EPISTAKSIS
Diajukan sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL RSUDZA/FK Unsyiah Banda Aceh
Oleh:
Rizki Puji Isnanda (1707101030007)
Sando Putra Kopertino Malau (1707101030008)
Mirza Halim Othman (1707101030021)
Pembimbing:
dr. T. Husni TR, M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS
Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah,
dan kesempatan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan
judul "Epistaksis". Penyusunan tugas ini merupakan pemenuhan syarat untuk
menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik senior di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan
THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Seiring rasa syukur atas terselesaikannya tugas ini, dengan rasa hormat dan
rendah hati penulis sampaikan terimakasih kepada:
1. Pembimbing, dr. T. Husni TR, M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS atas arahan dan
bimbingannya dalam penyusunan laporan kasus ini.
2. Sahabat-sahabat kepaniteraan klinik senior di bagian THT-KL yang telah
membantu dalam bentuk motivasi dan dukungan semangat.
Sebagai manusia yang tidak lepas dari kekurangan, penulis menyadari
bahwa penyusunan laporan ini masih jauh dari sempurna. Penulis sangat
mengharapkan banyak kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan
tugas ini. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
2.1 Anatomi hidung .................................................................................. 3
2.2 Definisi ............................................................................................... 5
2.3 Etiologi ............................................................................................... 6
2.4. Patofisiologi ........................................................................................ 10
2.5. Gejala Klinis ...................................................................................... 11
2.6. Diagnosis ............................................................................................ 11
2.7. Penatalaksanaan .................................................................................. 14
2.8 Pencegahan ........................................................................................ 17
2.9 Komplikasi ......................................................................................... 17
2.10 Prognosis ........................................................................................... 18
BAB 3 LAPORAN KASUS ..................................................................................
3.1. Identitas Pasien ................................................................................... 19
3.2. Anamnesis .......................................................................................... 19
3.3. Pemeriksaan Fisik ............................................................................... 20
3.4. Pemeriksaan Penunjang ...................................................................... 21
3.5. Diagnosis ............................................................................................ 23
3.6. Tatalaksana ......................................................................................... 23
3.7. Planning .............................................................................................. 23
3.8. Prognosis ............................................................................................ 23
3.9. Follow Up Harian ................................................................................ 24
3.10. Foto Klinis ......................................................................................... 25
BAB 4 ANALISA MASALAH .............................................................................. 26
BAB 5 KESIMPULAN ......................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 30
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit,jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari os nasal, prosesus
frontalis os maksila,dan prosesus nasalis os frontalis. Kerangka tulang rawan
terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis
superior,sepasang kartilago nasalis lateralis inferior,tepi anterior kartilago
septum.1,2,3
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dipisahkan oleh
septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum
nasi mempunyai 4 buah dinding. Dinding medial hidung ialah septum nasi.
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Septum dilapisi oleh
perikondrium pada bagian tulang rawan dan dan periosteum pada bagian tulang
sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.2,3
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu konka inferior, media,
superior, dan suprema yang biasanya rudimenter. Di antara konka-konka dan
dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.Ada 3 meatus
yaitu meatus inferior, media, dan superior. Di meatus nasi bermuara sinus-sinus
paranasalis. Dan yang di inferior bermuara duktus nasolakrimalis Dinding inferior
rongga hidung dibentuk oleh os maksila dan palatum. Dinding superior atau atap
hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis.3
3
4
Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis; arteri karotis eksterna
dan karotis interna. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak
pada cavum nasi melalui:
a. Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan
melalui foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga
perempat posterior dan dinding lateral hidung.
b. Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang
berjalan melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian
inferoanterior septum nasi. Sistem karotis interna melalui arteri
oftalmika mempercabangkan arteri ethmoid anterior dan posterior yang
mendarahi septum dan dinding lateral superior.1,4
Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan sensoris dari
nervus etmoidalis anteior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang
berasal dari nervus oftalmikus (N. V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besarnya
mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina.1
Gangglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion
ini menerima serabut saraf sensoris dari nervus maksila (N. V2), serabut
parasimpatis dari nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis
dari nerus petrosus profundus. Gangglion sfenopalatina terletak di belakan dan
sedikit di atas ujung posterior konka media.1
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel- sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung.1
2.2 Definisi
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga
hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari
suatu kelainan yang hampir 90 % dapat berhenti sendiri. Perdarahan dari hidung
dapat merupakan gejala yang sangat mengganggu dan dapat mengancam nyawa.
6
Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara
efektif.1
2.3 Epidemiologi
Hampir 60% populasi di dunia mengalami epistaksis sekali seumur hidup.
Data epidemiologi yang lengkap tidak didapatkan karena tidak ada studi
epidemiologi yang dilakukan dan hanya sekitar 6-10 % pasien epistaksis yang
berobat.1,4
2.4 Etiologi
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam.
Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka
yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan. Bagian
anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar
aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung.
Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari
menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan
erosi membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan.1,4,6
b. Infeksi Lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti
rhinitis atau sinusitis. Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan
merusak mukosa. Inflamasi akan menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah setempat sehingga memudahkan terjadinya perdarahan di
hidung.
c. Neoplasma7
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan
intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah,
Hemangioma, angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat. Karena
pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang abnormal dan pembentukan
pembuluh darah yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga
memudahkan terjadinya perdarahan.
d. Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah
perdarahan telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic
telangiectasia/Osler's disease). Juga sering terjadi pada Von Willendbrand
disease. Telengiectasis hemorrhagic hereditary adalah kelainan bentuk
pembuluh darah dimana terjadi pelebaran kapiler yang bersifat rapuh
sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.1
e. Pengaruh Lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa.
Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang
disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal selain itu bisa di sebabkan
8
2.5 Patofisiologi
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang
sukar ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari
bagian anterior dan posterior.1,4
2.5.1 Epistaksis Anterior
Lebih dari 90% epistaksis berasal dari septum anterior, dimana
perdarahannya disuplai oleh pleksus Kiesselbach pada area yang disebut Little’s
area. Area ini merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai anak-anak.
Dapat juga berasal dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri
(spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.1
2.7 Diagnosis
Penegakan diagnosis pada epistaksis dapat dilakukan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesis hal-hal yang penting dicari tahu adalah:
a. Riwayat perdarahan sebelumnya.
b. Lokasi perdarahan.
c. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau keluar
dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak.
12
b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien
dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan
neoplasma.
c) Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi,
karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering
berulang.
d) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau
infeksi.
e) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan
penyakit lainnya.
2.8 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah memperbaiki keadaan umum,
mencari sumber perdarahan, menghentikan perdarahan, mencari faktor penyebab
untuk mencegah berulangnya perdarahan.1,5
Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi,
pernapasan, serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu
misalnya dengan memasang infus. Jalan napas dapat tersumbat oleh darah atau
bekuan darah sehingga perlu dibersihkan atau dihisap dengan menggunakan
suction.1
Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya
dilihat apakah perdarahan dari anterior atau posterior.
2.8.1 Penatalaksanaan Epistaksis Anterior
Perdarahan anterior sering berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian
depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior, terutama
anak-anak dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-
15 menit. Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat perdarahan dapat
dikaustik dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Sesudahnya area
tersebut diberikan krim antibiotik. Bila dengan cara ini perdarahan masih tetap
berlangsung, maka perlu dilakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari
kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian
pelumas ini agar tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan
baru saat dimasukkan atau dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah,
disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon
dipertahankan selama 2 x 24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi
hidung. Selama 2 hari ini dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor
15
Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma
digunakan bantuan dua kateter, masing-masing melalui kavum nasi kanan dan
kiri, dan tampon posterior terpasang di tengah-tengah nasofaring.1
2.9 Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah untuk mencegah terjadinya
perdarahan yang berulang. Setelah perdarahan untuk sementara dapat diatasi
dengan pemasangan tampon, selanjutna perlu dicari penyebabnya. Perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal,
gula darah, hemostasis. Pemeriksaan foto polos atau CT Scan sinus dapat
dilakukan jika dicurigai adanya sinusitis.1,4
2.10 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksis sendiri atau dari
usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi
aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok,
anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat
menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi coroner sampai
infark miokardium sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini,
pemberian infus atau transfuse darah harus dilakukan secepatnya. Akibat
pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu diberikan
antibiotik.1
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media,
septikemia atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan
antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon
harus dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut, dipasang tampon baru. Selain itu,
dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba
Eustachius, dan bloody tears akibat mengalirnya darah secara retrograd melalui
duktus nasolakrimalis.1,4
Pemasangan tampon posterior dapat menyebabkan laserasi palatum mole
atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat diikatkan pada
pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena
dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.1
18
2.11 Prognosis
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada
pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering
kambuh dan prognosisnya buruk.6
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2. Anamnesis
Keluhan Utama :
Keluar darah dari mulut dan hidung
19
20
HEMATOLOGI
Hemoglobin 14.6 12,0 – 15,0 g/dl g/dL
Hematokrit 40 45 - 56% %
3 3
Eritrosit 4.8 4,2- 5.40 /mm 106/mm3
3 3
Leukosit 17.2 4,5 – 10,5. 10 /mm 103/mm3
3 3
Trombosit 289 150 – 45.10 / mm 103/mm3
MCV 83 80 – 100 fL fL
MCH 30 27 -31 pg Pg
22
MCHC 36 32 – 36% %
RDW 12.4 11,5 – 14,5 % %
MPV 10.2 7,2 – 11,1 fL fL
Hitung Jenis:
Eosinofil 0 0-6 %
Basofil 0 0-2 %
Netrofil Batang 0 2-6 %
Netrofil Segmen 70 50-70 %
Limfosit 25 20-40 %
Monosit 5 2-8 %
GDS 301 <200 mg/dL
Ureum 48 13-43 mg/dL
Kreatinin 0,79 0,51-0,95 mg/dL
Elektrolit:
Natrium 142 132-146 mg/dL
Kalium 4,7 3,7-5,4 mg/dL
Klorida 94 98-106 mg/dL
B. Gambaran Radiologi
23
Dari foto thorax AP, trakea berada di tengah, paru dalam batas normal, dan
jantung dalam batas normal, kedua sudut costophrenicus tajam.
3.5. Diagnosis
Epistaksis Posterior e.c. Hipertensi
3.6. Tatalaksana
3.6.1. Non Medikamentosa
a. Tampon Posterior dengan kateter
b. Tampon Anterior dengan tampon silokain.
3.6.2. Medikamentosa
a. IVFD RL 20 gtt/menit
b. Inj. Ceftriaxone 1 gr/8jam
c. Inj. Asam Traneksamat 500 mg/8jam
d. Inj. Vitamin K 1amp/24 jam
e. Inj. Ranitidin 1amp/12jam
3.7. Planning
Konsul IPD untuk tatalaksana hipertensi dan hiperglikemia :
- Amlodipin tab 10mg/24 jam
- Valsartan tab 80 mg/24 jam
- Diet MB
Konsul kardiologi untuk tatalaksana hipertensi emergensi:
- Diet Rendah Garam 1500 kkal/hari
- Amlodipin tab 10 mg/24 jam
3.8 Prognosis
a. Quo ad vitam : dubia ad bonam
b. Quo ad sanationam : dubia ad bonam
c. Quo ad functionam : dubia ad bonam
24
Pasien merupakan rujukan dari RSIA dengan keluhan keluar darah dari
hidung sebelah kiri dan mulut sejak 2 jam sebelum masuk RSUZA. Awalnya
keluar darah dari hidung kiri sejak ± 3 hari yang lalu dengan volume ± 125 cc
berwarna merah segar, namun berhenti setelah dipasang tampon hidung di RSIA.
Pasien juga mengeluhkan tidak nyaman saat menelan karena darah terasa terus
mengalir. Dari anamnesis menunjukkan bahwa pasien mengalami perdarahan
yang dicurigai berasal dari pleksus Woodruff, dimana perdarahan yang terjadi
pada arteri sfenopalatina atau arteri etmoidalis posterior akan memunculkan gejala
perdarahan yang hebat dan tidak bisa berhenti sendiri serta perdarahan terjadi ke
dalam faring disertai dengan pemasangan tampon anterior yang gagal mengontrol
perdarahan.
Pasien mempunyai penyakit hipertensi dengan riwayat pengobatan yang
tidak teratur. Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama kejadian epistaksis
spontan. Pasien-pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan epistaksis
umumnya didapatkan tekanan darahnya tinggi. Kejadian epistaksis yang umum
terjadi pada pasien hipertensi disebabkan oleh perubahan vaskularisasi pada
bagian nasal akibat arteriosklerosis. Lamanya hipertensi yang tidak terkontrol juga
menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan kekakuan dari arteri nasal.
Pemeriksaan rinoskopi anterior dapat mengevaluasi asal dari perdarahan.
Epistaksis anterior yang berasal dari pleksus Kiesselbach adalah jenis yang umum
ditemui dan dapat diidentifikasi area perdarahan hanya dari pemeriksaan fisik
saja. Apabila lokasi perdarahan pada bagian anterior tidak ditemukan, atau
perdarahan terjadi pada kedua hidung dan adanya perdarahan yang terjadi ke
dalam faring, maka dapat dicurigai lokasi perdarahan terjadi di bagian posterior.
Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah memperbaiki keadaan umum,
mencari sumber perdarahan, menghentikan perdarahan, mencari faktor penyebab
untuk mencegah berulangnya perdarahan. Bila pasien datang dengan epistaksis,
perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada
kelainan, atasi terlebih dahulu misalnya dengan memasang infus. Sumber
26
27
perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan darah
dengan bantuan alat penghisap. Untuk menanggulangi perdarahan posterior,
dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Sebagai
pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan kateter Folley dengan balon. Pada
pasien ini dilakukan tampon posterior dengan menggunakan kateter Folley dengan
balon selama 5 hari untuk menghentikan perdarahan yang terjadi. Pasien juga
mendapatkan terapi antibiotik yang Ceftriaxon 1 gram per 8 jam sebagai
profilaksis karena bekuan darah dapat menjadi media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri serta pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi.
Asam traneksamat adalah obat golongan antifibrinolitik yang bekerja mengurangi
perdarahan dengan cara menghambat aktivasi plasminogen menjadi plasmin pada
pembekuan darah. Karena plasmin berfungsi mendegradasi fibrin, maka asam
traneksamat bekerja menghambat degradasi fibrin, yang berujung pada
meingkatnya aktivitas pembekuan darah. Vitamin K bekerja dengan
meningkatkan produksi dari faktor-faktor pembekuan darah sehingga
mempercepat waktu pembekuan dan memperpendek waktu perdarahan. Ranitidin
diberikan untuk meringankan keluhan perut kembung pada pasien. Ranitidin
bekerja dengan menghambat secara kompetitif histamin pada reseptor H2 sel-sel
parietal lambung, yang menghambat sekresi asam lambung; volume lambung dan
konsentrasi ion hidrogen berkurang.
Talaksana hipertensi pada pasien ini diberikan amlodipin 10 mg, valsartan
80 mg serta diet rendah garam. Amlodipine merupakan penghambat influks
(masuknya) ion kalsium (antagonis ion kalsium) melalui membran ke dalam otot
polos pembuluh darah dan jantung. Mekanisme aksi anti hipertensi amlodipine
adalah efek langsung relaksasi pada otot polos pembuluh darah. Valsartan
menggeser angiotensin II dari reseptor AT1 dan menghasilkan efek penurunan
tekanan darah melalui antagonis vasokonstriksi yang diinduksi AT1, pembebasan
aldosteron, katekolamin, vasopresin arginin, pengambilan air dan respon
hipertropik.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah aspirasi darah ke dalam saluran napas
bawah, syok dan anemia. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat
menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai
28
29
DAFTAR PUSTAKA
30