Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

APPENDICITIS AKUT

Disusun oleh :
dr. Michaela Vania Tanujaya. S.ked

Pendamping :
dr. Nyoman Wardiana
dr. A.A Ngurah Oka Jaya

1
PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIAR
RUMAH SAKIT BALIMED
DENPASAR BARAT
BALI
2019

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................. 1

Daftar Isi........................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ .3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... .4

BAB III LAPORAN KASUS........................................................................... .24

BAB IV PEMBAHASAN KASUS .................................................................. .33

BAB V KESIMPULAN.....................................................................................35

Daftar Pustaka....................................................................................................36

3
BAB I
PENDAHULUAN

Appendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang dikenal di
masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus buntu yang sebenarnya adalah
sekum. Organ yang tidak diketahui fungsinya ini sering menimbulkan masalah
kesehatan. Peradangan akut appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk
menghindari komplikasi yang umumnya berbahaya.
Appendicitis merupakan peradangan dari appendiks vermiformis, yang lebih
dikenal dengan sebutan infeksi usus buntu dan ini merupakan penyakit yang sering
dijumpai. Meskipun sebagian besar pasien dengan appendicitis akut dapat dengan
mudah didiagnosis tetapi tanda dan gejalanya cukup bervariasi, sehingga diagnosis
secara klinis dapat menjadi sulit ditegakkan, untuk itu dokter harus mempunyai
pengetahuan yang baik untuk mengenal appendicitis. Pada appendicitis tidak
mungkin dapat ditemukan satu gejala klinis yang tidak dapat ditentukan oleh satu
tes khusus untuk mendiagnosanya secara tepat. Pada beberapa kasus appendicitis
dapat sembuh tanpa pengobatan, tapi banyak juga yang memerlukan laparotomi.
Appendicitis akut dapat menyebabkan kematian karena peritonitis dan syok.
Appendicitis merupakan penyebab tersering dari nyeri abdomen yang
progresif dan menetap pada semua golongan umur, kegagalan menegakkan
diagnosa dan keterlambatan penatalaksanaannya akan menyebabkan peningkatan
morbiditas dan mortalitas.
Pada masyarakat dengan kebiasaan diet tinggi serat, appendicitis jarang
terjadi, dikarenakan serat akan menurunkan viskositas feses, mempersingkat waktu
transit feses dan menghambat pembentukan fekalit. Fekalit dapat menyebabkan
obstruksi pada lumen appendiks. Kejadian appendicitis dapat berkurang karena
kebiasaan diet tinggi serat dan kebiasaan menggunakan toilet jongkok bila
dibandingkan dengan toilet duduk.1

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

APPENDICITIS AKUT
2.1 ANATOMI 2,3
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch
membentuk produk immunoglobulin, berbentuk tabung, panjangnya kira-kira
10 cm (kisaran 3-15 cm) dengan diameter 0,5-1 cm, dan berpangkal di caecum.
Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal.
Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen, tepatnya di
ileocaecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia
colica, dan taenia omentum). Dari topografi anatomi, letak pangkal appendiks
berada pada titik McBurney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS
kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.
Appendix vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum)
yang bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale.
Mesenteriolum berisi a.apendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya
terletak 2,5 cm dari katup ileocecal. Mesoapendiknya merupakan jaringan
lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan terkadang juga memiliki
limfonodi kecil.
Struktur appendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu
mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan
sirkuler) dan serosa. Appendiks mungkin tidak terlihat karena adanya membran
Jackson yang merupakan lapisan peritoneum yang menyebar dari bagian lateral
abdomen ke ileum terminal, menutup caecum dan appendiks. Lapisan
submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastik membentuk
jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara mukosa dan submukosa
terdapat lympho nodes. Mukosa terdiri dari satu lapis collumnar epithelium dan
terdiri dari kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding dalam sama dan
berhubungan dengan caecum (inner circular layer). Dinding luar (outer

5
longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli pada pertemuan
caecum dan appendiks. Taenia anterior digunakan sebagai pegangan
untuk mencari appendiks.
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi
minggu ke-8 yaitu bagian ujung dari protuberans caecum. Pada saat antenatal
dan postnatal, pertumbuhan dari caecum yang berlebih akan menjadi
appendiks, yang akan berpindah dari medial menuju katup ileosekal.
Pada bayi, appendiks berbentuk kerucut , lebar pada pangkalnya dan
menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya
insiden appendicitis pada usia itu.
Pada 65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan appendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada
panjang mesoappendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, appendiks
terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di belakang kolonasendens,
atau di tepi lateral kolon asendens. Gejala klinis appendicitis ditentukan oleh
letak appendiks.

Jenis-jenis Posisi Appendiks : 4


1. Promontorik : ujung appendiks menunjuk ke arah promontorium
sacri.
2. Retrocolic : appendiks berada di belakang kolon ascenden dan
biasanya retroperitoneal.
3. Antecaecal : appendiks berada di depan caecum.
4. Paracaecal : appendiks terletak horizontal di belakang caecum.
5. Pelvic Descenden : appendiks menggantung ke arah pelvis minor.
6. Retrocaecal : intraperitonal atau retroperitoneal; appendiks berputar
ke atas ke belakang caecum.

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti


a.mesenterika superior dan a.appendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis

6
bermula di sekitar umbilikus. Pendarahan appendiks berasal dari a.
appendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat,
misalnya karena trombosis pada infeksi, appendiks akan mengalami gangren.2
Secara histologis, appendiks mempunyai basis struktur yang sama
seperti usus besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vaskular submukosa
oleh mukosa maskularis. Bagian luar dari submukosa adalah dinding otot yang
utama. Appendiks terbungkus oleh tunika serosa yang terdiri atas vaskularisasi
pembuluh darah besar dan bergabung menjadi satu di mesoapendiks. Jika
appendiks terletak di retroperitoneal, maka appendiks tidak terbungkus oleh
tunika serosa.4

Histologis : 4
- Tunika Mukosa : memiliki kriptus tetapi tidak memiliki villus.
- Tunika Submukosa : banyak folikel lymphoid.
- Tunika Muskularis : stratum circulare sebelah dalam dan stratum
longitudinale (gabungan tiga taenia coli) sebelah
luar.
- Tunika Serosa : bila letaknya intraperitoneal asalnya dari
peritoneum viscerale.

Gambar 1 : Anatomi Appendiks

7
2.2 FISIOLOGI 2,3
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara
appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendicitis. Imunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang
terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah IgA.
Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun
demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh
karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan
jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar 2
minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat
dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak
ada jaringan lymphoid lagi di appendiks dan terjadi penghancuran lumen
appendiks komplit.

2.3 DEFINISI 2
Appendicitis merupakan peradangan pada appendix vermiformis.
Peradangan akut appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk
mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya.

2.4 ETIOLOGI
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendicitis. Fekalit
merupakan penyebab tersering dari obstruksi appendiks. Penyebab lainnya
adalah hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan Roentgen, diet
rendah serat, dan cacing usus termasuk ascaris. Trauma tumpul atau trauma
karena colonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada appendiks.
Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi.
Fekalit ditemukan pada 40% dari kasus appendicitis akut, sekitar 65%
merupakan appendicitis gangrenous tanpa ruptur dan sekitar 90% kasus
appendicitis gangrenous dengan ruptur.

8
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan appendicitis adalah
erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. histolytica. Penelitian
epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis. Konstipasi akan
meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon
biasa. Semuanya akan mempermudah terjadinya appendisits akut.3

2.5 PATOFISIOLOGI
Appendicitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks
oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa
appendiks yang distensi. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan.
Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen. Kapasitas lumen appendiks normal hanya sekitar 0,1 ml.
Jika sekresi sekitar 0,5 ml dapat meningkatkan tekanan intralumen sekitar 60
cmH2O. Manusia merupakan salah satu dari sedikit yang dapat
mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi
gangren atau terjadi perforasi.2
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan appendiks
mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan
invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan appendiks bertambah
(edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah
intramural (dinding appendiks). Pada saat inilah terjadi appendicitis akut fokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi
dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena
ditentukan banyak faktor. 2,3

9
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini
disebut dengan appendicitis supuratif akut.2
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding appendiks
yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan appendicitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendicitis
perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak ke arah appendiks hingga timbul suatu massa lokal
yang disebut infiltrate appendicularis. Peradangan appendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang.
Infiltrat appendikularis merupakan tahap patologi appendicitis yang
dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding appendiks dalam
waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan
membatasi proses radang dengan menutup appendiks dengan omentum, usus
halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periappendikular. Di dalamnya
dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi.
Jika tidak terbentuk abses, appendicitis akan sembuh dan massa
periappendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri
secara lambat.

Dalam pathogenesis appendicitis akut urutan kejadiannya adalah : 5


1. Obstruksi lumen menyebabkan sekresi mukus dan cairan yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal.
2. Ketika tekanan intraluminal meningkat, tekanan dalam mukosa
venula dan limfatik meningkat, aliran darah dan limfe terhambat
karena tekanan meningkat pada dinding appendiceal.
3. Ketika tekanan kapiler meningkat, terjadi iskemia mukosa inflamasi
dan ulserasi kemudian bakteri tumbuh pesat di dalam lumen dan

10
bakteri menyerang mukosa dan submukosa sehingga terjadi
inflamasi transmural, edema, vascular stasis, dan nekrosis dari
muscular. Perforasi mungkin dapat terjadi.

Pada perjalanan penyakitnya, penyakit appendicitis akut dapat berubah


menjadi : 5
1. Phlegmon 2-3 hari perforasi, 3-5 hari peritonitis difusa sepsis.
Phlegmon ialah proses penahanan dalam jaringan ikat longgar. Pada
orang dewasa, terjadi karena keterlambatan dalam menegakkan
diagnosa, sedangkan pada anak kecil disebabkan appendiks kecil
dan kurang komunikatif.
2. Mikroperforasi massa / infiltrate periappendiks.
Mikroperforasi adalah suatu peradangan oleh omentum dan jaringan
sekitarnya. Tubuh melokalisir perforasi oleh karena daya tahan
tubuh meningkat (dengan pemberian antibiotik).
Jika peradangan tidak sempurna, dapat terjadi penyebaran pus dari
ruangan omentum.

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih


panjang, dinding appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan
daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah.3
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding appendiks, omentum,
usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria,
uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila
proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan
timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih
belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis,
oleh karena itu penderita harus benar-benar istirahat.2

11
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan
jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di
perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan
dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.3

2.6 MANIFESTASI KLINIS


a. Gejala Klinis
Appendicitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang
kemudian disertai adanya massa periapendikular. Gejala appendisitis akut
umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai dengan nyeri perut yang
didahului anoreksia. Gejala klasik appendicitis akut biasanya bermula dari
nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus. Nyeri menetap, kadang
disertai kram yang hilang-timbul. Dalam 2-12 jam nyeri beralih ke kuadran
kanan, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Pada
permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap.
Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin
progresif.2
Terdapat juga keluhan malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi.
Suhu tubuh biasanya naik hingga 38oC, tetapi pada keadaan perforasi suhu
tubuh meningkat hingga >39oC. Biasanya juga terdapat konstipasi tetapi
kadang-kadang terjadi diare, mual dan muntah. Sebagian besar pasien
mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan banyak pasien yang merasa
nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada beberapa pasien
terutama anak-anak.2
Pada 75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi satu
atau dua kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus.
Umumnya urutan munculnya gejala appendisitis adalah anoreksia, diikuti
nyeri perut dan muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka
diagnosis appendisitis diragukan. Muntah yang timbul sebelum nyeri perut
mengarah pada diagnosis gastroenteritis. 2

12
Appendicitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari
oleh radang mendadak appendiks yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Umumnya nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik
McBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga merupakan somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium
tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat
pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah
terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan peritoneum biasanya pasien
mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.2
Bila letak appendiks retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya
terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan
tidak ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan
atau nyeri timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas mayor yang
menegang dari dorsal.3
Appendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat
menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga
peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang. Jika appendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya.3
Pada beberapa keadaan, appendicitis agak sulit didiagnosis sehingga
tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala appendicitis
akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak
mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya dalam
beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak akan menjadi
lemah dan letargi. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering appendicitis
diketahui setelah perforasi. Pada bayi, 80-90 % appendicitis baru diketahui
setelah terjadi perforasi.3
Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja,
tidak jarang terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separuh penderita
baru dapat didiagnosis setelah perforasi.3

13
Pada kehamilan, keluhan utama appendicitis adalah nyeri perut,
mual, dan muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester
pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum
dengan appendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak
dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.3

b. Tanda Klinis
Appendiks umumnya terletak di sekitar McBurney, namun perlu
diingat bahwa letak anatomis appendiks sebenarnya dapat pada semua titik,
360o mengelilingi pangkal caecum. Appendisitis letak retrocaecal dapat
diketahui dari adanya nyeri di antara costa 12 dan spina iliaca posterior
superior. Appendicitis letak pelvis dapat menyebabkan nyeri rektal.2
Secara teori, peradangan akut appendiks dapat dicurigai dengan
adanya nyeri pada pemeriksaan rektum (rectal toucher). Namun
pemeriksaan ini tidak spesifik untuk appendicitis jika tanda-tanda
appendicitis lain telah positif.

Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik : 2,3,5


 Rovsing’s Sign
Penekanan pada abdomen kuadran kiri bawah akan menimbulkan nyeri
di abdomen kuadran kanan bawah. Hal ini disebabkan oleh karena
iritasi dari peritoneum. Disebut juga nyeri tekan kontralateral. Sering
positif pada appendicitis namun tidak spesifik.

Gambar 2. Rovsing’s sign

14
 Blumberg Sign
Manuver dikatakan positif apabila penderita merasakan nyeri di
kuadran kanan bawah saat pemeriksa menekan di abdomen kuadran kiri
bawah lalu melepaskannya. Disebut juga nyeri lepas kontralateral.

 Psoas Sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan pemeriksa memegang lutut
pasien dan tangan kiri menstabilkan pinggulnya. Kemudian tungkai
kanan pasien digerakkan ke arah anteroposterior. Nyeri pada manuver
ini menunjukkan appendiks mengalami peradangan kontak dengan otot
psoas yang meregang saat dilakukan manuver.

Gambar 3. Psoas sign

 Obturator Test
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak
kaki kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian
pemeriksa memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan
articulatio coxae dalam posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini
positif bila pasien merasakan nyeri di hipogastrium saat eksorotasi.
Nyeri pada manuver ini menunjukkan adanya perforasi apendiks, abses
lokal, iritasi m.obturatorius oleh appendiks dengan letak retrocaecal,
atau adanya hernia obturatoria.

15
Gambar 4. Obturator sign

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium
Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/mm2, biasanya
didapatkan pada keadaan akut. Appendicitis tanpa komplikasi dan sering
disertai predominan polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah
putih normal tidak ditemukan shift to the left, diagnosis appendicitis akut
harus dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah putih lebih dari
18.000/mm2 pada appendicitis tanpa komplikasi. Hitung jenis sel darah
putih di atas jumlah tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya
perforasi appendiks dengan atau tanpa abses. Pada appendicitis infiltrat,
LED akan ditemukan meningkat.
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang
disintesis oleh hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam
serum mulai meningkat antara 6-12 jam inflamasi jaringan.
Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP > 8 mcg/mL, hitung
leukosit > 11.000, dan persentase neutrofil > 75% memiliki sensitivitas 86%
dan spesifitas 90.7%.
Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis
infeksi dari saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit
atau eritrosit dari iritasi urethra atau vesica urinaria seperti yang diakibatkan
oleh inflamasi appendiks. Namun pada appendicitis akut dalam sample
urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria.2,3

16
b. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen jarang membantu penegakan diagnosis
appendicitis akut, namun bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis
banding. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto polos, tapi bila ditemukan
sangat mendukung diagnosis.
Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis
appendicitis. USG dilakukan khususnya untuk melihat keadaan kuadran
kanan bawah atau nyeri pada pelvis pada pasien anak atau wanita. Adanya
peradangan pada appendiks menyebabkan ukuran appendiks lebih dari
normalnya (diameter 6 mm). Kondisi penyakit lain pada kuadran kanan
bawah seperti inflammatory bowel disease, diverticulitis cecal, divertikulum
Meckel’s, endometriosis dan pelvic inflammatory disease (PID) dapat
menyebabkan positif palsu pada hasil USG.
Meskipun CT scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada
USG, namun jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT
scan diperiksa terutama saat dicurigai adanya abses appendiks untuk
melakukan percutaneous drainage secara tepat.

Gambar 5. CT scan dengan inflamasi apendiks,


tampak fekalit (tanda panah)

17
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada
penemuan tidak spesifik akibat dari massa ekstrinsik pada caecum dan
appendiks yang kosong dan dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar
antara 48-50%.4

2.8 ALVARADO SCORE 3


Appendicitis point pain 2
Leukositosis (> 10.000/ul) 2
Vomitus 1
Anorexia 1
Rebound tenderness phenomenon 1
Abdominal migrate pain 1
Degree of celcius (> 37.5 oC) 1
Observation of hemogram (> 72%) 1+
Total point 10
 Dinyatakan appendicitis akut apabila nilai > 7 poin.
 Penanganan berdasarkan Alvarado Score :
1–4 Dipertimbangkan appendisitis akut, diperlukan observasi.
5–6 Possible appendicitis, tidak perlu operasi. Terapi antibiotik.
7 – 10 Appendisitis akut, perlu operasi dini.

2.9 DIAGNOSIS BANDING 2,3,5

1. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual dan muntah serta diare mendahului rasa sakit.
Sakit perut dirasa lebih ringan dan tidak tegas. Hiperperistaltik sering
ditemukan. Demam dan leukositosis kurang menonjol.

2. Diverticulitis
Meskipun diverticulitis biasanya terletak di perut sebelah kiri, namun tidak

18
menutup kemungkinan untuk terjadi di perut sebelah kanan. Gejala klinis
sangat mirip dengan appendicitis akut.

3. Kolik Traktus Urinarius


Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos
abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.

4. Peradangan Pelvis
Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat dengan appendiks. Radang
kedua organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-oovoritis atau
adneksitis. Didapatkan riwayat kontak seksual pada diagnosis penyakit ini.
Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendicitis dan nyeri perut bagian
bawah lebih difus. Biasanya disertai dengan keputihan pada wanita. Pada
colok vaginal (vaginal toucher) terasa nyeri bila uterus diayunkan.

5. Kehamilan Ektopik
Riwayat menstruasi terhambat dengan keluhan tidak menentu. Jika terjadi
ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan perdarahan akan timbul nyeri
yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok
hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vaginal didapatkan nyeri dan
penonjolan di cavum Douglas, dan pada kuldosentesis akan didapatkan
darah.

6. Demam Dengue
Demam Dengue dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini
didapatkan hasil tes positif untuk Rumple Leede, trombositopenia, dan
hematokrit yang meningkat.

7. Kista Ovarium Terpuntir


Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa

19
dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal, atau colok
rektal. Tidak terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menetukan
diagnosis.

8. Endometriasis Eksterna
Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri ditempat
endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena
tidak ada jalan keluar.

2.10 PENATALAKSANAAN 2,3,4


Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat appendiks menjadi
dilindungi oleh omentum dan gulungan usus halus di dekatnya. Mula-mula,
massa yang terbentuk tersusun atas campuran membingungkan bangunan-
bangunan ini dan jaringan granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan
secara klinis. Jika peradangan pada appendiks tidak dapat mengatasi
rintangan-rintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis umum,
massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera
menjadi abses yang jelas batasnya.
Bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, akan dilakukan
tindakan operasi untuk membuang appendiks yang mungkin gangren dari
dalam massa perlekatan ringan yang longgar dan sangat berbahaya, dan
bilamana karena massa ini telah menjadi lebih terfiksasi dan vascular,
sehingga membuat operasi berbahaya maka harus menunggu pembentukan
abses yang dapat mudah didrainase.
Massa appendiks terjadi bila terjadi appendicitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus
halus. Pada massa periappendikular yang dindingannya belum sempurna,
dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi
diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa
periappendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk

20
mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak,
dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan
massa periapendikular yang terpancang dengan pendindingan sempurna,
dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu
tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam,
massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang
dan appendectomy elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar
perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi
perforasi, akan terbentuk abses appendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan
suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan
massa, serta bertambahnya angka leukosit.
Massa appendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya
dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena
dikhawatirkan akan terjadi abses appendiks dan peritonitis umum. Persiapan
dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi
luka lebih tinggi daripada pembedahan pada appendicitis sederhana tanpa
perforasi.
Pada periappendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut,
tindakan bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih
banyak, lebih-lebih bila massa appendiks telah terbentuk lebih dari satu
minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam
perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum.
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak
kecil, wanita hamil,dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak
membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.
Bila pada waktu membuka perut terdapat periappendikular infiltrat
maka luka operasi ditutup lagi, appendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif
pada periappendikular infiltrat :
1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
2. Diet lunak bubur saring.

21
3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang
aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan
tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan
appendectomy. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja
dan appendectomy dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika
ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan
jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau
abses, dapat dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.

Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi.
Biasanya 48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi
perforasi maka harus dipertimbangkan appendectomy. Batas dari massa
hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada hari ke5-7
massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil,
tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan didrainase.
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral
dimana nyeri tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara
ekstraperitoneal, bila appendiks mudah diambil, lebih baik diambil karena
appendiks ini akan menjadi sumber infeksi. Bila appendiks sukar dilepas,
maka appendiks dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan ruptur dan
infeksi dapat menyebar. Abses didrainase dengan selang yang berdiameter
besar, dan dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase didiamkan selama
72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drain dapat diputar dan ditarik
sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci tiap hari. Antibiotik sistemik dilanjutkan
sampai minimal 5 hari post operasi. Untuk mengecek pengecilan abses tiap
hari penderita diperiksa colok dubur.

Penderita periappendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang : 4


 LED
 Jumlah leukosit
 Massa periappendikular infiltrat dianggap tenang apabila :

22
1. Anamesis : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri
abdomen.
2. Pemeriksaan Fisik :
a. Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu
tubuh (diukur di rektal dan aksiler).
b. Tanda-tanda appendisitis sudah tidak terdapat.
c. Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada
tetapi lebih kecil dibanding semula.
3. Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal.

Kebijakan untuk operasi periappendikular infiltrat : 4


 Bila LED telah menurun kurang dari 40.
 Tidak didapatkan leukositosis.
 Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah
tidak mengecil lagi.

Bila LED tetap tinggi, maka perlu diperiksa : 4


 Apakah penderita sudah bed rest total.
 Pemberian makanan penderita.
 Pemakaian antibiotik penderita.
 Kemungkinan adanya sebab lain.

Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak
ada perbaikan, operasi tetap dilakukan. Bila ada massa periappendikular yang
fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan terapi adalah drainase.

2.11 KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah
mengalami pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan
appendiks, sekum, dan lekuk usus halus.2

23
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu
peritonitis generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah : 4
 Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen
menyeluruh.
 Suhu tubuh naik tinggi sekali.
 Nadi semakin cepat.
 Defance muscular yang menyeluruh.
 Perut distended.
 Bising usus berkurang.

Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :


1. Pelvic abscess
2. Subphrenic abscess
3. Intra peritoneal abses lokal

Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk ke


rongga abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.

2.12 PROGNOSIS
Dengan diagnosis yang akurat dan tatalaksana pembedahan, dapat
menurunkan tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini. Keterlambatan
diagnosis akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas terutama bila telah
terjadi komplikasi. Serangan berulang juga dapat terjadi bila appendiks tidak
diangkat.2

24
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 ANAMNESIS
Pemeriksaan dilakukan secara autoanamnesis di Ruangan Canigara RS
Balimed Denpasar pada tanggal 3 Desember 2018, pukul 11.30 WITA.

a. Identitas
Nama : Tn. SIK
Umur : 51 tahun
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Status : Menikah
Alamat : Lingkungan Seminyak
Tanggal lahir : 11/06/1967
Suku. : Bali
Agama : Hindu

b. Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS.

c. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluh nyeri perut pada bagian perut kanan bawah sejak 3
Hari SMRS, nyeri perutnya dirasakan pertama kali pada bagian ulu hati dan
menjalar ke bagian kanan bawah. Nyeri dirasakan menetap. Os mengatakan
bertambah nyeri saat Os berjalan, Os juga mengatakan nafsu makannya
berkurang dikarenakan Os mual, Mamun tidak muntah. Os mengatakan
tidak ada demam, batuk , pilek ataupun Gangguan BAK. Os mengeluh
belum BAB. Os mengatakan sudah meminum obat namun belum membaik
sehingga dibawa ke UGD RS Balimed.

25
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat sakit seperti ini sebelumnya, tidak
riwayat hipertensi, diabetes, gangguan jantung, gangguan ginjal disangkal.

e. Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak memiliki riwayat serupa. Hipertensi, diabetes
mellitus, asthma bronchiale, alergi obat disangkal.

f. Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan makan pedas dan rendah serat. Minum ± 2
liter air mineral setiap hari.

3.2 PEMERIKSAAN FISIK ( 3 Desember 2018)


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital :
- Tekanan Darah : 110/70 mmHg
- Frekuensi Nadi : 80 x/menit

- Frekuensi Pernapasan : 20 x/menit

- Suhu : 36.5˚

Status Generalis

Pemeriksaan Hasil
Kepala Normocephali, rambut hitam,
Mata Konjungtiva anemis -/-, refleks cahaya langsung +/+,
refleks cahaya tidak langsung +/+, sclera ikterik -/-
Telinga Normotia, liang telinga lapang +/+, membran timpani
intak +/+
Hidung Deformitas -, sekret -, mukosa hiperemis -
Mulut & Bibir tidak kering, oral hygiene cukup, tonsil tenang

26
tenggorokan T1/T1, hiperemis -
Leher KGB tidak teraba membesar
Toraks Normochest
Jantung S1S2 reguler, murmur -, gallop -
Paru Suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen Bentuk simetris, bising usus + normal,
shifting dullnes (-), undulasi (-), nyeri tekan (+), Hepar
tidak teraba membesar, Lien tidak teraba membesar
Ekstremitas Akral hangat +, CRT <2”, oedem -

Status Lokalis Abdomen

Pemeriksaan Hasil
Inspeksi Bentuk simetris, tampak lemas lembut,
massa (-)
Auskultasi Bising usus (+) normal
Perkusi Tidak dilakukan karena pasien mengeluh
kesakitan
Palpasi Nyeri tekan (+) terutama regio kanan bawah
(Mc Burney sign +). Nyeri lepas regio kanan
bawah (+), Rovsing sign (+), Blumberg sign (+),
defans muscular (-)
Psoas sign Positif
Obturator sign Positif
Rectal toucher Tidak dilakukan

3.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium pada tanggal 2 Desember 2018.

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

27
HEMATOLOGI
WBC 12.62 4.10 – 10.90/ul
RBC 3.70 4.40 – 5.90
HB 11.5 13.2 – 17.3 g/dl
HT 33.1 40.0 – 52.0%
PLT 268 150 – 450/ul
MCV 89.5 86.0 – 110.0 fl
MCH 31.1 26.0-38.0 pg
MCHC 34.7 31.0 – 37.0 g/dl
RDW-CV 11.6 11.0 – 14.8%

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


URINE
1. MAKROSKOPIS
- Warna Kuning Kuning
- Kejernihan Agak keruh Jernih
2. KIMIAWI
- Berat Jenis 1.000 1.000-1.030
- Leukosit Positif +1 Negative
- Nitrit Negative Negative
- pH 6.5 5-8
- Protein Negative Negative
- Glukosa Negative Negative
- Keton - Negative
- Urobilinogen normal Normal (<10)
- Bilirubin Negative Negative
3. SEDIMEN
- Leukosit 2-4 0-5 /LPB
- Eritrosit 10-15 0-1 /LPB

28
- Silinder Negative Negative
- Kristal Negative Negative
- Lain-lain Negative negative

Laboratorium pada tanggal 3 Desember 2018

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Masa perdarahan 2.30 1.0-3.0 menit
Masa pembekuan 10.00 5.0-15.0 menit

Pemeriksaan USG Abdomen bawah tanggal 3 Desember 2018.

Temuan:
Ginjal kanan : ukuran normal (202.96 cc) , smooth contour, echoparenchime
normal, ketebalan korteks normal, batas sinus korteks jelas, pelviocalyceal system

29
melebar grade II, tak tampak batu/ masa/ kista.
Ginjal kiri : ukuran normal (144.67 cc) , smooth contour, echoparenchime normal,
ketebalan korteks normal, batas sinus korteks jelas, pelviocalyceal system tidak
melebar, tak tampak batu/ masa/ kista.
Vesika Urinaria: terisi urin cukup, dinding buli tak tampak menebal, tak tampak
batu/masa.
Prostat : ukuran membesar (30.27 cc), parenchym normal, tak tampak klasifikasi,
tidak tampak intravesical prostat protrusion (IPP).
Tak tampak echo cairan bebas pada cavum abdomen dan cavum pelvis.
Mc. Burney:
Appendix tampak edematous, target sign +, diameter sekitar 1.09 cm, non
compressible, non peristaltic, dengan fat stranding di sekitarnya.
Tampak akumulasi cairan di sekitar appendix.

Kesan:
Gambaran acute appendicitis dengan tanda-tanda peri appendicular infiltrate.
Hydronefrosis grade II (sedang) kanan ec. Obstruksi post renal.
Hypertrophy prostat
Ginjal kiri/vesika urinaria saat ini tidak tampak kelainan.

3.4 DIAGNOSIS KERJA


Appendicitis Akut

3.5 DIAGNOSIS BANDING


- Kolik traktus urinarius
- divertikulitis

3.6 PENATALAKSANAAN
Instalasi rawat darurat RS Balimed
- IVFD Ringer Laktat 20 tetes / menit
- Ondancentron 8 mg i.v

30
- Ranitidine 50 mg i.v
- Ceftriaxone 1 gram i.v
- Konsul dokter spesialis bedah  Appendectomy

Laporan Pembedahan
 Dilakukan pembedahan oleh dr. Wiargitha, Sp.B pada tanggal 3
Desember 2018 pukul 12.30 WITA di ruang OK RS Balimed.
 Tindakan Operasi :
1. Pasien terlentang dengan anastesi spinal.
2. Dilakukan tindakan asepsis dan antiseptik pada lapang operasi.
3. Dilakukan insisi Mc Burney lapis demi lapis secara tajam.
4. Dilakukan eksplorasi  tampak daerah operasi : ditemukan
appendix letak antecaecal, panjang 8 cm, diameter 1.5 cm,
hiperemis, dengan fekalit di 1/3 medial.
5. Dilakukan appendectomy.
6. Dilakukan perawatan luka operasi.
7. Luka operasi ditutup lapis demi lapis.
8. Operasi selesai.
9. Diagnosis pasca pembedahan : Appendicitis Akut.

Terapi Post Appendectomy


Non Medikamentosa Medikamentosa
- Rawat di ruang biasa - Ceftriaxone 1 x 2 gram i.v
- Posisi head up 30˚ - Ketorolak 2 x 30 mg i.v
- Tirah baring - Omeprazole 2 x 40 mg i.v
- Diet lunak - Tramadol 100 mg drip dalam IVFD
RL 500 mL 14 tetes / menit dalam 12
jam, selama 24 jam

3.6 PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam

31
Ad functionam : bonam
Ad sanationam : Ad bonam

3.7 FOLLOW UP HARIAN

TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT PENATALAKSANAAN


03-12-2018 S : Nyeri di luka operasi, mual, nyeri - IVFD RL 20 tetes/menit
ulu hati, muntah (-) - Ceftriaxone 1 x 2 gram i.v
O : KU: sakit sedang, compos mentis - Ketorolak 2 x 30 mg i.v
TD 110/80 mmHg, N 84 x/menit, - Omeprazole 2 x 40 mg i.v
RR 20 x/menit, S 36.8◦ C - Diet lunak
Abdomen : BU (+), supel, timpani,
luka operasi baik
A : Post appendectomy e.c
appendicitis akut, post opertion day
0 (POD 0)
04-12-2018 S : Mual, nyeri di luka operasi, sudah - IVFD RL 20 tetes/menit
bisa berjalan ke toilet - Ceftriaxone 1 x 2 gram i.v
O : KU: sakit sedang, compos mentis - Ketorolak 2 x 30 mg i.v
TD 120/70 mmHg, N 80 x/menit, - Omeprazole 2 x 40 mg i.v
RR 20 x/menit, S 36◦ C - Ganti verbant
Abdomen : BU (+), supel, timpani,
luka operasi baik
A : Post appendectomy e.c
appendicitis akut, post opertion day
1 (POD 1)
05-12-2018 S : Nyeri di luka operasi berkurang, - IVFD RL 20 tetes/menit
mual terkadang, berjalan (+) - Ceftriaxone 1 x 2 gram i.v
O : KU: sakit sedang, compos mentis - Ketorolak 2 x 30 mg i.v
TD 110/70 mmHg, N 81 x/menit, - Omeprazole 2 x 40 mg i.v
RR 20 x/menit, S 36.2◦ C - Rencana KRS besok

32
Abdomen : BU (+), supel, timpani,
luka operasi baik
A : Post appendectomy e.c
appendicitis akut, post opertion day
2 (POD 2)
06-12-2018 S : Nyeri di luka operasi berkurang, - Boleh KRS
mual terkadang, berjalan (+) - Ciprofloxasin 2 x 500 mg
O : KU: sakit sedang, compos mentis p.o
TD 120/70 mmHg, N 82 x/menit, - Paracetamol 3 x 1 gram
RR 20 x/menit, S 36.1◦ C p.o
Abdomen : BU (+), supel, timpani, - Omeprazole 2 x 20 mg p.o
luka operasi baik - Kontrol poli bedah umum
A : Post appendectomy e.c
appendisitis akut, post opertion day
3 (POD 3)

33
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Pada anamnesa didapatkan pasien mengeluh nyeri di perut daerah ulu hati,
sekitar pusar, dan perut kanan bawah. Nyeri tersebut merupakan nyeri visceral yang
sifatnya difus, terletak pada mid-line, sekitar umbilikal, tidak dapat ditunjukkan,
bersifat tumpul dan tidak jelas, tidak menetap. Referred pain sesuai persarafan yang
terjadi akibat regangan organ. Nyeri visceral pada appendicitis ini bermula di
sekitar umbilicus sesuai dengan persarafan dari N.Thorakalis X. Nyeri disebabkan
oleh karena obstruksi lumen appendiks yang akan menyebabkan peningkatan
sekresi normal mukus dari mukosa appendiks yang distensi. Makin lama mucus
makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
tersebut akan menyebabkan appendiks mengalami hipoksia, menghambat aliran
limfe dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan appendiks
bertambah (edema). Pada saat inilah terjadi appendicitis akut fokal yang ditandai
oleh nyeri epigastrium.
Pasien juga mengeluhkan nyeri perut kanan bawah yang hilang timbul, nyeri
tersebut merupakan nyeri visceral yang berubah menjadi nyeri somatis. Nyeri ini
disebabkan oleh sekresi mukus yang terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat.
Kemudian hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan
bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul akan meluas dan
mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri daerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut dengan appendicitis supuratif akut.
Keluhan mual pasien disebabkan oleh inflamasi dan tekanan yang
berlebihan pada appendiks yang distensi sehingga pusat muntah akan diaktifkan
dari saluran pencernaan melalui aferen nervus vagus.
Nyeri tekan daerah McBurney terjadi karena translokasi bakteri yang
menyebabkan nyeri somatis.
Illiopsoas sign menunjukkan peradangan dari appendiks yang letaknya
dekat dengan otot psoas. Obturator test juga positif karena gerakan rotasi dari

34
pinggang juga menghasilkan nyeri pada pasien dengan appendiks yang juga terletak
berdekatan dengan otot obturator eksternus.
Leukositosis yang didapatkan dari pemeriksaan darah lengkap
menunjukkan respon tubuh terhadap infeksi.
Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan tindakan pembedahan dini sesuai
Alvarado score dengan total skor 7, yaitu perlu dilakukan operasi dini bila skor 7-
10.

Skor yang
Penilaian Skor Ajuan
Didapat
Gejala -Nyeri beralih 1 1
-Anoreksia 0 1
-Mual / muntah 1 1
Tanda -Nyeri perut kanan bawah 2 2
(Mc Burney point)
-Nyeri lepas 1 1
-Kenaikkan temperature 0 1
(> 37.5 oC)
Laboratorium -Leukositosis (> 2 2
10.000/ul)
-Neutrofil bergeser ke kiri 0 1
(> 72%)
Total Skor 7 10

Pemberian obat Ceftriaxone yaitu, antibiotik spektrum luas golongan


sefalosporin generasi 3 pada pasien ini untuk mencegah infeksi berat dan
diantaranya memiliki aktivitas melawan bakteri aerob dan anaerob.

35
BAB V
KESIMPULAN

Appendicitis adalah peradangan pada appendix vermicularis. Appendicitis


merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering dijumpai. Faktor
predisposisi dan etiologinya bisa bermacam-macam, namun obstruksi lumen adalah
penyebab utamanya.
Gejala klinis meliputi nyeri perut kanan bawah tepatnya di titik McBurney
disertai nyeri epigastrium, dapat pula nyeri di seluruh perut pada fase tertentu.
Dapat dijumpai mual, muntah, anoreksia, dan demam. Dapat dilakukan manuver
Rovsing’s sign, Blumberg sign, Illiopsoas sign, dan Obturator test dalam membantu
penegakan diagnosis.
Pada pasien ini, berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang dilakukan maka diagnosisnya adalah appendicitis
akut. Dari hasil pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini sudah
cukup terpenuhi. Penatalaksanan pada pasien ini sesuai dengan teori. Kondisi
pasien saat pulang telah dalam keadaan stabil. Prognosis pada pasien ini adalah ad
bonam.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Masjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Appendicitis. Kapita

Selekta Kedokteran. 2000. Jakarta : FK UI.

2. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2004. Jakarta: EGC.

p. 865-75.

3. Schwatz, et al. Principles of Surgery 8th Edition Volume 2. Jakarta: EGC. p.

1383 – 93.

4. Staf Pengajar FKUI. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. 1995. p. 109 – 12.

5. Sugandi . W. Referat Appendicitis. Sub Bagian Bedah Digestif. 2005.

Bandung: FK UNPAD-RSHS.

37

Anda mungkin juga menyukai