Anda di halaman 1dari 15

Makalah Peran Otonomi Daerah dalam Perekonomian Indonesia

Makalah Perekonomian Indonesia

“ Peran Otonomi Daerah dalam Perekonomian Indonesia”

Disusun oleh:

Lestari Purwoningsih (10.05.52.0011)

Afifatul Jannah (10.05.52.0029)

Febria Anas S (10.05.52.0032)

Nur Setiawan (10.05.52.0039)

Kartika Septiana (10.05.52.0049)

UNIVERSITAS STIKUBANK SEMARANG


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat
dan keridloan-Nya makalah ini dapat terselesaikan. Terimakasih kami ucapkan
kepada dosen pembimbing untuk mata kuliah perekonomian Indonesia, bapak Y.
Sutomo. Dimana selama ini telah banyak memberi arahan dan bimbingan kepada
kami. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih pula pada pihak-pihak lain yang
karya tulisnya kami jadikan referensi dalam proses pembuatan makalah ini.

Dalam makalah ini kami membahas persoalan mengenai bagaimana peran


otonomi daerah dalam perekonomian Indonesia serta apa dampak positif dan
dampak negatif yang timbul dari pelaksanaan kebijakan oonomi daerah.

Akhir kata, tiada gading yang tak retak. Sama halnya dengan makalah ini
yang masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu kami menerima dengan sepenuh
hati saran maupun kritik yang konstruktif dari pembaca agar kedepannya kami
dapat memperbaiki dan membuat makalah lain yang lebih baik.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Semarang, 5 April 2012


Penulis

DAFTAR ISI

Kata
Pengantar..................................................................................................................
2

Daftar
Isi............................................................................................................................ 3

Bab 1
Pendahuluan............................................................................................................
4

Latar Belakang
Masalah.................................................................................................... 4

Permasalahan..............................................................................................................
....... 5

Tujuan........................................................................................................................
........ 5

Bab II Landasan
Teori....................................................................................................... 6
Bab III
Pembahasan.......................................................................................................... 7

Bab IV
Penutup................................................................................................................. 12

Kesimpulan................................................................................................................
......... 12

Saran...........................................................................................................................
........ 12

Daftar
Pustaka.................................................................................................................... 1
3
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Salah satu rahmat yang patut disyukuri dari kemerdekaan bangsa Indonesia adalah
tetap tegaknya kesatuan bangsa dalam kemajemukan dan kebhinnekaan.
Kemerdekaan tidak hanya diisi dengan semboyan-semboyan persatuan, melainkan
telah pula diwujudkan dengan kemajuan fisik. Tampak pula bahwa kian muncul
kesadaran yang meluas bahwa daerah harus lebih diberdayakan dengan
memberikan peluang dan keleluasaan untuk menata dirinya sendiri. Kesadaran
tersebut juga tercermin dari tekad pemerintah untuk mempercepat pembangunan
di Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Ketika otonomi daerah dicanangkan oleh pemerintah pusat tanggal 1 januari 2001,
banyak yang mempertanyakan apakah otomatis akan terjadi perubahan paradigma
yang mendasar dan bersifat struktural. Pasalnya, “lagu “ yang berkumandang
diseluruh profinsi kabupaten dan kota di Indonesia adalah sentralisasi yang
dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia
(Kuncoro, 1995). Sentralisasi birokrasi maupun konsentrasi geografis aktivitas
bisnis kearah pusat kekuasaan dan modal menjadi keniscayaan. Tak pelak,
pembangunanpun bias ke kawasan barat iIndonesia, khususnya jawa dan daerah
metropolitan.

Salah satu fenomena paling mencolok dari hubungan antara sistem pemda dengan
pembangunan adalah ketergantungan pemda yang tinggi terhadap pemerintah
pusat. Pembangunan di daerah terutama fisik memang cukup pesat, tetapi tingkat
ketergantungan fiskal antara daerah terhadap pusat sebagai akibat dari
pembangunan juga semakin besar. Ketergantungan fiskal terlihat dari relatif
rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dominannya transfer dari pusat.
Otonomi daerah sekarang bukan hanya sekedar tuntutan politis, tetapi sudah
menjadi tuntutan zaman yang tidak terelakkan. Pada akhirnya, keberhasilan
pembangunan memang akan lebih bermakna jika bisa dinikmati oleh seluruh
lapisan masyarakat di tanah air.

2. Permasalahan

Adapun rumusan masalah yang ingin dijadikan sebagai pembahasan


dalam makalah ini adalah :

1. Bagaimana peran otonomi daerah dalam perekonomian Indonesia?

2. Apakah dampak positif dan negatif dari pelaksanaan otonomi daerah?

3. Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Perekonomian Indonesia

2. Untuk mengetahui peranan otonomi daerah di dalam perekonomian


Indonesia

3. Untuk mengetahui penerapan otonomi daerah, dampak positif serta


negatifnya.
BAB II

LANDASAN TEORI

Dalam mendukung penjabaran pada judul makalah ini, maka makalah ini
diperkuat oleh landasan teori sebagai berikut:

1. Otonomi daerah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

Menurut KBBI, yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah hak, wewenang,
dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Hakikat Otonomi
Hakikat otonomi adalah mengembangkan manusia-manusia Indonesia yang
otonom, yang memberikan keleluasaan bagi terkuaknya potensi-potensi terbaik
yang dimiliki setiap individu secara optimal. Oleh karena itu, penguatan otonomi
daerah harus membuka kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi setiap
pelaku dalam rambu-rambu yang disepakati bersama sebagai jaminan
terselenggaranya social order.

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah(UU


Nomor 32 Tahun 2004)

Definisi otonomi daerah sebagai berikut: “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.”

BAB III

PEMBAHASAN

Pesatnya pembangunan selama seperempat abad terakhir—sebelum terjadinya


krisis—ternyata, justru masih saja meningkatkan dominasi pusat-pusat
pertumbuhan yang telah ada selama ini, terutama Jakarta dan sekitarnya. Kira-kira
dua pertiga kue nasional dinikmati oleh Jawa dan lebih dari empat perlima
bertengger di Kawasan Barat Indonesia. Jika dengan memakai indikator yang
peling kasar saja yaitu—PDRB—kondisi ketimpangan ini sudah demikian parah,
tentu akan lebih timpang lagi jika menggunakan indikator kesejahteraan.

1. Ancaman Bermula dari Kesenjangan Antardaerah

Salah satu tantangan pembangunan yang harus diwaspadai adalah persoalan


kesejangan ini. Khususnya kesenjangan antar daerah yang mau tidak mau
berkaitan dengan 2 jenis ketimpangan lainnya. Di tengah arus globalisasi—yang
membuat batas-batas negara kian tipis, mobilitas faktor produksi semakin tinggi,
arus informai tidak terbendung, dan kesadaran akan nilai universal kian tak
terelakkan—justru masih dijumpai berbagai praktik yang menempatkan daerah-
daerah sebagai suatu unit, setidaknya unit ekonomi, yang terpisahkan satu sama
lain.

Dalam beberapa tahun terakhir, memang ada kecenderungan pertumbuhan PDRB


Kawasan Timur Indonesia sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa dan
KBI. Namun, tampaknya masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa
ketimpangan antar daerah membaik. Sebab, PDRB hanya mengindikasikan
perkembangan penduduk atau output di suatu daerah dan menafikan nilai tambah
(add value) yang dihasilkan dari proses produksi tersebut yang dinikmati oleh
pemilik faktor-faktor produksi yang berada di luar daerah yang bersangkutan.

Bagi indonesia, bentuk negara kesatuan merupakan amanat konstitusi. Semangat


kesatuan dan persatuan melekat kental pada bangsa Indonesia. Semangat ini pula
yang meladasi pelaksanaan pemerintahan di daerah sesuai Undang-Undang No.
5/1974 yang menggariskan tiga asas penyelanggaraan pemerintah di daerah yakni
desentralisasi, dekonsentrasi, dan pembantuan.

2. Trend Desentralisasi
Salah satu pilar yang harus ditegakkan dalam mengembangkan otonomi daerah
yang lebih nyata adalah aspek pembiayaan. Tanpa keseimbangan pemberian
otonomi antara tugas dan tanggung jawab dengan aspek pendanaanya, maka
esensi otonomi menjadi kabur.

Di sinilah salah satu masalah utama dari pemberdayaan daerah dalam upaya
pemerataan pembangunan. Profil hubungan keuangan pusat-daerah hingga kini
menujukan cengkeraman pemeritah pusat yang teramat kuat atas pemeritah
daerah. Tanpa adanya perubahan yang cukup mendasar dalam pola hubungan
keuangan pusat-daerah, agak sulit mebayangkan terjadinya perbaikan
ketimpangan pembagunan antardaerah.

Meskipun disadari masih terbuka peluang yang cukup besar dalam meningkatkan
pendapatan asli daerah, namun tampaknya untuk mengakselerasikan proses
pembangunan di daerah mutlak memerlukan pengaturan kembali dalam hubungan
keuangan pusat-daerah.

Dari paparan diatas, sangat kentara betapa tuntutan otonomi daerah dan
perimbangan keuangan pusat-daerah saling terkait satu sama lain, ibarat dua sisi
dari satu koin.

3. Otonomi Daerah

Otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat


mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Untuk
mewujudkan keadaan tersebut, berlaku proposisi bahwa pada dasarnya segala
persoalan sepatutnya diserahkan kepada daerah untuk mengidentifikasikan,
merumuskan, dan memecahkanya, kecuali untuk persoalan-persoalan yang
memang tidak mungkin diselesaikan oleh daerah itu sendiri dalam perspektif
keutuhan negara-bangsa. Bukan sebaliknya, yaitu proposisi bahwa seluruh
persoalan pada dasarnya harus diserahkan pada pemerintah pusat, kecuali untuk
persoalan-persoalan tertentu yang telah dapat ditangani oleh daerah.
Jika proposisi pertama yang menjadi acuan untuk pemberdayaan daerah, maka
tidak ada alasan yang membuat munculnya kesan kuat bahwa pemerintah pusat
masih setengah hati memberikan otonomi penuh kepada daerah.

4. Daya Tarik Otonomi Daerah

Otonomi daerah membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi daerah untuk


mengaktualisasikan segala potensi terbaiknya secara optimal. Dengan demikian,
setiap daerah niscaya memiliki satu atau beberapa keunggulan tertentu, relatif
terhadap daerah-daerah lainnya. Bahkan, dilihat dari segi potensinya keunggulan
tersebut bisa bersifat mutlak—misalnya, yang berasal dari aspek lokasi ataupun
anugrah sumber (factor endowment).

Beberapa prasyarat dibutuhkan untuk menyiapkan daerah-daerah menjadi pelaku


aktif di kancah pasar global:

a. Terjaminnya pergerakan bebas dari seluruh faktor produksi, barang dan


jasa di wilayah Indonesia, kecuali untuk kasus-kasus yang dilandasi oleh argumen
non-ekonomi

b. Proses politik yang juga menjamin keotonomian masyarakat lokal melalui


partisipasi politik dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak kepada
publik.

c. Tegaknya good governance baik di pusat maupun di daerah, sehingga


otonomi daerah tidak menciptakan bentuk-bentuk KKN baru.

d. Keterbukaan daerah untuk bekerjasama dengan daerah-daerah lain


tetangganya untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya yang ada.

e. Fleksibilitas sistem insentif

f. Peran pemerintah daerah lebih sebagai regulator yang bertujuan untuk


melindungi kelompok minoritas dan lemah serta menjaga harmoni dengan alam
sekitar.
5. Standardisasi Menuju Pemberdayaan Daerah

Standardisasi kegatan-kegiatan di daerah pada dasarnya tidak boleh menjadi


pengekang baru dalam pelaksanaan otonomi daerah, melainkan justru sebagai
penguat bagi perwujudan aktualisasi segala potensi daerah secara
optimal. Katakanlah standardisasi bisa dijadikan semacam prasyarat minimum
bagi setiap daerah untuk bisa menjalankan fungsinya sebagai administrator dan
regulator untuk menyejahterakan rakyatnya. Perlu pula ditekankan bahwa
pencapaian pada standar tertentu tidaklah bersifat statis. Jadi, tingkat pencapaian
yang telah digapai bisa dijadikan sebagai titik tolak untuk menuju pada standar
minimum yang telah ditetapkan.

Bagi Badan Standardisasi Nasional, boleh jadi yang menjadi concern adalah
standardisasi pada tingkat nasional. Jika demikian halnya, hendaknya
standardisasi yang diterapkan lebih bersifat memacu kulitas dan melindungi
konsumen serta masyarakat ketimbang sebagai prasyarat yang ketat. Adapun
untuk standardisasi yang berada pada tingkat propinsi dan kabupaten, lebih
diarahkan untuk kegiatan-kegiatan daerah yang ruang lingkup dan dampaknya
lebih terbtas (non-traded).

6. Dampak Positif dan Negatif Otonomi Daerah

a. Dampak Positif

Dampak positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah maka
pemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas
lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah
pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi
masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih
banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat.
Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah
serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata. Dengan
melakukan otonomi daerah maka kebijakan-kebijakan pemerintah akan lebih tepat
sasaran, hal tersebut dikarenakan pemerintah daerah cenderung lebih mengerti
keadaan dan situasi daerahnya, serta potensi-potensi yang ada di daerahnya dari
pada pemerintah pusat. Contoh di Maluku dan Papua program beras miskin yang
dicanangkan pemerintah pusat tidak begitu efektif, hal tersebut karena sebagian
penduduk disana tidak bisa menkonsumsi beras, mereka biasa menkonsumsi sagu,
maka pemeritah disana hanya mempergunakan dana beras miskin tersebut untuk
membagikan sayur, umbi, dan makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat.
Selain itu, denga system otonomi daerah pemerintah akan lebih cepat mengambil
kebijakan-kebijakan yang dianggap perlu saat itu, tanpa harus melewati prosedur
di tingkat pusat.

b. Dampak Negatif

Dampak negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagi oknum-
oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan
Negara dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu terkadang ada
kebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi Negara yang
dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan daerah tetangganya,
atau bahkan daerah dengan Negara, seperti contoh pelaksanaan Undang-undang
Anti Pornografi ditingkat daerah. Hal tersebut dikarenakan dengan system
otonomi daerah maka pemerintah pusat akan lebih sulit mengawasi jalannya
pemerintahan di daerah, selain itu karena memang dengan sistem. Otonomi daerah
membuat peranan pemeritah pusat tidak begitu berarti.

Otonomi daerah juga menimbulkan persaingan antar daerah yang terkadang dapat
memicu perpecahan. Contohnya jika suatu daerah sedang mengadakan promosi
pariwisata, maka daerah lain akan ikut melakukan hal yang sama seakan timbul
persaingan bisnis antar daerah. Selain itu otonomi daerah membuat kesenjangan
ekonomi yang terlampau jauh antar daerah. Daerah yang kaya akan semakin
gencar melakukan pembangunan sedangkan daerah pendapatannya kurang akan
tetap begitu-begitu saja tanpa ada pembangunan. Hal ini sudah sangat
mengkhawatirkan karena ini sudah melanggar pancasila sila ke-lima, yaitu “Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari uraian-uraian di atas adalah :

1. Pemberlakuan otonomi daerah sudah bukan menjadi sekedar tuntutan


politis, tetapi sudah menjadi tuntutan zaman. Karena itu setiap daerah berhak
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri serta mengoptimalkan
segala sumber daya yang dimilikinya guna meningkatkan kesejahteraan warga di
daerahnya.

2. Dengan pemberlakuan otonomi daerah, diharapkan setiap daerah


merasakanexpansion and dispersion of wealth yang lebih merata—sebagai bentuk
dampak baik dari arus globalisasi, bukannya concentration of wealth.

3. Adanya keberagaman interpretasi atas konsep dan penerapan ekonomi,


menjadikan standardisasi menjadi kata kunci bagi upaya pemberdayaan daerah.
Akan tetapi, perlu pula ditekankan bahwa pencapaian pada standar tertentu
tidaklah bersifat statis.

4. Pelaksanaan otonomi daerah dapat menimbulkan dampak positif dan


dampak negatif ibagi daerah itu sendiri maupun bagi keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

SARAN
Tidak semua daerah memiliki kemampuan dan potensi yang sama dalam
melaksanakan kebijakan otonomi daerah dan dalam menghadapi persaingan
bebas. Adalah tugas pemerintah pusat untuk membantu mengembangkan daerah-
daerah yang belum mampu “berdiri sendiri”. Dengan begitu, diharapkan
globalisasi akan memberikan dampak baik yang lebih merata dari
terjadinya expansion and dispersion of wealth, bukannya concentration of wealth.

DAFTAR PUSTAKA

Basri, Faisal. 2002. PEREKONOMIAN INDONESIA tantangan dan harapan bagi


kebangkitan Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Tambunan, Tulus, T.H. 2003. PEREKONOMIAN INDONESIA beberapa


masalah penting. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Kuncoro, Mudrajad. 2006. EKONOMIKA PEMBANGUNAN teori, masalah dan


kebijakan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN d/h AMP YKPN.

http://www.scribd.com/doc/19470904/Otonomi-Daerah

Anda mungkin juga menyukai