Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis terletak diantara dua
samudera yaitu, samudera Hindia dan samudera Pasifik serta terletak diantara dua benua
yaitu, benua Asia dan benua Australia. Secara astronomis Indonesia terletak pada 6° LU-11°
LS dan 95° BT- 141° BT, hal ini menyebabkan Indonesia dilalui garis khatulistiwa dan
karena dilalui garis khatulistiwa itulah Indonesia hanya memiliki dua musim, yaitu musim
kemarau dan musim penghujan atau lebih sering disebut beriklim tropis.

Dikarenakan Indonesia memilki iklim yang tropis, hal ini menyebabkan Indonesia
merupakan salah satu negara penyokong paru-paru dunia karena memiliki luas hutan terbesar
kedua setelah Brazil dan Indonesia adalah negara dengan jumlah spesis flora dan fauna
terbesar di dunia. Hutan di Indonesia terdiri atas dua jenis, yakni hutan heterogen yang
mayoritas di Pulau Kalimantan, Sumatera, dan Irian serta hutan homogen yang mayoritas
terdapat di Pulau Jawa dan Sulawesi. Dari hutan-hutan inilah Indonesia menjadi penghasil
oksigen, hutan-hutan tersebut banyak juga yang belum terjamah oleh manusia. Dapat
dibayangkan, ekologi paling kompleks terdapat di dalam hutan-hutan seperti yang sudah
kami jelaskan, dari ekologi tersebut Indonesia masih memiliki kekayaan alam biodiversitas
yang bahkan masih murni. Tidak hanya kekayaan alamiah saja yang dimiliki negeri ini, tetapi
juga kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM). Negeri yang
gemah ripah loh jinawi ini adalah negeri penghasil SDA terbesar di dunia seperti emas,
timah, bijih besi, minyak bumi, gas alam, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk SDM di
Indonesia tergolong memiliki jumlah yang cukup besar dan berpotensi untuk mengolah SDA
dengan SDM milik sendiri. Bahkan beberapa sumber mengatakan bahwa Indonesia adalah
Atlantis the lost city.

Dalam studi kasus ini hal yang kami titik beratkan adalah mengenai multikulturalisme
di Indonesia. Negeri ini tidak hanya kaya akan SDA dan SDM, tetapi juga kaya akan
kebudayaan. Dari Sabang sampai Merauke setiap daerahnya memiliki kebudayaan yang
berbeda-beda dengan ciri khas dan keunikan masing-masing, kekayaan kebudayaan ini
disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan sehingga terjadi
perbedaan interaksi antar pulau yang satu dengan pulau yang lainnya. Menurut Kluckhohn,
unsur-unsur kebudayaan itu sendiri mencakup perlalatan dan perlengkapan hidup, mata
pencaharian dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa baik secara lisan maupun
tulisan, kesenian seperti seni tari, seni musik, seni suara, dan seni gerak, sistem pengetahuan,
dan religi (agama). Dapat ditarik benang merah dari penjelasan di atas bahwa setiap daerah
memiliki ciri dan corak tersendiri yang memberikan kekhasan dari setiap daerah dan suku
bangsa di Indonesia ini. Meskipun Indonesia memiliki ragam budaya yang amat banyak
tetapi kita tetap satu, Bhinneka Tunggal Ika. Tentunya kebudayaan-kebudayaan itulah
warisan dari nenek moyang yang perlu dijaga kelestariannya oleh para generasi penerus
bangsa. Negara yang memiliki kebudayaan sangat kompleks seperti Indonesia ini tidak hanya
mendatangkan turis mancanegara yang berwisata untuk mengagumi keindahan alam dan
budaya Indonesia, tetapi juga mendatangkan “masalah”.

Ironisnya, belum lama ini ada satu kasus pengklaiman kebudayaan Indonesia oleh
negara tetangga, yaitu Malaysia. Malaysia mengklaim batik, angklung, dan reog sebagai
kebudayaan mereka. Tentunya ini menyebabkan renggangnya hubungan diplomatik
Indonesia-Malaysia. Kasus ini bukanlah yang pertama kalinya, karena pada masa Orde Lama
pemerintahan Ir. Soekarno Malaysia pun melakukan hal yang sama seperti pengklaiman
pulau Sipadan-Ligitan serta Blok Ambalat hingga muncul jargon pertahanan dari Indonesia
yaitu “Ganyang Malaysia.

Permasalahan dalam kasus ini adalah respon pemerintah di era reformasi khususnya
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau yang baisa disebut SBY yang sangat lamban
dalam menangani pengklaiman budaya batik Indonesia oleh Malaysia. Tentunya masyarakat
banyak yang bertanya-tanya bagaimana tindakan pemerintah saat budaya Indonesia diklaim
oleh negara Malaysia. Terangkatnya kasus ini sampai ke PBB menimbulkan pertanyaan besar
seperti: Bagaimana tindakan pemerintah pusat dalam menangani kasus pengklaiman budaya
Indonesia oleh Malaysia? Mengapa harus sampai dibaya ke pengadian tinggi PBB? Padahal
pada masa Demokrasi Terpimpin kasus serupa juga sudah terjadi hanya perbedaannya, di
masa Demokrasi Terpimpin perebutan wilayah dan sekarang di masa Demokrasi Pancasila,
perebutan budaya.

Tujuan kami memilih tema ini adalah karena kami ingin meneliti lebih lanjut
mengapa pemerintah Indonesia terkesan lamban dalam menanggapi kasus yang menyangkut
budaya negeri Indonesia tecinta ini. Alasan lain kami memilih tema ini karena keprihatinan
kami terhadap generasi penerus bangsa di era globalisasi sekarang ini yang lebih
menggandrungi budaya budaya barat dan Korea dibandingkan budaya sendiri yang memiliki
banyak ragamnya. Kecenderungan yang dialami oleh generasi penerus bangsa seperti ini
yang perlu diluruskan, karena apabila seluruh generasi penerus bangsa memiliki pola pikir,
kesukaan, dan idolisme yang sama maka punahlah satu-persatu budaya Indonesia. Tidak
dapat dipungkiri bahwa media massa dan sosial medai sangat berpengaruh dalam hal ini,
tetapi jika kita bisa mengubah pola pikir generasi muda penerus bangsa ini maka kita sudah
berjasa demi menjaga persatuan bangsa.
BAB II

PEMBAHASAN

Tindakan pemerintah yang terkesan lamban dalam menangani kasus ini membuat
sejumlah pihak dan masyarakat merasa geram, bagaimana mungkin budaya Indonesia sebagai
warisan luhur milik nenek moyang diklaim oleh negara lain yang masih bertetangga dan
memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia. Apalagi hal seperti ini bukan pertama
kalinya terjadi di Indonesia tetapi dalam penanganannya sangat jelas adanya ketimpangan
kebijaksanaan antara pemerintahan era Soekarno dengan pemerintahan era SBY.

Jika melihat sisi positif pemerintahan Soekarno dan ditinjau dari seperti apa tindakan
Soekarno saat pengklaiman Sipadan-Ligitan dan Blok Ambalat oleh Malaysia, beliau benar-
benar menunjukkan wibawa sebagaimana seharusnya seorang pemimpin dalam melindungi
rakyat, bangsa, dan negaranya. Semasa pemerintahannya, beliau bertindak tegas terhadap
segala macam pelanggaran kode etik, menjalin hubungan regional maupun internasional yang
baik dengan negara-negara tetangga maupun negara yang letaknya jauh dari Indonesia.
Selama masa Demokrasi Terpimpin, kebijaksanaan luar negeri Indonesia bergaung keras dan
tegar yang mencerminkan tempramen Soekarno dan sifat hingar-bingar politik dalam negeri.
Puncaknya adalah sekitar tahun 1960-an melalui jargon politik yang marak saat itu yaitu
“Ganyang Malaysia”. Hal tersebut menimbulkan rasa sentimentil pada masyarakat Indonesia
terhadap hal apapun yang berbau Malaysia dan hingga akhirnya Soekarno memutuskan
hubungan diplomatik dengan Malaysia.

Malaysia memiliki sebuah peluang untuk berkembang pesat sebagai negara


persemakmuran Inggris, pada masa Demokrasi Terpimpin Soekarno menganggap bahwa
Malaysia adalah anterk kolonialisme yang harus dijauhkan dengan pola pemikiran yang
berhubungan dengan kolonialisme adalah penjajahan, hal tersebut terjadi dikarenakan latar
belakang politik dan budaya Indonesia sebagai negara jajahan kolonialisme selama 350 tahun
atau tiga setengah abad lamanya yang menyebabkan trauma secara mental. Sebelum
membahas lebih lanjut mengenai tindakan pemerintah dalam kasus klaim budaya ini, kami
membahas sedikit apa yang dilakukan oleh Soekarno sebagai referensi dan bahan
perbandingan kebijaksanaan yang seharusnya dilakukan oleh SBY.

Dalam kasus pengklaiman sepihak Blok Ambalat yang diawali dengan tindakan
pemerintah Malaysia yang memberikan izin kepada perusahaan minyak Amerika, Shell untuk
melakukan eksplorasi di Blok Ambalat, perairan Karang Unarang, Sulawesi. Malaysia
mengklaim bahwa pulau tersebut adalah milik Malaysia, padahal sudah tertera dalam
Deklarasi Juanda 1957 bahwa Blok Ambalat adalah milik Indonesia, bukan milik Malaysia
dan dalam Deklarasi Juanda 1959 sudah diadopsi oleh PBB dalam Konvensi Hukum Laut,
sehingga PBB secara sah juga mengakui bahwa wilayah tersebut adalah milik Indonesia.
Tidak mengherankan apabila masyarakat Indonesia khususnya Makasar marah karena
pengklaiman itu, bahkan jargon Ganyang Malaysia tidak hanya populer di Sulawesi tetapi
juga sampai ke Pulau Jawa dan Sumatera, hal tersebut sebagai upaya rasa dan karsa persatuan
sebangsa dan setanah air dalam mempertahankan wilayah yang dimerdekakan dengan darah
ini. Mereka meminta tindakan tegas dari pemerintah atas kasus pengklaiman yang terjadi di
sekitar wilayah mereka. Secara tersirat melalui kejadian ini, Indonesia tengah mengalami
ketegangan hubungan dengan Malaysia; perang dingin.

Soekarno memang melakukan tindakan tegas dengan mengirimkan sekitar tujuh kapal
perang ke perairan Karang Unarang, hal ini semata-mata untuk mempertahankan wilayah
Indonesia, bukan untuk mengajak Malaysia berperang. Akan tetapi perairan Karang Unarang
juga dijaga oleh kapal perang Tentara Laut Diraja Malaysia, yang jika melihat dari Deklarasi
Juanda 1959 kapal perang Malaysia telah melanggar garis batas teritorial Indonesia. Menurut
Soekarno hal seperti ini sudah tidak dapat ditolerir, maka demi mempertahankan kedaulatan
dan kesatuan bangsa Indonesia Soekarno mengambil langkah tegas untuk melakukan
perundingan Malaysia. Soekarno dan segenap bangsa Indonesia saat itu tidak menginginkan
menggunakan cara kekerasan karena sudah belajar dari pengalaman saat dijajah bahwa
penyelesaian masalah dengan cara kekerasan itu tidak membuahkan hasil yang baik tetapi
malah merugikan bangsa dan negara karena dapat menyebabkan kehilangan harta dan korban
jiwa. Saat perundingan dilaksanakan diketahui bahwa dasar pengklaiman Malaysia terhadap
Blok Ambalat adalah karena potensi cadangan minyak dan gas yang dimiliki di wilayah
tersebut, hanya atas dasar faktor kepentingan ekonomi dan politik. Jika dikaji dari kasus
Sipadan-Ligitan hingga Blok Ambalat, dapat terbaca hal apa saja yang dikejar oleh Malaysia
melalui pengklaiman wilayah tersebut. Pulau Sipadan-Ligitan dan Blok Ambalat memilki
potensi cadangan minyak dan gas yang besar serta potensi penjualan untuk ekspor yang
bagus. Soekarno berpikir kritis karena berdasarkan pengalaman bangsa Indonesia yang
menjadi bahan percobaan neokolonialisme oleh Belanda.

Mengenai neokolonialisme, Soekarno tidak sembarangan memberikan pernyataan.


Memang berdasarkan faktanya bahwa Malaysia sudah di bawah pengaruh neokolonialisme
Inggris. Dilihat dari lamanya negara merdeka, Indonesia merdeka lebih lama dari Malaysia
dan kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan darah para pahlawan, berbeda dengan
Malaysia yang memiliki kemerdekaan sebagai hadiah dari Inggris. Yang menjadi pertanyaan
adalah, apakah mengklaim wilayah negara tetangga adalah bagian dari ajaran Inggris? Kami
pun tidak dapat memberikan jawaban konkret. Tetapi di sini yang memiliki andil besar dalam
kasus Sipadan-Ligitan maupun Ambalat adalah Malaysia, bukan Inggris maupun negara
persemakmuran lainnya.

Setelah kami kaji gaya kepemimpinan Soekarno dalam menghadapi klaim wilayah
Indonesia oleh Malaysia seperti di atas, berikut ini kami mengkaji gaya kepemimpinan SBY
sebagai presiden Indonesia saat ini yang juga harus turut serta menangani kasus pengklaiman
budaya oleh negara yang sama seperti dulu, yaitu Malaysia.

Beberapa waktu lalu, seperti mengulang sejarah, Malaysia kembali mengklaim apa
yang menjadi hak paten Indonesia. Kali ini yang diklaim adalah kebudayaan Indonesia. Tentu
saja ini membuat gempar bangsa Indonesia sebagai pemiliki budaya tersebut, budaya asli
yang digali dari warisan luhur nenek moyang diakui oleh bangsa lain sebagai budayanya.
Dapat kami katakan bahwa pengklaiman kebudayaan yang dilakukan oleh Malaysia ini
tergolong lemah karena sebelum diklaim oleh Malaysia, kebudayaan yang diklaim Malaysia
seperti batik tulis, reog Ponorogo, tari Pendet, dan angklung sudah lebih dulu dikenal dunia
sebagai budaya asli Indonesia. Akan tetapi yang membuat bangsa Indonesia tidak terima
adalah Malaysia menggunakaan hasil klaim dari kebudayaan Indonesia itu untuk promosi
pariwisata Indonesia.

Tetapi yang membuat bangsa Indonesia kecewa adalah respons dari pemerintah yang
lamban dalam menangani kasus ini. Sikap pemerintah seakan-akan cuek atau bahkan tidak
peduli dengan apa yang dilakukan oleh Malaysia. Karena dalam beberapa kali
wawancaramedia SBY hanya menyampaikan pada masyarakat untuk berupaya bersabar
dalam menghadapi kasus ini. Sebenarnya, masyarakat tidak memerlukan kata “sabar”, karena
yang dibutuhkan masyarakat adalah kebijaksanaan dan ketegasan sebagai pemimpin yang
mencintai rakyat, bangsa, dan negaranya. Karena di era globalisasi dan modernisasi yang
sangat berpegaruh terhadap krisis etika dan moral bangsa seperti dewasa ini, perang tidak
selalu angkat senjata tetapi bisa melalui sosial media seperti twitter, facebook, dan lain
sebagainya. Seperti yang kami pantau terdapat cukup banyak kata-kaa tajam dari masyarakat
Indonesia yang menjelek-jelekkan Malaysia begitupun dari akun twitter beberapa orang
Malaysia. Jikalau saat itu Bapak Presiden mengungkapkan secara gamblang tindakan apa
yang akan diambil oleh pemerintah demi menyelesaikan kasus tersebut maka kami yakin
tidak akan berkepanjangan hingga adu kata di sosial media seperti itu.

Bukan berarti pemerintah tidak melakukan tindakan apapun karena Indonesia juga
berlandaskan pada politik hukum nasional, melalui Kementerian Luar Negeri melakukan
dialog dengan pihak diplomatik Malaysia mengenai kasus ini. Pihak diplomatik Malaysia
mengatakan bahwa ini hanya sebuah kesalahpahaman dan pihak pemerintah Indonesia juga
sudah mengirimkan nota dialog kepada pihak diplomatik Malaysia akan tetapi tidak digubris.
Kembali, presiden kita hanya meminta masyarakatnya untuk bersabar. Terlihat di sini ada
ketidaktegasan dari pemerintah kita. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, jangan
pernah mau diinjak-injak oleh bangsa lain.

Manurut kami, apa yang dilakukan Malaysia dengan mengklaim kebudayaan


Indonesia adalah bagian dari krisis identitas yang dialami Malaysia dan sebagai upaya
mempertahankan eksistensinya maka malaysia mengklaim beberapa budaya milik Indonesia.
Menurut kami pula ini tidak sepenuhnya kesalahan Malaysia, ada kesalahan dari bangsa
Indonesia sendiri. Kebudayaan yang diklaim oleh Malaysia seperti batik tulis, angklung, dan
reog Ponorogo tersebut sudah hampir dilupakan khususnya oleh generasi muda. Sebelum
kasus pengklaiman ini terangkat ke media, dapat diperhatikan di sekitar kita bahwa banyak
generasi muda yang terlihat seperti ada gengsi tersediri jika mengenakan batik, memainkan
angklung, atau bahkan menarikan reog Ponorogo. Generasi muda di Indonesia sudah terlalu
terbawa oleh modernisasi dan westernisasi, lebih menyukai yang berbau kebarat-baratan dan
Korean mulai dari gaya berpakaian hingga selera seni. Padahal Indonesia adalah salah satu
negara dengan kebudayaan seni terkaya di dunia.

Terbukti saat dipimpin dengan gaya kepemimpinan Soekarno yang tergolong ekstrem
seperti itu saja kita masih “kecolongan” karena wilayah Indonesia yang begitu luas dan
hampir seluruhnya memiliki potensi sumber daya alam, bagaimana dengan pemerintahan
yang sekarang ini. Berdasarkan dari beberapa bahan bacaan kami dari media massa, kami
menilai SBY tidak tegas dalam menjaga kedaulatan bangsa, memang bagus selalu melakukan
diplomasi dalam upaya penyelesaian masalah yang ada di Indonesia akan tetapi tidak ada
salahnya sesekali kita angkat senjata hanya sebagai gertakan dan bukti kami segenap bangsa
Indonesia bersedia berkorban demi menjaga keutuhan kedaulatan Indonesia. Dalam
menangani kasus klaim budaya ini SBY hanya beretorika saja tanpa ada prinsip pembelaan
harkat dan martabat bangsa di mata internasional. Berulang kali beliau meminta
masyarakatnya untuk bersabar, akan tetapi jika beliau hanya terus beretorika saja tentu dapat
memicu konflik internal. Berdasarkan dari yang kami amati, sikap pemimpin utama negeri ini
seolah-olah menmpatkan kebijakan di tangan pemerintah bukan di tangan masyarakat.
Menempatkan kebijakan di tangan pemerintah di sini diartikan sebagai birokrasi atau
pemerintahan yang officialdom (kerajaan pejabat). Seperti yang kita ketahui, pada umumnya
negara yang berbentuk kerajaan bersifat ortodoks dan rigid, officialdom atau kerajaan pejabat
disamaartikan dengan negara kerajaan (kingdom) karena kebijakan yang menempatkan
kebijakan di tangan pemerintah sama saja tidak memeberikan masyarakat kesempatan untuk
berpendapatdan menyampaikan aspirasi mereka. Sangat jelas cara kepemimpinan seperti ini
tidak tepat diterapkan di Indonesia yang cenderung demokrasi. Tetapi, pada praktiknya
pemerintah di Indonesia menerapkan officialdom. Prinsip demokrasi yang paling penting
ialah meletakkan kekuasaan di tangan rakyat, bukan di tangan penguasa.

Ketidaktegasan dari pemimpin negeri inilah yang menjadi salah satu penyebab kenapa
pengklaiman budaya Indonesia oleh Malaysia terjadi beberapa kali (dapat lebih dari satu kali)
dalam satu periode kepemimpinan. Indonesia memerlukan pemimpin yang dapat tegas
memimpin Indonesia dan menjaga kedaulatan bangsa dengan segala etika dan moral menuju
good governance, bukan hanya beretorika saja. Dengan gaya kepemimpinan yang tidak tegas,
secara tidak langsung sudah mempersilahkan bangsa lain untuk melecehkan bangsa ini.
Seharusnya kita malu sebagai bangsa yang besar berkedaulatan adil dan makmur ditindas
oleh bangsa yang ‘kecil’. Apa dapat dibilang kita sudah merdeka? Belum. Bangsa ini belum
merdeka, belum merdeka dari rasa anti-nasionalisme yang terjadi dalam era ini. Kami
membaca sebuah berita online dari internet tentang tanggapan Wakil Menteri Pendidikan Dan
Kebudayaan Indonesia mengenai salah satu budaya Indonesia yang diklaim oleh Malaysia,
Tari Tor-Tor berasal dari Mandailing, Sumatera Utara. Berikut ini adalah tanggapan beliau
yang terdapat dalam www.tempo.co diakses pada 01:09.

Wakil Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Indonesia, Wiendu Nuryanti mengatakan:

1. Budaya bersifat dinamis karena mobilitas pendukungnya, tetapi budaya adalah prinsip
dan harga diri jika menyangkut identitas. Wajar dan sah-sah saja jika kemudian
Malaysia mengembangkan dan menawarkan potensi budaya Mandailing atau budaya
Indonesia yang lainnya yang ada di Malaysia.
2. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada etnis Mandailing yang tinggal, bermukim dan
memiliki kewarganegaraan Malaysia (versi Perhimpunan Anak-anak Mandailing di
Kuala Lumpur mencatat kehadiran etnis Mandailing di wilayah Malaysia sejak tahun
1800 M).
3. Malaysia wajib menyatakan bahwa tari Tor-tor yang akan didaftarkan itu berasal dari
Mandailing, Sumatera Utara. Hal tersebut ditekankan karena sejatinya tari Tor-tor
adalah milik semua warga Batak di Indonesia.
4. Pemerintah Malaysia (melalui etnis Mandailing yang berkewarganegaraan Malaysia)
berhak mengembangkan budaya Mandailing, tetapi tidak bisa menganggap budaya
Mandailing sebagai hak milik Malaysia. Karena asal muasal dan sejarahnya
merupakan milik masyarakat Sumatera Utara, Indonesia.
5. Sebagai tindak lanjut dari rapat dengan Kementerian Luar Negeri, disampaikan bahwa
sudah ada pernyataan lisan dari pihak Pemerintah Malaysia dalam hal ini
Kementerian Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan yang akan mengirimkan Nota
Penjelasan kepada Pemerintah RI melalui Kemlu paling lambat hari Rabu, 20 Juni
2012.

Yang mau kami kritik di sini adalah pendapat nomor satu dari Wakil Menteri
Pendidikan Dan Kebudayaan Indonesia tersebut, beliau mengatakan bahwa wajar dan sah-sah
saja jika Malaysia ingin mengembangkan potensi budaya Mandailing. Secara rasional,
seluruh dunia hingga PBB pun sudah mengetahui bahwa budaya Tari Tor-Tor adalah milik
bangsa Indonesia. Jika bangsa Indonesia juga mengiyakan budaya Mandailing tersebut untuk
dikembangkan potensinya oleh Malaysia maka secara tidak langsung bangsa Indonesia sudah
menyetujui agar budaya Mandailing tersebut diakui sebagai potensi Malaysia, bukan potensi
Indonesia.

Bangsa Indonesia cenderung reaktif, bukan antisipatif sehingga memerlukan seorang


provokatif. Dalam kasus klaim budaya ini saja bangsa Indonesia baru mencintai budayanya
secara afektif tidak lagi kognitif seperti mulai mengenakan batik sebagai pakaian tren, jika
saja pemerintah kita lebih antisipatif lagi seperti menetapkan sejak lama tanggal 2 September
sebagai Hari Batik Nasional bukan baru ditetapkan setalah diklaim oleh negara lain, mungkin
tidak akan sampai diklaim secara terang-terangan oleh negara tetangga.
BAB III

Penutup

Kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan kami diatas adalah pemerintahan
Indonesia yang kurang tegas dalam menangani kasus ini sehingga secara tidak langsung
sudah menjatuhkan nama baik serta harkat martabat bangsa Indonesia di mata dunia
internasional. Bangsa Indonesia memerlukan pemerintah yang tegas serta berwibawa dalam
menangani setiap kasus seperti kasus pengklaiman seperti yang dilakukan oleh Malaysia
karena budaya Indonesia merupakan bagian dari identitas serta jatidiri bangsa. Jangan sampai
identitas bangsa diinjak-injak oleh bangsa lain.

Sebagai contoh lain, pemerintah Indonesia juga lamban tidak hanya menangani kasus
klaim budaya oleh Malaysia ini tetapi juga dalam menangani bencana-bencana yang terjadi di
Indonesia. Jika ditanyakan langsung kepada mayarakat mengenai apa pendapat mereka
tentang pemerintah Indonesia khususnya selama pemerintahan SBY yang sudah berlangsung
selama hampir satu dekade atau dua periode pemerintahan, maka masyarakat juga cenderung
mengatakan yang sejujurnya seperti: kemajuan apa yang terjadi di Indonesia selama
pemerintahan SBY? Bukankah malah terjadi banyak bencana alam? Memang untuk bencana
alam ini kita tidak dapat menyalahkan pemerintah karena sudah menjadi kehendak Tuhan dan
alam, tetapi yang kami garisbawahi di sini adalah tindakan pemerintah yang seharusnya cepat
dalam menangani kasus bencana alam karena bersangkutan dengan nyawa manusia tetapi
malah masih lambat menanganinya. Bantuan langsung dari uar negeri seperti logistik ataupun
pakaian kebanyakan tidak langsung didistribusikan kepada masyarakat. Hal tersebut
menimbulkan berbagai macam pertanyaan tentang mengapa pemerintah lambat dalam
mendistribusikan bantuan?

Perlu kita sadari bahwa Indonesia adalah bangsa multikulturalisme, apabila tanpa
kerjasama ataupun kesadaran bersama demi mempertahankan tanah air bangsa maka apa
yang akan terjadi pada bangsa ini di masa yang akan datang? Kami juga tidak mampu
mereka-reka tetapi dapat diperkirakan perpecahan bangsalah yang akan terjadi dan semakin
maraknya juga pengklaiman budaya.

Dari permasalahan ini kami menyarankan bahwa masyarakat dan pemerintah


Indonesia harus menjaga dan melestarikan kebudayaan yang ada di Indonesia. Sebenernya
pengklaiman yang dilakukan oleh Negara Malaysia juga disebabkan karena adanya peluang
yang diberikan Indonesia. Masyarakat dan pemerintah selama ini dianggap kurang peduli dan
kurang memperhatikan kebudayaan negaranya. Masyarakat indoenesia terlihat seperti
terpengaruh oleh negara luar sehingga tidak memperhatikan ciri khas dari kebudayaan
negaranya sendiri. Begitu pula dengan pemerintahnya yang terlalu terfokuskan akan masalah
kerjasama internasional. Jika pemerintah tidak melihat budaya sebagai sebuah kekuatan bagi
bangsa atau daerahnya sendiri maka tidak heran suatu saat kebudayaan tersebut akan diklaim
menjadi milik Negara lain.

Pemerintah Indonesia tidak boleh lagi menutup matanya dan diam saja melihat
kebudayaannya diakui oleh Negara lain. Saran lain dari kami adalah pemerintah Indonesia
perlu mengintenskan hubungan diplomatik sebagai komunikasi politik dengan Malaysia
untuk membahas masalah kebudayaan ini agar tidak ada lagi kesalahpahaman dan konflik
antara Indonesia dan Malaysia yang berada dalam satu regional Asia Tenggara dan ASEAN
ini.
DAFTAR PUSTAKA

Holsti, K. J. dan M. Tahir Azhary. Politik Internasional. Jakarta: Erlangga, 1988.

Irtanto. Dinamika Politik Lokal Era Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Soebiantoro, M., dkk. Pengantar Ilmu Politik. Purwokerto: UPT Universitas Jenderal
Soedirman, 2000.

Thoha, Miftah. Birokrasi & Politik Di Indonesia. Jakarta: Rajawali pers, 2011.

LIPI. Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia. Bandung: Badan Penelitian Dan
Pengembangan Departemen Luar Negeri Bekerjasama Dengan Penerbit Alumni, 1984.

Leifer, Michael. Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1989.

Syaukani, Imam, dan A. Ahsin Thohari. Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta: Rajawali Pers,
2006.

http://www.tempo.co/read/news/2012/06/20/173411887/Lima-Tanggapan-Pemerintah-Soal-
Klaim-Tari-Tor-Tor

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia, 2002.

http://www.thejakartapost.com/news/2013/05/28/ri-was-home-atlantis-says-geologist.html
Kasus online uji kasus

Jakarta, Aktual.com – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Pasal 76I Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) yang
diajukan oleh seorang penjual cobek bernama Tajudin.

“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi
Arief Hidayat ketika membacakan amar putusan Mahkamah di Gedung MK Jakarta, Kamis
(19/10).

Pemohon berpendapat bahwa kententuan Pasal 76I UU Perlindungan Anak bertentangan


dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.

Terhadap dalil Pemohon, Mahkamah berpendapat tidak ada korelasi ataupun relevansi dari
dalil Pemohon tersebut, sebab Pasal 76I UU Perlindungan Anak tidak menghalangi atau
menghambat atau membatasi hak orang atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Mahkamah berpendapat jika Pemohon menganggap Pasal 76I UU Perlindungan Anak


bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, berarti Pemohon beranggapan bahwa
mengeksploitasi anak secara ekonomi adalah bagian dari hak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.

“Dalam hal ini penalaran Pemohon sungguh absurd, oleh karena itu dalil Pemohon adalah
tidak beralasan menurut hukum,” ucap Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna ketika
membacakan pertimbangan Mahkamah.

Selain itu, Mahkamah juga berpendapat bahwa persoalan yang dihadapi oleh Pemohon
bukanlah persoalan konstitusionalitas undang-undang, melainkan implementasi dari undang-
undang itu sendiri.

“Apabila dalam suatu kasus konkret seseorang dipidana karena terbukti melakukan perbuatan
yang dilarang oleh Pasal 76I UU Perlindungan Anak, hal itu bukan berarti pasal a quo
bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Palguna.
Hal itu dinilai Mahkamah karena hakim menilai bahwa dalam kasus tersebut, terdakwa
terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh penuntut umum.

Penilaian hakim demikian dikatakan Palguna tidak dapat dicampuri oleh Mahkamah.

Dalam pertimbangannya Mahkamah menjelaskan, jika orang yang bersangkutan merasa tidak
bersalah, sistem peradilan pidana telah menyediakan upaya hukum melalui upaya hukum
biasa, yaitu banding dan kasasi, hingga upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali.

“Hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya
yang berada dalam lingkungan peradilan umum,” jelas Palguna.

Tajudin selaku Pemohon dalam perkara ini sempat menjalani hukuman selama sembilan
bulan dengan dakwaan mempekerjakan anak di bawah umur. Tajudin kemudian dibebaskan
pada 14 Januari 2017 karena tidak terbukti bersalah atas dakwaan tersebut.

Atas kasus yang menimpanya, Tajudin kemudian meminta Mahkamah menafsirkan frasa
“eksploitasi secara ekonomi” dalam Pasal 76I UU Perlindungan Anak dengan lebih jelas.

Ant.

(Zaenal Arifin)
Dari kasus diatas dapat saya simpulkan sebagai berikut:

1. Tajudin selaku Pemohon.


2. Atas kasus tersebut Tajudin meminta Mahkamah menafsirkan frasa “eksploitasi
secara ekonomi” dalam Pasal 76I UU Perlindungan Anak dengan lebih jelas.
3. Pemohon berpendapat bahwa kententuan Pasal 76I UU Perlindungan Anak
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945,beranggapan bahwa
mengeksploitasi anak secara ekonomi adalah bagian dari hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
4. Putusan makamah Dalam pertimbangannya Mahkamah menjelaskan, jika orang yang
bersangkutan merasa tidak bersalah, sistem peradilan pidana telah menyediakan upaya
hukum melalui upaya hukum biasa, yaitu banding dan kasasi, hingga upaya hukum
luar biasa yaitu peninjauan kembali.

Anda mungkin juga menyukai