Anda di halaman 1dari 2

Nama : Ni Putu Dyana Hapsari Bahasa Indonesia :

Npm : 1533121007 Materi :

Tax Planning PPh Pasal 22, Pasal 23/26 dan PPh Final
A. Pajak Penghasilan Pasal 22
Tax Management Pemotongan dan Pemungutan
Tax management dan tax planning yang baik mensyaratkan beberapa hal, seperti tidak
melanggar ketentuan perpajakan, secara bisnis masuk akal (reasonable), serta didukung
oleh bukti-bukti pendukung yang memadai (kontrak, invoice, dan sebagainya). Oleh sebab
itu untuk meminimalisasi koreksi fiskal pihak fiskus terhadap hal-hal tersebut, solusinya
adalah dengan membuat kontrak yang jelas dan secara transparan mencantumkan hak dan
kewajiban masing-masing pihak.
Perusahaan yang dikenai PPh Pasal 22 dapat mengkreditkan PPh Pasal 22 yang tidak
bersifat final. Sedangkan untuk PPh Pasal 22 yang bersifat final tidak dapat dikreditkan
dalam SPT Tahunan PPh.
Pengecualian-Pengecualian (Tax Exemption) PPh Pasal 22
Ada juga pengecualian-pengecualian pajak yang juga harus diperhatikan oleh tax
planner. Misalnya untuk impor barang yang bebas bea masuk yang juga dikecualikan dari
PPh impor, begitu juga barang untuk keperluan pameran, atau keperluan lain yang bersifat
sementara. Tax planner akan selalu memanfaatkan beban pajak yang minimal.
B. Pajak Penghasilan Pasal 23
Tidak jarang terjadi dispute dalam bisnis tentang kewajiban memungut PPh Pasal 23,
di mana perusahaan pemilik proyek mengharuskan adanya pemungutan atau pemotongan
PPh Pasal 23 dari pihak ketiga. Apabila perusahaan pemilik proyek tidak memotong PPh
Pasal 23, dan transaksi ini ditemukan oleh fiskus pada saat dilakukan pemeriksaan pajak,
maka perusahaan pemilik proyek akan dikenai kewajiban untuk membayar PPh Pasal 23
(withholding tax) yang terutang ditambah denda keterlambatan penyetoran sebesar 2%
sebulan dari pokok pajak.
Penggunaan Metode Gross Up atas Pajak Penghasilan PPh Pasal 26/21/23 Yang
Ditanggung Oleh Pemberi Penghasilan/Pemberi Kerja
(Pasal 4 huruf d PP. Nomor 138 Tahun 2000)
Pajak Penghasilan, sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26
dapat ditanggung oleh pemberi penghasilan, dengan perlakuan perpajakan sebagai berikut:
1. Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 ayat (1) kecuali dividen yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, dapat
dibebankan sebagai biaya sepanjang pajak tersebut ditambahkan (gross up) pada
penghasilan yang dipakai sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26
tersebut.
Contoh:
PT ABC membayar bunga pinjaman kepada bank di luar negeri sebesar Rp. 100.000.000
yang sesuai dengan perjanjian, Pajak Penghasilannya ditanggung oleh badan tersebut.
Tarif pemotongan PPh Pasal 26 yang berlaku adalah 20%.
Dasar Pengenaan PPh Pasal 26
100
x Rp.100.000.000=Rp.125.000.000
80
PPh Pasal 26 yang terutang =
20% x Rp. 125.000.000 = Rp. 25.000.000
Jumlah biaya bunga yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto PT ABC adalah
Rp. 125.000.000
C. Pajak Penghasilan Pasal 26
Objek pengenaan PPh Pasal 26 mirip dengan PPh Pasal 23. Perbedaannya adalah PPh
Pasal 26 ini dikenakan kepada wajib pajak luar negeri (WPLN). Dalam PPh Pasal 26 ini
tarif pemotongan atas pembayaran kepada WPLN adalah 20% dengan memperhatikan ada
tidaknya tax treaty. Kalau tax treaty nilai efektifnya 10%, tapi bisa juga 5% dan bisa juga
0%. Kita, sebagai tax planner harus melakukan treaty shopping, cari rate yang terendah.
Ini salah satu loophole yang bisa dimanfaatkan oleh tax planner untuk PPh Pasal 26 terkait
dengan tax treaty.
Tarif dan Penganaan PPh Pasal 26
PPh Pasal 26 dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak
luar negeri yang menerima penghasilan dari Indonesia. Pengenaan PPh Pasal 26 tersebut
adalah:
1. Dikenakan sebesar 20% dari jumlah bruto dan bersifat final atas penghasilan WPLN.
2. Dikenakan sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final atas
penghasilan WPLN.
D. Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2) Final
Karakteristik PPh Final Pasal 4 ayat (2)
1. Pengenaannya diatur khusus dengan peraturan pemerintah.
2. Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabung dengan penghasilan
lainnya.
3. Jumlah PPh final baik yang telah dipotong sendiri atau dipotong oleh pihak lain tidak
dapat dikreditkan.
Objek PPh Final Pasal 4 ayat (2):
1. Diskonto/bunga obligasi dan surat utang negara.
2. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI.
3. Penghasilan berupa hadiah atas undian.
4. Penghasilan atas sewa tanah atau bangunan.
5. Penghasilan dari usaha jasa konstruksi.
E. PPh Pasal 15
Merupakan PPh yang dikenakan berdasarkan Norma Penghitungan Khusus (NPK)
atau deem profit, yang meliputi:
1. PPh atas sewa pesawat udara dalam negeri, tarif pajaknya 1,8% dari peredaran bruto
dan bersifat tidak final.
2. PPh Final Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri, tarif pajaknya 1,2% dari peredaran
bruto bersifat final.
3. PPh Final Perusahaan Pelayaran/Penerbangan Luar Negeri, tarif pajaknya 2,64% dari
peredaran bruto bersifat final.
F. Tax Planning PPh Pasal 22/23/26 dan PPh Final
Beberapa hal krusial dalam penanganan PPh Pasal 22/23/26 dan PPh Final:
1. Masalah pembuatan kontrak
2. Konflik dalam withholding tax
3. Rekonsiliasi objek withholding tax dengan laporan keuangan
4. Klausal kontrak dengan WPLN
G. Tax Planning Pajak Penghasilan Pasal 25 Orang Pribadi
Sesuai Per-Menkeu No. 255/PMK.03/2008, besarnya angsuran Pajak Penghasilan
Pasal 25 untuk wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu, ditetapkan sebesar 0,75%
dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha tersebut.
Sedangkan untuk wajib pajak masuk bursa dan wajib pajak lainnya yang berdasarkan
ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala, adalah sebesar Pajak
Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal
menurut laporan keuangan berkala terakhir yang disetahunkan dikurangi dengan
pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pasal 24 yang
dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12.

Anda mungkin juga menyukai