopi anterior dapat mengevaluasi asal dari perdarahan.
Epistaksis anterior yang berasal dari pleksus Kiesselbach adalah jenis yang umum
ditemui dan dapat diidentifikasi area perdarahan hanya dari pemeriksaan fisik
saja. Apabila lokasi perdarahan pada bagian anterior tidak ditemukan, atau
perdarahan terjadi pada kedua hidung dan adanya perdarahan yang terjadi ke
dalam faring, maka dapat dicurigai lokasi perdarahan terjadi di bagian posterior.
Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah memperbaiki keadaan umum,
mencari sumber perdarahan, menghentikan perdarahan, mencari faktor penyebab
untuk mencegah berulangnya perdarahan. Bila pasien datang dengan epistaksis,
perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada
kelainan, atasi terlebih dahulu misalnya dengan memasang infus. Sumber

26
27

perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan darah
dengan bantuan alat penghisap. Untuk menanggulangi perdarahan posterior,
dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Sebagai
pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan kateter Folley dengan balon. Pada
pasien ini dilakukan tampon posterior dengan menggunakan kateter Folley dengan
balon selama 5 hari untuk menghentikan perdarahan yang terjadi. Pasien juga
mendapatkan terapi antibiotik yang Ceftriaxon 1 gram per 8 jam sebagai
profilaksis karena bekuan darah dapat menjadi media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri serta pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi.
Asam traneksamat adalah obat golongan antifibrinolitik yang bekerja mengurangi
perdarahan dengan cara menghambat aktivasi plasminogen menjadi plasmin pada
pembekuan darah. Karena plasmin berfungsi mendegradasi fibrin, maka asam
traneksamat bekerja menghambat degradasi fibrin, yang berujung pada
meingkatnya aktivitas pembekuan darah. Vitamin K bekerja dengan
meningkatkan produksi dari faktor-faktor pembekuan darah sehingga
mempercepat waktu pembekuan dan memperpendek waktu perdarahan. Ranitidin
diberikan untuk meringankan keluhan perut kembung pada pasien. Ranitidin
bekerja dengan menghambat secara kompetitif histamin pada reseptor H2 sel-sel
parietal lambung, yang menghambat sekresi asam lambung; volume lambung dan
konsentrasi ion hidrogen berkurang.
Talaksana hipertensi pada pasien ini diberikan amlodipin 10 mg, valsartan
80 mg serta diet rendah garam. Amlodipine merupakan penghambat influks
(masuknya) ion kalsium (antagonis ion kalsium) melalui membran ke dalam otot
polos pembuluh darah dan jantung. Mekanisme aksi anti hipertensi amlodipine
adalah efek langsung relaksasi pada otot polos pembuluh darah. Valsartan
menggeser angiotensin II dari reseptor AT1 dan menghasilkan efek penurunan
tekanan darah melalui antagonis vasokonstriksi yang diinduksi AT1, pembebasan
aldosteron, katekolamin, vasopresin arginin, pengambilan air dan respon
hipertropik.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah aspirasi darah ke dalam saluran napas
bawah, syok dan anemia. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat
menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai
28

infark miokard dapat menyebabkan kematian. Pemasangan tampon dapat


menyebabkan rinosinusitis, otitis media, dan septikemia, sehingga pada setiap
pemasangan tampon hidung selalu diberikan antibiotik dan setelah 2-3 hari
tampon harus dicabut. Apabila perdarahan belum berhenti, maka tampon harus
diganti dengan yang baru. Pemasangan tampon posterior dengan menggunakan
kateter balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan
nekrosis mukosa hidung atau septum.
Prognosis pada pasien ini bergantung kepada kepatuhan kontrol tekanan
darah. Pasien harus patuh dalam meminum obat antihipertensi dan diet rendah
garam agar kejadian epistaksis tidak berulang.
BAB V
KESIMPULAN

Epistaksis merupakan kondisi kegawatdaruratan yang umum ditemukan di


bagian Telinga Hidung Tenggorokan. Epistaksis merupakan kondisi klinis yang
dapat terjadi pada semua umur dengan berbagai penyebab. Epistaksis bisa
disebabkan karena kelainan lokal maupun sistemik. Pada epistaksis anterior,
perdarahan terjadi pada pleksus Kiesselbach, biasanya perdarahan dapat berhenti
spontan dan mudah diatasi. Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari
arteri sphenopalatina dan arteri etmoidalis posterior, perdarahan biasanya hebat
dan jarang berhenti sendiri. Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah perbaiki
keadaan umum, cari sumber perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor
penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan. Setelah perdarahan untuk
sementara dapat diatasi dengan pemasangan tampon, selanjutnya perlu dicari
penyebabnya. Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap,
pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal, gula darah, hemostasis.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo, Endang dan Wardani, Retno. Epistaksis. In: Soepardi


EA, Iskandar N (eds). Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok
kepala leher. Edisi ke- 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2007;131-135
2. Nash, C. M., Simon, F. Epidemiology of Epistaxis in a Canadian
Emergency Department. Israeli Jurnal of Emergency Medicine, Vol. 8,
2008. pp. 23-24.
3. Bull, Tony. Color Atlas of ENT diagnosis. Thime. Clinical
science.2003;205-214
4. Beck R, Sorge M, Schneider A. Current Approaches to Epistaxis
Treatment in Primary and Secondary Care. Dtsch Arztebl Int. 2018; 115:
12–22
5. Manickam A, Ghosh D, Saha J, Basu SK. An Aetiophatological Study on
Epistaxis in Adults and its Management. Bengal Journal of
Otolaryngology and HNS. 2015:23.
6. Sampigethaya S et al. A Clinical Study of Epistaxis. Int J Otorhinolaryngol
Head Neck Surg. 2018 Mar;4(2):555-558
7. Japaries, W. Buku Ajar Onkologi Klinis. Edisi ke-2. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.2008;116-125
8. Mansjoer, A. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2000;168-180

30

Anda mungkin juga menyukai