Anda di halaman 1dari 9

Laporan Praktikum ke-7 Hari/Tanggal : Rabu, 6 Maret 2019

Kesehatan Hewan Kesayangan Dosen : Drh. Tetty Barunawati S, M.Si


Dan Hewan Teresterial

PENYAKIT PADA BABI

Kelompok 4 / Praktikum 2

David Juan Christian J3P117015


Renaldy Syafutra S J3P117049
Raudhotul Jannah J3P117053
Dewi Verren Alda M J3P217094
Diva Octaviana J3P217100

PROGRAM STUDI PARAMEDIK VETERINER


SEKOLAH VOKASI
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PENDAHULUAN
Babi hutan (Sus scrofa) atau celeng adalah nenek moyang babi liar
yang menurunkan babi ternak (Sus domesticus). Daerah penyebaran adalah di
hutan-hutan Eropa Tengah, Mediterania (termasuk Pegunungan Atlas di Afrika
Tengah) dan sebagian besar Asia hingga paling Selatan di Indonesia. Ia termasuk
familia Suidae yang mencakup warthog dan Bushpig di Afrika, Pygmy hog di
utara India, dan babirusa di Indonesia. Berat babi hutan dapat mencapai 200 kg
(400 pound) untuk jantan dewasa, serta panjangnya dapat mencapai 1,8 m (6
kaki).
Ternak babi merupakan salah satu dari sekian jenis ternak yang
mempunyai potensi sebagai suatu sumber protein hewani dengan sifat-sifat yang
dimiliki yaitu prolifik (memiliki banyak anak setiap kelahiran), efisien dalam
mengkonversi bahan makanan menjadi daging dan mempunyai daging dengan
persentase karkas yang tinggi. Ternak babi merupakan salah satu komoditi
peternakan yang cukup potensial untuk dikembangkan. Hal tersebut disebabkan
ternak babi dapat mengkonsumsi makanan dengan efisien, sangat prolifik yakni
beranak dua kali setahun dan sekali beranak antara 10 – 14 ekor (Wheindrata
2013).
Usaha beternak pembibitan babi terdapat beberapa kendala yang sering
dihadapi peternak, salah satunya adalah penyakit yang dapat menyerang ternak
babi, terutama bibitnya. Ada berbagai penyakit pada babi yang dapat
mengancam produktivitas suatu peternakan, apalagi bila babi yang terserang
penyakit tersebut sampai menimbulkan kematian (Aritonang 2000). Tujuan dari
praktikum kali ini yakni untuk mengetahui informasi mengenai penyakit pada
babi.

METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Praktikum dilakukan pada hari Senin pukul 13.00 – 17.00 WIB di GG


Klinik Sekolah Vokasi Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang diperlukan pada praktikum ini yaitu laptop,
handphone, dan alat tulis.

Cara Kerja

Praktikum dilakukan dengan metode kepustakaan, yaitu kelompok


mengambil informasi berdasarkan studi literatur berupa dokumen seperti jurnal
atau buku yang berkaitan dengan penyakit pada babi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hog Cholera (HC) disebut juga Swine Fever (SF), Classical Swine Fever
(CSF) atau sampar babi. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari genus Pestivirus
termasuk family Flaviviridae virus ini sangat mirip dengan virus penyebab
penyakit Bovine Viral Diarrhea (BVD) tingkat keparahan penyakin Hog Cholera
bervariasi tergantung keganasan strain virus penyebabnya. Penyakit yang ganas
bisa bersifat akut atau kronis, kejadian yang bersifat ringan sering terjadi. Wabah
penyakit Hog Cholera bisa berdampak serius pada perdagangan dan reproduksi.
Penyakit yang menular pada babi disebabkan oleh suatu virus Nonargotoga virus
dan terjadi secara luas diseluruh dunia termasuk disebagian besar Negara di
daerah tropis (Musser 2006).
Virus Hog Cholera babi termasuk dalam family Flaviviridae, genus
Pestivirus, spesies Classical Swine Fever Virus. Dalam genus Togavirus yang
memiliki asam inti berupa RNA, berdiameter 38-44 nm, berbentuk bulat
beramplop, Nukleokapsid berbentuk simetri kubik. Virus memiliki ukuran 40 -50
nm, dengan nukleocapsid berukuran 29 nm. Virus RNA yang sifatnya single-
stranded bersifat infeksius, dan memiliki dua macam gliko-protein dengan berat
molekul masingmasing 55 dan 46 kD. Kedua glikoprotein tersebut terletak pada
selubung (envelope) virus, dan protein nucleokapsid memiliki berat molekul 36
kD (Sihombing 2006).
Virus mengalami inaktivasi secara fisis, yang tergantung pada media
tempat berkembangnya virus. Didalam cairan biakan sel virus Hog Cholera
menjadi inaktif selama 10 menit pada suhu 60°C, sedangkan di dalam darah tanpa
fibrin virus stabil setelah selama 30 menit dengan suhu 68°C. pada derajat
keasaman (pH) larutan 5-10 virus tetap stabil. Secara kimiawi virus jadi inaktif
dengan pelarut lemak eter, kloroform dan deoxycholat. Larutan NaOH 2% sangat
infektif untuk tujuan desinfeksi alat dan kandang babi. Di kandang maupun feses,
virus jadi inaktif dalam beberapa hari, sedangkan di dalam daging atau produk
olahan daging, virus tetap aktif sampai beberapa bulan (Tarigan 1997).
Gejala klinis yang terlihat apabila babi terkena virus ini yakni tampak lesu,
tidak aktif, malas bergerak, dan bila dipaksa berjalan punggungnya nampak
ditinggikan, dan gemetar. Beberapa penderita tampak menundukan kepala. Nafsu
makan menurun sampai hilang sama sekali. Pada saat tampak inaktif trsebut suhu
tubuh naik sampai 41-42°C, berlangsung selama 6 hari. Pada saat itu jumlah
leukosit menurun, leukopenia dari 9000 turun menjadi 3000/ml darah (Sihombing
2006)
Penderita pada awal terkena penyakit akan mengalami konjungtivitas
dengan air mata berlebihan. Leleran mata berlebihan menyebabkan kelopak-
kelopak mata bertaut. Demam tinggi diikuti dengan konstipasi, dan radang saluran
gastrointestinal menyebabkan diare encer, berlendir, warna abu-abu kekuningan.
Seperti pada (Gambar 1 dan 2)

Gambar 1. Babi menderita Hog Cholera menampakan


gejala kulit hiperemik (Sihombing 2006)
Gambar 2. Pendarahan bagian limpa, ginjal dan usus pada babi

Sebelum mati pada kulit daerah perut, muka, telinga, dan bagian dalam
dari kaki terlihat bintik-bintik warna jingga. Pada proses akut sejak nampak sakit
sampai mati biasanya memakan waktu 10-20 hari. Pada yang berlangsung subakut
proses berlangsung selama 1 bulan. Pada Hog Cholera yang infeksinya terjadi di
dalam kandungan, yang dikenal sebagai late-onset Hog Cholera, kematian
berkisar 2-11 bulan.
Pencegahan bila kasus Hog Cholera sudah cukup menurun cukup
dilakukan stamping out. Diberbagai bagian Indonesia, di peternakan babi
perusahaan dan babi rakyat, dilakukan vaksinasi massal secara rutin. Vaksinasi
yang digunakan merupakan vaksin yang sudah dilemahkan melalui pasasi
berulang-ulang pada kelinci, dikenal sebagai galur C (China) atau dilemahkan
melalui biakan sel secara berulang-ulang, dan dikenal sebagai jalur Japanese GPE
dan French Triverval. Vaksin-vaksin tersebut, terutama vaksin galur C, memacu
kekebalan sejak 1minggu pasca inokulasi dan berlangsung selama 2–3 tahun
(Tarigan 1997).
Tindakan biosekuriti yang dimaksud untuk mencegah penularan penyakit
dari berbagai sumber penularan yang ada di luar tubuh babi. Prinsip dasar
biosekuriti adalah sanitasi atau pembersihan dan disinfeksi (Dharmawan 2013).
Tindakan tersebut berupa penyemprotan kandang dengan air bersih setiap hari
untuk menjaga kebersihan kandang (menjaga sanitasi kandang) dan membunuh
agen penyakit maupun vektor dengan cara desinfeksi secara teratur dengan
menggunakan desinfektan dilingkungan kandang. Kasus penyakit Hog Cholera
yang parah atau telah lanjut biasanya babi yang telah terserang tidak ada lagi
harapan sembuh. Namun untuk kasus penyakit yang baru tahap awal besar
harapan sembuh melalui pengobatan. Serum anti Hog Cholera diberikan 1.25-
1.50 kali dosis yang biasanya dianjurkan untuk pencegahan. Selain dari serum,
Terramycin/LA Injectible Solution (1 ml/ 5kg bobot badan/ hari selama 3–4)
hendaknya diberikan pada babi yang terserang untuk mencegah infeksi sekunder.

Gambar 2. Ambing yang terkena mastitis

Penyakit selanjutnya yang dapat menyerang pada babi yakni Mastitis


metritis agalactia (MMA). Mastitis merupakan peradangan yang terjadi pada
ambing, metritis adalah radang pada myometrium sedangkan agalactia adalah
tidak keluarnya air susu dari ambing atau kelenjar mamae. Mastritis, metritis dan
agalactia (MAA) adalah sindrom yang kompleks dari etiologi yang terjadi pada 1-
3 hari setelah Induk babi melahirkan. Induk babi dipengaruhi oleh faktor
predisposisi, yaitu kebersihan yang buruk saat melahirkan, kelebihan berat badan
dan pemberian pakan sesaat sebelum melahirkan (Wiliamson 1993).
E. coli dan Klebsiella pneumoniae adalah patogen utama yang
menyebabkan mastitis infeksius. Streptococcus spp. dan Staphylococcus spp. juga
telah diisolasi, tetapi seringkali juga dapat diisolasi dari kelenjar yang sehat tanpa
perubahan patologis. Pelepasan prolaktin dan oksitosin dapat dihentikan oleh
stressor dan toksin bakteri seperti E. coli (Radostits et al., 2006).
Faktor stress yang berupa puasa sebelum melahirkan, hingga terjadi
penurunan kadar glukosa darah secara signifkan juga mendorong terjadinya
agalaktia. Stress yang berupa pemberian pakan berlebihan, hingga kekenyangan,
dan bentuk pakan yang terlalu halus juga merupakan faktor predisposisi agalaktia
(Subronto 2004). Selain itu faktor keturunan juga berperan dalam kejadian
agalaktia. Ada hubungan dengan sifat individual babi yang rentan stress (stress-
susceptible) dan tahan stress (stress-resistant) (Subronto 2004).
Penyebab lain hypogalactia umum yang harus dipertimbangkan adalah
mastitis multiglandular akut, ambing dan kelainan puting, hypocalcemia (jarang
pada babi), dan akut (agalactia) atau kronis (hypogalactia) ergotism (jarang dalam
prakteknya). Turunan ergot menekan pelepasan prolaktin. Faktor risiko adalah
babi yang stres dan dengan kondisi yang mengarah pada multiplikasi bakteri dan
endotoxemia berikutnya, faktor tersebut banyak dan dihubungkan dengan entitas
yang berbeda (misalnya, cystitis, metritis, vaginitis, konstipasi, mastitis, dll)
(Aiello 1998).
Gejala yang ditunjukkan gelisah ketika sedang menyusui dan melemahnya
kondisi anak babi demam pada induk babi 39.5-41°C, agalaktia (tidak keluarnya
air susu) muncul saat partus atau dalam waktu 72 jam postpartus terkadang
terlihat adanya leleran purulen dari vagina, terjadi peradangan pada ambing,
bengkak, panas dan memerah (Taylor 2004). Penangan bagi induk yang dapat
dilakukan yakni pemberian oxytocin 30-50 IU secara intra muscular atau
subcutan. Pemberian oxytocin ini bertujuan untuk menginisiasi milk let down.
Pemberian lain untuk penanganan ini yakni estrogen (misalnya estradiol
benzoate) yang bertujuan untuk menaikkan prolaktin dari pituitary sehingga
meningkatkan produksi susu. Pemberian oxytocin dan estrogen secara bersamaan
Oksitosin merangsang otot polos uterus dan kelenjar mamae. Membran sel otot
polos terpolarisasi. Penurunan potensial membran selalu menyertai kontraksi
uterus. Hubungan dengan pemberian estrogen yaitu estrogen dalam tubuh cukup
maka oksitosin dapat bekerja dengan optimal untuk kontraksi uterus untuk
mengeluarkan cairan pululen dalam uterus akibat metritis. Begitu juga pada
kelenjar mama (Subronto 2004).

Gambar 4. Penampakan Scabies pada Mikroskopik


Penyakit babi yang selanjutnya adalah Scabies, Scabies atau kudis adalah
penyakit kulit menular yang disebabkan oleh infestasi tungau Sarcoptes scabiei
yang bersifat zoonosis. Masalah scabies masih sering terjadi di negara
berkembang dan industri. Rendahnya higienitas dan sanitasi menjadi faktor
pemicu terjangkitnya penyakit ini. Disamping itu, kurangnya kondisi kekurangan
air mempermudah penyakit scabies menular dari penderita ke sehat. Penyakit
scabies disebabkan oleh tungau atau kudis. Tungau merupakan Atrhopoda yang
masuk kedalam kelas Arachnida, sub kelas Acarina, ordo Sarcoptes scabiei dan
famili Sarcoptidae.
Penularan scabies terjadi secara kontak, baik antara hewan peliharaan ke
hewan liar atau hewan liar ke hewan peliharaan. Penyakit scabies pada suatu
peternakan umumnya terjadi akibat masuknya hewan subklinis kedalam suatu
peternakan tersebut, selain itu cara penularan lainnya dapat berupa dari alat
peternakan yang tercemar tungau. Gejala klinis yang terjadi jika babi terkena
scabies adalah kulit sakit menimbulkan keropeng, mengeras, tebal dan
berlipat,kurus dan babi tidak nafsu makan, kerotonkan pada rambut.Pengobatan
dapat diobati secara langsung dengan cara perendaman, disikat, atau
penyemprotan, oral atau parental. Pengobatan sebaiknya diulang sampai 2-3 kali
dengan interval 1-2 minggu, untuk memutuskan siklus hidup tungau. Pengobatan
ringan digunakan salep scabisid (permethrin 2%) kemudian dibilas dengn butox.

Gambar 5. Babi yang Terkena Scabies


Pencegahan untuk terhindar dari penyakit scabies adalah dapat dilakukan
menjaga kebersihan kandang dan lingkungannya, awasi secara cermat hewan yang
masuk peternakan.

SIMPULAN
Usaha beternak pembibitan babi terdapat beberapa kendala yang sering
dihadapi peternak, salah satunya adalah penyakit yang dapat menyerang ternak
babi yakni Hog Cholera, Mastitis dan Scabies.
DAFTAR PUSTAKA
Aiello, S. 1998. The Merck Veterinary Manual. Merck and co. Usa

Aritonang. 2000. Perencanaan dan Pengelolaan Usaha Babi. Penebar Swadaya.


Hlmn 39-74.
Dharmawan, Waluyati, Desi Eri, Didik A. 2013. Monitoring penyakit Hog
Cholera pada babi vaksinasi dan non vaksinasi di wilayah kerja Provinsi
Jawa Tengah. Buletin Laboratorium Veteriner.

Musser J, Bumham S. 2006. Classical Swine Fever. Texas A&M Univerisity


College of Veterinary Medicine.

Radostits O, Gay C, Hinchcliff K, Constable P. 2006. Veterinary Medicine 10th


edition. New York: Saunders Elsevier.

Sihombing DT. 2006. Ilmu Ternak Babi. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Press.

Subronto, Tjahajati I. 2004. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta (ID): Gadjah
Mada University Press.

Tarigan S, Bahri S, Sarosa A. 1997. Hog Cholera pada babi. Wartazoa 6[1]: 23-
32.

Taylor RE. 2004. Scientic Farm Animal Production. New Jersey: Pearson
Prentice Hall.

Wiliamson, G. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Yogyakarta (ID):


Gadjah Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai