LAPORAN PENELITIAN
Koordinator Peneliti :
DR. SUDHARMAWATININGSIH, S.H., M.Hum.
PENGKAJIAN TENTANG
PUTUSAN PEMIDANAAN LEBIH TINGGI DARI
TUNTUTAN JAKSA PENUNTUT UMUM
Koordinator Peneliti :
DR. SUDHARMAWATININGSIH, S.H., M.Hum.
i
Penelitian Kepustakaan. Penelitian tersebut dilaksanakan diwilayah
Hukum Pengadilan di Jakarta. Hasilnya telah disusun dan dibuat
dalam bentuk Buku Laporan.
Untuk itu, kami menyampaikan ucapan terima kasih atas
ketulusan dan keikhlasan semua pihak mulai dari pengumpulan
bahan-bahan sampai dengan selesainya penelitian dan telah
menjadi sebuah Buku Laporan Penelitian "PENGKAJIAN
TENTANG PUTUSAN PEMIDANAAN LEBIH TINGGI
DARI TUNTUTAN JAKSA PENUNTUT UMUM".
Insya Allah, jerih payah kita semua akan menjadi amal
sholeh dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, Amin.
ii
KATA PENGANTAR
iii
kegiatan tersebut. Semoga kiranya dapat memberikan manfaat
sebagaimana mestinya.
KEPALA
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL MA-RI
iv
SEKAPUR SIRIH
v
jenis pidananya (strafsoort) tidak ada acuannya dalam KUHP.
Hakim dapat leluasa dalam menentukan berat ringannya pidana
(stamaat) dari jenis pidana (sebagaimana diatur dalam KUHP)
yang akan dijatuhkan sesuai batasan minimum umum dan
maksimum umum yang ada, bergantung dari keyakinan dan filosofi
serta tujuan pemidanaan yang hendak diterapkan oleh Hakim.
Akhir kata, saya menyampaikan terima kasih kepada
anggota tim penelitian Saudara Budi Suhariyanto, S.H., M.H.
(Peneliti) dan Saudara Bestian Panjaitan, S.Kom., M.Ak.
(Pembantu Peneliti) serta Saudari Mariyam Sugiarti, S.Sos.
(Pengolah Data) yang telah meluangkan waktu, mencurahkan
pemikiran dan tenaga dalam pelaksanaan penelitian ini, mulai dari
tahap persiapan hingga tahap akhir penelitian. Secara khusus saya
menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas
kepercayaan pimpinan Badan Litbang Diklat Kumdil Ibu Siti
Nurdjanah, S.H., M.H. dan Kepala Puslitbang Kumdil Bapak Prof.
DR. Basuki Rekso Wibowo, S.H., M.S. yang telah berkenan
memberikan amanah kepada saya sebagai koordinator penelitian.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada narasumber
penelitian dan para peserta aktif dalam kegiatan Focus Group
Discussion (FGD) yang telah memberikan saran dan masukan
terkait proses penyempurnaan laporan hasil penelitian ini. Semoga
hasil pengkajian ini bermanfaat dan demi kesempurnaan laporan
hasil penelitian, maka diharapkan masukan dan saran yang
konstruktif.
Koordinator Penelitian
vi
DAFTAR ISI
vii
B. Kedudukan Jaksa dalam Sistem Peradilan
Pidana Terpadu ……………………….……… 25
C. Wewenang Jaksa Penuntut Umum dalam
Proses Peradilan Pidana …….……………..…. 29
D. Eksistensi Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia …… 34
LAMPIRAN-LAMPIRAN …………………………………. 69
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada perkara pidana, pihak yang berwenang melimpahkan
perkara ke pengadilan adalah Jaksa Penuntut Umum.1 Hanya dalam
2 (dua) hal pengajuan perkara tidak melalui Jaksa, yaitu pada
persidangan acara cepat dalam perkara pelanggaran lalu lintas
(Penyidik bertindak atas kuasa Penuntut Umum) dan persidangan
praperadilan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau
penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya).
Selain dari dua perkara tersebut, Jaksa Penuntut Umum diwajibkan
menyusun surat dakwaan dan melaksanakan tugas penuntutan di
persidangan. Di akhir proses penuntutan/persidangan, diajukanlah
tuntutan yang dikehendaki oleh Jaksa Penuntut Umum kepada
Hakim. Terhadap tuntutan tersebut, Hakim akan memutuskan
apakah dakwaan terbukti secara sah dan meyakinkan ataukah tidak.
Bila terbukti maka selanjutnya apakah sesuai atau tidak dengan
tuntutan bahkan putusan hakim dapat dimungkinkan melampaui
atau melebihi dari yang dimohonkan Jaksa Penuntut Umum dalam
tuntutannya (ultra petita).
Secara normatif, tidak ada satu pasal pun dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang mengharuskan Hakim memutus pemidanaan sesuai
dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum jika di dalam persidangan
terbukti secara sah dan meyakinkan Terdakwa melakukan suatu
tindak pidana. Hakim memiliki kebebasan dalam menentukan
pemidanaan sesuai dengan pertimbangan hukum dan nuraninya
1
Pasal 137 KUHAP : “Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan
terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah
hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang
mengadili.”
1
sehingga bisa menentukan keadilan dengan mengakomodir hal
meringankan dan memberatkan bagi Terdakwa.
Di sisi lain, putusan pengadilan yang tidak sesuai dengan
tuntutan dapat memiliki beberapa bentuk diantaranya: putusan
bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum
(onslag van alle rechtsvervolging), putusan pemidanaan
(veroordeling) dibawah dan melebihi/lebih tinggi dari tuntutan.
Ketidaksesuaian putusan pengadilan dengan tuntutan dalam hal
membebaskan atau melepaskan Terdakwa, memiliki arti bahwa
kesalahan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan,2 atau apa yang dilakukan Terdakwa terbukti tetapi
tidak merupakan suatu tindak pidana.3
Sementara itu terkait dengan putusan pengadilan berupa
pemidanaan di bawah atau melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum
dapat dikategorikan dalam beberapa hal yaitu apakah pemidanaan
yang di bawah atau melebihi tuntutan tersebut masih dalam batas
ancaman pidana dari pasal yang dituntut dan/atau didakwakan
ataukah pemidanaan tersebut diluar dari pasal yang dituntut
dan/atau didakwakan tersebut. Secara normatif, Hakim
menjatuhkan lamanya pidana dalam lingkup antara minimum dan
maksimum dari pasal yang terbukti dalam persidangan
(sebagaimana yang ditentukan oleh Pembuat Undang-Undang).
Masalah berat ringannya atau lamanya pidana ini merupakan
wewenang yudex facti yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali
apabila yudex facti menjatuhkan pidana melampaui batas
2
Pasal 191 ayat (1) KUHAP : “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil
pemeriksaaan di sidang, kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus
bebas.”
3
Pasal 191 ayat (2) KUHAP : “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan
yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan suatu tindak pidana, maka Terdakwa diputus lepas dari segala
tuntutan hukum ”
2
maksimum yang ditentukan Undang-Undang sebagaimana
ditentukan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1953
K/Pid/1988 tanggal 23 Januari 1993.
Pada umumnya putusan pemidanaan yang di bawah atau
melebihi tuntutan itu masih berada dalam batasan dari dakwaan,
atau dikatakan tidak keluar dari yang didakwakan Jaksa Penuntut
Umum. Didalam KUHAP tidak terdapat satu pasal pun yang secara
tegas mengatur/menyatakan bahwa surat dakwaan berfungsi
sebagai “dasar” (landasan) pemeriksaan dalam forum sidang
pengadilan. Akan tetapi dari Pasal 182 ayat (3) dan (4) KUHAP
secara tersirat (implisit) dapat diketahui bahwa musyawarah
majelis Hakim untuk mengambil/menentukan putusan yang akan
dijatuhkan terhadap Terdakwa didasarkan pada Surat Dakwaan.
Sebelum KUHAP terbit dan diberlakukan, praktek peradilan telah
memiliki perspektif demikian, dalam Putusan Mahkamah Agung
Nomor 47 K/Kr/1956 tanggal 23 Maret 1957 dan Nomor
68/K.Kr/1973 tanggal 16 Desember 1976 ditegaskan bahwa
putusan pengadilan harus “didasarkan” pada tuduhan (dakwaan).4
Pasca diterbitkannya KUHAP, pertimbangan atau sikap
tersebut masih diikuti. Jadi jika terdapat putusan pemidanaan yang
keluar dari dakwaan maka akan dibatalkan oleh putusan pengadilan
yang lebih tinggi. Sebagaimana misalnya terdapat dalam putusan
Mahkamah Agung Nomor 689 K/Pid/2011 tanggal 27 Oktober
2011, Nomor 2089 K/Pid.Sus/2011 tanggal 15 Desember 2011, dan
Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 tanggal 27 Februari 2012. Dalam
praktek terkadang Hakim memutus pemidanaan diluar dari
dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan dibenarkan oleh Mahkamah
Agung. Sebagaimana misalnya putusan Mahkamah Agung Nomor
1829 K/Pid.Sus/2011 tanggal 20 Oktober 2011, dan Nomor 652
K/Pid.Sus/2012 tanggal 14 Februari 2012 serta Nomor 808
4
H. M. A Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktek, Malang, UMM Press,
2002, Hlm. 137
3
K/Pid.Sus/212. Bahkan terdapat putusan pemidanaan yang keluar
dari dakwaan tidak hanya terkait dengan pidananya saja tetapi juga
sampai pada memunculkan subjek hukum baru yang tidak
didakwakan turut dipidana, sebagaimana pada Putusan Mahkamah
Agung Nomor 2239 K/PID.SUS/2012.
Berkaitan dengan masalah putusan pemidanaan di luar
dakwaan, pada tahun 2014 telah dikaji dan diteliti oleh Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan (Puslitbang
Kumdil). Sementara itu terkait dengan masalah putusan
pemidanaan melebihi atau lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut
Umum baik yang sesuai dengan pasal dalam tuntutan dan dakwaan
maupun diluar dakwaan belum dikaji secara spesifik. Spesifikasi
kajian yang dimaksudkan adalah terkait pendapat Hakim dalam
memberikan kualifikasi pertimbangan hukum saat memberikan
putusan pemidanaan yang melebihi tuntutan Jaksa penuntut Umum.
Selanjutnya diklasifikasi dasar pertimbangan hukum putusan-
putusan tersebut dengan cara mencari benang merah yang sama
sehingga alasan dasar dari pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan
tersebut bisa dikategorisasikan.
Pengkajian dari kategorisasi alasan dasar ini akan diarahkan
pada tiga perspektif yaitu asas, norma dan praktek penerapannya.
Perspektif asas akan mengupas kewenangan Hakim dalam perkara
pidana memutus secara ultra petita. Sedangkan perspektif normatif
akan mengemukakan legalitas kewenangan ultra petita tersebut.
Sementara perspektif praktek akan memberikan deskripsi putusan-
putusan pengadilan yang memiliki disparitas tafsir terkait aspek
hukum putusan pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan Jaksa
Penuntut Umum. Oleh karenanya dengan tiga perspektif tersebut,
analisis pembahasan penelitian dalam konteks ini menjadi penting
dilakukan untuk melengkapi pengkajian di Puslitbang Kumdil.
4
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka
dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan penelitian dalam
pengkajian tentang putusan pemidanaan lebih tinggi dari Jaksa
Penuntut Umum, yaitu:
1. Bagaimanakah eksistensi tuntutan Jaksa Penuntut Umum
dalam sistem pemidanaan di Indonesia?
2. Bagaimanakah penafsiran Hakim terkait putusan pemidanaan
lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam
perspektif asas, norma dan praktek peradilan di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan diatas, pengkajian tentang
putusan pemidanaan lebih tinggi dari Jaksa Penuntut Umum ini
mempunyai tujuan penelitian yaitu:
1. Untuk mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisis
eksistensi tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam sistem
pemidanaan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisis
penafsiran Hakim terkait putusan pemidanaan lebih tinggi dari
tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam perspektif asas, norma
dan praktek peradilan di Indonesia.
D. Kegunaan Penelitian
Pengkajian tentang putusan pemidanaan lebih tinggi dari
tuntutan Jaksa Penuntut Umum ini mempunyai kegunaan, yang
terdiri dari kegunaan teoritis dan kegunaan praktis. Secara rinci
dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Kegunaan teoritis dari hasil pengkajian ini diharapkan dapat
memberi sumbangan pemikiran secara teoritis terhadap
pengembangan disiplin ilmu hukum, dan khususnya terkait
5
eksistensi putusan pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan Jaksa
Penuntut Umum.
2. Kegunaan Praktis : diharapkan mampu memberikan kontribusi
praktis bagi para akademisi, pengambil kebijakan, pembuat
Undang-Undang, praktisi hukum, aparatur penegak hukum
khususnya Hakim yang berhadapan langsung dengan masalah
putusan pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut
Umum.
E. Metode Penelitian
Pengkajian tentang putusan pemidanaan lebih tinggi dari
tuntutan Jaksa Penuntut Umum ini menggunakan penelitian hukum
normatif. Adapun metode pendekatan yang diterapkan adalah
melalui pendekatan perundangan-undangan (Statute Approach) dan
pendekatan kasus (case approach). Sedangkan jenis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Adapun
sumber data sekunder berasal dari penelitian kepustakaan (library
reserach) terhadap pelbagai macam sumber bahan hukum yang
dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: 5
1. Bahan hukum primer (primary resource atau authoritative
records), berupa UUD 1945, Ketetapan MPR, peraturan
Perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya.
2. Bahan hukum sekunder (secondary resource atau not
authoritative records), berupa bahan-bahan hukum yang
dapat memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer,
seperti literatur, hasil-hasil penelitian, makalah-makalah dalam
seminar, artikel-artikel dan lain sebagainya; dan
3. Bahan hukum tersier (tertiary resource), berupa bahan-bahan
hukum yang dapat memberi petunjuk dan kejelasan terhadap
5
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 13
6
bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder seperti
berasal dari kamus/leksikon, ensiklopedia dan sebagainya.
Data kepustakaan yang merupakan data utama penelitian ini
dikumpulkan melalui metode sistematis guna memudahkan analisis
permasalahan. Adapun bahan-bahan tersebut yang dicatat dalam
kartu antara lain permasalahannya, asas-asas, argumentasi,
implementasi yang ditempuh, alternatif pemecahannya dan lain
sebagainya. Kemudian mengenai kepustakaan yang dominan
dipergunakan adalah kepustakaan dalam bidang hukum pidana
khususnya mengenai putusan pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan
Jaksa Penuntut Umum ini. Adapun lokasi penelitian kepustakaan
dilakukan di beberapa tempat antara lain di Perpustakaan
Balitbangdiklat Kumdil Mahkamah Agung RI, Perpustakaan
Mahkamah Agung RI, Perpustakan Nasional Republik Indonesia,
Perpustakaan Universitas Indonesia serta perpustakaan lain yang
menyediakan data sekunder yang sesuai dan diperlukan dalam
penelitian ini.
Sebagai akhir dari pengolahan data, data sekunder yang
diperoleh dalam penelitian dideskripsikan sesuai dengan pokok
permasalahan yang dikaji secara yuridis kualitatif. Deskripsi
dilakukan terhadap “isi maupun struktur hukum positif”6 yang
berkaitan putusan pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan Jaksa
Penuntut Umum. Data yang telah dideskripsikan selanjutnya
ditentukan maknanya melalui metode interpretasi dalam usaha
memberikan penjelasan atas kata atau istilah yang kurang jelas
maksudnya dalam suatu bahan hukum terkait pokok permasalahan
yang diteliti sehingga orang lain dapat memahaminya.7
6
Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), dalam
Yuridika, Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember 1994, hlm. 6.
7
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum
Yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 77
7
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TENTANG PUTUSAN PEMIDANAAN
8
Demikian dimuat dalam buku "Peristilahan Hukum dalam Praktek" yang
dikeluarkan Kejaksaan Agung RI 1985 halaman 221
9
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua,
Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, 1995, Hlm. 406. Lihat juga dalam Lilik
Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Bandung, Citra Aditya
Bakti, 2007, Hlm.121
10
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim ...Op Cit, Hlm.121
9
persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah
melalui proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya
berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala
tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan
menyelesaikan perkara." Adapun secara normatif, Pasal 1 angka 11
KUHAP mendefinisikan putusan pengadilan sebagai "pernyataan
Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang
dapat berupa pemidanaan atau bebas lepas dari segala tuntutan
hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-
Undang ini."
Pada asasnya putusan pengadilan merupakan mahkota dari
keadilan yang diproduksi oleh suatu sistem peradilan. Layaknya
sebuah mahkota peradilan maka kewibawaan hukum dan sistem
peradilan termanifestasi dari keagungan keadilan dari putusan
pengadilan yang notabene dibuat oleh Hakim. Oleh karenanya
sebagai sebuah realitas sistem penegakan hukum, Hakim pada
dasarnya memiliki kekuasaan yang sangat penting dan menentukan
dalam bekerjanya sistem peradilan.11
Di Indonesia, Hakim menjadi sentral dari proses pengadilan
yang berlangsung. Karena putusan Hakim menjadi puncak dari
bekerjanya sistem peradilan pidana.12 Berkaitan dengan hal
tersebut, Lilik Mulyadi berpendapat bahwa Perihal putusan hakim
atau "putusan pengadilan" merupakan aspek penting dan
diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian,
dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasannya "putusan hakim" di
11
N. Gary Holten and Lawson L.Lamar, The Criminal Court: Structures,
Personnel and Processes, (Newyork: McGraw-Hill, 1991) hlm. 93 dalam Eva
Achjani Zulfa, Dkk, Reformulasi Metode Seleksi Calon Hakim Agung: Mencari
Model Penjaringan Calon Hakim Agung (Dalam Rangka Mendukung Sistem
Kamar di Mahkamah Agung), Laporan Penelitian, Universitas Indonesia, 2010,
Hlm.4
12
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Bandung, Lubuk
Agung, 2011, Hlm.23
10
satu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum
(rechts zekerheids) tentang "statusnya" dan sekaligus dapat
mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut
dalam artian dapat berupa: menerima putusan; melakukan upaya
hukum verzet. Banding, atau kasasi; melakukan grasi; dan
sebagainya. Sedangkan dilain pihak, apabila ditelaah melaui visi
hakim yang mengadili perkara, putusan hakim adalah "mahkota"
dan "puncak" pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki,
hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan,
mumpuni, dan faktual serta visualisasi etika, mentalitas, dan
moralitas dari hakim yang bersangkutan.13
Sebagai pemegang puncak kekuasaan mengadili maka
putusan pengadilan yang diproduksi oleh Hakim memegang
pengaruh yang signifikan terhadap terwujudnya negara hukum
Indonesia. Apabila putusan Hakim tersebut tidak tepat dan
berlawanan dengan rasionalisasi keadilan publik maka sudah tentu
implikasinya, apatisme terhadap putusan pengadilan tersebut tidak
hanya mengarah kepada Hakim dan pengadilan saja namun juga
akan berimbas pada keseluruhan sistem peradilan.
13
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Bandung, Citra
Aditya Bakti, 2007, Hlm.119
14
Mudzakkir, Eksaminasi Publik Terhadap Putusan Pengadilan: Beberapa
Pokok Pikiran dan Prospeknya Ke Depan, dalam Susanti Adi Nugroho Dkk,
Eksaminasi Publik: Partisipai Masyarakat Mengawasi Peradilan, ICW, Jakarta,
2003, Hlm.94
11
didasarkan pada nilai-nilai yang lahir dari sumber-sumber hukum
yang responsif sesuai hati nurani.15
Pada aspek prosedural justice (dalam perkara pidana)
berkaitan dengan kebijakan pemerintah di bidang penegakan
hukum. Pada bagian ini merupakan awal mula proses pengambilan
putusan suatu perkara diproses dan diajukan ke pengadilan atau
tidak. Berbeda dalam perkara pidana, dalam perkara perdata
masalah prosedural justice ini berkaitan dengan keputusan
seseorang yang merasa dirugikan disebabkan adanya dugaan
perbuatan melawan hukum orang lain dan kemudian mengajukan
keberatan (gugatan) kepada yang bersangkutan ke pengadilan.
Putusan untuk menggugat seseorang atau lembaga tidak ada
hubungannya dengan kebijakan pemerintah, melainkan ditentukan
oleh hubungan yang tidak harmonis antara penggugat dan tergugat.
Hukum acara dan hukum pembuktian bersifat objektif dengan
parameter aturan hukum acara dan hukum pembuktian yang konkrit
dengan standart yang tegas (terukur). Proses pembuktian biasanya
memerlukan bantuan atau dapat melibatkan ilmu pengetahuan yang
objektif. Hasil proses pembuktian dapat diuji secara ilmiah
(objektif) oleh siapa saja. Sungguhpun demikian, ada aspek
subjektif dari konsep prosedural justice, yakni semua pihak yang
terlibat dalam proses pengambilan putusan dapat menafsirkan hasil
pembuktian dari ilmu pengetahuan yang tersebut karena berbeda
perspektif.16
Substantive justice tidak memiliki ukuran yang seobjektif
prosedural justice. Suatu diktum atau pemidanaan adalah suatu
kesimpulan (conclusion) dari kegiatan penafsiran terhadap kaedah
hukum (in abstracto) yang dilakukan oleh hakim terhadap fakta-
15
Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia,
UII Press, Yogyakarta, 2010, Hlm.9
16
Mudzakkir, Eksaminasi Publik Terhadap Putusan Pengadilan: Beberapa
Pokok Pikiran dan Prospeknya Ke Depan, dalam Susanti Adi Nugroho Dkk, Op
Cit, Hlm.94-95
12
fakta hukum yang telah diuji di pengadilan (in concretto). Di
samping itu, putusan pengadilan juga dipengaruhi secara langsung
atau tidak langsung pandangan pribadi hakim mengenai aspek-
aspek kehidupan yang terkait dengan materi perkara yang sedang
diputuskan sehingga menyebabkan terjadinya disparitas dalam
pemidanaan dan juga penilaian terhadap kesalahan pelanggar
hukum (yakni penilaian terhadap sikap batin dan hubungan antara
sikap batin dengan perbuatan yang menyebabkan seseorang dapat
dicela karenanya).17
Putusan pengadilan yang memiliki dua unsur keadilan
tersebut (prosedural dan substansial justice) dapat dikatakan
sebagai putusan publik, meskipun perkara yang diadili menurut
hukum termasuk kategori putusan privat (perdata). Putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap dapat
menjadi sumber hukum dalam menyelesaikan perkara yang sama di
masa mendatang (sumber hukum yurisprudensi). Putusan
pengadilan mengenai perkara perdata (privat) dapat mempengaruhi
publik, terutama mengenai citra hukum, penegakan hukum dan
keadilan. Setiap putusan pengadilan menjadi barometer hukum,
penegakan hukum dan keadilan dalam suatu masyarakat dan
negara. 18
Secara ideal putusan pengadilan harus mewujudkan harapan
pencari keadilan, yang mencerminkan nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan masyarakat, selain dari dua aspek di atas, ada beberapa
unsur yang harus dipenuhi dengan baik. Gustav Radbruch
mengemukakan idealnya dalam suatu putusan memuat idee des
recht, yang meliputi 3 unsur, yaitu keadilan (Gerechtigkeit),
kepastian hukum (Rechtsicherheit) dan kemanfaatan
17
Ibid, Hlm.95-96
18
Ibid
13
(Zwechtmassigkeit).19 Ketiga unsur tersebut semestinya oleh Hakim
harus dipertimbangkan dan diakomodir secara proporsional,
sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan putusan yang berkualitas
dan memenuhi harapan para pencari keadilan.20 Senada dengan hal
tersebut, Antonius Sujata21 menyatakan bahwa hukum serta
penegakan hukum dimana pun dan saat kapan pun memiliki cita-
cita luhur, yaitu keadilan, kepastian, ketertiban, serta manfaat.
Keadilan pada hakikatnya memberi perlindungan atas hak dan saat
yang sama mengarahkan kewajiban sehingga terjadi keseimbangan
antara hak dan kewajiban di dalam masyarakat. Dengan keadilan
procedural baru memberi jaminan kepastian dan ketertiban, tetapi
belum tentu memberi keadilan secara substansial.
Dalam kondisi normal, memang idealnya setiap hukum
(Perundang-undangan) termasuk putusan hakim harus dijiwai oleh
ketiga nilai dasar hukum (keadilan, kepastian, dan kemanfaatan).
Realitas menunjukkan bahwa sering kali terjadi pertentangan antara
nilai yang satu dan yang lainnya, misalnya, antara keadilan dan
kepastian hukum ataukah antara kemanfaatan dan kepastian
hukum. Gustav Radbruch menegaskan bahwa di dalam
kenyataannya, ketiga unsur esensial hukum (keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum) sulit terwujud secara
bersamaan, lebih sering terjadi konflik antara ketiganya. 22 Biasanya
konflik tersebut timbul karena dua hal. Pertama, hukum
(Perundang-undangan) diciptakan untuk melindungi kepentingan
politik (in the interest of politic) bagi kelompok atau golongan
tertentu. Produk hukum seperti ini sejak semula, saat
19
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, 2004, Hlm.15
20
Bambang Sutiyoso, Op Cit, Hlm.9
21
Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan
dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Bahavioral Jurisprudence) Kasus Hakim
Bismar Siregar, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2007, hlm.44
22
Ibid., Hlm. 10
14
diundangkannya, cenderung mengabaikan realitas sosial.
Konsekuensi logisnya Undang-Undang tersebut bertentangan
dengan rasa keadilan dalam masyarakat. Kedua, peraturan
Perundang-undangan yang tidak ada relevan (lagi) dengan
dinamika yang berkembang dalam masyarakat. Mungkin pada saat
diundangkannya dan pada masa awal berlakunya sesuai dengan
realitas dan rasa keadilan dalam masyarakat, tetapi lambat laun
dirasakan tidak relevan lagi. Konsekuensinya jika Perundang-
undangan tersebut dipaksakan berlakunya, akan menimbulkan
kegoncangan-kegoncangan dalam masyarakat. Dalam kontek ini,
akan muncul konflik antara keadilan dan kepastian hukum.23
23
Antonius Sudirman, “Merelevansikan Hukum dengan Perubahan Sosial”,
Jurnal Kopertis Wilayah IX, Sulawesi, Prospek, No.27, September 2003, Hlm.
84 dalam Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu
Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Bahavioral Jurisprudence)
Kasus Hakim Bismar Siregar, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2007, hlm.44-45
24
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim ...Op Cit, Hlm.124-125
15
menjatuhkan putusan telah melalui proses acara sebagai
berikut: sidang dinyatakan “dibuka” dan “terbuka” untuk
umum, pemeriksaan identitas dan peringatan Hakim Ketua
sidang kepada Terdakwa supaya mendengar dan
memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam persidangan,
pembacaan catatan/surat dakwaan, acara keberatan/eksepsi dari
Terdakwa, dan atau Penasihat Hukum dan pendapat Jaksa/
Penuntut Umum, penetapan/putusan sela, pemeriksaan alat
bukti, tuntutan pidana requisitoir, pembelaan/pledoi, replik,
duplik, rereplik, reduplik, pernyataan pemeriksaan “ditutup”,
serta musyawarah majelis Hakim dan pembacaan “putusan”
dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP) dan
harus ditandatangani Hakim dan Panitera seketika setelah
putusan diucapkan (Pasal 200 KUHAP). Pada hakikatnya,
secara teoritik dan praktik “putusan akhir” ini dapat berupa
putusan bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP), putusan pelepasan
Terdakwa dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2)
KUHAP), dan putusan pemidanaan (Pasal 193 ayat (1)
KUHAP).
2. Putusan yang Bukan Putusan Akhir.
Pada praktik peradilan maka bentuk dan putusan yang bukan
putusan akhir dapat berupa “penetapan” atau “putusan sela”
atau sering pula disebut dengan istilah Belanda “tussen-
vonnis”. Putusan jenis ini mengacu pada ketentuan Pasal 148
dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yakni dalam hal setelah
pelimpahan perkara dan apabila Terdakwa dan atau Penasihat
Hukumnya mengajukan “keberatan/eksepsi” terhadap surat
dakwaan Jaksa/Penuntut Umum. Pada hakikatnya putusan
yang bukan putusan akhir, antara lain, dapat berupa:
a. Penetapan yang menentukan “tidak berwenangnya
pengadilan yang mengadili suatu perkara” (verklaring van
onbevoegheid) karena merupakan kewenangan relatif
16
Pengadilan Negeri lain sebagaimana ketentuan limitatif
Pasal 148 ayat (1) dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP.
b. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan Jaksa/Penuntut
Umum batal demi hukum (nietig van rechtswege/nuli and
void). Hal ini diatur oleh ketentuan Passal 156 ayat (1)
KUHAP dimana surat dakwaan telah melanggar ketentuan
Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP dan dinyatakan batal
demi hukum menurut ketentuan Pasal 143 ayat (3)
KUHAP.
c. Putusan yang berisikan bahwa dakwaan Jaksa/Penuntut
umum tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)
sebagaimana ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP
disebabkan materi perkara tersebut telah kadaluarsa,
materi perkara seharusnya merupakan materi hukum
perdata, perkara disebabkan telah nebis in idem/non nebis
in idem, dan sebagainya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 191 ayat (1) dan (2) yang
menyatakan bahwa “(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa
dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas
perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas; dan (2)
Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu
tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus
lepas dari segala tuntutan hukum.” serta Pasal 193 ayat (1)
KUHAP yang berbunyi “Jika pengadilan berpendapat bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”, menurut
Lilik Mulyadi setidaknya ada dua sifat putusan Hakim,
diantaranya :25
25
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara pidana
Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bhakti, 2010., Hlm.138-139
17
1. Putusan Pemidanaan (veroordeling). Apabila yang
didakwakan oleh Penuntut Umum dalam surat
dakwaannya telah terbukti secara sah dan meyakinkan
menurut hukum dan Hakim menjatuhkan putusan bertitik
tolak pada ketentuan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya”.
2. Putusan yang bukan pemidanaan dapat berupa: a). Putusan
bebas (vrijspraak) yang mengacu pada ketentuan Pasal
191 ayat (1) KUHAP; dan b). Putusan lepas dari segala
tuntutan hukum (Onslag van Alle Rechtsvervolging)
sebagaimana diformulasikan pada ketentuan Pasal 191
ayat (2) KUHAP.
26
Adami Chazawi, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana:
Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat, Jakarta,
Sinar Grafika, 2010, Hlm. 54
18
Lebih lanjut Adami Chazawi menjelaskan bahwa putusan
Hakim “mempidana Terdakwa” sesat bila melanggar syarat-syarat
yang ditentukan tersebut. Banyak kemungkinan yang dilanggar
pengadilan, sehingga menghasilkan putusan sesat. Penyebabnya
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: Pertama, sebab fakta-
fakta/peristiwa yang dibuktikan dalam sidang bukan kebenaran
materiil (materiele waarheid), melainkan kejadian yang direkayasa,
kemudian menjadi bahan pertimbangan Hakim dalam menarik
amar putusan yang merugikan Terdakwa; dan Kedua, dalam sidang
sebenarnya terungkap kebenaran materiil melalui dua atau lebih
alat bukti yang dipergunakan Hakim. Namun karena berbagai
sebab sengaja atau kelalaian, pertimbangan hukumnya
menyimpang dari kebenaran materiil dan menghasilkan amar
putusan yang merugikan Terdakwa.27
Bilamana Majelis Hakim Pengadilan berpendapat bahwa
Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka Pengadilan
menjatuhkan pidana.28 Hakim dalam menjatuhkan putusan
pemidanaan dalam lingkup antara minimum dan maksimum dari
pasal yang terbukti dalam persidangan (sebagaimana yang
ditentukan oleh Pembuat Undang-Undang). Mengenai masalah
berat ringannya atau lamanya pidana ini merupakan wewenang
judex facti yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali apabila judex
facti menjatuhkan pidana melampaui batas maksimum yang
ditentukan Undang-Undang. 29
Walaupun pembentuk Undang-Undang memberikan
kebebasan menentukan batas maksimal dan minimal lama pidana
yang harus dijalani Terdakwa, hal ini bukan berarti Hakim dapat
27
Ibid
28
H.M.A Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Malang,
Universitas Muhammadiyah Malang Press, 2002, 216.
29
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia, Bandung, Citra Adtya Bakti, 2010, Hlm. 141
19
dengan seenaknya menjatuhkan pidana tanpa dasar pertimbangan
yang lengkap. Penjatuhan pidana tersebut harus cukup
dipertimbangkan dengan putusan Hakim yang kurang
pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) dapat dibatalkan oleh
Mahkamah Agung, sebagaimana Putusan Mahkamah Agung
Nomor 202 K/Pid/1990 tanggal 30 Januari 1993.30 Memang para
Hakim perlu menjelaskan mengenai kenyataan-kenyataan dan
keadaan-keadaan yang mana, yang telah dijadikan dasar bagi
putusan mereka, tetapi di dalam putusan mereka tidak perlu
dijelaskan secara lengkap mengenai cara berpikir mereka, yang
telah membuat mereka sampai pada kesimpulan yang dijadikan
dasar bagi putusan mereka.31
Menurut Van Bemmelen, dalam putusan Hakim perlu
dijelaskan mengenai alasan-alasan yang telah dipakai oleh Hakim
sebelum sampai pada putusannya, sehingga orang yang membaca
putusan tersebut akan dapat mengetahui alasan-alasan yang telah
dipakai oleh Hakim dan mampu untuk menarik satu kesimpulan
yang sama seperti yang telah ditarik oleh Hakim.32
Untuk meruntutkan argumentasi dan dasar pertimbangan
Hakim yang baik maka disusunlah sistematika putusan yang baku
di dalam KUHAP. Sistematika ini terdapat dalam isi putusan
pemidanaan. Terhadap isi surat putusan pemidanaan, KUHAP telah
mengaturnya secara rinci sebagaimana bunyi Pasal 197 ayat (1)
yaitu :
a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi: "Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa";
30
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Bandung, Citra Aditya
Bhakti, 2012, Hlm. 126
31
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP: Menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, jakarta, Sinar Grafika, 2010,
Hlm. 410
32
Ibid
20
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan
keadaan beserta alat-pembuktian yang diperoleh dari
pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan
kesalahan terdakwa;
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan
f. pasal peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar
pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan Perundang-
undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai
keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim
kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi
semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan
kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan
menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai
barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan
di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik
dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan
atau dibebaskan;
l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim
yang memutus dan nama panitera;
Selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP,
jika tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e,
f, h, i, j, k dan l dalam pasal ini (Pasal 197 ayat (1) KUHAP)
mengakibatkan putusan batal demi hukum. Misalnya saja tidak
tercantumnya tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat
21
tuntutan Jaksa Penuntut Umum maka putusan pengadilan tersebut
batal demi hukum. Menurut kebiasaan praktik hanya disebutkan
pokok-pokoknya saja tuntutan pidana dalam putusan. Apabila suatu
putusan pemidanaan tidak mencantumkan sama sekali “tuntutan
pidana” maka berdasarkan ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP
serta putusan Mahkamah Agung RI Nomor 885 K/Pid/1985 tanggal
23 Juni 1987 adalah batal demi hukum.33
33
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah....Op Cit, Hlm. 146
22
BAB III
EKSISTENSI TUNTUTAN JAKSA PENUNTUT UMUM
DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA
34
Tolib Effendi, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana: Perkembangan dan
Pembaharuannya di Indonesia, Malang, Setara Press, 2014, Hlm. 49
35
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori
dan Praktek, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2004, hlm. 20
23
adalah Jaksa yang melakukan penuntutan. Penyebutan Jaksa
Penuntut Umum dalam praktik umumnya di masyarakat ini juga
ditujukan untuk membedakan tugas dan fungsi dari Jaksa selain
melakukan penuntutan di Pengadilan yaitu Penyidikan misalnya
(Jaksa Penyidik).
Adapun tugas dan kewenangan yang dimiliki Kejaksaan
sebagaimana diatur oleh Undang-Undang No. 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan, dijelaskan bahwa tugas secara luas tidak
terbatas pada kewenangan dalam hal proses hukum acara pidana.
Misalnya di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan
mempunyai kewenangan untuk dan atas nama negara atau
Pemerintah sebagai Penggugat atau Tergugat yang dalam
pelaksanaannya tidak hanya memberikan pertimbangan atau
membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga membela
dan melindungi kepentingan rakyat.
Selain itu di dalam tugas dan wewenang sebagaimana diatur
di dalam Pasal 30 Undang-Undang Kejaksaan pada bagian pidana
tugas dan wewenang kejaksaan termasuk diantaranya adalah
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
Undang-Undang.36 Kewenangan kejaksaan untuk melakukan
penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung
beberapa ketentuan Undang-Undang yang memberikan
kewenangan kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan,
misalnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam konteks inilah
istilah Jaksa Penuntut Umum ini dipahami sebagai pembeda
36
Tolib Effendi, Op Cit, Hlm.52
24
terhadap tugas dan kewenangan Jaksa yang lain selain dari tugas
penuntutan dalam proses peradilan pidana.
37
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta, Kencana,
2011, Hlm.2
38
Ibid
25
bersalah dipidana; dan (c) mengusahakan agar mereka yang pernah
melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. 39
Lebih lanjut Mardjono mengemukakan bahwa empat
komponen dalam sistem peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan) diharapkan dapat
bekerja sama dan dapat membentuk suatu “integrated criminal
justice system”. Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak
dilakukan, diperkirakan akan terdapat tiga kerugian sebagai
berikut:
1) Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan
masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka
bersama;
2) Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok
masing-masing instansi (sebagai subsistem dari sistem
peradilan pidana); dan
3) Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang
jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan
efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.40
Pembedaan kewenangan yang tegas dan jelas dalam upaya
mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu, dapat dilihat pada
ketentuan yang mengatur fungsi dan wewenang Penyidik dan
Penuntut Umum. Semasa berlakunya HIR, kedua lomponen
penegak hukum tersebut berwenang melakukan penyidikan untuk
semua jenis perkara, sehingga antara keduanya terjadi rivalitas
dalam penyidikan.41 Sesungguhnya keinginan untuk memisahkan
antara wewenang penyidikan dan penuntutan dapat dilihat dalam
Pasal 4 KUHAP yang menentukan, penyelidik adalah pejabat Polisi
39
Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak
Hukum Melawan Kejahatan), dikutip dari Hak Asasi Manusia dalam Sistem
Peradilan Peradilan Pidana, 1994, hlm. 84-85.
40
Ibid.
41
Ruslan Renggong, Hukum Acara Pidana, Jakarta, Kencana, 2014, Hlm.165-
166
26
Negara Republik Indonesia dan Pasal 6 Ayat (1) huruf a KUHAP
bahwa Penyidik adalah Polisi Negara Republik Indonesia.
Walaupun terdapat ketentuan huruf b Pasal 6 ayat (1) KUHAP
yang menentukan, pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang sebagai Penyidik,
akan tetapi tidak mengurangi makna pejabat Polisi Negara sebagai
Penyidik Utama karena Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu
tetap di bawah koordinasi dan kendali Penyidik Polri. Adapun
Pasal 13 KUHAP menentukan, Penuntut Umum ialah jaksa yang
diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim. 42
Dengan demikian, sangat jelas bahwa KUHAP
menghendaki pemisahan antara instansi yang berwenang
melakukan penuntutan dan yang berwenang melakukan
penyidikan. Ketentuan ini seharusnya ditegakkan secara konsisten
dalam proses peradilan pidana, sehingga Undang-Undang yang
dibentuk setelah berlakunya KUHAP harus tetap disesuaikan
dengan ide dasar pemisahan kewenangan tersebut. Tidak seperti
sekarang yang mana wewenang untuk melakukan penyidikan
masih tersebar pada beberapa instansi, walaupun terbatas pada
penyidikan tindak pidana tertentu.43 Kejaksaan misalnya, masih
berwenang melakukan penyidikan terhadap pembuat tindak pidana
korupsi dengan berdasar pada Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan Pasal
30 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia. Jaksa agung juga berwenang menyidik perkara
pelanggaran HAM berat menurut Pasal 21 UU Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Perwira Angkatan
Laut berwenang menyidik tindak pidana perikanan menurut Pasal
42
Ibid, Hlm.166
43
Ibid, Hlm.167
27
73 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang
telah diubah dengan UU Nomor 45 Tahun 2009. 44
Pemisahan wewenang penyidikan pada instansi yang
berbeda memiliki kelebihan dari sisi peningkatan profesionalitas
aparat penegak hukum, melalui mekanisme saling mengawasi.
Aparat kepolisian yang menjadi penyidik akan berusaha
meningkatkan kualitas penyidikan, karena hasil penyidikan akan
diserahkan ke penuntut umum. Hasil penyidikan yang tidak
lengkap akan dikembalikan oleh penuntut umum untuk dilengkapi.
Dengan mekanisme seperti ini, akan mendorong aparat penyidik
kepolisian untuk bekerja secara professional sehingga akan
menghasilkan penyidikan yang berkualitas.45 Berbeda apabila
wewenang penyidikan dan penuntutan berada pada instansi yang
sama. Secara teoritis mekanisme pengawasan antara penyidik dan
penuntut umum dapat dilakukan, akan tetapi dalam praktik sulit
dilakukan karena tidak tertutup kemungkinan penyidik juga akan
menjadi penuntut umum.46
Berkaitan dengan hal ini, Romli Atmasasmita menjelaskan
bahwa jika dibandingkan dengan sistem peradilan pidana di
Indonesia, dapat dikemukakan bahwa sistem peradilan pidana
Indonesia sejak HIR sampai pada KUHAP, dalam praktik tidak
banyak mengalami perubahan signifikan secara substansial kecuali
sistem organisasi pendukung sistem peradilan telah berubah, di
mana penyidik Polri tidak berada di bawah supervisi langsung dari
penuntut umum lagi. Kesederajatan posisi kedua lembaga penegak
hukum versi KUHAP bukan tidak mengalami hambatan karena
dalam praktik sering terjadi hubungan organisasi yang tidak
harmonis dan berdampak terhadap kepentingan para pencari
keadilan. Hal ini terbukti dari berkas perkara pidana sering bolak-
44
Ibid,
45
Ibid, Hlm.167-168
46
Ibid, Hlm.168
28
balik dari penyidik Polri ke penuntut umum sehingga untuk
dinyatakan perkara pidana telah lengkap buktinya (P21) dan siap
dilimpahkan ke pengadilan, merupakan suatu keniscayaan kecuali
ada komitmen untuk saling menghargai kinerja antara masing-
masing lembaga penegak hukum tersebut.47
Selain dalam konteks proses penyidikan, sebagaimana
Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintahan yang
melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan serta
kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang. Di bidang
penuntutan, Jaksa diberi wewenang sebagai penuntut umum untuk
semua jenis tindak pidana, kecuali tindak pidana yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mana komisi ini
memiliki penuntut umum sendiri meskipun penuntut umum yang
dimaksud juga bersumber dari kejaksaan.48 Dalam konteks inilah
keterpaduan dari sistem penuntutan baik yang dilakukan oleh
Kejaksaan maupun oleh KPK perlu selalu dijaga harmoni dan
koordinasinya agar tidak terjadi rivalitas dan disharmoni diantara
keduanya.
47
Romli Atmasasmita, Op Cit, Hlm.65
48
Ruslan Renggong, Op Cit, Hlm.213
29
dapat mengganggu keberadaan fisik maupun psikis dari orang yang
terkena pidana itu 49
Pada asasnya proses peradilan pidana dilaksanakan
berdasarkan atas hukum acara pidana yang notabene merupakan
aturan formal beracara pada setiap tingkatan pemeriksaan perkara
pidana, telah menetapkan aturan-aturan yang mengatur tugas dan
kewenangan komponen sistem peradilan pidana, yakni Penyidik,
Penuntut Umum, Hakim pada semua tingkatan, Advokat, dan
Petugas Rutan/Lembaga Pemasyarakatan. Adapun wewenang Jaksa
Penuntut Umum dalam proses peradilan pidana diatur dalam Pasal
14 KUHAP yang merinci kewenangan Penuntut Umum
diantaranya :
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari
penyidik atau penyidik pembantu.
b. Mengadakan pra-penuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat
(3) dan ayat (4), dengan member petunjuk dalam
penyempurnaan penyidikan dari penyidik.
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan
atau penahanan lanjutan, dan/atau mengubah status tahanan
setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik.
d. Membuat surat dakwaan.
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan.
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang
ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai
surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi,
untuk datang pada sidang yang telah ditentukan.
g. Melakukan penuntutan.
h. Menutup perkara demi kepentingan hukum.
49
Ibid, Hlm.153
30
i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan Undang-
Undang ini.
j. Melaksanakan penetapan hakim.
Secara teknis, kewenangan tersebut dilaksanakan sejak awal
pemberkasan dari Penyidik. Persiapan berkas perkara itu
merupakan tanggung jawab penuh penyidik, supaya berkepastian
dapat diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum dan selanjutnya
disidangkan di pengadilan. Proses demikian disebut sebagai tahap
prapenuntutan (Pratut), yakni persiapan sampai penyerahan semua
berkas perkara, alat-alat bukti, dan tersangka dari pihak penyidik
kepada Jaksa Penuntut Umum, sehingga sejak saat itu beralih
tanggung jawab hukum dari pihak penyidik kepada Jaksa Penuntut
Umum. Mekanisme serah terima berkas itu meliputi tahap-tahap
yang terdiri atas: Pertama, penyerahan berkas (KUHAP Pasal 8
ayat (2) dan (3); Kedua, setelah selesai penyidikan (Pasal 110) dan
pemberitahuan dari Jaksa Penuntut Umum bahwa berkas telah
diterima dan dinyatakan lengkap atau tidak, selama dalam waktu 7
(tujuh) hari (Pasal 138).50 Bilamana Jaksa Penuntut Umum
mempertimbangkan berkas penyidikan belum lengkap untuk
diteruskan ke persidangan (dikenal dengan istilah sandi: P-19),
maka dalam waktu 7 (tujuh) hari itu harus diberitahukan lagi
kepada Penyidik supaya dilengkapi menurut pedoman dan petunjuk
JPU (Pasal 110 ayat (3) jo.138 ayat (2)). Penyidik hanya memiliki
waktu 14 (empat belas) hari untuk melengkapi lagi berkas itu
sesuai dengan petunjuk yang diberikan. Dalam hal Jaksa Penuntut
Umum mempertimbangkan berkas sudah lengkap secara teknis
yuridis (sandi : P-21) maka Jaksa Penuntut Umum segera
memberitahukan supaya Penyidik menyerahkan berkas itu dan
segala tanggung jawab Penyidik beralih kepada Jaksa Penuntut
50
Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Bogor,
Ghalia Indonesia, 2012, Hlm.169-170
31
Umum. Bilamana tersangka dalam keadaan ditahan, maka status
penahanannya menjadi beralih kepada penahanan atas tanggung
jawab Jaksa Penuntut Umum. Dengan terjadinya serah terima
Berita Acara Pemeriksaan, segala barang bukti dan tersangka dari
pihak penyidik kepada Penuntut Umum, maka sejak saat itu terjadi
juga serah terima tanggung jawab penyidikan dengan segala
akibatnya dari Penyidik kepada Penuntut Umum. 51
Lazimnya, setiap berkas perkara yang sudah lengkap
diserahkan oleh penyidik kepada Jaksa Penuntut Umum, maka
perkara itu harus diteruskan oleh Jaksa Penuntut Umum supaya
diperiksa dan diadili oleh Hakim di sidang Pengadilan. Artinya,
karena syarat hukum sudah dipenuhi, maka semua orang yang
terlibat dalam perkara itu harus dihadapkan kepada Pengadilan. Ini
dikenal sebagai asas legalitas, maksudnya bahwa semua warga
negara harus diperlakukan sama di depan hukum sehingga apa pun
alasan dan siapa pun dia yang terlibat dalam perkara itu, agar
hukumlah yang memutuskan tentang bagaimana kesalahan dan
hukumannya di dalam perkara itu.52 Pada saat Jaksa menerima
kelengkapan berkas dari penyidik, maka wewenang, tugas, dan
kewajiban hukumnya pada tahap ini haruslah digunakan dengan
masak-masak dan cermat untuk mempertimbangkan segala
sesuatunya, selain syarat formal dan material yang telah cukup
dipenuhi untuk merumuskan surat dakwaan. KUHAP Pasal 140
ayat (2) masih memberikan kemungkinanbagi Penuntut Umum
untuk memutuskan dengan membuat surat penetapan, apakah dia
akan menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti
atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana
atau perkara ditutup demi hukum. Apa pun dari kemungkinan
menghentikan atau menutup perkara itu, yang diputuskan oleh
Penuntut Umum wajib dibuat dengan surat ketetapan. Selanjutnya,
51
Ibid, Hlm.171
52
Ibid, Hlm.170
32
pemberitahuan atas surat ketetapan itu harus segera disampaikan
kepada tersangka atau keluarga atau Advokat, Penyidik, dan
Hakim, selain tentu saja kepada Pejabat Rumah Tahanan bilamana
tersangka ditahan agar dia segera dibebaskan. 53
Ketentuan Pasal 140 di atas itu memberikan pedoman
bahwa perkara dapat dihentikan bilamana tidak terdapat cukup
bukti. Ini artinya, demi tegaknya hukum acara (law enforcement),
sesuai dengan rujukan di dalam Pasal 191 ayat (1) bahwa suatu
perkara yang tidak terdapat bukti secara sah dan meyakinkan, maka
terdakwa diputus bebas (vrijspraak). Perkara dihentikan karena
bukan merupakan tindak pidana adalah sesuai dengan rujukan
dalam Pasal 191 ayat (2), yang oleh karena itu terdakwa diputus
lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle
rechtsvervolging) (akan lebih jelas selanjutnya dalam bagian
pembahasantentang alat-alat bukti): Dua alasan hukum
pertimbangan tentang menghentikan penuntutan demi tegaknya
hukum yang memprediksi putusan bebas dan lepas adalah dengan
merujuk pada ketentuan di dalam KUHAP. Pertimbangan lain
tentang menutup demi hukum bukan lagi mengacu ke dalam
KUHAP sebagai hukum formal, melainkan dirujuk ke dalam
KUHP sebagai hukum material. Menutup perkara demi hukum
adalah didasarkan kepada adanya 3 (tiga) alasan demi hukum, yang
terdiri atas: (a) karena terdakwa sudah meninggal dunia (Pasal 77
KUHP); (b) perkara itu ne bis in idem karena tidak boleh dituntut
duakali tentang hal yang sama (Pasal 76 KUHP), dan (c) perkara
sudah daluwarsa (verjarigheid, verjaring) berdasarkan Pasal 78-82
dan seterusnya dari KUHP. 54
Berdasarkan tugas dan wewenang yang demikian, dapat
dikatakan Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran
strategis dalam proses peradilan pidana. Kedudukan Kejaksaan
53
Ibid, Hlm.172
54
Ibid, Hlm.173
33
dalam peradilan pidana bersifat menentukan karena merupakan
jembatan yang menghubungkan tahap penyidikan dengan tahap
pemeriksaan di sidang pengadilan. Berdasarkan doktrin hukum
yang berlaku suatu asas bahwa Penuntut Umum mempunyai
monopoli penuntutan, artinya setiap orang baru bisa diadili jika ada
tuntutan pidana dari Penuntut Umum, yaitu lembaga kejaksaan
karena hanya Penuntut Umum yang berwenang mengajukan
seseorang tersangka pelaku tindak pidana ke muka sidang
Pengadilan.55
55
Yudi Kristiana, Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 52
56
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2010,
Hlm. 75
34
Nomor 09/1985, istilah resmi dari rentut berdasarkan Surat Edaran
tersebut adalah Pedoman Tuntutan Pidana.57 Khusus untuk perkara
tertentu yang mendapat perhatian masyarakat, rentut harus
dilaporkan kepada Kejaksaan Agung. Dalam prosesnya bisa jadi
ada pengambilan alihan perkara, itu bagian dari tugas dan
wewenang Jaksa Agung, bukan intervensi. Kejaksaan merupakan
satu dan tidak terpisahkan, hal ini sudah ditegaskan dalam Pasal 35
Undang-Undang No. 16 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
secara eksplisit menyebutkan kewenangan Jaksa Agung yaitu
“menetapkan dan mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan
keadilan dalam ruang lingkup dan wewenang Kejaksaan”. Salah
satu ruang lingkup tersebut adalah penuntutan.58
Adapun tujuan penuntutan dari hukum acara pidana adalah
untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati
kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya
dari suatu perkara pidana dengan menempatkan ketentuan hukum
acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari
siapakah pelaku yang didakwakan melakukan tindak pidana.
Selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari Pengadilan
guna menentukan apakah orang yang didakwa itu dapat dinyatakan
salah, disamping hukum acara pidana khususnya dalam penuntutan
juga bertujuan untuk melindungi hak asasi tiap individu baik yang
menjadi korban si pelanggar hukum.59
Berdasarkan tugas yang diemban oleh Jaksa sebagai
Penuntut Umum dalam proses peradilan pidana yang demikian,
maka eksistensi surat tuntutan (requesitoir) merupakan bagian yang
penting dalam proses hukum acara pidana. Surat tuntutan
(requesitoir) yang mencantumkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum
57
http://www.politikindonesia.com/hukum/rencana-tuntutan-bisa-jadi-komoditas
58
http;//zulakrial.blogspot.com/2010/10/kemerdekaan-profesionalisme-jaksa
59
RM. Suharto, Penuntutan dalam Praktek Pengadilan, Jakarta, Sinar Grafika,
2006, Hlm. 18
35
terhadap Terdakwa, baik berupa penghukuman atau pembebasan
dan disusun berdasarkan pemeriksaan saksi, ahli, alat bukti, dan
keterangan Terdakwa akan menjadi bahan bagi Hakim dalam
membuat putusan. Berbeda dengan surat dakwaan yang
disampaikan diawal persidangan, belum ada ancaman pidananya
dan disusun berdasarkan Berita Acara Polisi. Tuntutan Penuntut
Umum menjadi dasar bagi Hakim untuk menjatuhkan putusan dan
bilamana putusan Hakim tanpa adanya tuntutan Penuntut Umum
berakibat putusan batal demi hukum.60
60
Anton Sutrisno, Kemandirian Jaksa sebagai Penuntut Umum (Analisis
terhadap Kebijakan Rencana Tuntutan), Tesis, Fakultas Hukum Program Pasca
Sarjana Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas Indonesia, 2011, Hlm.
57
36
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN PEMIDANAAN LEBIH TINGGI
DARI TUNTUTAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM
PERSPEKTIF TEORI, NORMA DAN PRAKTEK
37
a. Kesatu melanggar Pasal 12 huruf a Jo Pasal 18 Undang-
Undang No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang No.20 tahun 2001 Jo.Pasal 64 ayat (1)KUHP ; atau
b. Kedua melanggar pasal 5 ayat (2) Jo.Pasal 5 ayat (1) huruf a
Jo. Pasal 18 Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No.20 tahun 2001 Jo.pasal 64
ayat (1) KUHP; atau
c. Ketiga melanggar Pasal 11 Jo.Pasal 18 Undang–Undang No.31
tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.20
tahun 2001 Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Adapun tuntutan pidana Penuntut Umum pada Komisi
Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia tanggal 20 Desember
2012 sebagai berikut :
a. Menyatakan Terdakwa APPS telah terbukti secara sah dan
meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana
Korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
12 huruf a jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor : 31 Tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor : 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor : 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP,
sebagaimana dalam dakwaan Pertama;
b. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa APPS berupa pidana
penjara selama 12 (dua belas) tahun dikurangi selama
Terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah supaya
Terdakwa tetap ditahan dan ditambah dengan pidana denda
sebesar Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) subsidiair 6
(enam) bulan kurungan;
38
c. Menjatuhkan pidana tambahan membayar uang pengganti
sejumlah Rp.12.580.000.000,00 (dua belas milyar lima ratus
delapan puluh juta rupiah) dan US $.2.350.000,00 (dua juta
tiga ratus lima puluh ribu Dollar Amerika Serikat) selambat-
lambat satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap, dan apabila uang pengganti tersebut
tidak dibayar maka dipidana dengan pidana penjara selama
2 (dua) tahun penjara;
39
membayar uang pengganti sebesar Rp.12.580.000.000,00 (dua
belas miliar lima ratus delapan puluh juta rupiah) dan US $.
2.350.000,00 (dua juta tiga ratus lima puluh ribu dollar Amerika
Serikat) subsidair 5 (lima) tahun penjara.
Pada perkara ini Majelis Hakim Kasasi memberikan
putusan pemidanaan yang sesuai dengan tuntutan Jaksa penuntut
Umum dalam hal pidana penjara, denda maupun pengenaan uang
pengganti terhadap Terdakwa APPS, namun dalam hal pidana
pengganti dari pidana denda dan uang penggantinya yang berbeda.
Bilamana pidana dendanya tidak dibayar maka diganti dengan
pidana kurungan 8 (delapan) bulan (lebih tinggi 2 bulan kurungan
daripada yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum). Selain itu juga
terkait dengan pengenaan pidana pengganti jika tidak terbayarkan
pidana uang pengganti maka dipidana 5 (lima) tahun penjara (lebih
tinggi 3 tahun penjara sebagaimana dituntutkan oleh Jaksa Penuntut
Umum). Putusan yang demikian didasarkan atas pertimbangan
Mahkamah Agung sebagai berikut:
1. Bahwa sesuai fakta-fakta hukum dan alat-alat bukti yang sah
berupa keterangan saksi, surat dan petunjuk sebagai anggota
DPR RI yang bertugas pada Komisi X selaku Anggota Badan
Anggaran telah menerima uang dari Permai Grup sebesar Rp.
12.580.000,00 (dua belas juta lima ratus delapan puluh ribu
rupiah) dan US$.2.350.000,00 (dua juta tiga ratus lima puluh
ribu Dollar Amerika Serikat) secara bertahap, berdasarkan
bukti pengeluaran Kas Permai Grup sebagai imbalan (fee)
kepada Terdakwa terkait upaya menggiring Anggaran Proyek
Wisma Atlet Kemenpora dan Proyek-Proyek Universitas
Negari Kemendiknas;
2. Bahwa meskipun disetujuinya anggaran dalam perkara a quo
adalah wewenang Badan Anggaran DPR RI dan Pemerintah,
namun sesuai fakta-fakta yang didukung alat-alat bukti yang
sah perbuatan yang dilakukan Terdakwa selaku Anggota DPR
40
RI / Anggota Badan Anggaran merupakan salah satu bentuk
modus operandi dalam melakukan tindak pidana korupsi yang
telah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan;
3. Bahwa sesuai pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas
putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang memilih Dakwaan
Alternatif Ketiga untuk dibuktikan, oleh Pengadilan Tinggi
dinilai tepat dan benar, oleh karena itu diambil alih dan
dijadikan pertimbangan adalah tidak tepat dan keliru;
4. Bahwa perbuatan Terdakwa bersifat aktif meminta imbalan
(fee) kepada Mindo Rosalina Manulang sebesar 50% pada saat
pembahasan Anggaran DPR RI dilakukan dan sisanya 50%
setelah DIPA turun atau disetujui;
5. Bahwa Terdakwa aktif memprakarsai pertemuan untuk
memperkenalkan Mindo Rosalina Manulang kepada Harris
Iskandar, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kemendiknas;
6. Bahwa Terdakwa ikut mengajukan usulan program kegiatan
untuk sejumlah perguruan tinggi yang pada awalnya tidak
diajukan oleh Dikjen DIKTI Kemendiknas namun kemudian
diusulkan sebagai usulan dari Komisi X;
7. Bahwa Terdakwa beberapa kali memanggil Harris Iskandar
dan Dadang Sudiyarto (Kabag Perencanaan dan Penganggaran
Ditjen Dikti Kemendiknas) ke kantor DPR RI untuk membahas
alokasi anggaran yang akan diusulkan ke Kemendiknas serta
meminta Harris Iskandar dan Dadang Sudiyarto
memprioritaskan pemberian alokasi anggaran terhadap
beberapa perguruan tnggi;
8. Bahwa Terdakwa secara aktif beberapa kali melakukan
komunikasi telepon ataupun pesan Blackberry Maessenger
(BBM) dengan Mindo Rosalina Manulang tentang tindak
lanjut dan perkembangan upaya penggiringan anggaran dan
41
penyerahan imbalan uang (fee) dengan Mindo Rosalina
Manulang;
9. Bahwa Terdakwa secara aktif melakukan pertemuan baik di
gedung DPR RI, di rumah Nebu Batik Spa & Salon, Plaza FX
Senayan, di Grand Licky dan Apartemen Belezza;
Bahwa dalam perkara a quo ada perbedaan pendapat
(disenting opinion) dari pembaca I (Prof. Dr. Mohammad Askin,
SH), yang pada pokoknya sbb :
1. Bahwa berdasarkan penilaian hasil pembuktian dan
penghargaan atas kenyataan yang ada hanya menemukan
sejumlah uang yang diterima Terdakwa sebesar Rp.
2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) dan
US$.1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu Dollar Amerika
Serikat);
2. Bahwa tentang penjatuhan hukuman tambahan berupa
pembayaran uang pengganti seperti dimohonkan oleh Penuntut
Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi Republik
Indonesia tidak dapat dibenarkan oleh karena judex facti tidak
salah mempertimbangkan hukuman yang dijatuhkan;
42
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP
c. Lebih subsidair yaitu melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 18 Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
Pasal 64 ayat (1) KUHP
Atas dakwaan yang demikian maka Jaksa/Penuntut Umum
pada Kejaksaan Negeri Tanjungkarang tanggal 09 Agustus 2012
mengajukan tuntutan pidana diantaranya :
1. Menyatakan Terdakwa SW telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah ”Melakukan tindak pidana korupsi secara
bersama-sama dan berlanjut” sebagaimana diatur dalam Pasal
2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dirubah
dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP
dalam dakwaan Primair;
2. Menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa SW selama 15
(lima belas) tahun dan denda sebesar Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan;
3. Menjatuhkan pidana tambahan kepada Terdakwa yaitu
membayar uang pengganti sebesar Rp.108.861.624.800,00
(seratus delapan miliar delapan ratus enam puluh satu juta
enam ratus dua puluh empat ribu delapan ratus rupiah)
dikurangi atau setidak-tidaknya memperhitungkan dengan
barang bukti yang telah disita untuk dinyatakan dirampas
untuk Negara, berupa uang tunai sebesar Rp.1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) yang telah disetorkan ke Kas Daerah
Pemda Kabupaten Lampung Timur, serta ditambah barang-
barang yang disertakan untuk dilelang berupa:
43
a. 2 Sertifikat Tanah Hak Milik an. Terdakwa SW, yang
diserahkan langsung ke Pemda Kabupaten Lampung
Timur;
b. 9 Sertifikat Hak Milik an. Terdakwa SW;
c. 5 unit kendaraan bermotor roda 4 milik Terdakwa SW;
Dan jika Terdakwa tidak membayar uang pengganti paling
lambat 1 (satu) bulan sesudah putusan Pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa
dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dalam hal
terdakwa tidak mempunyai harta benda yang cukup untuk
membayar uang pengganti maka diganti dengan pidana penjara
selama 5 (lima) tahun.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
Tanjungkarang No. 22/PID.TPK/2011/PN.TK. tanggal 24
September 2012 memberikan putusan yang amarnya sebagai
berikut :
1. Menyatakan Terdakwa SW, telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan ”Tindak Pidana Korupsi
secara bersama-sama dan berlanjut”;
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa dengan
pidana penjara selama 5 (lima) tahun. Dan menjatuhkan pidana
denda sebesar Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan
pidana kurungan selama 2 (dua) bulan;
3. Menghukum Terdakwa untuk membayar uang pengganti
sebesar Rp.106.861.614.800,00 (seratus enam miliar delapan
ratus enam puluh satu juta enam ratus empat belas ribu delapan
ratus rupiah), dan apabila Terdakwa tidak membayar uang
pengganti dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya
dapat disita oleh Jaksa/Penuntut Umum dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut. Apabila harta bendanya
44
tidak mencukupi, maka dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu)
tahun 6 (enam) bulan.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi
Tanjungkarang No. 12/Pid.TPK/2012/PT.TK. tanggal 08 Januari
2013 menjatuhkan putusan yang amarnya yaitu: Menerima
permintaan banding dari Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan
Negeri Bandar Lampung dan Terdakwa yang diajukan oleh
Penasihat Hukumnya; dan Menguatkan putusan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Tanjungkarang No.22/
Pid/TPK/2011/PN.TK. tanggal 24 September 2012 yang
dimintakan banding tersebut; serta Membebankan biaya perkara
kepada Terdakwa dalam peradilan tingkat banding sebesar
Rp.2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah);
Atas putusan pengadilan tingkat banding tersebut, baik
Terakwa maupun Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum
Kasasi kepada Mahkamah Agung. Selanjutnya Mahkamah Agung
berpendapat, bahwa putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
pada Pengadilan Tinggi Tanjungkarang No.12/Pid.TPK/2012/
PT.TK. tanggal 08 Januari 2013 yang menguatkan putusan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
Tanjungkarang No.22/PID/TPK/2011/PN.TK. tanggal 24
September 2012 tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu
harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri
perkara tersebut. Memutuskan menolak permohonan kasasi dari
Pemohon Kasasi II/Terdakwa SW tersebut, dan mengabulkan
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I : Jaksa/ Penuntut Umum
pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung tersebut, serta
membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi
pada Pengadilan Tinggi Tanjungkarang No.12/Pid.TPK/
2012/PT.TK. tanggal 08 Januari 2013 yang menguatkan putusan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
45
Tanjungkarang No.22/PID/TPK/2011/PN.TK. tanggal 24
September 2012. Kemudian mengadili sendiri dengan :
1. Menyatakan Terdakwa SW telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”Korupsi yang
dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut”;
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa tersebut
dengan pidana penjara selama 18 (delapan belas) tahun dan
pidana denda sebesar Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar,
maka kepada Terdakwa dikenakan pidana pengganti berupa
pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;
3. Menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar
Rp.106.861.614.800,00 (seratus enam miliar delapan ratus
enam puluh satu juta enam ratus empat belas ribu delapan ratus
rupiah) dan apabila Terdakwa tidak membayar uang pengganti
tersebut paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah
putusan ini mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka
harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut, dan apabila harta benda
Terdakwa tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti
tersebut, maka dipidana dengan pidana penjara selama 2 (dua)
tahun.
Pada perkara ini Mahkamah Agung memutus pemidanaan
lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum terkait pidana
penjara yaitu 18 (delapan belas) tahun penjara (3 (tiga) tahun lebih
tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum). Adapun pertimbangan
Mahkamah Agung dalam putusannya adalah sebagai berikut,
Bahwa alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi/Jaksa/Penuntut
Umum tersebut dapat dibenarkan, karena Judex Facti telah salah
menerapkan hukum dalam pertimbangan dan putusannya, dengan
pertimbangan sebagai berikut :
46
Bahwa mengenai berat ringannya pidana penjara dan denda
serta pidana tambahan berupa uang pengganti tidak merupakan
dasar dan alasan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi karena
menjadi kewenangan Judex Facti, tetapi alasan tersebut dapat
dibenarkan, oleh karena diperoleh dari fakta hukum
persidangan, ternyata Judex Facti tidak menerapkan hukum
atau menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana
mestinya;
Bahwa mengenai pidana tambahan berupa uang pengganti,
sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf a dan huruf b
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
dinyatakan pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh
dari tindak pidana korupsi;
Bahwa sesuai fakta hukum di persidangan ternyata telah cukup
bukti yang mendukung bahwa barang bukti No. 132 sampai
dengan No. 157 yang telah disita secara sah tersebut
sebelumnya telah disimpan dan dikuasi oleh Terdakwa selaku
Komisaris Utama PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Tripanca Setiadana dan PT. BPR Tripanca Setiadana telah
dilikwidasi dan dicabut izin usahanya terhitung sejak tanggal
24 Maret 2009 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bank
Indonesia No.11/15/Kep.GB/2009, karena itu harus dirampas
dan dilelang untuk Negara;
Bahwa peran aktif Terdakwa yang telah mengajukan kredit
fiktif kepada PT. BPR Tripanca Setiadana dengan
menggunakan nama orang lain adalah modus operandi
terjadinya korupsi untuk memperkaya diri Terdakwa sendiri
selaku Komisaris Utama PT. BPR Tripanca Setiadana yaitu
bertambahnya kekayaan Terdakwa sebesar
Rp.108.861.624.800,00 (seratus delapan miliar delapan ratus
47
enam puluh satu juta enam ratus dua puluh empat ribu delapan
ratus rupiah) dan orang lain yaitu bertambahnya kekayaan
saudara Hi. Satono, S.H., S.P. sebesar Rp.10.586.575.000,00
(sepuluh miliar lima ratus delapan puluh enam juta lima ratus
tujuh puluh lima ribu rupiah) (Terpidana berdasarkan putusan
Mahkamah Agung RI No.253 K/PID.SUS/2012 tanggal 19
Maret 2012);
Bahwa perbuatan Terdakwa bersama-sama saudara Hi. Satono,
S.H.,S.P. tersebut telah menyebabkan kesulitan pembayaran
uang nasabah atau gagal bayar, karena uang pada PT. BPR
Tripanca Setiadana yang dikelola oleh Terdakwa dan
bersumber dari uang Negara/Daerah tidak ada lagi (kosong)
akibat dari perbuatannya;
Bahwa perbuatan Terdakwa bersama-sama saudara Hi. Satono,
S.H.,S.P. tersebut telah mempunyai hubungan kausal secara
yuridis, akibatnya menyebabkan adanya kerugian keuangan
Negara sebesar Rp.119.448.199.800,00 (seratus sembilan belas
miliar empat ratus empat puluh delapan juta seratus sembilan
puluh sembilan ribu delapan ratus rupiah) berdasarkan Laporan
Hasil Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara oleh
BPKP Provinsi Lampung No.S-1859/PW08/5/2009 tanggal 27
Juli 2009;
Bahwa sesuai pertimbangan putusan Judex Facti a quo yang
menyatakan semua unsur-unsur Pasal 2 Undang-Undang
No.31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam dakwaan
Primair telah cukup terpenuhi dan terbukti maka Terdakwa
patut dan adil menurut hukum apabila dijatuhi pidana berat
yang setimpal dengan perbuatannya;
Bahwa oleh karena tindak pidana korupsi telah digolongkan
sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan
mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan
48
meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan Negara,
tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat secara luas maka pemberantasan korupsi perlu
dilakukan dengan luar biasa;
Bahwa Judex Facti telah keliru dalam menilai dan menganalisa
pembuktian sehingga keliru dan salah dalam menjatuhkan
putusan tentang barang bukti, lagi pula Judex Facti dalam
menerapkan Pasal 2 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dalam dakwaan Primair tidak tepat dan
tidak adil dalam menentukan pidana selama : 5 (lima) tahun,
seharusnya sama dengan Hi. Satono, S.H.,S.P. (Terpidana
berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI No.253 K/PID.
SUS/2012 tanggal 19 Maret 2012 Hi. Satono, S.H.,S.P.
Bahwa alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa
tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena perbedaan penafsiran
mengenai fakta hukum yang diperoleh dari persidangan, lagi pula
alasan-alasan kasasi tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian
yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, alasan kasasi
semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada
tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya
berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau
peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau
apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan
Undang-Undang, dan apakah Pengadilan telah melampaui batas
wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No. 8
Tahun 1981);
49
B. Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Jaksa Penuntut
Umum dalam Perspektif Normatif
Secara normatif hukum acara pidana Indonesia (KUHAP)
tidak mengatur secara tegas bahwa putusan pemidanaan harus
sesuai ataupun di bawah dari tuntutan Jaksa Penuntut umum dan
tidak diperbolehkan melebihi tuntutan tersebut (ultra petitum).
Pada umumnya memang banyak ditemukan dalam praktek
peradilan, Hakim memutus sesuai atau di bawah tuntutan Jaksa
Penuntut Umum. Namun dalam kasus tertentu dimana ditemukan
dalam fakta persidangan terdapat hal-hal yang memberatkan
sehingga Hakim memiliki keyakinan untuk menjatuhkan pidana
lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Sebagaimana ketentuan Pasal 182 ayat (4) KUHAP bahwa
musyawarah majelis Hakim didasarkan pada surat dakwaan dan
segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan persidangan.
Dengan tetap mengacu pada surat dakwaan, majelis
bermusyawarah mempertimbangkan fakta-fakta yang terbukti di
persidangan a quo dua alat bukti yang sah dan meyakinkan (Pasal
183 KUHAP) kemudian memutuskan pemidanaan yang sesuai
dengan pertimbangan hukum Majelis baik yang meringankan
maupun memberatkan terdakwa. Jika diyakini terdapat hal yang
cukup memberatkan dan dirasa perlu dijatuhkan pemidanaan yang
lebih tinggi dari tuntutan Jaksa penuntut Umum, maka hal ini
tidaklah melanggar Hukum Acara Pidana. Karena secara normatif
tidak ada ketentuan dalam KUHAP yang melarang Hakim
memutus melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Merupakan hak daripada Hakim memutus sesuai fakta
persidangan dan keyakinannya memberikan pemidanaan melebihi
tuntutan Jaksa Penuntut Umum jika dirasa adil dan rasional.
Apalagi merupakan sebuah realitas bahwa tuntutan dari Jaksa
Penuntut Umum tidaklah selalu sama atau sesuai dengan batasan
maksimal ancaman pidana yang terdapat secara eksplisit dalam
50
peraturan Perundang-undangan. Hakim dapat memutus lebih tinggi
dari tuntutan Jaksa penuntut Umum, namun tidak boleh melebihi
batasan maksimum ancaman pidana yang ditentukan oleh Undang-
Undang. Mengenai masalah berat ringannya atau lamanya pidana
ini merupakan wewenang judex facti yang tidak tunduk pada
Kasasi, kecuali apabila judex facti menjatuhkan pidana melampaui
batas maksimum yang ditentukan Undang-Undang sebagaimana
ditentukan dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 1953 K/Pid/1988 tanggal 23 Januari 1993.61
Selain itu juga tidak diperkenankan memberikan putusan
pemidanaan yang jenis pidananya (strafsoort) tidak ada acuannya
dalam KUHP. Jenis pidana tersebut haruslah didasarkan atas Pasal
10 KUHAP yaitu pidana pokok (yang terdiri atas pidana mati,
pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda) dan pidana
tambahan (yang terdiri atas pencabutan hak tertentu, perampasan
barang-barang tertentu dan pengumuman putusan Hakim). Dalam
konteks ini berhubungan dengan asas legalitas (Pasal 1 ayat (1)
KUHP) yang terkait dengan jenis pidana yang dapat dijatuhkan
dalam putusan pemidanaan oleh Hakim. Hakim memiliki
kebebasan untuk menentukan dan memilih jenis pidana yang sesuai
baik dari yang pokok maupun tambahan sebagaimana yang
tercantun dalam Undang-Undang, hal ini merupakan conditio sine
quanon dari penerapan sistem alternatif yang ada dalam KUHP.
Hakim pun dapat leluasa dalam menentukan berat ringannya pidana
(stafmaat) dari jenis pidana (sebagaimana diatur dalam KUHP)
yang akan dijatuhkan sesuai batasan minimum umum dan
maksimum umum yang ada, dalam konteks ini bergantung dari
keyakinan dan filosofi serta tujuan pemidanaan yang hendak
diterapkan oleh Hakim.
61
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia, Bandung, Citra Adtya Bakti, 2010, Hlm. 141
51
Selain dari kedua hal ini (batas ancaman maksimum pidana
dan jenis pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang) Hakim
memiliki kebebasan dan kemandirian. Sebagaimana tugas seorang
Hakim yang tidak saja menegakkan hukum, melainkan juga
sebagai penegak keadilan. Maka dari itu pertimbangan hukum yang
cukup dengan didasari sebuah keyakinan yang mantap akan sebuah
keadilan substantif bagi Terdakwa dapat menjadi landasan
konstitusional bagi Hakim menjatuhkan putusan pemidanaan lebih
tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Apalagi secara
konstitusionalisme kemerdekaan Hakim dalam memutus perkara
dijamin oleh UUD 1945, sehingga penafsiran atas keadilan yang
tepat dan sesuai dengan perkara yang ditanganinya adalah bagian
otoritas dari Hakim. Dalam konteks inilah tuntutan Jaksa Penuntut
Umum bukanlah suatu hal yang pasti dan harus diikuti dengan
pemidanaan yang sesuai seleranya, karena Hakim bukanlah
lembaga stempel yang fungsinya mekanistik dan keberadaannya
tidaklah berada di bawah Jaksa sehingga kemandirian Hakim dalam
memutus pemidanaan tidak dapat diintervensi oleh tuntutan Jaksa
Penuntut Umum. Demikian penting kebebasan Hakim dalam
memutus pemidanaan tersebut (bisa mengacu dan sesuai atau tidak
dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum) hingga terjaminkan dalam
sebuah konstruksi negara hukum Indonesia.
62
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer (BIP), 2007, hlm.297.
52
berkaitan dengan sistem hukum yang dianut oleh negara yang
bersangkutan dan merupakan dasar utama berdirinya suatu negara.
Hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi hukum) dalam
mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum antara
negara dan masyarakat atau antar anggota masyarakat yang satu
dengan yang lain.63 Termasuk di dalamnya adalah putusan Hakim
dalam memberikan keadilan harus didasarkan pada hukum karena
Indonesia adalah negara hukum.64
Pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berdasarkan atas
hukum dan keadilan terkonstruksi dalam pondasi dari negara
hukum. Terdapat beberapa teori tentang negara hukum yang
berkaitan dengan urgensi kekuasaan kehakiman, diantaranya adalah
menurut Sri Soemantri, ciri-ciri negara yang berdasarkan atas
hukum sekurang-kurangnya ada 4 (empat), yaitu (a). Adanya
pengakuan terhadap jaminan hak asasi manusia (dan warga
negara); (b). Adanya pembagian kekuasaan; (c). Dalam
melaksanakan kewajibannya pemerintah harus selalu berdasarkan
hukum yang berlaku baik tertulis maupun tidak tertulis; dan (d).
Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan tugas
mereka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.65
Sementara itu menurut Padmo Wahjono, pokok-pokok negara
hukum adalah menghormati dan melindungi hak-hak kemanusiaan,
adanya suatu mekanisme kelembagaan negara yang demokrasi,
adanya suatu sistem tertib hukum dan adanya kekuasaan
kehakiman yang bebas.66
63
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Jakarta, UII Press, 2003, hlm.238-
239.
64
Sebagaimana yang tercantum pada Pasal 1 ayat (3) Amandemen Undang-
Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menyebutkan, “Negara Indonesia adalah
Negara Hukum”.
65
Sri Soemantri dalam Moh. Busyro Muqoddas (Penyunting), Politik Hukum
dan Pembangunan Nasional, Yogyakarta, UII Press, 1992, hlm.28.
66
Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta, In-Hill Co,
1989, hlm.10.
53
Demikian pentingnya sebuah pelaksanaan kekuasaan
kehakiman yang merdeka atau independen ini sehingga dijadikan
sebagai salah satu pilar negara hukum yang bergantung dan
terpengaruh. Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
mengatur bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman (yudikatif) adalah
independen dan diselenggarakan demi keadilan berdasarkan Ke-
Tuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya Jimly Asshidiqie
menyatakan bahwa tanpa peradilan yang bebas maka tidak ada
negara hukum dan demokrasi. Demokrasi hanya ada apabila
diimbangi oleh rule of law hanya ada apabila terdapat
independence of judiciary.67
Menurut Frank Cross, kemerdekaan kekuasaan kehakiman
dan /atau kebebasan hakim, bukanlah kemerdekaan atau kebebasan
tanpa batas. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebebasan
hakim diartikan sebagai kemerdekaan atau kebebasan proses
yudisial yang meliputi : 68
(1) Bebas dari tekanan, campur tangan dan rasa takut ketika
memeriksa dan memutus perkara;
(2) Tidak ada yang dapat menolak melaksanakan putusan hakim.
Putusan hakim adalah hukum yang wajib ditaati dan
dilaksanakan;
(3) Hakim tidak boleh diganggu gugat atau dituntut dengan alasan
putusannya salah atau merugikan orang lain; dan
(4) Hakim tidak boleh dikenakan suatu tindakan (seperti
penurunan pangkat, diberhentikan) karena putusannya.
67
Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang DasarNegara Republik
Indonesia Tahun 1945, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 95
68
Frank Cross dalam Bagir Manan, Ancaman Pidana Terhadap Hakin Ketika
Menjalankan Fungsi Yudisialnya, Varia Peradilan nomor 327, Pebruari 2013,
Hlm. 10
54
Berkaitan dengan independensi peradilan ini tidak berarti
harus dimaknai bahwa Hakim dapat memiliki kebebasan yang
tanpa batas. Maruarar Siahaaan69 menyatakan bahwa independensi
harus dimaknai dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum dan
dalam rangka menerapkan hukum secara adil, dengan mana juga
independensi tersebut berjalan seiring dengan akuntabilitas yang
diwujudkan dalam pengawasan. Bagir Manan menegaskan bahwa
wujud dari kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka adalah
adanya kebebasan hakim dalam memutus perkara. Hal ini bukan
berarti hakim boleh memutus perkara dengan sewenang-wenang,
melainkan dengan batasan sebagai berikut : 70
(1) Memutus perkara berdasarkan hukum;
(2) Untuk memberikan dan memenuhi rasa keadilan;
(3) Dalam melakukan penafsiran, konstruksi, maupun penemuan
hukum harus tetap berpegang teguh kepada asas-asas hukum
umum (general principles of law);
(4) Harus ada mekanisme menindak hakim yang memutus secara
sewenang-wenang (terutama yang berkaitan dengan
pelanggaran “code of conduct”.
Berdasarkan uraian tentang batasan kebebasan Hakim
dalam memutus perkara ini, terdapat hal yang menarik dan
berkorelasi dengan pengkajian pemidanaan lebih tinggi dari
tuntutan Jaksa Penuntut Umum yaitu bahwa Hakim dalam
memutus perkara harus didasarkan atas hukum dan rasa keadilan
serta bilamana melakukan penafsiran, konstruksi mapun penemuan
hukum harus berpegang teguh kepada asas-asas hukum umum.
Dalam konteks ini dapat diambil benang merahnya bahwa
Hakim dalam menjalankan tugas mengadili dengan menerima,
memeriksa, dan memutus perkara mentaati dan mengikuti asas-asas
69
Manuarar Siahaan, Pendapat Ahli IV, Varia Peradilan Nomor 327, Pebruari
2013, Hlm. 23
70
Bagir Manan. Op Cit, Hlm. 12.
55
hukum acara pidana serta penafsiran hukum merupakan sebuah
keniscayaan. Apalagi jika dihubungkan dengan Hak Asasi Manusia
(HAM) dari pencari keadilan atau pihak-pihak yang diadili, tentu
harus diadili sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan dalam
hukum acara peradilan yang terkait. Oleh karenanya pelanggaran
terhadap mekanisme beracara dikategorikan sebagai pelanggaran
yang serius (code of conduct), kecuali jika terdapat hal atau
masalah “ketidak-jelasan normatif” yang memerlukan penfasiran
hukum oleh Hakim.
Pompe berpendapat bahwa untuk memberlakukan Undang-
Undang pidana itu sebenarnya Hakim yang mempunyai suatu
kebebasan yang besar, oleh karena pada akhirnya Hakimlah yang
harus menilai apakah suatu perkataan atau suatu kalimat yang
terdapat di dalam Undang-Undang itu sudah jelas atau belum.
Apabila Hakim berpendapat bahwa suatu perkataan atau suatu
kalimat yang terdapat dalam Undang-Undang tidak jelas, maka ia
mempunyai suatu kebebasan untuk berusaha mengetahui arti yang
sebenarnya dari perkataan atau kalimat tersebut, baik sesuai dengan
maksud pembentuk Undang-Undang maupun sesuai dengan
maksud Undang-Undang itu sendiri.71
Menurut P.A.F. Lamintang adalah menjadi kewajiban
Hakim untuk menerapkan ketentuan-ketentuan pidana yang telah
dirumuskan dalam Undang-Undang itu dengan setepat-tepatnya,
dan untuk maksud tersebut, menjadi kewajiban mereka pula untuk
menafsirkan ketentuan-ketentuan pidana dengan setepat-tepatnya,
yakni tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan rumusan-
rumusan menegnai ketentuan-ketentuan pidana tersebut. Tujuan
perbuatan menafsirkan Undang-Undang itu sendiri selalu untuk
menentukan arti yang sebenarnya dari wilsbesluit atau dari putusan
kehendak pembentuk Undang-Undang, yaitu seperti yang tertulis di
71
P.AF. Lamintang, Dasar-Dasar untuk mempelajari Hukum Pidana yang
berlaku di Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1997, Hlm.46
56
dalam rumusan-rumusan dari ketentuan-ketentuan pidana di dalam
Undang-Undang.72
Terdapat beberapa cara atau metode penafsiran hukum
diantaranya :
1. Menafsirkan Undang-Undang menurut arti perkataan (istilah)
atau biasa disebut penafsiran gramatikal. Antara bahasa dengan
hukum terdapat hubungan yang erat sekali. Bahasa merupakan
alat satu-satunya yang dipakai pembuat Undang-Undang untuk
menyatakan kehendaknya. Karena itu, pembuat Undang-
Undang yang menyatakan kehendaknya secara jelas harus
memilih kata-kata yang tepat. Kata-kata itu harus singkat, jelas
dan tidak bisa ditafsirkan secara berlainan. Adakalanya
pembuat Undang-Undang tidak mampu memakai kata-kata
yang tepat. Dalam hal ini Hakim wajib mencari arti kata yang
dimaksud yang lazim dipakai dalam percakapan sehari-hari,
dan Hakim dapat menggunakan kamus bahasa atau meminta
penjelasan dari ahli bahasa.73
2. Menafsirkan Undang-Undang menurut sejarah atau penafsiran
historis. Setiap ketentuan Perundang-undangan mempunyai
sejarahnya. Dari sejarah peraturan Perundang-undangan Hakim
dapat mengetahui maksud pembuatnya. Terdapat dua macam
penafsiran sejarah, yaitu penafsiran menurut sejarah dan
sejarah penetapan sesuatu ketentuan Perundang-undangan.74
3. Menafsirkan Undang-Undang menurut sistem yang ada di
dalam hukum atau biasa disebut dengan penafsiran sistematik.
Perundang-undangan suatu negara merupakan satuan, artinya
tidak sebuah pun dari peraturan tersebut dapat ditafsirkan
seolah-olah ia berdiri sendiri. Pada penafsiran peraturan
72
Ibid, Hlm.40
73
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Penerbit
Alumni, Bandung, 2000, Hlm.9
74
Ibid, Hlm.10
57
Perundang-undangan selalu harus diingat hubungannya dengan
peraturan Perundang-undangan lainnya. Penafsiran sistematis
tersebut dapat menyebabkan, kata-kata dalam Undang-Undang
diberi pengertian yang lebih luas atau yang lebih sempit
daripada pengertiannya dalam kaidah bahasa yang biasa. Hal
yang pertama disebut penafsiran meluaskan dan yang kedua
disebut penafsiran menyempitkan.75
4. Menafsirkan Undang-Undang menurut cara-cara tertentu
sehingga Undang-Undang itu dapat dijalankan sesuai dengan
keadaan sekarang yang ada dalam masyarakat, atau biasa
disebut dengan penafsiran sosiologis atau penafsiran
teleologis. Setiap penafsiran Undang-Undang yang dimulai
dengan penafsiran gramatikal harus diakhiri dengan penafsiran
sosiologis. Apabila tidak demikian, keputusan yang dibuat
tidak sesuai dengan keadaan yang benar-benar hidup dalam
masyarakat. Karena itu setiap peraturan hukum mempunyai
suatu tujuan sosial, yaitu membawa kepastian hukum dalam
pergaulan atara anggota masyarakat. Hakim wajib mencari
tujuan sosial baru dari peraturan yang bersangkutan. Apabila
Hakim mencarinya, masuklah ia ke dalam lapangan pelajaran
sosiologi. Melalui penafsiran sosiologi, Hakim dapat
menyelesaikan adanya perbedaan atau kesenjangan antara sifat
positif dari hukum (rechtspositiviteit) dengan kenyataan
hukum (rechtswerkelijkheid), sehingga penafsiran sosiologis
atau teleologis menjadi sangat penting.76
5. Penafsiran otentik atau penafsiran secara resmi. Adakalanya
pembuat Undang-Undang itu sendiri memberikan tafsiran
tentang arti atau istilah yang digunakannya di dalam
perundangan yang dibuatnya. Tafsiran ini dinamakan tafsir
otentik atau tafsir resmi. Di sini Hakim tidak diperkenankan
75
Ibid
76
Ibid, Hlm.11
58
melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang
telah ditentukan pengertiannya di dalam Undang-Undang itu
sendiri.77 Terhadap perbedaan pendapat mengenai dapat
dikelompokkannya penafsiran otentik ke dalam metode
penafsiran hukum, oleh karena dinilai bahwa interpretasi
otentik tidak pernah dibicarakan bersama-sama dengan
metode-metode interpretasi lainnya oleh karena interpretasi
otentik bukanlah metode penemuan hukum oleh Hakim,
melainkan merupakan penafsiran oleh pembentuk Undang-
Undang yang dimuat dalam Undang-Undang.78
6. Penafsiran interdisipliner. Penafsiran jenis ini biasa dilakukan
dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai
disiplin ilmu hukum. Di sini digunakan logika lebih dari satu
cabang ilmu hukum. Misalnya adanya keterkaitan asas-asas
hukum perdata dengan asas hukum publik.79
7. Penafsiran multidisipliner, berbeda dengan penafsiran
interdisipliner yang masih berada dalam rumpun disiplin ilmu
yang bersangkutan, dalam penafsiran multidisipliner, seorang
Hakim harus juga mempelajari suatu atau beberpa disiplin ilmu
lainnya di luar ilmu hukum. Dengan lain perkataan, di sini
Hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain-lain
disiplin ilmu.80
8. Interpretasi komparatif adalah penafsiran dengan
memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai suatu
ketentuan Undang-Undang. Pada interpretasi komparatif maka
penafsiran peraturan itu dibenarkan dengan mencari titik temu
pada penyelesaian yang dikemukakan di pelbagai negara.
Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional
77
Ibid
78
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Yogyakarta, Universitas Atmajaya
Yogyakarta, 2010, Hlm.81
79
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Op Cit, Hlm.12
80
Ibid, Hlm.12
59
ini penting. Di luar hukum internasional degunaan metode ini
terbatas.
9. Interpretasi antisipatif atau futuristis adalah mencari
pemecahannya dalam peraturan-peraturan yang belum
mempunyai kekuatan berlaku, yaitu dalam Rancangan
Undang-Undang81 (RUU). Dengan berpedoman pada suatu
naskah RUU yang ada di tangannya, seorang hakim melakukan
penafsiran berdasarkan Undang-Undang yang belum
mempunyai kekuatan hukum karena masih dalam tahap
legislasi, belum diundangkan serta ada kemungkinan
mengalami suatu perubahan. Hakim memiliki keyakinan
bahwa naskah RUU tersebut pasti akan segera diundangkan,
sehingga ia melakukan antisipasi dengan melakukan penafsiran
futuristik atau antisipatif tersebut.82
Para yuris pidana dalam praktek tidak dapat menerapkan
hukum pidana tanpa interpretasi. Muncul pertanyaan, apakah itu
“sengaja”, “sebab”, “daya paksa” (overmacht), “melawan hukum”?
Bahkan secara khusus rumusan delik seperti “barang” yang
dipertahankan dalam pembelaan terpaksa (noodweer) berdasarkan
Pasal 49 KUHP? Apakah “barang” dalam delik pencurian (Pasal
362 KUHP) termasuk juga aliran listrik?83
Selain itu dalam konteks penggunaan penafsiran oleh
Hakim juga selalu terkandung visi putusan hukum pidana yang
dibentuknya, misalnya terkait dengan pemidanaan terhadap Pelaku
kejahatan. Apakah yang menjadi landasan dan tujuan pemidanaan
yang dijatuhkannya dan bagaimanakah akibatnya bagi kepentingan
diri Pelaku, Korban, masyarakat, bangsa dan negara pasca putusan
itu dijatuhkan serta teori pemidanaan yang manakah yang akan
81
Sudikno Mertokusumo, Op Cit, Hlm.80
82
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim (dalam Perspektif Hukum
Progresif), Jakarta, Sinar grafika, 2010, Hlm.70.
83
A. Z. Abidin dan A. Hamzah, Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia,
Jakarta, Yarsif Watampone, 2010, Hlm.104
60
digunakan dan diyakini sesuai dengan perkembangan perubahan
kesadaran hukum masyarakat.
Berdasar atas filosofi dan teori pemidanaan yang akan diacu
dalam mempertimbangkan berat ringannya pemidanaan maka
Hakim dapat memutuskan sesuai atau tidaknya dengan tuntutan
Jaksa Penuntut Umum. Pada praktiknya Hakim bisa dan
dimungkinkan untuk menerobas atau melebih tuntutan maksimum
yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum selama masih dalam
koridor batas maksimum ancaman pidana pasal yang didakwakan.
Terlebih lagi secara normatif tidak ada ketentuan Undang-Undang
khususnya KUHAP yang mengharuskan Hakim menyesuaikan
putusan pemidanaannya dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Oleh karenanya Hakim memiliki kebebasan untuk mempidana
melebihi tuntutan untuk memenuhi rasa keadilan dan nurani atau
keyakinan yang dimilikinya terhadap tujuan atau filosofi
pemidanaan yang dianutnya baik bagi kepentingan Pelaku, Korban,
kepentingan masyarakat/umum maupun bagi eksistensi negara
hukum Indonesia.
61
62
BAB V
PENUTUP
63
Selain dari kedua tersebut (batas ancaman maksimum
pidana dan jenis pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang),
Hakim memiliki kebebasan dan kemandirian. Sebagaimana tugas
seorang Hakim yang tidak saja menegakkan hukum, melainkan
juga sebagai penegak keadilan. Maka dari itu pertimbangan hukum
yang cukup terkait adanya hal yang memberatkan dengan didasari
sebuah keyakinan yang mantap akan sebuah keadilan substantif
dapat menjadi landasan konstitusional bagi Hakim menjatuhkan
putusan pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut
Umum. Hakim memiliki kebebasan untuk mempidana melebihi
tuntutan untuk memenuhi rasa keadilan dan nurani atau keyakinan
yang dimilikinya terhadap tujuan atau filosofi pemidanaan yang
dianutnya baik bagi kepentingan Pelaku, Korban, kepentingan
masyarakat/umum maupun bagi eksistensi negara.
64
DAFTAR PUSTAKA
65
H. M. A Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktek, Malang,
UMM Press, 2002
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Reformasi, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer (BIP), 2007
--------------------, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Sinar Grafika, Jakarta, 2009
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian
Kedua, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, 1995
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Bandung, Citra
Aditya Bhakti, 2012
----------------, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana,
Bandung, Citra Aditya Bakti, 2007
-----------------, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara
pidana Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bhakti, 2010
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana
dalam Teori dan Praktek, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2004
Moh. Busyro Muqoddas (Penyunting), Politik Hukum dan
Pembangunan Nasional, Yogyakarta, UII Press, 1992
Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus
Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2012
Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta, In-
Hill Co, 1989
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP:
Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan
Yurisprudensi, Jakarta, Sinar Grafika, 2010
P.AF. Lamintang, Dasar-Dasar untuk mempelajari Hukum Pidana
yang berlaku di Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti,
1997
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer,
Jakarta, Kencana, 2011
Ruslan Renggong, Hukum Acara Pidana, Jakarta, Kencana, 2014
66
RM. Suharto, Penuntutan dalam Praktek Pengadilan, Jakarta,
Sinar Grafika, 2006
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar,
Liberty, Yogyakarta, 2004
-----------------------------, Penemuan Hukum, Yogyakarta,
Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2010
Susanti Adi Nugroho Dkk, Eksaminasi Publik: Partisipai
Masyarakat Mengawasi Peradilan, ICW, Jakarta, 2003
Tolib Effendi, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana: Perkembangan
dan Pembaharuannya di Indonesia, Malang, Setara Press,
2014
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum,
Penerbit Alumni, Bandung, 2000
Yudi Kristiana, Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan
Korupsi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006
Jurnal
Bagir Manan, Ancaman Pidana Terhadap Hakin Ketika
Menjalankan Fungsi Yudisialnya, Varia Peradilan nomor
327, Pebruari 2013
Manuarar Siahaan, Pendapat Ahli IV, Varia Peradilan Nomor 327,
Pebruari 2013
Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif),
dalam Yuridika, Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember
1994
67
68
LAMPIRAN-LAMPIRAN
69
70