Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

GLAUKOMA SUDUT TERTUTUP STADIUM AKUT

Pembimbing :
dr. Teguh Anamani, Sp. M

Disusun Oleh :
Intan Candra Khoirina
G4A017009

SMF ILMU PENYAKIT MATA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2019
LEMBAR PENGESAHAN TUGAS REFERAT
GLAUKOMA SUDUT TERTUTUP STADIUM AKUT

Disusun oleh:
Intan Candra Khoirina
G4A017009

diajukan untuk memenuhi persyaratan mengikuti program profesi dokter


pada SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal, Februari 2019

Pembimbing,

dr. Teguh Anamani, Sp. M


NIP. 19771018 201001 2 006
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT atas berkat, rahmat,

hidayah dan inayah-Nya, sehingga referat dengan judul “Glaukoma Akut Sudut

Tertutup” ini dapat diselesaikan. Referat ini merupakan salah satu tugas di SMF

Ilmu Penyakit Mata. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik

untuk perbaikan penulisan di masa yang akan datang.


Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. dr. Teguh Anamani, Sp.M selaku dosen pembimbing
2. Dokter-dokter spesialis mata di SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto
3. Orangtua serta keluarga penulis atas doa dan dukungan yang tidak pernah
henti diberikan kepada penulis
4. Rekan-rekan ko-assisten Bagian Ilmu Penyakit Mata atas semangat dan
dorongan serta bantuannya.
Penulis menyadari referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan
saran yang membangun dari semua pihak penulis harapkan demi referat yang
lebih baik. Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga referat ini
bermanfaat bagi semua pihak yang ada di dalam maupun di luar lingkungan
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

Purwokerto, Februari 2019

Penulis
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN 2
KATA PENGANTAR 3
DAFTAR ISI 4
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Mata 6
B. Definisi 9
C. Etiologi 10
D. Epidemiologi 11
E. Patofisiologi 11
F. Penegakan Diagnosis 14
G. Penatalaksanaan 18
H. Komplikasi 24
I. Prognosis 24
III. KESIMPULAN 25
DAFTAR PUSTAKA 26
I. PENDAHULUAN
Salah satu pancaindera yang sangat penting untuk kehidupan manusia yaitu
mata. Mata melakukan fungsi yang kompleks dan rumit dalam mengumpulkan,
memusatkan dan merubah cahaya menjadi gambar. Seiring dengan bertambahnya
usia, mata dan mekanisme kepekaannya makin rentan terhadap kerusakan dan
penyakit. Salah satu penyakit mata yang serius yakni glaukoma.
Glaukoma berasal dari kata Yunani glaukos yang berarti hijau kebiruan,
yang memberi kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma. Glaukoma
adalah suatu kelompok kelainan patologis yang ditandai dengan meningkatnya
tekanan intraokuler yang disertai oleh pencekungan diskus optikus dan pengecilan
lapangan pandang. Pada glaukoma akan terdapat melemahnya fungsi mata dengan
terjadinya cacat lapang pandang dan kerusakan anatomi berupa ekstravasasi
(penggaungan/cupping) serta degenerasi papil saraf optik, yang dapat berakhir
dengan kebutaan (Ilyas, 2015).
Glaukoma adalah penyebab kebutaan kedua terbesar di dunia setelah
katarak. Diperkirakan jumlah kebutaan akibat glaukoma pada tahun 2010 di dunia
mencapai angka 66 juta penduduk dan akan terus bertambah setiap tahunnya.
Berdasarkan data Riskesdas padatahun 2013, prevalensi kebutaan nasional adalah
0,6% dan penyebab terbanyak kedua adalah glaukoma. Glaukoma diderita oleh
3% dari total populasi penduduk Indonesia. Umumnya penderita glaukoma telah
berusia lanjut. Pada usia diatas 40 tahun, tingkat resiko menderita glaukoma
meningkat sekitar 10%. Hampir separuh penderita glaukoma tidak menyadari
bahwa mereka menderita penyakit tersebut (Depkes RI, 2010).
Glaukoma tidak hanya disebabkan oleh tekanan yang tinggi di dalam mata.
Sembilan puluh persen (90%) penderita dengan tekanan yang tinggi tidak
menderita glaukoma, sedangkan sepertiga dari penderita glaukoma memiliki
tekanan normal (Suhardjo, 2007).
Glaukoma akut didefenisikan sebagai peningkatan tekanan intraorbita secara
mendadak dan sangat tinggi, akibat hambatan mendadak pada anyaman
trabekulum. Glaukoma akut ini merupakan kedaruratan okuler sehingga harus
diwaspadai, karena dapat terjadi bilateral dan dapat menyebabkan kebutaan tetapi
resiko kebutaan dapat dicegah dengan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat
(Ilyas, 2015).
II.TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Mata


1. Bola Mata
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm.
Susunan bola mata terdiri dari dinding bola mata, ruang mata dan isi bola
mata. Dinding bola mata yang tersusun atas tunika fibrosa (kornea dan
sclera), tunika vaskulosa atau uvea (iris, badan siliar dan koroid) dan
tunika nervosa (retina dan epitel pigmen). Ruang mata yaitu kamera okuli

anterior, kamera okuli posterior dan ruang badan kaca. Isi bola mata
adalah humor aquous yang terdapat dalam kamera okuli anterior dan
kamera okuli posterior, korpus vitreum atau badan kaca dan lensa
kristalina (Ilyas, 2015).
Gambar 2.1. Anatomi bola mata
2. Humor Aqueous
Aqueous humor adalah suatu cairan jernih yang mengisi kamera
anterior dan posterior mata, diproduksi di korpus siliaris. Volumenya
sekitar 250 uL, dengan kecepatan pembentukan sekitar 1,5-2 uL/menit.
Tekanan osmotik sedikit lebih tinggi dari plasma. Komposisi mirip
plasma, kecuali kandungan konsentrasi askorbat, piruvat dan laktat lebih
tinggi dan protein, urea, dan glukosa lebih rendah. Sistem drainase
aqueous humor terdiri dari dua jalur, yakni jalur trabekular (konvensional)
dan jalur uveoskleral. Jalur drainase terbanyak adalah trabekular yakni

sekitar 90% sedangkan melalui jalur uveoskleral hanya sekitar 10%. Pada
jalur trabekular, aliran aqueous akan melalui kamera posterior, kamera
Gambar 1 : Anatomi Bola mata
anterior, menuju kanal Schlemm dan berakhir pada vena episkleral.
Sedangkan jalur uveoskleral, aqueous akan masuk ke ruang suprakoroidal
dan dialirkan ke vena-vena pada badan siliaris, koroid dan sklera
(Khurana, 2007).
Trabekular meshwork terdiri dari berkas-berkas jaringan kolagen
dan elastik yang dibungkus oleh sel-sel trabekular yang membentuk suatu
saringan dengan ukuran pori-pori semakin mengecil sewaktu mendekati
kanalis Schlemm. Kontraksi otot siliaris melalui insersinya kedalam
jalinan trabekula memperbesar ukuran pori-pori di jalinan tersebut
sehingga kecepatan drainase humor juga meningkat. Aliran aqueous
humor ke dalam kanalis Schlemm bergantung pada pembentukan saluran-
saluran transeluler siklik di lapisan endothel. Saluran eferen dari kanalis
Schlemm (sekitar 30 saluran pengumpul dan 12 vena akueus)
menyalurkan cairan ke dalam sistem vena. Sejumlah kecil Aqueous humor
keluar dari mata antara berkas otot siliaris dan lewat sela-sela sclera (aliran
uveosklera). Resistensi utama terhadap aliran Aqueous humor dari kamera
anterior adalah lapisan endothel saluran Schlemm dan bagian-bagian
jalinan trabekular di dekatnya, bukan dari sistem pengumpul vena. Tetapi
tekanan di jaringan vena episklera menentukan besar minimum tekanan
intraokuler yang dicapai oleh terapi medis (Costa, 2009).

Gambar 2.2. Anatomi Trabecular Meshwork


Sudut kamera okuli anterior memiliki peran penting dalam drainase
aqueous humor. Pada bagian ini terjadi aliran keluar cairan bilik mata.
Bila terdapat hambatan aliran keluar aqueous humor akan terjadi
penimbunan aqueous humor di dalam bola mata sehinga tekanan bola mata
meningkat. Berdekatan dengan sudut ini terdapat jaringan trabekulum,

kanalis Schelmm, baji sklera, garis Schwalbe dan jonjot iris (Ilyas, 2015).
Lebar sudut ini berbeda pada setiap orang, dan memiliki peranan yang
besar dalam menentukan patomekanisme glaukoma yang berbeda-beda.

Struktur sudut ini dapat dilihat dengan pemeriksaan gonioskopi. Hasilnya


dibuat dalam bentuk grading, dan sistem yang paling sering digunakan
adalah sisten grading Shaffer (Khurana, 2007).

Gambar 2.3. Sudut Kamera Okuli Anterior


Berikut merupakan table 1, yang menunjukkan grading sistem
Shaffer (Wallace, 2017):

Sistem aliran drainase aqueous humor, terdiri dari jalinan trabekular,


kanal Schlemm, jembatan pengumpul, vena-vena aqueous dan vena
episkleral. Adapun jalinan trabekular terdiri dari tiga bagian yakni jalinan
uveal, korneoskleral, dan jukstakalanikular. Jalinan uveal merupakan
jalinan paling dalam dan meluas dari pangkal iris dan badan siliaris sampai
garis Schwalbe. Jalinan korneoskleral membentuk bagian tengah yang
lebar dan meluas dari taji skleral sampai dinding lateral sulkus skleral.
Jalinan jukstakanalikular membentuk bagian luar, dan terdiri dari lapisan
jaringan konektif. Bagian ini merupakan bagian sempit trabekular yang
menghubungkan jalinan korneoskleral dengan kanal Schlemm.
Sebenarnya lapisan endotel luar jalinan jukstakanalikular berisi dinding
dalam kanal Schlemm yang berfungsi mengalirkan aqueous ke luar.
Kanal Schlemm merupakan suatu saluran yang dilapisi endothel,
tampak melingkar pada sulkus skleral. Sel-sel endotel pada dinding dalam
ireguler, berbentuk spindle, dan terdiri dari vakuol-vakuol besar. Pada
dinding bagian luar terdapat sel-sel otot datar datar dan mempunyai
pembukaan saluran pengumpul.
Saluran pengumpul disebut juga pembuluh aqueous intraskleral,
jumlahnya sekitar 25-35, meninggalkan kanal Schlemm pada sudut oblik
dan berakhir di vena-vena episkleral. Vena ini dibagi menjadi dua sistem.
Sistem langsung, yakni dimana pembuluh besar melalui jalur pendek
intraskleral dan langsung ke vena episkleral. Sedangkan saluran
pengumpul yang kecil, sebelum ke vena episkleral, terlebih dahulu
membentuk pleksus intraskleral.

Gambar 2.
Gambar
A. Definisi
Glaukoma adalah neuropati optik yang disebabkan oleh tekanan intraocular
(TIO) yang relatif tinggi, yang ditandai oleh kelainan lapangan pandang yang khas
dan atrofi papil saraf optik. Pada keadaan ini TIO tidak harus selalu absolut tinggi,

tetapi TIO relatif tinggi untuk individu tersebut. Misalnya, untuk populasi normal,
TIO sebesar 18 mmHg masih normal, tetapi pada individu tertentu tekanan
sebesar itu sudah dapat menyebabkan glaukoma yang disebut glaukoma
normotens atau glaucoma tekanan rendah (Suhardjo, 2007).
Glaukoma disebut sebagai ”pencuri penglihatan” sebab pada sebagian besar
kasus glaukoma gejala sering tidak dirasakan penderita. Pada tahap awal,
kerusakan terjadi pada tepi lapang pandang sehingga penderita tidak
menyadarinya, penderita akan terasa terganggu jika kerusakan sudah mengenai
lapangan pandang sentral dan pada saat itu penyakit sudah terlanjur parah. Proses
kerusakan saraf optik berjalan secara perlahan sampai akhirnya terjadi kebutaan
total. Akhirnya, penderita menjadi benar-benar buta. Glaukoma merupakan

penyebab kebutaan peringkat kedua di Indonesia setelah katarak. Kebutaan yang


terjadi pada glaucoma bersifat menetap, tidak seperti katarak yang bisa dipulihkan
dengan pembedahan. Maka hal yang sangat penting pada terapi glaucoma adalah
deteksi dini sehingga tidak terjadi kerusakan saraf optic yang semakin parah
(Suhardjo, 2007).
B. Epidemiologi
WHO 2002 mengungkapkan bahwa glaukoma merupakan penyebab
kebutaan paling banyak kedua dengan prevalensi sekiar 4,4 juta (sekitar
12,3% dari jumlah kebutaan di dunia). Pada tahun 2020 jumlah kebutaan
akibat glaukoma diperkirakan meningkat menjadi 11,4 juta. Prevalensi
glaukoma juga diperkirakan meningkat, dari 60,5 juta pada tahun 2010
menjadi 79,6 juta pada tahun 2020 (WHO, 2002).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
prevalensi glaukoma di Indonesia adalah 4,6%. Glaukoma sudut terbuka
adalah bentuk glaukoma yang paling sering dijumpai, sekitar 0,4-0,7%
orang berusia >40 tahun dan 2-3% orang berusia >70 tahun diperkiran
menderita glaukoma sudut terbuka (Vaughan, 2009).
C. Etiologi
Berdasarkan etiologi, glaukoma dibagi menjadi (Doshi, 2010) :
1. Glaukoma primer
a. Glaukoma sudut terbuka
Merupakan sebagian besar dari glaukoma ( 90-95% ) , yang meliputi
kedua mata. Timbulnya kejadian dan kelainan berkembang secara lambat.
Disebut sudut terbuka karena humor aqueous mempunyai pintu terbuka ke
jaringan trabekular. Pengaliran dihambat oleh perubahan degeneratif jaringan

rabekular, saluran schleem, dan saluran yg berdekatan. Perubahan saraf optik

juga dapat terjadi. Gejala awal biasanya tidak ada, kelainan diagnose dengan

peningkatan TIO dan sudut ruang anterior normal. Peningkatan tekanan dapat

dihubungkan dengan nyeri mata yang timbul.


b. Glaukoma sudut tertutup
Disebut sudut tertutup karena ruang anterior secara anatomis
menyempit sehingga iris terdorong ke depan, menempel ke jaringan trabekular
dan menghambat humor aqueous mengalir ke saluran schlemm. Pergerakan
iris ke depan dapat karena peningkatan tekanan vitreus, penambahan cairan di
kamera okuli posterior atau lensa yang mengeras karena usia tua. Gejala yang
timbul dari penutupan yang tiba- tiba dan meningkatnya TIO, dapat berupa
nyeri mata yang berat, penglihatan yang kabur dan terlihat halo. Penempelan
iris menyebabkan dilatasi pupil, bila tidak segera ditangani akan terjadi
kebutaan dan nyeri yang hebat.
2. Glaukoma sekunder
Glaukoma sekunder dapat terjadi dari peradangan mata, perubahan
pembuluh darah dan trauma. Dapat mirip dengan sudut terbuka atau tertutup

tergantung pada penyebab. Penyebabnya dapat karena perubahan bentuk


lensa, kelainan uvea, trauma dan tindakan bedah.

3. Glaukoma kongenital
a. Primer atau infantil
b. Menyertai kelainan kongenital lainnya
4. Glaukoma absolut
Merupakan stadium akhir glaukoma ( sempit/ terbuka) dimana sudah
terjadi kebutaan total akibat tekanan bola mata memberikan gangguan fungsi
lanjut. Pada glaukoma absolut kornea terlihat keruh, bilik mata dangkal, papil
atrofi dengan ekskavasio glaukomatosa, mata keras seperti batu dan dengan
rasa sakit.sering mata dengan buta ini mengakibatkan penyumbatan pembuluh
darah sehingga menimbulkan penyulit berupa neovaskulisasi pada iris,
keadaan ini memberikan rasa sakit sekali akibat timbulnya glaukoma
hemoragik.
D. Patofisiologi
Tingginya tekanan intraokuler tergantung pada besarnya produksi aquoeus
humor oleh badan siliar dan pengaliran keluarnya. Besarnya aliran keluar aquoeus
humor melalui sudut bilik mata depan juga tergantung pada keadaan sudut bilik
mata depan, keadaan jalinan trabekulum, keadaan kanal Schlemm dan keadaan
tekanan vena episklera. Tekanan intraokuler dianggap normal bila kurang

daripada 20 mmHg pada pemeriksaan dengan tonometer aplanasi. Pada tekanan


lebih tinggi dari 20 mmHg yang juga disebut hipertensi oculi dapat dicurigai
adanya glaukoma. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg pasien menderita glaukoma

(tonometer Schiotz) (Vaughan, 2012).


Mekanisme utama penurunan penglihatan pada glaukoma adalah atrofi sel
ganglion difus, yang menyebabkan penipisan lapisan serat saraf dan inti bagian
dalam retina dan berkurangnya akson di saraf optikus. Iris dan korpus siliar juga
menjadi atrofi, dan prosesus siliaris memperlihatkan degenerasi hialin (Vaughan,
2012). Diskus optikus menjadi atrofi disertai pembesaran cekungan optikus
diduga disebabkan oleh gangguan pendarahan pada papil yang menyebabkan
degenerasi berkas serabut saraf pada papil saraf optik (gangguan terjadi pada
cabang-cabang sirkulus Zinn-Haller), diduga gangguan ini disebabkan oleh
peninggian tekanan intraokuler. Tekanan intraokuler yang tinggi secara mekanik
menekan papil saraf optik yang merupakan tempat dengan daya tahan paling
lemah pada bola mata. Bagian tepi papil saraf optik relatif lebih kuat daripada

bagian tengah sehingga terjadi cekungan pada papil saraf optik. (Vaughan, 2012)

Gambar 2.3. Patofisiologi Glaukoma Sudut Tertutup (Rubin,


2009)
Glaukoma sudut tertutup primer terjadi pada mata dengan predisposisi
anatomis tanpa disertai kelainan lain. Peningkatan tekanan intraocular terjadi
karena sumbatan aliran keluar aqueous akibat adanya oklusi anyaman trabekular
oleh iris perifer. Keadaan ini dapat bermanifestasi sebagai suatu kedaruratan

oftalmologik atau dapat tetap asimptomatik sampai timbul penurunan penglihatan.


Diagnosis ditegakan dengan melakukan pemeriksaan segmen anterior dan
gonioskopi yang cermat. Istilah glaukoma sudut tertutup primer hanya digunakan
bila penutupan sudut primer telah menimbulkan kerusakan nervus optikus dan
kehilangan lapangan pandang (Vaughan, 2012).
Faktor anatomi dan fisiologi yang menyebabkan sudut sempit adalah
(Kwon, 2009) :
a. Bulbus okuli yang pendek
b. Tumbuhnya lensa
c. Kornea yang kecil
d. Iris tebal
e. Akomodasi
f. Dilatasi pupil
g. Letak lensa lebih kedepan
h. Kongesti badan cilier
Glaukoma primer sudut tertutup terjadi apabila terbentuk iris bombe yang
menyebabkan sumbatan pada bilik mata depan oleh iris perifer. Hal ini
menyumbat aliran humor aquos dan tekanan intraokuler meningkat dengan cepat,
menimbulkan nyeri hebat, kemerahan, dan kekaburan penglihatan. Glaukoma
sudut tertutup terjadi pada mata yang sudah mengalami penyempitan anatomik
pada bilik mata depan (dijumpai terutama pada hipermetrop). Serangan akut
biasanya terjadi pada pasien berusia tua seiring dengan pembesaran lensa
kristalina yang berkaitan dengan penuaan. Pada glaukoma sudut tertutup, pupil

berdilatasi sedang, disertai sumbatan pupil. Hal ini biasanya terjadi pada malam

hari, saat tingkat pencahayaan berkurang. Dapat juga disebabkan oleh obat-obatan

dengan efek antikolinergik atau simpatomimetik (mis., atropine sebagai obat


praoperasi, antidepresan, bronkodilator inhalasi, dekongestan hidung atau
tokolitik). Apabila perlu dilakukan dilatasi pupil pada pasien dengan bilik mata
depan yang dangkal, sebaiknya diberikan midriatik kerja singkat, hindari
menimbulkan konstriksi pupil dengan pilocarpine, dan minta pasien untuk segera
mencari pertolongan bila terdapat nyeri atau kemerahan di mata atau penglihatan
yang semakin kabur (Vaughan, 2012).
E. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Glaukoma sudut tertutup akut primer ditandai oleh adanya gejala
kekaburan penglihatan mendadak yang disertai dengan nyeri hebat, rasa
pegal di sekitar mata, mata merah, melihat lingkaran-lingkaran berwarna
seperti pelangi di sekitar sinar lampu (halo), mual, muntah, dan sakit
kepala sebelah. Selain itu perlu ditanyakan faktor presipitasi serangan
akut seperti pemakaian obat yang berfungsi melebarkan pupil
(simpatomimetik, antikolinergik), berdiam lama di tempat yang kurang
terang atau gelap dan berhubungan dengan emosional.

Gambar 2.4. Mata Glaukoma (Souza, 2010)


2. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Fisik
Ukuran normal, gerak ke
BOLA MATA
segala arah (+) tidak spesifik
Supersilia simetris (+),
SILIA
madarosis (-) tidak spesifik
Edema (-), ptosis (-),
lagoftalmus (-), hordeolum (-),
PALPEBRA
hiperemis (-), massa (-), entropion
SUPERIOR
(-), ektropion (-), trikiasis (-) tidak
spesifik
Edema (-), hordeolum (-),
PALPEBRA hiperemis (-), massa (-), entropion
INFERIOR (-), ektropion (-), trikiasis (-) tidak
spesifik
KONJUNGTIVA Folikel (-), sekret (-), papil
PALPEBRA (-) Tidak spesifik
KONJUNGTIVA Injeksi konjungtiva (+),
BULBI injeksi siliar (+) Mix Injeksi.
SKLERA Hiperemis
edem (+), berkabut atau
KORNEA
keruh
BILIK MATA Bilik mata depan dangkal
DEPAN
Warna coklat gelap, nodul (-
), bentuk reguler, sinekia
IRIS (tergantung), Iris Shadow
(tergantung dengan katarak atau
tidak)
PUPIL Bentuk bulat reguler
Lensa (+),
Jernih : gl primer
Keruh : ada katarak  gl
lens induce
LENSA
Pemeriksaan lensa bertujuan
untuk mengetahui gl primer atau
sekunder, menyingkar DD
kelainan refraksi

b. Pemeriksaan Visus Mata


Pemeriksaan visus bukan pemeriksaan khusus untuk glaukoma,
namun penting karena pada glaukoma sudut tertutup sering disertai dengan
penurunan penglihatan. Pada glaukoma sudut terbuka, kerusakan saraf
mata dimulai dari tepi lapang pandangan dan lambat laun meluas
ketengah. Dengan demikian pengelihatan sentral ( fungsi makula )
bertahan lama, walaupun pengelihatan perifer sudah tidak ada, sehingga
penderita tersebut seolah olah melihat melalui teropong ( tunnel vision )
c. Tonometri
Alat ini berguna untuk menilai tekanan intraokular. Tekanan bola

mata normal berkisar antara 10-21 mmHg (Ilyas, 2010).

Menurut Vaughan, 2013 ada 3 macam Tonometri :


a. Cara Digital
b. Cara Mekanis dengan Tonometer Schiotz
c. Tonometri dengan tonometer aplanasi dari Goldman

Gambar 2.5. Pemeriksaan Tonometri Schiotz (Souza, 2010).


d. Funduskopi
Pada pemeriksaan funduskopi, papil saraf optic normal mempunyai
gambaran nisbah cup disc (C/D) sebesar 0,2 sampai 0,5. Nisbah C/D
adalah perbandingan antara diameter cupping/ lekukan dan diameter
diskus papil saraf optic, pada kerusakan papil saraf optic akibat glaukoma
di dapatkan rasio C/D lebih dari atau sma dengan 0.6 yang berarti

berkurang serabut saraf optic yang membentuk bingkai saraf optic.


Kerusakan serabut saraf akan mengakibatkan gangguan lapangan pandang
sesuai dengan daerah inervasi saraf tersebut pada retina.
e. Gonioskopi
Merupakan suatu cara untuk melihat lebar sempitnya sudut bilik
mata depan. Dengan gonioskopi dapat dibedakan glaukoma sudut tertutup
atau sudut terbuka, juga dapat dilihat apakah terdapat perlekatan iris
bagian perifer, kedepan (peripheral synechiae anterior). Dengan alat ini
dapat pula diramalkan apakah suatu sudut akan mudah tertutup
dikemudian hari (Vaughan, 2012).
f. Penilaian Diskus Optikus
Pemeriksaan dengan menggunakan opthalmoskop dapat mengukur rasio
cekungan-diskus (cup per disc ratio-CDR). Yang harus diperhatikan adalah papil.
Pada gaukoma akut sudut tertutup, papil mengalami perubahan penggaungan
(cupping) dan degenerasi saraf optik (atrofi) yang mungkin disebabkan oleh
beberapa faktor :
1) Peningkatan TIO mengakibatkan gangguan perdarahan pada papil,
sehingga terjadi degenerasi berkas-berkas serabut saraf pada papil
saraf optik. Tanda penggaungan atau cupping adalah pinggir papil

bagian temporal menipis. Ekskavasi melebar dan mendalam tergaung


sehingga dari depan tampak ekskavasi melebar, diameter vertikal,
lebih besar dari diameter horizontal. Bagian pembuluh darah ditengah
papil tak jelas, pembuluh darah seolah-olah menggantung di pinggir
dan terdorong kearah nasal. Jika tekanan cukup tinggi, akan terlihat

pulsasi arteri (Ilyas, 2010).


2) Peningkatan TIO menekan pada bagian tengah optik yang mempunyai
daya tahan terlemah dari bola mata. Bagian tepi papil relatif lebih kuat
dari bagian tengah sehingga terjadi penggaungan pada papil (Ilyas,
2010). Tanda atrofi papil antara lain papil berwarna pucat, batas tegas.

Lamina fibrosa tampak jelas (Ilyas, 2010).


Gambar 2.6. Lesi Pada N. Opticus (Rubin, 2009).

g. Pemeriksaan Lapang Pandang


Kelainan lapangan pandang pada glaukoma disebabkan adanya
kerusakan serabut saraf. Yang paling dini berupa skotoma relatif atau

absolut yang terletak pada daerah 30 derajat sentral. Bermacam – macam


skotoma dilapangan pandangan sentral ini bentuknya sesuai dengan bentuk
kerusakan dari serabut saraf (Ilyas, 2010).

Gambar 2.7. Pemeriksaan Lapang Pandang Pada Pasien Glaukoma

(Souza, 2010).
h. Test Provokasi
Tes provokasi untuk glaukoma sudut tertutup, antara lain:
a. Tes kamar gelap
b. Tes membaca
c. Tes midriasis
d. Tes bersujud
Perbedaan tekanan 8 mmHg antara sebelum test dan sesudah test dianggap
menderita glaukoma dan harus mulai diberi terapi. Pada pemeriksaan glaukoma
sudut tertutup didapatkan palpebra spasme, konjungtiva bulbi hiperemis, kornea
keruh dan edema, COA dangkal pada pemeriksaan gonioskopi, pupil melebar
(midriasis), refleks cahaya (-), lensa keruh (katarak fleckten). TIO meningkat
lebih dari 21mmHg, serta kehilangan lapang pandang yang dimulai dari perifer ke
sentral, sehingga penderita tersebut seolah olah melihat melalui teropong (tunnel
vision) (Ilyas, 2010).
B. Penatalaksanaan
Prinsip dari penatalaksanaan pada glaukoma sudut tertutup stadium
akut adalah:
a. Menurunkan TIO segera
b. Membuka sudut oculi yang tertutup.
c. Memberi terapi suportif
d. Mencegah sudut mata tertutup berulang.
e. Melindungi mata sebelahnya dari kemungkinan terkena
serangan akut.
1. Medikamentosa
a. Menurunkan Produksi Humor Akuos
1) Beta blocker
a) Timolol Maleat
Obat ini tergolong dalam penyekat reseptor β-2 yang menurunkan TIO
dengan cara mengurangi produksi cairan akuos oleh badan siliaris. Timolol
merupakan penyekat β-2 yang tidak selektif, bekerja juga pada resepor di jantung
sehingga memperlambat denyut jantung dan menurunkan tekanan darah serta
menyebabkan bronkokonstriksi. Efek samping pada mata dapat berupa
conjungtivitis, blefaritis, keratititism sensitifitas kornea yang menurun, gangguan
penglihatan, keratopati pungtata superfisial, gejala sindroma mata kering,
diplopia, dan ptosis. Obat ini tidak boleh diberikan jika diketahui ada alergi atau

mempunyai kelainan yang merupakan kontraindikasi penyekat β pada umumnya.

Timolol tersedia dalam konsentrasi 0.1% (bentuk gel) diberikan sekali sehari dan

dengan konsentrasi 0.25%-0.5% (bentuk tetes mata), diberikan 2 kali sehari.


b) Betaxolol
Betaxolol merupakan penyekat reseptor β-1 selektif sehingga tidak
menimbulkan efek samping bronkokonstriksi. Obat ini aman digunakan pada

penderita asma. Obat yang tersedia dalam benuk betaxolol hidroklorid tetes mata

dengan konsenrasi 0.25% dan 0.5% yang diberikan satu tetes, dua kali sehari.

2) Penghambat Anhidrase Carbonat (CAI)


a) Dorzolamide
Dorzolamide merupakan golongan carbonik anhidrase inhibitor topikal yang
bersifat hidrofilik dan dapat menembus kornea dan menuju badan siliar untuk
menekan produksi cairan akuous. Obat ini merupakan derivat sulfonamid non-
bakteriostatik yang akan menghambat kerja anhidrase karbonat pada badan siliar,
memperlambat produksi bikarbonat, menurunkan kadar sodium dan transport
cairan sehingga produksi cairan aquous akan berkurang. Dapat digunakan pada

pasien dengan glaukoma sudut tertutup dan terbuka. Dapat ditambahkan juga pada

pasien yang tidak respon pada timolol maleat. Dosis yang tersedia adalah
Dorzolamide Hydrocloride 2% dalam bentuk tetes mata yang diberikan sampai 3
kali sehari. Sediaan kombinasi dengan timolol maleat 0.5% dan bentuk tetes mata

dan diberikan dua kali sehari. Efek sampingnya antara lain gangguan pada indra
pengecap, rasa terbakar dan gatal pada mata, hiperemis kongjungtiva, mata kabur,
keratitis pungtata superficial, rasa melayang, pusing, insomnia, perubahan tingkah
laku, vertigo, nyeri abdomen, nausea, alopesia, nyeri dada, diare dan infeksi
saluran kemih.
b) Brinzolamid
Obat ini juga tergolong dalam penghambat anhidrase karbonat yang bersifat
sama dengan dorsolamide, tetapi efek samping baik yang local maupun sistemik
yang timbul lebih ringan dibandingkan dengan dorsolamid. Dosis yang tersedia
adalah brinzolamid 1% tetes mata yang diberikan tiga kali sehari, dan obat ini
tidak dapat diberikan bila pasien ternyata hipersensitif terhadap brinzolamid atau
zat pembawanya.

c) Acetazolamide
Cara kerja obat ini menurunkan produksi cairan aquous. Digunakan sebagai
monoterapi atau terapi tambahan pada pasien glaukoma sudut terbuka primer,
glaukoma sekunder, glaukoma sudut tertutup akut atau sebagai pre-medikasi
operasi intraokular. Obat tidak dapat diberikan kepada pasien yang hipersensitif
dan kadar kalium dan natrium serum yang rendah, kelainan ginjal dan hati, juga
pada ganguan pada sistem pernapasan yang berat. Dosis yang tersedia; 125mg,
250mg dalam bentuk tablet, 500mg dalam bentuk kapsul dan diberikan setiap 6
jam pada orang dewasa, pada anak diberikan 10-15mg per KgBB/hari dengan
dosis terbahagi 3-4 kali sehari juga dapat diberikan secara IV. Efek samping
antaranya; malaise, lelah yang berlebihan, depresi, anoreksia, mual dan muntah,
sering kencing, asidosis metabolik, kesemutan pada ujung extremitas, diskrasia
darah, turunnya berat badan serta penurunan libido pada pasien pria muda dan
reaksi hipersensitivitas.
3) Agonis Adrenergik
a) Brimonidin
Obat ini menurunkan TIO dengan jalan mengurangi produksi humor akuos
dan menaikkan outflow uveusklera, sediaan yang tersedia adalah brimonidine
0,2% diberikan 2 kali setetes sehari. Obat ini kadang-kadang memberikan efek
samping mulut kering, hiperemi konjungtiva dan rasa panas dimata, sering
digunakan sebagai pencegah kenaikan TIO setelah tindakan laser trabekuloplasty,
obat ini dapat diberikan bersama timolol atau sebagai pengganti timolol, efek
samping terhadap system kardiopulmonar lebih kecil dibandingkan penghambat
beta sehingga dapat diberikan kepada pasien dengan kelainan paru atau kelainan
jantung.
b. Menambah Pembuangan Humor Akuos
d. Pilokarpin
Pilokarpin merupakan obat golongan kolinergik yang menurunkan TIO
dengan cara menaikkan kemampuan aliran keluar cairan akuos melalui
trabekulum meshwork. Obat ini merangsang saraf parasimpatik sehingga

menyebabkan kontraksi m.longitudinalis ciliaris yang menarik taji sklera. Hal ini

akan membuka anyaman trabekulum sehingga meningkatkan aliran keluar. Selain

itu, agen ini juga menyebabkan kontraksi m.sfingter pupil sehingga terjadi miosis.
Efek miosis ini akan meyebabkan terbukanya sudut iridokornea pada glaukoma
sudut tertutup. Pilokarpin tidak boleh diberikan pada glaukoma yang disebabkan

oleh uveitis, glaukoma maligna dan kasus alergi terhadap obat terebut. Efek
samping penggunaan obat ini adalah keratitis superfisialis pungtata, spasme otot
siliaris yang menyebabkan rasa sakit pada daerah alis, miopisasi, ablasio retina,
katarak, toksik terhadap endotel kornea. Pilokarpin tersedia dalam bentuk

pilokarpin hidrokloride 0.25%-10% dan pilokarpin nitrat 1%-4%.Pemberian

dengan diteteskan 1-2 tetes, 3-4 kali sehari. Durasi obat ini selama 4-6 jam.
e. Prostaglandin
Obat ini merupakan obat yang paling baru dengan titik tangkap pada aliran
uveasklera dengan menyebabkan relaksasi otot siliaris dan melebarkan celah antar
fibril otot sehingga aliran keluar humor akuos melalui jalur ini lebih banyak yang
berakibat TIO turun, obat ini sekarang merupakan terapi first line karena tidak
mempunyai efek samping sistemik dan mempunyai efektivitas tinggi dalam
menurunkan TIO, hanya masalah harga masih cukup tinggi. Pemakaian obat ini
cukup satu kali tetes per hari, efek samping terhadap mata yang sering adalah
hiperemi konjungtiva, pemanjangan bulu mata, pigmentasi iris dan warna kulit
kelopak menjadi lebih gelap, obat yang termasuk golongan ini adalah :
Latanaprost 0,005%. Travaprost 0,004%, Bimatoprost 0,03% dan Unoprostone

isopropyl 0,15%.
c. Mengurangi Volume Vitreus : Zat Hiperosmotik
1) Gliserol
Merupakan obat hiperosmotik yang dapat menurunkan TIO dengan cepat
dnegan cara mengurangi volume vitreous, penting untuk tekanan akut karena
tekanan tinggi sehingga TIO harus segera diturunkan. Obat ini akan membuat

tekanan osmotik darah menjadi tinggi sehingga air di viterous diserap ke darah.

Obat tidak boleh diberikan kepada penderita DM dan kelainan fungsi ginjal. Dosis
yang tersedia cairan gliserol 50% dan 75% yang diberikan dengan dosis standard
2-3ml/KgBB atau peroral 3-4 kali per hari. Sabagai medikasi pre-operasi

intraokular diberikan dosis 1-1.5g/kgBB diminum sekitar 1-1.5 jam sebelum

operasi. Obat mulai bekerja setelah 10 menit dan mencapai efek maksimal setelah

30menit dan akan bekerja selama 5 jam. Efek samping: peningkatan tekanan
darah sistemik yang berat, dehidrasi, mual muntah, diuresi, retensi urin, rasa
bingung, pusing, demam, diare, CHF,asidosis dan edema paru.
2) Manitol
Golongan hiperosmotik yang dapat diberikan IV. Cara kerja sama seperti

zat hiperosmotik yang lain. Dosis; 1-2g/KgBB atau 5ml/KgBB IV dalam masa 1

jam (Ilyas, 2010).


2. Non Medikamentosa
1. Iridektomi atau Iridotomi Perifer
Iridektomi atau iridotomi perifer adalah tindakan bedah dengan membuat
lubang pada iris untuk mengalirkan cairan akuos langsung dari bilik belakang ke
bilik depan mata mencegah tertutupnya trabekulum dan juga dapat mencegah
timbulnya blok pupil relatif pada pasien yang memiliki bilik depan mata yang
dangkal. Iridektomi perifer dilakukan dengan cara menggunting iris bagian perifer
dengan iridotomi perifer yaitu melubangi iris dengan menggunakan laser. Laser
iridotomi dilakukan pada pasien yang memiliki sudut iridokornea yang sempit dan
terancam tertutup, glaukoma sudut tertutup akut beserta mata satunya, iris bombe,
blok pupil pada afakia atau peudofakia, nanoftalmos dan glaukoma fakomorfik.
Laser iridotomi tidak dapat dilakukan pada kornea yang keruh, pupil dilatasi, bilik
mata depan sangat dangkal (terdapat sentuhan iridokorneal), inflamasi akut,
rubeosis iridis. Bila terdapat kondisi seperti di atas maka dilakukan operasi

iridektomi perifer. Untuk menghindari kenaikan tekanan intraokuler mendadak


post laser dapat diberikan brimonidin, sedangkan steroid dapat diberikan untuk
mengatasi inflamasi setelah laser. Komplikasi yang dapat terjadi setelah laser
antara lain meningkatnya tekanan intraokuler, rusaknya kornea, iritis, hifema,
katarak, gangguan penglihatan, retina terbakar, glaukoma maligna, sinekia
posterior.
2. Trabekulektomi
Masalah pada glaukoma adalah terdapatnya hambatan filtrasi (pengeluaran)
cairan mata keluar bola mata yang tertimbun dalam mata sehingga tekanan bola
mata naik. Trabekulektomi merupakan teknik bedah untuk membuat saluran atau
lubang yang menghubungkan bilik depan mata dengan daerah subkongjungtiva
atau subtenon, sehingga pada kondisi ini cairan akuous mengalir langsung dari
bilik mata belakang ke bilik mata depan dan langsung masuk ke daerang
subkonjungtiva melalui partial thickness flap sclera sehingga TIO menurun. Pada
trabekulektomi ini cairan mata tetap terbentuk normal akan tetapi pengaliran
keluarnya dipercepat atau salurannya diperluas. Untuk mencegah jaringan parut

yang terbentuk diberikan 5 fluoruracil atau mitomisin. Dapat dibuat lubang filtrasi

yang besar sehingga tekanan bola mata sangat menurun. Pembedahan ini
memakan waktu tidak lebih dari 30 menit, setelah pembedahan perlu diamati pada
4-6 minggu pertama untuk melihat keadaan tekanan mata setelah pembedahan.

Biasanya pengobatan akan dikurangi secara perlahan-lahan. Prosedur ini tidak


dianjurkan ada mata yang sudah buta karena akan berisiko untuk menimbulkan
oftalmia simpatika pada mata sebelahnya atau pada glaucoma neovaskular karena
resiko kegagalan yang sangat tinggi. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain
infeksi, hipotoni, bilik mata depan lenyap, glaucoma maligna, hifema, katarak,
udem macula kistoid, hipotoni makulopati, efusi koroid, perdarahan suprakoroid,
uveitis, visus turun, blebitis dan endoftalmitis.
3. Implan Drainase Pada Glaukoma
Pada saat ini dikenal juga operasi dengan menanam bahan penolong
pengaliran (implant surgery). Pada keadaan tertentu adalah tidak mungkin untuk
membuat filtrasi secara umum sehingga perlu dibuatkan saluran buatan (artifisial)
yang ditanamkan ke dalam mata untuk drainase cairan mata keluar dengan
mempertahankan fungsi bleb konjungtiva yang diperlukan untuk mengendalikan
TIO. Komplikasi yang mungkin terjadi setelah pemasangan drainase antara lain
hipotoni, bilik mata depan lenyap, sumbatan tuba, sentuhan tuba pada kornea atau
iris yang menyebabkan kerusakan, erosi atau lepasnya implant dari tempatnya,
diplopia, dekompensasi kornea.
4. Perusakan Badan Silier (Siklodekstruksi)
Siklodekstrusi ditujukan untuk mengurangi produksi cairan akuos dengan
cara menghancurkan badan siliaris yang memproduksi cairan humor akuos.
Siklodestruksi diindikasikan untuk glaukoma neovaskular, glaukoma pada afakia,
glaukoma setelah operasi retina atau setelah operasi keratoplasti tembus,
glaukoma pada mata yang mengalami sikatrik konjungtiva. Siklodestruksi ini
tidak boleh dikerjakan pada mata yang masih memiliki visus yang baik karena
akan menyebabkan turun atau hilangnya ketajaman penglihatan yang ada.
Komplikasi yang dapat terjadi setelah tindakan siklodestruksi ini antara lain
hipotoni yang berkepanjangan sakit, inflamasi, udem makular kistoid, perdarahan
dan yang paling buruk adalah mata yang mengempis atau ptisis bulbi (Suhardjo,
2007).
F. Komplikasi
Komplikasi pada glaukoma sudut tertutup yaitu dapat terjadi sinekia
anterior perifer. Apabila glaucoma akut tidak cepat diobati, terjadilah perlekatan

antara iris bagian tepi dan jaringan trabekulum. Akibatnya adalah bahwa

penyaluran keluar akuous humor terhambat. Bisa terjadi katarak. Di atas


permukaan kapsul depan lensa acapkali terlihat bercak putih sesudah suatu
serangan akut. Tampaknya seperti susu yang tertumpah di atas meja. Gambaran
ini dinamakan Glaukom flecken yang menandakan pernah terjadi serangan akut
pada mata tersebut. Atrofi papil saraf optic karena serangan yang mendadak dan

hebat, papil saraf optic mengalami pukulan yang berat hingga menjadi atrofi.
Kalau glaukomanya tidak diobati dan berlangsung terus, dapat terjadi ekskavasi
dan atrofi. Glaukoma absolute adalah istilah untuk suatu glaucoma yang sudah
terbengkalai sampai buta total. Bola mata nyeri karena TIO tinggi dan kornea

mengalami degenerasi hingga menggelupas (keratopati bulosa) (Ilyas, 2010).


G. Prognosis
Prognosis tergantung deteksi dini dan pengobatan. Tanpa pengobatan,

glaukoma dapat mengakibatkan kebutaan total. Apabila obat tetes anti glaukoma
dapat mengontrol tekanan intraokular pada mata yang belum mengalami
kerusakan glaukomatosa luas, prognosis akan baik. Apabila proses penyakit
terdeteksi dini sebagian besar pasien glaukoma dapat ditangani dengan baik
(Suhardjo, 2007).
KESIMPULAN

1. Glaukoma adalah suatu kelainan pada mata yang ditandai oleh


meningkatnya tekanan intraokuler yang disertai pencekungan diskus
optikus dan pengecilan lapang pandang. Glaukoma terjadi karena
peningkatan tekanan intraokuler yang dapat disebabkan
oleh bertambahnya produksi humor akueus oleh badan siliar ataupun
berkurangnya pengeluaran humor akueus di daerah sudut bilik mata atau
di celah pupil.
2. Glaukoma dibagi menjadi Glaukoma primer sudut terbuka (glaukoma
kronis), glaukoma primer sudut tertutup (sempit / akut), glaukoma
sekunder, dan glaukoma kongenital (glaukoma pada bayi).
3. Glaukoma sudut tertutup primer terjadi apabila terbentuk iris bombe yang
menyebabkan sumbatan sudut kamera anterior oleh iris perifer, sehingga
menyumbat aliran humor akueus dan tekanan intraokular meningkat
dengan cepat sehingga menimbulkan nyerihebat, kemerahan dan
kekaburan penglihatan. Glaukoma sudut tertutup primer dapat dibagi

menjadi akut, subakut, kronik, dan iris plateau.


4. Jika tekanan intraokular tetap terkontrol setelah terapi akut glaukoma
sudut tertutup, maka kecil kemungkinannya terjadi kerusakan penglihatan
progresif. Tetapi bila terlambat ditangani dapat mengakibatkan buta

permanen.
5. Prinsip dari pengobatan glaukoma akut yaitu untuk mengurangi produksi
humor akueus dan meningkatkan sekresi dari humor akueus sehingga
dapat menurunkan tekananintra okuler sesegera mungkin.

DAFTAR PUSTAKA
Barbara C, Marsh, Louis B, Cantor. 2014. The speath Gonioscopic Grading

System. L. http://www.glaucomatoday.com/art/0505/clinstrat.pdf (Diakses


pada 1 Mei 2017)
Cibis, G.H., Beaver, H.A., Jhons, K., Kaushal, S., Tsai, J.C., and Beretska,

J.S., 2007. Trabecular Meshwork. In: Tanaka, S., ed. Fundamentals and

Principles of Ophthalmology. Singapore: American Academy of

Ophthalmology, 54-59.

Costa, V.P., Arcieri, E.S., Harris, A. 2009. Blood Pressure and

Glaucoma. Br. J. Ophthalmol 93: 1276-1282.

Departemen Kesehatan RI. 2010. Glaukoma. Riset Kesehatan Dasar

Indonesia Tahun 2010.

Doshi, A.B., Liu, J.H.K., Weinreb, R.N., 2010. Glaucoma is a 24/7

Disease. In: Schacknow, P.N., Samples, J.R., ed. The Glaucoma Book.

USA: Springer, 55-58.

Fauci et al, 2008. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th ed.

New York: Mc Graw-Hill, 1553-1558.


Ilyas S, Tanzil M, Salamun, Azhar Z. 2000. Sari Ilmu Penyakit

Mata. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. hal : 155-72

Ilyas S., Mailangkay HB., Taim H., Saman RR, Simarmata, Widodo

P.S. 2010. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum Dan

Mahasiswa Kedokteran. Edisi 2. Jakarta; Sagung Seto; Pp 239-62.

Khurana AK. 2007.Disease of Kornea: Comprehensive

Ophthalmology. Ed. 4. New Delhi. New Age International (P) Ltd. Hal
91-96
Kwon, Y.H., Fingert, J.H., Kuehn, M.H., Alward, W.L.M., 2009.

Mechanisms of Disease, Primary Open-Angle Glaucoma. N Engl J Med.

360: 1113-1124.

Rubin E Reisner, H.M. 2009. Essentials of Rubin’s Pathology.

Edition 5. Lippincott Williams & Wilkins: 370

Salmon, J.R, 2008. Glaukoma. In: Paul R, Whitcher, J.P, ed.

Oftalmologi Umum Vaughan & Asbury. Ed. 17. Jakarta: EGC, 212-224.

Souza, S.D., 2010. Evaluation of Systemic Hypertension as a Risk

Factor for Primary Open Angle Glaucoma. Department of

Ophthalmology, St. John’s Medical College, Bangalore. Available at:

119.82.96.198:8080/jspui/bitstream/123456789/5827/1/D’Souza%20Shar

on.pdf (Diakses pada 1 Mei 2017).

Suhardjo. Hartono. 2007. Ilmu Kesehatan Mata. Jogjakarta; Bagian

Ilmu Penyakit Mata FK Universitas Gadjah Mada; pp 147-68.

Vaughan DG, Eva RP, Asbury T. 2012. Oftalmologi Umum. Edisi 17.

Widya Medika . Jakarta. .hal : 212-38.


Zarei, R., et al, 2011. The Association of Primary Open Angle Glaucoma

and Systemic Hypertension in Patients Referred to Farabi Eye Hospital. Iranian.

J. Ophthamol 23(2): 31-34. Available at:

www.sid.ir/en/VEWSSID/J_pdf/91120110207.pdf (Diakses pada 1 Mei 2017)

Anda mungkin juga menyukai