REFERAT Duo Bagus Lakesla
REFERAT Duo Bagus Lakesla
Pembimbing :
LETKOL LAUT (K) dr. Akhmad Rofiq, M. Kes
NRP 11774/P
Penyusun :
Bagus Arizona Putra 2017.04.200.209
Bagus Eko Andreanto 2017.04.200.210
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan anugerahNya,
sehingga kami bisa menyelesaikan tugas referat tentang “Pengaruh HBO
terhadap Agregasi Platelet pada Decompression Sickness” dengan lancar
Alhamdulillah. Referat ini disusun sebagai salah satu tugas wajib untuk
menyelesaikan kepaniteraan klinik di Lembaga Kesehatan Kelautan TNI Angkatan
Laut Drs. Med. R. Rijadi S., Phys., dengan harapan dapat dijadikan sebagai
tambahan ilmu yang bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.
Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari bantuan dan
dukungan berbagai pihak, untuk itu saya mengucapkan terima kasih kepada :
1. Letkol Laut (K) dr. Akhmad Rofiq, M. Kes
2. Para dokter di bagian Lembaga Kesehatan Kelautan TNI Angkatan
Laut Drs. Med. R. Rijadi S., Phys. Surabaya
3. Para perawat dan pegawai di Lembaga Kesehatan Kelautan TNI
Angkatan Laut Drs. Med. R. Rijadi S., Phys. Surabaya
4. Teman-teman DM 42-H dan DM 42-I sebagai teman yang menjalani
stase lakesla bersama.
Dalam penulisan referat ini penulis menyadari adanya keterbatasan
kemampuan dan pengetahuan yang kami miliki, sehingga referat ini masih jauh dari
sempurna. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun diperlukan agar dapat
menyempurnakan karya tulis ini di masa yang akan datang.
Semoga referat ini dapat berguna bagi pembaca pada umumnya dan
penulis pada khususnya.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................................ii
KATA PENGANTAR................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ...............................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ........................................................................................................vi
BAB I .......................................................................................................................... 1
BAB II ......................................................................................................................... 2
2.1. Decompression Sickness .............................................................................. 2
2.1.1. Definisi ....................................................................................................... 2
2.1.2. Epidemiologi .............................................................................................. 2
2.1.3. Klasifikasi ................................................................................................... 3
2.1.4. Patogenesis ............................................................................................... 3
2.1.5. Manifestasi Klinis ....................................................................................... 5
2.1.6. Faktor Resiko ............................................................................................. 6
2.1.7. Pencegahan ............................................................................................... 6
2.1.8. Penatalakasanaan ..................................................................................... 7
2.2. Terapi Oksigen Hiperbarik ............................................................................ 9
2.2.1. Definisi ....................................................................................................... 9
2.2.2. Prinsip Terapi Oksigen Hiperbarik ............................................................. 9
2.2.3. Mekanisme Kerja Terapi Oksigen Hiperbarik ........................................... 10
2.2.4. Manfaat Terapi Oksigen Hiperbarik ......................................................... 12
2.2.5. Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik .......................................................... 14
2.2.6. Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik ................................................ 16
2.2.7. Komplikasi Terapi Oksigen Hiperbarik ..................................................... 16
2.3. Platelet ........................................................................................................ 17
2.3.1. Produksi Platelet ...................................................................................... 17
2.3.2. Struktur Platelet ....................................................................................... 18
2.3.3. Fungsi Platelet ......................................................................................... 18
2.3.4. Pembentukan Sumbat Platelet Hemostatik Primer .................................. 19
2.3. Pengaruh HBO terhadap Agregasi Platelet pada DCS ............................... 21
BAB III ...................................................................................................................... 23
BAB IV...................................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 25
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain 2017) .................... 14
Tabel 2. 2 Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain, 2017) ................... 15
Tabel 2. 3 Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain, 2017) ......... 16
Tabel 2. 4 Komplikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain, 2017) .............. 16
Tabel 2. 5 Komplikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain, 2017) .............. 17
vi
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Definisi
Decompression sickenss (DCS) atau penyakit dekompresi merupakan suatu
kondisi akut yang terjadi saat atau beberapa saat setelat reduksi akut pada tekanan
sekitar yang disebabkan oleh gelembung gas. Penyakit dekompresi ini dapat
disebabkan karena dekompresi akut dari permukaan datar ke ketinggian atau
permukaan tinggi, atau yang lebih sering yaitu karena dari menyelam atau setelah
dari chamber hiperbarik kembali ke tempat dengan tekanan yang normal (Moon,
2016).
DCS pertama kali ditemukan pada abad ke-19 pada pekerja udara
terkompresi (caisson) sehingga pertama kali disebut dengan nama caisson disease,
the bends karena karakteristik cara berjalan pada penderita DCS yang membungkuk
ke depan. DCS kemudian ditemukan pada penyelam, pilot, dan juga stronor. DCS
merupakan bagian dari penyakit yang berhubungan dengan gelembung gas, selain
dari emboli gas arteri atau arterial gas embolism (AGE). Kedua kondisi ini disebut
dengan nama decompression illness (Moon, 2016).
2.1.2. Epidemiologi
Apabila prosedur dekompresi diikuti dengan benar, maka penyakit
dekompresi jarang terjadi. Tingkat kejadian (per penyelaman) pada penyelaman
operasional terbuka dalam durasi menit sampai beberapa jam bervariasi pada
populasi penyelaman: biasanya 0,015% untuk penyelam penelitian, 0,01-0,019%
untuk penyelam wisata, 0,030% untuk penyelam US Navy, dan 0,095% untuk
penyelam komersial. Jumlah penyelam wisata aktif di seluruh dunia tidak
diketahui tetapi diperkirakan ada jutaan (Vann et al, 2014).
2
2.1.3. Klasifikasi
Klasifikasi DCS yang paling umum ada dua, yaitu tipe I dan tipe II. Gejala
DCS tipe I meliputi nyeri sendi (gejala muskuloskeletal dan gejala pain-only) dan
gejala yang melibatkan kulit (gejala cutaneus) atau pembengkakakan dan nyeri di
lymph node. Gejala DCS tipe II meliputi gejala neurologis, gejala telinga bagian
dalam, dan gejala cardiopulmonary (chokes) (Moon, 2016).
Istilah DCS tipe III digunakan untuk meggambarkan pasien yang menderita
AGE setelah menghirup gas inert yang banyak saat awal penyelaman dan pada
penderita yang memiliki karakteristik manifestasi AGE dan DCS neurologi (Moon,
2016).
2.1.4. Patogenesis
DCS dimulai dengan pembentukan dan peningkatan ukuran dari gelembung
gas di ekstravaskular maupun intravaskular ketika jumlah dari tekanan gas terlarut
(oksigen, karbon dioksida, nitrogen, helium) dan uap air melebihi tekanan absolut
lokal. Pada penyelaman, compressed-air tunnel dan kerja caisson, kondisi
supersturasi dapat terjadi karena peningkatan tekanan parsial gas inert di jaringan
yang terjadi ketika gas tersebut (biasanya nitrogen, terkadang helium) terhirup pada
tekanan tinggi. Supersaturasi terjadi ketika dekompresi jika tingkat reduksi tekanan
sekitar melebihi tingkat pembuangan gas inert dari jaringan. (Vann et al, 2014).
Kondisi supersaturasi gas dalam darah dan jaringan sampai suatu batas
tertentu masih bisa ditoleransi, dalam arti masih memberi kesempatan gas untuk
berdifusi keluar dari jaringan dan larut dalam darah, kemudian ke alveoli paru dan
diekshalasi keluar tubuh. Setelah melewati batas kritis tertentu (supersaturation
critique), kondisi supersaturasi akan menyebabkan gas lepas lebih cepat dari
jaringan atau darah dalam bentuk tidak larut, yaitu berupa gelembung gas.
Gelembung-gelmbung gas ada yang terbentuk dalam darah (intravaskular), jaringan
(ekstravaskular) dan dalam sel (intraseluler) (Hariyanto et al, 2018).
Setelah suatu penyelaman mungkin dapat dideteksi dengan doppler detector
adanya gelembung-gelembung gas dalam darah, walaupun tidak ada gejala
penyakit dekompresi (silent bubbles). Dengan adanya fenomena seperti diatas,
maka pengertian batas kritis supersaturasi gas yang berbahaya untuk menimbulkan
gejala penyakit dekompresi sebetulnya tidak lagi terletak pada kapan mulai timbul
gelembung gas nitrogen (teori Haldane), melainkan pada kapan gelembung gas
3
nitrogen tersebut membesar volume dan jumlahnya. Ada korelasi antara jumlah
gelembung gas yang terbentuk dengan kemungkinan timbulnya atau berat ringannya
penyakit dekompresi (Hariyanto et al, 2018).
4
Gelembung gas yang masuk ke sistem arterial akan menimbulkan gangguan
perfusi mikrovaskuler organ-organ, yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya
iskemia lokal, kerusakan jaringan dan infark. Kelainan ini bisa menyebabkan gejala
neurologis, kardiovaskular dan nyeri. Gelembung gas intravaskuler menimbulkan
agregasi trombosit pada permukaan antara gelembung gas dan plasma, yang diikuti
serangkaian proses reaksi biokimia yang komplek berupa pelepasan zat-zat seperti
katekolamin, SMAF (Smooth Muscle Activating Factor), ACTH dan faktor-faktor
humoral lain. Faktor stress akibat dekompresi diperkirakan juga berperan dalam
reaksi yang menimbulkan berbagai perubahan yang terjadi pada penyakit
dekompresi (Hariyanto et al, 2018).
Perubaahan-perubahan yang diakibatkan oleh rangkaian proses biokimia
yang terjadi pada penyakit dekompresi adalah;
1. Terjadinya peningkatan permeabilitas vaskular dengan akibat;
a. Hemokonsentrasi dan hypovolemia
b. Oedema paru
2. Stasis pada kapiler-kapiler karena adanya hemokonsentrasi
3. Hiperkoagubilitas dalam darah
4. Gangguan difusi gas-gas dalam alveoli
5
2.1.6. Faktor Resiko
1. Obesitas
Obesitas meningkatkan resiko terjadinya DCS. Penyelam yang
memiliki kelebihan 20% dari berat badan ideal, sebaiknya dilarang untuk
melakukan penyelaman sampai mereka mengurangi berat badannya sampai
mencapai berat badan idealnya.
2. Jenis Kelamin
Wanita memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami DCS yang berhubungan
dengan ketinggian terutama pada saat mereka mengalami menstruasi.
3. Sensitivitas terhadap Aktivasi Komplemen
Individu yang lebih sensitif terhadap aktivasi komplemen melalui jalur
alternatif lebih beresiko terkena DCS.
4. Kadar Kolesterol dan Hemokonsentrasi
Kadar kolesterol serum yang tinggi dan hemokonsentrasi yang tinggi
merupakan predisposisi pembentukan gelembung-gelembung gas.
5. Foramen Ovale
Adanya foramen ovale merupakan faktor resiko terjadinya DCS karena
foramen ovale dapat menyebabkan emboli vena masuk ke sirkulasi sistemik.
Fetus pada penyelam yang sedang hamil dapat terancam terkena DCS. Filter
pulmonal pada bayi yang belum berfungsi, dan gelembung gas yang dibentuk
oleh jaringan fetus atau jaringan plasenta akan melewati foramen ovale
menuju ke sirkulasi arterial fetus, dimana gelembung-gelembung ini dapat
menyebabkan emboli pada otak, spinal cord, dan organ-organ yang lain.
6. Berdiam terlalu lama pada kondisi bertekanan dan diikuti oleh dekompresi
cepat
7. Latihan berat atau stress saat berada di kedalaman
8. Terbang setelah menyelam dan kenaikan yang cepat ke dataran tinggi.
2.1.7. Pencegahan
Pencegahan terhadap penyakit dekompresi bisa dilakukan dengan
memahami tabel dan teknik dekompresi secara benar. Ada kemungkinan 1-3%
untuk mengalami penyakit dekompresi walaupun tabel telah diikuti dengan seksama.
Pencegahan lain adalah dengan menghindari faktor-faktor predisposisi, yaitu:
1. Latihan berat selama atau sesudah menyelam
6
2. Menggigil selama atau sesudah menyelam
3. Kurang tidur
4. Konsumsi alkohol
5. Kegemukan
6. Usia lebih dari 40 tahun
7. Dehidrasi
8. Udara yang dihirup banyak mengandung CO2
9. Riwayat pernah DCS
10. Riwayat cedera yang baru terjadi
Penyelam yang pernah mengalami penyakit dekompresi tidak boleh
menyelam lagi selama 3-4 minggu, jangka waktu ini dapat diperpanjang, atau sama
sekali tidak diijinkan lagi menyelam setelah kasus-kasus penyakit dekompresi yang
berat.
Kecepatan naik ke permukaan juga harus diperhatikan. Kecepatan naik yang
diijinkan biasanya tidak lebih dari 20 meter/menit. Dalam beberapa hal, kecepatan
naik 8-10 meter/menit lebih aman (Hariyanto et al, 2018).
2.1.8. Penatalakasanaan
Tatalaksana awal pada penyelam yang terkena DCS sebaiknya sama dengan
tatalaksana pada pasien lain dengan cedera besar. Memperhatikan airway,
breathing, dan circulation merupakan hal yang terpenting. Hipoksemia dapat terjadi
karena aspirasi air atau vomitus, pneumothorax, atau cardiorespiratory DCS (Moon,
2016).
Pertolongan pertama dan terbaik untuk penyakit dekompresi adalah oksigen
100% yang diberikan selama beberapa jam walaupun gejala dan manifestasinya
sudah membaik. Oksigen murni dapat menghilangkan gas inert dari paru dan
menetapkan gradien gas inert terbesar dari jaringan ke gas alveoli. Gradien ini
menyebabkan cepatnya pembersihan gas inert dari jaringan ke paru melalui perfusi
dan dari gelembung gas ke jaringan melalui difusi, sehingga terjadilah hilangnya
gelembung gas (Vann et al, 2014).
Keuntungan lain dari oksigen murni adalah perbaikan hipoksia jaringan yang
disebabkan oleh iskemia yang diinduksi gelembung gas, cedera mekanis, atau
kerusakan biokimia. Pada penelitian observasional, pasien dengan penyakit
dekompresi yang mendapatkan oksigen ketika pertolongan pertama mengalami
7
perbaikan gejala setelah beberapa kali rekompresi daripada pasien yang tidak
mendapatkan terapi oksigen (Vann et al, 2014).
Biasanya, rekompresi dilakukan di dalam mutiple chamber dimana penyelam
didampingi oleh satu atau lebih petugas. Rekompresi sementara menghirup oksigen
100% mengurangi volume gelembung gas dan meningkatkan gradien tekanan
parsial gas inert antara jaringan dan gas di alveoli. Efek ini menyebabkan perbaikan
gelembung gas dengan cepat, meredakan tekanan mekanis pada jaringan sekitar,
dan mendukung redistribusi gelembung gas yang terdapat sirkulasi mikro. Oksigen
hiperbaric juga mengoksigenasi jaringan yang terganggu dan memperbaiki respons
inflamasi yang berkontribusi pada cedera jaringan (Vann et al, 2014).
8
2.2. Terapi Oksigen Hiperbarik
2.2.1. Definisi
Terapi oksigen hiperbarik (TOHB) adalah pengobatan di mana pasien
bernapas 100% oksigen saat berada di dalam ruang hiperbarik yang bertekanan
lebih dari permukaan laut (1 atmosfer absolut [ATA]). Untuk efikasi klinis, Undersea
and Hyperbaric Medical Society menetapkan bahwa tekanan harus lebih besar dari
atau sama dengan 1,4 ATA; dalam praktek klinis, tekanan yang diterapkan biasanya
berkisar dari 2 hingga 3 ATA (Lam, et al. 2017).
9
d. Hukum Charles menyatakan bahwa pada volume tetap, suhu suatu gas
berbanding lurus dengan tekanannya.
=K
10
observasi klinis menjadi sekitar 16 kali lipat lebih tinggi dengan TOHB
(Johnston, et al. 2016).
2. TOHB meningkatkan angiogenesis, penyembuhan luka, dan respon
imun melalui sinyal sel
Angiogenesis adalah proses terbentuknya jaringan pembuluh darah baru
seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan darah dan oksigen di dalam
jaringan. Angiogenesis dapat berlangsung dengan dua proses utama: migrasi
sel endotelial, di mana pembuluh darah baru terbentuk sebagai perpanjangan
jaringan yang ada, dan pembagian pada lumen pembuluh darah dengan
peningkatan jaringan kapiler (Johnston, et al. 2016).
Penyembuhan luka adalah proses normal yang terdiri dari empat fase:
hemostasis, peradangan, proliferasi, dan remodelling jaringan. Ketersediaan
oksigen sangat penting dalam penyembuhan luka terutama untuk
memfasilitasi fosforilasi oksidatif untuk fungsi seluler normal. Namun, selama
fase awal penyembuhan luka, luka dapat bersifat hipoksik. Hal ini dapat
menstimulasi sinyal untuk angiogenesis dan faktor-faktor penyembuhan luka
lainnya seperti hypoxia-inducible factors (HIF), platelet derived growth factor
(PDGF), transforming growth factor beta (TGF-β), vascular endothelial growth
factor (VEGF), tumor necrosis factor alpha (TNF-α), dan pre-pro-endothelin 1
(PPET-1) (Johnston, et al. 2016).
TOHB telah terbukti menurunkan peradangan dengan menghambat
prostaglandin, IFN-γ, IL-1, dan IL-6. Efek anti-inflamasi ini dapat
meningkatkan sistem imun tubuh dengan menurunkan agen imunosupresif
seperti prostaglandin, IL-1, IL10. Respons sistem imun tubuh lebih lanjut yang
ditambah dengan TOHB untuk membantu produksi spesies oksigen reaktif
(ROS) oleh leukosit. Selain sebagai tambahan untuk penekanan sitokin,
aktivitas anti-inflamasi, dan respon imun, TOHB juga memiliki efek pada
produksi antioksidan (Johnston, et al. 2016).
3. TOHB dan jalur respon antioksidan
Cedera, infeksi, dan penyakit kronis dapat mengaktivasi jalur respons stress.
Sel menghasilkan antioksidan sebagai respons untuk stress tersebut. Sistem
utama yang mengatur produksi antioksidan adalah Nrf2-Keap1 / cytoplasmic
oxididative stress system. Keap1 adalah cytoplasmic chaperone protein yang
berikatan dengan Nrf2 – transcription factors. Nrf2 meningkat secara
11
universal setelah TOHB, menunjukkan bahwa sitoproteksi pada sel-sel
endotelial dengan aktivasi jalur antioksidan adalah mekanisme kunci dari
TOHB. Nrf2 memuncak pada 4 jam setelah terpapar TOHB dan diekspresikan
dalam level kontrol pada 24 jam berikutnya setelah paparan. TOHB,
meskipun terbukti meningkatkan Nrf2 dalam beberapa jam setelah paparan
sebenarnya menyebabkan penurunan jangka panjang dalam ekspresi Nrf2
ketika TOHB dilanjutkan dengan pola pemaparan yang relevan secara klinis.
Tanggapan bi-phasic ini diperkirakan mengindikasikan peningkatan jangka
pendek protein antioksidan sitoprotektif yang dirangsang oleh paparan TOHB,
tetapi akhirnya berkontribusi untuk penurunan jangka panjang dalam produksi
antioksidan karena efek sitoprotektif dari TOHB lanjutan (Johnston, et al.
2016).
12
g Luka pasca operasi
a. Terapi HBO dapat mempercepat proses penyembuhan luka dan
mencegah terjadinya infeksi.
b. Penyembuhan telapak tangan yang terputus setelah operasi
penyambungan
c. Penyembuhan ujung amputasi kaki pada penderita DM.
h Kebugaran dan kecantikan
Pemberian terapi HBO dapat meningkatkan dan mempertahankan kebugaran
tubuh, menghilangkan kelelahan serta dapat meningkatkan elastisitas kulit
dan peremajaan sel-sel tubuh.
i Terapi HBO juga berguna untuk:
a. Keracunan gas CO
b. Cangkokan kulit
c. Osteomyelitis
d. Meningkatkan Konsentrasi Oxygen pada seluruh jaringan tubuh
bahkan pada aliran darah yang berkurang
e. Rehabilitasi pasca stroke
f. Merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru untuk meningkatkan
aliran darah pada sirkulasi yang berkurang
g. Mampu membunuh bakteri, terutama bakteri anaerob seperti
clostridium perfingens (penyebab penyakit gangren)
h. Mampu menghentikan aktifitas bakteri (bakteri ostatik)
i. Antara lain bakteri E. coli dan pseudomonas sp. Yang umumnya
ditemukan pada luka-luka mengganas
j. Mampu menghambat produksi racun alfa toksin
k. Memperbaiki fungsi ereksi pada penderita diabetes
l. Tubuh menjadi segar, badan tidak mudah lelah, gairah hidup
meningkat, tidur lebih enak dan pulas
m. Radionekrosis
n. Meningkatkan motilitas sperma pada kasus infertilitas
o. Alergi
13
2.2.5. Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik
Indikasi untuk terapi oksigen hiperbarik bervariasi di setiap negara. Indikasi
yang disetujui oleh Undersea and Hyperbaric Medical Society sangat terbatas dan
bergantung pada bukti kemanjuran terapi oksigen hiperbarik oleh penelitian (James
and Jain, 2017)
14
Tabel 2. 2 Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain, 2017)
15
2.2.6. Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik
Kontraindikasi terapi oksigen hiperbarik dibagi menjadi dua, yaitu kontraindikasi
absolut dan relatif; (James and Jain, 2017)
16
Tabel 2. 5 Komplikasi Terapi Oksigen Hiperbarik (James and Jain, 2017)
2.3. Platelet
17
kecepatan maturasi megakariosit. Jumlah platelet mulai meningkat 6 hari setelah
dimulainya terapi dan tetap tinggi selama 7-10 hari. Interleukin-11 juga dapat
meningkatkan platelet dalam sirkulasi.
Jumlah platelet normal adalah sekitar 250 x 109/l (rentang 150-400 x 109/l)
dan lama hidup platelet yang normal adalah 7-10 hari. Hingga sepertiga dari platelet
produksi sumsum tulang dapat terperangkap dalam limpa yang normal, tetapi jumlah
ini meningkat menjadi 90% pada kasus splenomegali berat.
18
2.3.4. Pembentukan Sumbat Platelet Hemostatik Primer
Agar dapat terjadi hemostasis primer yang normal, dan agar platelet
memenuhi tugasnya membentuk sumbat platelet inisial, maka harus terdapat platelet
dalam jumlah memadai di dalam sirkulasi, dan platelet tesebut harus berfungsi
normal. Fungsi hemostasis normal memerlukan peran serta platelet yang
berlangsung secara teratur, yang penting dalam pembentukan sumbat hemostatik
primer. Hal ini melibatkan, pada awalnya, adhesi platelet, agregasi platelet dan
akhirnya reaksi pembebasan platelet disertai rekrutmen platelet lain.
2.3.4.1. Adhesi Platelet
Setelah cedera pembuluh darah, platelet melekat pada jaringan ikat
subendotel yang terbuka. Platelet menjadi aktif apabila terpajan ke kolagen
subendotel dan bagian jaringan yang cedera. Adhesi platelet melibatkan
suatu interaksi antara glikoprotein membrane platelet dan jaringan yang
terpajan atau cedera. Adhesi platelet bergantung pada faktor protein plasma
yang disebut faktor von Willebrand, yang memiliki hubungan yang integral
dan kompleks dengan faktor koagulasi antihemofilia VIII plasma dan reseptor
platelet yang disebut glikoprotein Ib membrane platelet. Adhesi platelet
berhubungan dengan peningkatan daya lekat platelet sehingga platelet
berlekatan satu sama lain serta dengan endotel atau jaringan yang cedera.
Dengan demikian, terbentuk sumbat hemostatik primer atau inisial.
Pengaktifan permukaan platelet dan rekrutmen platelet lain menghasilkan
suatu massa platelet lengket dan dipermudah oleh proses agregasi platelet.
2.3.4.2. Agregasi
Agregasi adalah kemampuan platelet melekat satu sama lain untuk
membentuk suatu sumbat. Agregasi awal terjadi akibat kontak permukaan
dan pembebasan ADP dari platelet lain yang melekat ke permukaan endotel.
Hal ini disebut gelombang agregasi primer. Kemudian, seiring dengan makin
banyaknya platelet yang terlibat, maka lebih banyak ADP yang dibebaskan
sehingga terjadi gelombang agregasi sekunder disertai rekrutmen lebih
banyak platelet. Agregasi berkaitan dengan perubahan bentuk platelet dari
discoid menjadi bulat. Gelombang agregasi sekunder merupakan suatu
fenomena ireversibel, sedangkan perubahan bentuk awal dan agregasi primer
masih reversible.
19
In vitro, agregasi dapat dipicu dengan reagen ADP, thrombin, epinefrin,
serotonin, kolagen atau antibiotik ristosetin.
Agregasi in vitro juga terjadi dalam dua fase :
1. Agregasi primer atau reversible
2. Agregasi sekunder atau ireversibel.
Pengikatan ADP yang dibebaskan dari platelet aktif ke membrane
platelet akan mengaktifkan enzim fosfolipase, yang menghidrolisis fosfolipid di
membrane platelet untuk menghasilkan asam arakidonat. Asam arakidonat
adalah precursor mediator kimiawi yang sangat kuat baik pada agregasi
maupun inhibisi agregasi yang terlibat dalam jalur prostaglandin. Melalui
proses ini, asam arakidonat diubah di sitoplasma platelet oleh enzim
siklooksigenase menjadi endoperoksida siklik,
PGG2 dan PGH2. Stimulator kuat untuk agregasi platelet, senyawa
tromboksan A2, dihasilkan oleh kerja enzim tromboksan sintetase pada
berbagai endoperoksidase siklik ini. Tromboksan A2 adalah senyawa yang
sangat aktif, tetapi tidak stabil yang mengalami penguraian menjadi
tromboksan B2 yang stabil dan inaktif. Tromboksan A2 juga merupakan
vasokonstriktor kuat yang akan mencegah pengeluaran darah lebih lanjut dari
pembuluh yang rusak.
20
tromboksan A2. Tromboksan A2 memperkuat agregasi platelet serta
mempunyai aktivitas vasokonstriksi yang kuat. Reaksi pelepasan dihambat
oleh zat-zat yang meningkatkan kadar cAMP platelet, salah satunya adalah
prostasiklin (PGI2) yang disintesis oleh sel endotel vascular. Prostasiklin
merupakan inhibitor agregasi platelet yang kuat dan mencegah deposisi
platelet pada endotel vascular normal.
21
komplemen, kinin, fibrinolytic serta jalur koagulasi. Respon inflamasi selanjutnya
akan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler.
Terapi HBO meregenerasi NO yang selanjutnya akan menstimulasi guanylate
cyclase untuk mengatur cyclic guanosine monophospat (c-GMP) menghambat
agregasi platelet.
22
BAB III
KERANGKA KONSEP
Pendirita DCS
Agregasi platelet ↓
23
BAB IV
KESIMPULAN
24
DAFTAR PUSTAKA
Devaraj, Divya, dan D Srisakthi. “Hyperbaric Oxygen Therapy – Can It Be the New
Era in Dentistry?” National Center for Biotechnology Information 8(2) (2
2014): 263–265.
Gill AL, Bell CNA, 2014, Hyperbaric oxygen, its uses, Mechanism of action and
Outcomes, QJ Med.
Johnston, Benjamin R, Austin Y, Bielinsky Brea, dan Paul Y Liu. “The Mechanism
of Hyperbaric Oxygen Therapy.” Rhode Island Medical Journal, 2 2016: 26-
29.
Lam, Gretl, Rocky Fontaine, Frank L. Ross, dan Ernest S. Chiu. “Hyperbaric
Oxygen Therapy: Exploring the Clinical Evidence.” Skin & Wound Care
(Advances in Skin & Wound Care) 30, no. 4 (April 2017): 181– 190.
Vann RD, Butler FK, Mitchell SJ, Moon RE, 2014. Decompression illness. Lancet
377: 153–164.
25