1. Positivisme
Positivisme merupakan aliran filsafat yang dinisbahkan/ bersumber dari pemikiran Auguste
Comte seorang folosof yang lahir di Montpellier Perancis pada tahun 1798. meskipun demikian
pemikiran-pemikirannya cukup berpengaruh yang dituangkan dalam tulisan-tulisannya antara
lain Cours de Philosophie Positive (Kursus filsafat positif) dan Systeme de Politique Positive
(Sistem politik positif). Salah satu buah pikirannya yang sangat penting dan berpengaruh adalah
tentang tiga tahapan/tingkatan cara berpikir manusia dalam berhadapan dengan alam semesta
yaitu : tingkatan Teologi, tingkatan Metafisik, dan tingkatan Positif
a. Tingkatan Teologi (Etat Theologique). Pada tingkatan ini manusia belum bisa
memahami hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat. Segala kejadian dialam semesta
merupakan akibat dari suatu perbuatan Tuhan dan manusia hanya bersifat pasrah, dan
yang dapat dilakukan adalah memohon pada Tuhan agar dijauhkan dari berbagai bencana.
Tahapan ini terdiri dari tiga tahapan lagi yang berevolusi yakni dari tahap animisme,
tahap politeisme, sampai dengan tahap monoteisme.
b. Tingkatan Metafisik (Etat Metaphisique). Pada dasarnya tingkatan ini merupakan
suatu variasi dari cara berfikir teologis, dimana Tuhan atau Dewa-dewa diganti dengan
kekuatan-kekuatan abstrak misalnya dengan istilah kekuatan alam. Dalam tahapan ini
manusia mulai menemukan keberanian dan merasa bahwa kekuatan yang menimbulkan
bencana dapat dicegah dengan memberikan berbagai sajian-sajian sebagai penolak
bala/bencana.
c. Tingkatan Positif (Etat Positive). Pada tahapan ini manusia sudah menemukan
pengetahuan yang cukup untuk menguasai alam. Jika pada tahapan pertama manusia
selalu dihinggapi rasa khawatir berhadapan dengan alam semesta, pada tahap kedua
manusia mencoba mempengaruhi kekuatan yang mengatur alam semesta, maka pada
tahapan positif manusia lebih percaya diri, dengan ditemukannya hukum-hukum alam,
dengan bekal itu manusia mampu menundukan/mengatur (pernyataan ini
mengindikasikan adanya pemisahan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang
diketahui) alam serta memanfaatkannya untuk kepentingan manusia, tahapan ini
merupakan tahapan dimana manusia dalam hidupnya lebih mengandalkan pada ilmu
pengetahuan.
Dengan memperhatikan tahapan-tahapan sepertti dikemukakan di atas nampak bahwa istilah
positivisme mengacu pada tahapan ketiga (tahapan positif/pengetahuan positif) dari pemikiran
Comte. Tahapan positif merupakan tahapan tertinggi, ini berarti dua tahapan sebelumnya
merupakan tahapan yang rendah dan primitif, oleh karena itu filsafat Positivisme merupakan
filsafat yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang dapat diterima. Segala sesuatu yang
bukan fakta atau gejala (fenomin) tidak mempunyai arti, oleh karena itu yang penting dan punya
arti hanya satu yaitu mengetahui (fakta/gejala) agar siap bertindak (savoir pour prevoir).
Manusia harus menyelidiki dan mengkaji berbagai gejala yang terjadi beserta hubungan-
hubungannya diantara gejala-gejala tersebut agar dapat meramalkan apa yang akan terjadi,
Comte menyebut hubungan-hubungan tersebut dengan konsep-konsep dan hukum-hukum yang
bersifat positif dalam arti berguna untuk diketahui karena benar-benar nyata bukan bersifat
spekulasi seperti dalam metafisika.
2. Fenomenologi
Edmund Husserl adalah filosof yang mengmbangkan metode Fenomenologi, dia lahir di
Prostejov Cekoslowakia dan mengajar di berbagai Universitas besar Eropa, Diantara tulisan-
tulisan pentangnya adalah : Logische Untersuchungen (Penyeliddikan-penyelidikan Logis) dan
Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie (gagasan-gagasan
untuk suatu fenomenologi murni dan filsafat fenomenologi) Dalam faham fenomenologi
sebagaimana diungkapkan oleh Husserl, bahwa kita harus kembali kepada benda-benda itu
sendiri (zu den sachen selbst), obyek-obyek harus diberikan kesempatan untuk berbicara melalui
deskripsi fenomenologis guna mencari hakekat gejala-gejala (Wessenchau).
Husserl berpendapat bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataan melainkan asal kenyataan,
dia menolak bipolarisasi antara kesadaran dan alam, antara subyek dan obyek, kesadaran tidak
menemukan obyek-obyek, tapi obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran. Kesadaran merupakan
sesuatu yang bersifat intensionalitas (bertujuan), artinya kesadaran tidak dapat dibayangkan
tanpa sesuatu yang disadari. Supaya kesadaran timbul perlu diandaikan tiga hal yaitu : ada
subyek, ada obyek, dan subyek yang terbuka terhadap obyek-obyek. Berkaitan dengan
hakekat obyek-obyek, Husserl berpandapat bahwa untuk menangkap hakekat obyek-obyek
diperlukan tiga macam reduksi guna menyingkirkan semua hal yang mengganggu dalam
mencapai wessenchau yaitu:
a. Reduksi pertama. Menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif, sikap kita harus
obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus diajak bicara.
b. Reduksi kedua. Menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diperoleh dari
sumber lain, dan semua teori dan hipotesis yang sudah ada
c. Reduksi ketiga. Menyingkirkan seluruh tradisi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah
dikatakan orang lain harus, untuk sementara, dilupakan,
kalau reduksi-reduksi ini berhasil, maka gejala-gejala akan memperlihaaaatkan dirinya
sendiri/dapat menjadi fenomin