Anda di halaman 1dari 58

BAB II

2.1 Leukemia

2.1.1 Introduksi

Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal


dari sumsum tulang, ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan
menifestasi adanya sel-sel abnormal dalam darh tepi. Pada leukemia ada
gangguan dalam pengaturan sel leukosit. Leukosit dalam darah berproliferasi
secara tidak teratur dan tidak terkendali dan fungsinyapun menjadi tidak
normal. Oleh karena proses tersebut, fungsi-fungsi lain dari sel darah normal
juga terganggu hingga menimbulkan gejala leukemia yang dikenal dalam
klinik1.

2.1.2 Epidemiologi

Leukemia akut pada masa anak-anak merupakan 30-40% dari


keganasan. Insidensi rata-rata 4-4,5 kasus/tahun/100.000 anak dibawah usia 15
tahun. Di nengara berkembang 83% ALL, 17% AML, lebih tinggi pada anak
kulit putih dibandingkan kulit hitam. Di Asia kejadian leukemia pada anak
lebih tinggi dari pada anak kulit putih. Di Jepang mencapai 4/100.000 anak,
dan diperkirakan tiap tahun terjadi 1000 kasus baru. Sedangkan di Jakarta pada
tahun 1994 insidensinya mencapai 2.76/100.000 anak usia 1-4 tahun. Pada
tahun 1996 didapatkan 5-6 pasien leukemia baru setiap bulan di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta, sementara itu di RSU Dr. Soetomo sepanjang tahun 2002
dijumpai 70 kasus leukemia baru1.

Leukemia akut pada anak-anak mencapai 97% dari semua leukemia


pada anak, dan terdiri dari 2 tipe yaitu leukemia limfoblastik akut (LLA) 82%
dan leukemia mieloblastik akut (LMA) 18%. Leukemia kronik mencapai 3%
dari seluruh leukemia pada anak. Di RSU DR. Sardjito LLA 79%, LMA 9%
dan sisanya leukemia kronik, sementara itu di RSU DR. Soetomo pada tahun
2002 LLA 88%, LMA 8% dan 4% leukemia kronik1.

1|Emeregensi Hematologi/Kiki Rosmayanti


Rasio laki-laki dan perempuan adalah 1,15 untuk LLA dan
mendekati 1 untuk LMA. Puncak kejadian pada umur 2-5 tahun, spesifik untuk
anak kulit putih dengan ALL, hal ini disebabkan banyaknya kasus pre B-LLA
pada rentang uisa ini. Kejadian ini tidak tampak pada kulit hitam.
Kemungkinan puncak tersebut merupakan pengaruh faktor-faktor lingkungan
di negara industri yang belum diketahui1.

2.2 Leukemia dan komplikasinya

2.2.1 Leukemia dan hiperleukositosis

Leukemia akut merupakan etiologi umum pada pediatri. Keadaan ini


ditemukan pada 9-13% anak dengan leukemia limfoblastik akut (LLA), pada
5-22% anak dengan leukemia non limfoblastik akut (LNLA) dan pada hampir
semua anak dengan leukemia mielositik kronik (LMK) fase kronik.

Jumlah leukosit darah tepi pada awal diagnosis leukemia akut


merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukkan prognosis, jumlah
leukosit yang tinggi merupakan salah satu penyebab tingginya angka relaps,
baik relaps di sumsung tulang maupun di luar sumsum tulang dan rendahnya
angka kesintasan (survival) penderita leukemia akut. Disamping merupakan
faktor penyebab terjadinya relaps keadaan hiperleukositosis dapat
menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi yang mengancam jiwa penderita
yang memerlukan tindakan segera sehingga keadaan ini dikategorikan sebagai
keadaan kedaruratan onkologi (oncology emergency). Pada leukemia akan
terjadi peningkatan proliferasi sel leukemia, jika jumlah sel darah putih >
100.000/uL dapat menyebabkan suatu kondisi yang disebut hiperleukositosis.
Hiperleukositosis ini dapat memacu beberapa komplikasi seperti leukostasis,
tumor lisis sindrom dan koagulasi intravaskular diseminata pada pasien yang
mendapatkan terapi intravena1.

2|Emeregensi Hematologi/Kiki Rosmayanti


2.2.2 Hiperleukositosis

2.2.2.1 Definisi

Hiperleukositosis didefinisikan sebagai peningkatan jumlah leukosit


pada darah tepi melebihi 100.000 u/l 1,2.

2.2.2.2 Introduksi

Hiperleukosistosis ini umumnya terjadi pada keganasan hematologi


termasuk leukomia limfoblastik akut (LLA), khususnya sel-T ALL, ALL
bayi atau ALL hipodiploid, serta leukemia myeloid akut (LMA). Leukemia
myeloid kronik, khususnya dalam kondisi krisis blast dapat menyebabkan
hipeleukositosis. Hiperleukositosis akibat komplikasi leukemia terjadi pada
5-22% anak2. Hiperleukositosis dapat ditemukan pada 6-15% pasien
leukemia limfositik akut (LLA), 13-22% pasien leukemia non limfositik akut
dan pada hampir semua pasien mielogenus kronik. Di bagian IKA
FKUI/RSCM Jakarta dalam kurun waktu 1994-2000 terdapat 57 (22%)
pasien dengan hiperleukositosis dari 262 pasien LLA. Sebagian besar pasien
berusia antara 2-9 tahun dan 61% datang pertama kali dengan jumlah
leukosit >100.000/ul4.

3|Emeregensi Hematologi/Kiki Rosmayanti


Tabel 1. Karakteristik klinis pasien LLA dengan hiperleukositosis di bagian
IKA FKUI-RSCM (1994-2000)

Parameter Jumlah

Laki-laki 36

Perempuan 21

Usia (tahun) <1 2

1-2 6

2-9 35

>10 14

Jumlah leukosit x103/ul) >50-100 22

>100-200 28

>200 7

2.2.2.3 Diagnosis Banding

Hiperleukositsis harus didiagnosis banding dengan reaksi leukemoid


ketika total jumlah leukosit >50.000/mm3 yang terjadi pada penyakit non-
malignansi. Observasi apakah terapat infeksi tertentu seperti pertusis,
Staphylococcus aureus,Pneumococcus, tuberkulosis dan kondisi inflamasi
lainnya. Umumnya kondisi non-malignansi tidak melebihi 100.000/mm3 dan
sel predominanya meruakan limfosit dan granulosit matur. Perlu juga meliat
riwayat pasien, pemeriksaan dan apusan darah tepi4.

2.2.2.4 Faktor Risiko

Faktor risiko hiperleukositosis diantaranya adalah usia muda


(umumnya bayi) dengan leukemia tertentu seperti varian mikrogranular
leukemia promielositik akut (AML-M3V), leukemia mielomonositik akut
(AML-M4), leukemia monositik akut (AML-M5) dan ALL sel-T serta
abnormalitas sitogenik (translokasi pada kromosom 11q23 atau adanya
kromosom filadelfia6.

4|Emeregensi Hematologi/Kiki Rosmayanti


2.2.2.5 Komplikasi Hiperleukositosis

a. Sindroma leukostasis

Hiperleukositosis merupakan kondisi emergensi yang dapat


menyebabkan beberapa komplikasi serius, yang berpengaruh terhadap
peningkatan morbiditas dan mortalitas. Hiperleukositosi dapat
menyebabkan obstruksi vaskular yang memacu kerusakan organ akibat
hipoksia jaringan, trombosis atau perdarahan. Ukuran sel blas yang lebih
besar dari yang matur serta tidak mudah berubah bentuk menyebabkan sel
blas akan mudah terperangkap dan menimbulkan oklusi pada
mikrosirkulasi. Keadaan ini yang disebut sindroma leukostasis4. Penderita
leukemia mieloblastik lebih sering mengalami sindroma ini dibandingkan
dengan penderita leukemia limfoblastik. Hal ini disebabkan oleh karena
lebih besarnya volume sel mieloblast (350 – 450 mm3) dibandingkan
dengan volume sel limfoblast (250-350 mm3). Disamping itu sifat sel
mieloblast lebih kaku. Organ yang paling sering mengalami akibatnya
adalah sistem saraf pusat, paru serta ginjal. Dalam sebuah studi oleh Porcu
et al, proporsi pasien dengan gejala masing-masing adalah 39%,27% dan
14%3 .Leukostasis atau trombosis baik secara masing-masing maupun
kombinasi dapat menyebabkan gejala sistem saraf pusat akibat perdarahan
sistem saraf pusat. Menifestasi klinisya meliputi iritabilitas, gangguan
kesadaran, seizure, defisit neurologis fokal, perdarahan retina dan
peningkatan tekanan intrakranial. Leukostasis dapat menyebabkan perfusi
buruk, metabolisme anaerob, asidosis laktat dan akhirnya akan
menimbulkan kerusakan dinding pembuluh darah dan perdarahan.
Leukostasis pada paru dapat menyebabkan takinpeu, dypneu, apneu,
hipoksia, distres respirasi dan menyebabkan aktvasi otot bantu nafas.
Pemeriksaan rontgen toraks dapat menunjukkan adanya gambaran infiltasi
difus. Keterlibatan organ yang lain dapat terjadi seperti perdarahan
gastrointestinal, hematemesis atau nyeri perut. Adanya priaprism,
pembesaran klitoris dan daktilitis dapat terjadi namun sangat jarang2.

5|Emeregensi Hematologi/Kiki Rosmayanti


Komplikasi yang paling penting berkaitan dengan tingginya jumlah
sel tumor pada pasien dengan leukositosis adalah tumor lisis sindrom (TLS).
TLS ini dapat terlihat dengan pemeriksaan isolated lab derangement,
termasuk hiperuresemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia atau
yang berkaitan dengan menifestasi klinis seperti oliguria atau anuria,
seizure, gangguan kesadaran mulai dari iritable dan pusing hingga koma.
Umumnya, TLS terjadi dalam 2-3 hari setelah inisiasi kemoterapi, namun
bagaimanapun TLS spontan dapat terjadi pada pasien yang tidak
mendapatkan kemoterapi2.

Patofisiologi

Gambar 1: mekanisme patogenesis leukostasis4

Endapan mieloblast pada sirkulasi dapat menyebabkan obstruksi


mekanik pada pembuluh darah kecil dan secara bersamaan dapat
menyebabkan malperfusi pada mikrosirkulasi misalnya yang terdapat pada
organ otak dan paru. Selain dari obstruksi mekanik, melekatnya mieloblast
ke endotel dapat menginduksi ekspresi dari reseptor adesi di sel endotel
termasuk E-selektin, P-selektin, molekul adesi intraselular -1 (ICAM-1),
dan molekul adel sel vaskular-1 (VCAM-1). Mieloblast dapat
mempromosikan faktor adesi mereka sendiri pada unactivated vascular

6|Emeregensi Hematologi/Kiki Rosmayanti


endhotelium dengan cara mengeluarkan faktor nekrosis tumor (TNF-a),
interleukin -1b (IL-1b) atau faktor pertumbuhan. Perubahan tambahan
setelah aktivasi cytokine-driven endothelial cell dapat menyebabkan
kehilangan integritas pembuluh darah dan modifikasi fenotype endotel dari
antitrombotik menjadi protombotik. Disintegritas endotel memungkinkan
terjadinya migrasi mieloblast dan ekstravasasi darah serta mikrohemoragik.
Invasi jaringan mieloblast dimediasi oleh metalloproteinase (MMPs,
khususnya MMP-9), yang di ekspresikan pada permukaan sel dan
disekresikan ke matriks ekstraseluler4.

Tabel 2 : Jumlah sel darah putih yang dapat berkembang menjadi leukostasis
pada berbagai jenis leukemia8

Penyakit Subtipe Threshold WBC count Referensi

CML ≥ 200 x 109 L-1 Bruserud et al

AML

M4Eo >100 x 109L-1 Sczeplorkowski et al

M5a >100 x 109L-1 Sczeplorkowski et al

APL >10 x 109L-1 Ganzel et al

ALL >400 x 109L-1 Sczeplorkowski et al

CLL >1.000 x 109L-1 Ganzel et al

7|Emeregensi Hematologi/Kiki Rosmayanti


Tebel berikut ini menjelaskan mengenai gejala leukostasis yang
dapat terjadi dari masing-masing organ.

Tabel 3: Gejala Leuksotasis7

Organ Gejala

Paru-paru Dispnea, hipoksemia, diffuse alveolar hemorrhage, gagal


nafas

Sistem saraf pusat Pusing, somnolen, dizziness, nyeri kepala, delirium, koma,
defisit neurologis fokal,

Mata gangguan penglihatan, perdarahan retina

Telinga Tinitus

Jantung Iskemik miokardium atau infark miokardium

Sistem pembuluh darah Iskemik ekstremitas, trombosis vena ginjal, priaprism

Penelitian yang dilakukan oleh Lowe et al menunjukkan bahwa


komplikasi neurologis lebih sering pada anak dengan ALL dan dengan
jumlah sel darah putih > 400 x 109/L (17,9% vs 3,6%) dan pada kondisi ini
dapat diberikan sitoreduksi. Pembahasan sitoreduksi akan dijelaskan
selanjutnya.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oeh Oussama et al


menunjukkan bahwa komplikasi paru dan saraf yang berat lebih sering pada
anak dengan ALL dan jumlah sel darah putih > 650 x 109/L. Pada kasus
AML leukostasis pulmoner lebih sering dengan jumlah sel darah putih >
200 x 109/L, sedangkan perdarahan sistem saraf pusat lebih sering pada
pasien dengan jumlah sel darah putih > 400 x 109/L7.

Diagnosis dan Prognosis

Pertama, ahli klinisi harus mengetahui sindrom leukostasis ini.


Meskipun berdasarkan karakter presentasi klinis diagnosis leukostasis ini

8|Emeregensi Hematologi/Kiki Rosmayanti


jarang akurat. Sebuah kecurigaan gambaran klinis yang tinggi dapat
membimbing pada dokter untuk mengambil langkah-langkah yang tepat
untuk membuat diagnosis yang benar. Pada tahap ini, terdapat pendekatan
objektif yang direkomendasikan oleh Novotny et al, dimana penulis
mengembangkan symptom-based grading score untuk memprediksikan
kemungkinan terjadinya leukostasis pada pasien leukemia dengan
hiperleukositosis. Skoring ini ditampilkan pada tabel 4. Piccirillo et al pada
penelitian retrospektifnya menunjukkan bahwa very high probability group
memiliki risiko mortalitas yang signifikan tinggi.

Prognosis sendiri berkaitan dengan usia, stres pernapasa, adanya


koagulopati, gejala saraf dan gagal ginjal8.

Tabel 4: Symptom-Based Grading Score untuk memprediksikan


kemungkinan terjadinya leukostasis

Group Probability Severity of Pulmonary symptoms Neurological symptom Other organ system
symptoms

0 Not No limitations No symptoms and no No symptoms No symptoms


present limitations in ordinary
activities

` Possible Slight Mild symptoms and slight Mild tinnius, headache, Moderate fatigue
limitation limitation during ordinary dizziness
activity, comfortable at rest

2 Probable Marke Marked limitations in activity Slight visual disturbance, Severe fatigue
limiations because of symptoms, even severe tinnitus, headche,
during less than ordnary dizziness
activity, comfortable only rest

3 Highly Severe Dyspnea at rest, oxygen or Severe visual disturbance Myocardial


probable limitations respirator required (acute inability to read) infarction, priapism,
confusion, delirium, ischemic necrosis
somnolance, intracranial
haemorrhage

9|Emeregensi Hematologi/Kiki Rosmayanti


Terapi Leukostasis

Prinsip penanganan pasien dengan hiperleukositosis atau leukostasis


hampir sama. Bagaimanapun, dokter harus mengetahui bahwa sindrom
leukostasis merupakan keadaan gawat-darurat. Oleh karena itu, terapi
intravena harus segera diberikan. Tindakan ini meliputi hidrasi yang agresif,
alkalinasi urin dan pemberian allupurionol1.

Tujuan utama terapi adalah untuk menurunkan beban leukemia dan


memberikan terapi suportif pada pasien. Pemberian sitoreduksi dapat
dicapai dengan baik (kemoterapi dosis rendah atau hidroksiurea) atau secara
mekanis dengan leukaferesis. Sampai saat ini, general guideline terapi
untuk leukostasis belum ada. Semua pasien dengan leukemia akut harus
menerima induksi kemoterapi dan kedua upaya ini dapat disebut sebagai
‘pra-terapi’ yang membantu pasien untuk menjalani kemoterapi induksi
tanpa komplikasi9.

Terapi suportif

Management suportif secara basic termasuk memonitor pasien,


usaha untuk mencegah atau meminimalisir konsekuensi catastrophic pada
hiperleukositosis termasuk tumor lisis sindrom dan/atau koagulasi
intravaskular diseminata. Untuk itu, pemberian cairan intravena secara
agresif, allopurinol atau rasburicase, dan transfusi darah harus diberikan
pada beberapa kasus tertentu. Terapi pemberian transfusi darah yang
berlebih dapat meningkatkan viskositas darah.

Cairan

Hidrasi dilakukan dengan cairan parenteral glukosa 5% dalam


0,225% normal salin, sebanyak 2-3 kali kebutuhan cairan rumatan atau 2-3
liter/m2/hari untuk mendapatkan diuresis minimal 3 cc/kg/hari4. Pada
sumber lain menyatakan bahwa hidrasi dapat menggunakan cairan
kristaloid dengan minimal hidrasi lebih dari 3 liter dengan target urin output
≥ 2 cc/kgBB/jam3.

10 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
Laju cairan tergantung pada beban tumor serta hemoglobin. Jika Hb
masih normal (≥7-8 g/dL atau lebih), cairan dengan volume yang lebih
tinggi dapat diberikkan, sementara terus dilakukan pemantauan untuk
kelebihan cairan dan urin output. Jika Hb sangat rendah (≤ 6 g/dL), cairan
dengan dosis yang rendah harus diberikan, karena volume yang lebih tinggi
dapat memacu gagal jantung kongestif. Tidak ada peraturan khusus untuk
penggunaan dieuretik pada hiperleukositosis, sebagai tujuannya adalah
hemodelusi dan pengurangan viskositas. Dieuretik seperti manitol dan
furosemid dapat diberikan untuk mempertahankan urin output minimal 80%
dari total cairan input (setidaknya 2,4 L/m2/hari atau 160 mL/kgBB/hari
pada pasien ≤ 10 kg). Makismum cairan balace positif yang diterima pasien
tanpa demam adalah 600mL/m2/hari. Diuretik tidak diberikan jika ada
kontraindikasi misalnya hipovolemia3.

Cairan harus bebas kalium, kalsium atau fosfat. Hidrasi ini harus
diberikan sesegera mungkin pada pasien dengan risiko TLS. Idealnya,
diberikan 24-48 jam.

Alkalinasi Urin

Alkalinasi urin dilakukan dengan menambahkan sodium bikarbonat


ke dalam cairan parenteral sebanyak 40-60 meq/L untuk mempertahankan
pH urin antara 7,0-7,5. Dengan kenaikkan pH urin tersebut menyebabkan
asam urat terionisasi sehingga mencegah pembentukkan kristal asam urat.
Namun jika terjadi alkalinasi yang berlebihan, dapat menyebabkan deposisi
kompleks kalsium-fosfat yang kemudian akan terjadi penurunan laju filtrasi
glomerulus. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemantauan ketat pH urin.
Pemberian allupurinol dengan dosis 200-300 mg/m2/hari atau 10
mg/kgBB/hari ditunjukkan untuk menurunkan konsentrasi asam urat
plasma. Dua obat ini diberikan sampai pH urin mencapai sekitar 7,55.

11 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
Transfusi produk darah

Platelet harus ditransfusikan pada pasien dengan jumlah trombosit


dibawah 20.000/mm3 untuk mencegah perdarahan sistem saraf pusat, atau
dapat diindikasikan pada perdarahan aktif mukosa atau oran viseral.
Transfusi platelet tidak akan meningkatkan viskositas darah secara
signifikan. Pemberian Packed Red Blood Cell tidak diindikasikan pada
pasien anak dengan hemodinamika yang stabil, hal ini dikarenakan dapat
meningkatkan viskositas darah. Pada kasus anemia berat, dengan gagal
jantung kongestif impending, leukofaresis atau exchange transfusion
merupakan pilihan yang tepat. Koagulopati dapat diobservasi pada anak
dengan AML. Jika terdapat koagulopati maka dapat ditransfusikan 10-15
mL/kg fresh frozen plasma3.

Mencegah tumor lisis

Pemberian terapi cairan agresif untuk hiperleukositosis serta dapat


mencegah terjadinya tumor lisis sindrom. Sudah dijelaskan sebelumnya,
bahwa allupurinol atau urat oksidase rekombinan dapat mencegah tumor
lisis sindrom. Pembasan ini aku dilanjutkan pada subtopik tumor lisis
sindrom.

Reduksi jumlah sel darah putih

Penurunan jumlah sel darah putih untuk mencegah morbiditas dan


mortalitas pada leukostasis simtptomatik dan mencegah tumor lisis sindrom
dengan pemberian inisiasi kemoterapi. Penurunan sel darah putih ini dapat
dilakukan dengan sitoreduksi atau secara mekanis dengan leukafaresis atau
exchange transfusion.

Sitoreduksi

Hidroksiurea umum digunakan sebelum regimen induksi, obat ini


diimplementasikan untuk menurunkan beban tumor dan menurunkan risiko
lisis tumor. Namun bagaimanapun, tidak terdapat data yang menunjukkan
bahwa pemberian ini dapat mencegah tumor lisis sindrom dengan strategi

12 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
sitoreduksi low-dose. Pada leukofaresis dapat menurunkan leukosit dengan
cepat 20-60% namun, hanya dapat menurunkan jumlah leukosit sementara
maka harus diiukut dengan hidrokurea dengan dosis 50-100 mg/kgBB

Leukafaresis

Leukapharesis merupakan suatu prosedur dimana sel darah putih


dihilangkan dari peredaran darah, yakni di plasma, sedangkan sel darah
merah dan platelet akan kembali ke peredaran darah pasien. Meskipun
leukapharesis telah digunakan untuk mengobati leukostasis yang berkaitan
dengan hiperleukositosis, khususnya pada AML dan ALL, namun tidak ada
penelitian randomized trials yang mengevaluasi manfaat dari leukapharesis
ini. Dasar rasional dibalik penggunaan leukapharesis adalah dapat
menghilangkan jumlah sel leukemik secara cepat untuk menghindari
leukostasis; bagaimanapun, kemoterapi tetap harus diberikan secepatnya
karena efektif dan murah. Alasan lain dari penggunaan leukapharesis ini
adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi metabolik yang berkaitan
dengan hiperleukositosis, meskipun pemberian rasburicase digunakan
untuk mengobati hiperurisemia pada pasien dengan risiko tinggi mengalami
tumor lisis sindrom9.

Leukapharesis juga dapat meningkatkan fraksi sel leukemik pada


fase-S dan oleh karenanya dapat meningkatkan efikasi cytarabine. Sejumlah
anak yang diteliti oleh Children’s Oncology Group Study dari 256 anak
dengan AML yang memiliki jumlah sel darah putih ≥ 100 x 109/L termasuk
89 anak dari PHIS. 16 anak (18%) dari mereka yang melakukan
leukapharesis, satu dari mereka (6,3%) mengalami kematian awal
dibandingkan dengan 3 dari 73 anak (4,3%) bagi mereka yang tidak
mendapatkan leukapharesis, hal ini mengisyaratkan bahwa leukapharesis
tidak menurunkan mortalitas. Penelitan terbaru meta-analisis yang
dilakukan oleh Oberoi et al menunjukkan bahwa kematian awal pada pasien
dengan AML dan hiperleuokositosis tidak menunjukkan berbagai
perbedaan pada laju mortalitas melalui pendekatn leukopharesis atau
penggunaan hydroxiurea dan/atau low-dose chemotherapy.

13 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
Sangat sulit untuk memutuskan bahwa leukapheresis berpengaruh
terhadap kematian dini. Empat dari lima pasien yang diteliti oleh Oussame
et al pada pasien dengan ALL yang menunjukkan adanya klinis gangguan
neurologis dan telah mendapatkan leuapheresis membaik setelah prosedur
selesai (1 pasien memiliki jumlah sel darah putih > 400 x 109/L, yang dapat
berkembang menjadi iskemik strok namun membaik dengan leukapheresis).
Sedangkan 1 pasien lagi meninggal akibat perdarahan sistem saraf pusat9.

Antara leukapheresis pada ALL dan AML yang berkembang


menjadi stroke (1 ALL dan 2 AML), sangat sulit untuk menentukkan
terjadinya stroke apakah akibat serebral leukostasis atau efek samping dari
prosedur itu sendiri. Paling tidak, satu pasien yang berkembang menjadi
stroke iskemik setelah leukapheresis, kemungkinan stroke ini berkaitan
dengan penggunaan sel darah merah (hematokrit = 0,7) pada aferesis
priming process yang dikombinasikan dengan transfusi Packed Red Blood
Cell untuk menaikkan kadar hemoglobin 69 g/L setelah leukapheresis yang
kedua.

Meskipun leukapheresis dapat membantu memperbaiki komplikasi


pernapasan pada setidaknya 10 pasien yang dilakukan oleh Oussame et al
dan distres pernapasan baru pada 2 pasien, laporan yang dilakukan oleh
Lowe at al menunjukkan bahwa 1 komplikasi neurologis dan 5 komplikasi
respiratoris akan terjadi setelah pemberian sitoreduksi pada pasien dengan
ALL dan hiperleukositosis.

Indikasi leukapheresis8,9

Menurut American Society for Apheresis (ASFA) indikasi


leukapheresis adalah

1. Hiperleukositosis dengan gejala leukostasis (Grade 1B recomendation)

2. Jumlah sel darah putih ( lihat tabel 2) untuk mempertimbangkan profilaksis


aferesis (Grade 2C recommendation)

14 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
Komplikasi3,8,9

1. Hipokalsemia

Sitrat toksis akibat pemberian sitrat sebagai antikoagulan yang biasa


dugunakan untuk mencegah clotting dari sirkuit aferesis, namun sitrat ini
akan beikatan dengan kalsium dan dapat menyebabkan hipokalsemia.
Penanganan dalam kondisi ini dapat dengan cara melambatkan posedur,
menurunkan jumlah penggunaan antikoagulan dan pemberian suplemen
kalsium secara oral atau intravena apabila tidak tertangani, misal terjadi
gejala yang berat seperti kram otot, tetanus dan kejang3,8.

Insidensi hipokalsemia asimptomatik adalah 12,8%.

2. Kehilangan darah

Perangkat saat ini menyediakan pengguna dengan kemampuan yang


handal untuk memisahkan leukosit dari seluruh darah yang beredar. Pasien
mungkin memiliki berbagai tingkat sel darah merah atau kehilangan
trombosit selama prosedur, utamanya saat multiple prosedur dilakukan. jika
terjadi kehilangan darah, transfusi sel darah merah tidak direkomendasikan
karena dapat meningkatkan viskositas darah.

3. Kehilangan trombosit

Leukapheresis dapat menurunkan kadar platelet 44%.

4. Akses vena

Insersi dari temporary large central venous line yang membutuhkan


anestesia pada anak dan predisposisi untuk terjadinya perdarahan, atau
trombosis pada daerah kateter tersebut. Insidensi central venous line-related
yakni trombosis pada vena femoral terjadi 10,3%.

15 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
5. Fragmentasi sel darah putih

Leukapheresis dapat menyebabkan pembentukkan fragmentasi sel


darah putih dengan koagulasi intravaskular yang dapat meningkatkan risiko
kematian dini.

Tabel berikut menjelaskan mengenai insidensi komplikasi setelah


melakukan prosedur leukapharesis

Table 5 : indsidensi komplikasi paska leukapharesis

16 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
skema berikut menjabarkan mengenai alur menegemen hiperleukositosis

Gambar 2: Skema Hiperleukositosis9

17 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
2.3 Tumor Lisis Sindrom

2.3.1 Introduksi

Tumor lisis terdiri dari beberapa kelainan metabolik antara lain


hiperuresemia, hiperfosfatemia, azotemia dan hipokalsemia dalam jumlah
melampaui batas kapasitas ekskresi ginjal sebagai akibat lisisnya sel tumor
baik sebelum maupun sesudah pemberian kemoterapi. Berbeda dengan
sindroma leukostasis, sindroma lisis tumor terutama terjadi pada penderita
leukemia limfoblastik. Beratnya kelainan metabolik yang ditimbulkan antara
lain dipengaruhi oleh waktu dan intensitas pemberian kemoterapi, tindakan
profilaksis antara lain hidrasi, keadaan asam basa dan kecepatan filtasi
glomerulus1.

Tabel 6: definisi Cairo-Bishop Score Tumor Lisis Sindrom berdasarkan Klinis


dan Laboratoris10

2.3.2 Faktor Risiko11

Terdapat sejumlah faktor risiko yang dapat berkembang menjadi tumor


lisis sindrom baik secara klinis maupun laboratoris; antara lain

1. Tingginya beban tumor, yang didemonstrasikan dengan adanya peningkatan


LDH

2. Sel darah putih > 50.000/mm3

3. Metastasis ke hati yang masif

4. Keterlibatan sumsum tulang

5. Cancer stage dan kecepatan proliferasi

18 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
6. Terdapat gangguan ginjal sebelumnya atau tumor pada ginjal

7. Bertambanhnya usia

8. Sel yang sensitif terhadap terapi sitotoksik, cell-cycle specific agent

9. Deplesi volume

10. Adanya gagagl ginjal kronik, hiperuresemia, hiponatremia

11. Adanya penggunaan zat yang dapat meningkatkan kadar asam urat termasuk
alkohol, asam askorbat, aspirin, kafein, cisplatin, diazoxide, diuretik tiazid,
adrenalin (epinefrin), etambutol, levodopa, metildopa, asam nikotinik,
pirazinamid, fenitiazin, dan teofilin.

Risk stratification

Risk stratification sangat penting untuk mengetahui langkah terapi


yang akan dilakukan.Terdapat sejumlah model risk stratification yang dapat
digunakan, salah satunya oleh Cairo et al tahun 2010. Model ini membagi
pasien berdasarkan tiga kategori, rendah, intermediat dan risiko tinggi
berkembangnya tumor lisis tumor. Risiko rendah memiliki < 1% kesempatan,
intermediate memiliki 1%-5% kesempatan, sedangkan risiko tinggi memiliki
kesempatan > 5% berkembang menjadi tumor lisis sindrom10.

2.3.3 Patofisiologi dan menifestasi klinis9,10

Tumor lisis sindrom merupakan konsekuensi langsung akibat


lisisnya sel dan lepasnya produk intraseluler. Ketka terjadi pembersihan produk
tersebut dengan cara eksresi (baik melewati ginjal maupun hati atau fagositosis
melalui sistem retikuloendotelial), ketika sistem tersebut terganggu maka akan
terjadi peningkatan serum produk sel, sekuele klinis tumor lisis sindrom dapat
terjadi. Produk seluler tersebut adalah asam nuklet (yang dikonverasi menjadi
asam urat), kalium, dan fosfat.

19 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
Gambar 3: patofisiologi tumor lisis sindrom22

1. Hiperurisemia

Asam nukleat adenin dan guanin dimetabolisme menjadi xantin,


selanjutnya dimetabolisme oleh xantine oksidase menjadi asam urat yang
bersifat water-insoluble (gambar 5). Karena pada manusia memiliki
rendahnya gene fungsional urate oksidase (uricase), sehingga metabolit
asam urat freely soluble akan dirubah menjadi allantion yang mudah
diekskresikan. Pasien dengan keganasan berisiko tinggi sangat rentan
terjadi peningkatan serum asam urat. Asam urat secara bebas difiltrasi
seluruhnya di glomerulus. Pada tubulus renal proksimal memiliki fungsi
kombinasi reabsorpsi dan sekresi memalui luminal urate/anion exchanger
urate transporter 1 (URAT-1) dan basolateral organic anion transporter
(OAT). URAT-1 merupakan apical membrane transporter anion yang
berguna untuk absorpsi urate dari tubulus renal. Hal ini penting dalam
mengatur kadar asam urat. Ketika kapasitas luminal untuk mengangkut
asam urat kewalahan, ada potensi untuk asam urat mengkristal dalam tabung
lumen. Kondisi pH urin asam dapat memberat proses ini.

Kristal asam urat dapat menyebabkan injuri tubular secara langsung


akibat obstruksi, tetapi jalur lain untuk injuri termasuk induksi chemokine-
mediated inflammation dari monosit chemoattractant protein-1 (MCP-1)

20 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
dan machrophage migration inhibition factor (MIF). Selain itu, mekanisme
crystal-indepndent yang berpengaruh pada hemodinamika. Diantaranya
adalah meningkatkan tekanan kapiler peritubul, meningkatkan
vasokonstriksi dan menurunkan aliran darah. Asam urat juga mencegah
pemulihan dari AKI pada TLS, karena terbukti menghambat proliferasi sel
tubulus proksimal. Semua mekanisme ini berastu dan menyebabkan AKI.
Secara klinis, hiperuresemia tidak memberikan gejala dikarenakan kristal
asam urat tidak menyebabkan kolik ginjal, menifestasi ini khas pada
nefrolitiasis asam urat.

Gambar 4 : mekanisme URAT-1 dan tekanan kapiler peritubul21

2. Hiperkalemia

Lisis sel tumor secara masif akan melepaskan kalium kedalam


lingkungan ekstraseluler, menyebabkan hiperkalemia yang berat ketika
kapasitas uptake pada otot dan liver meningkat, khususnya pada pasien
dengan CKD atau AKI. Kelemahan otot merupakan gejala awal. Aritmia
jantung merupakan komplikasi yang serius, ini ditandai dengan adanya
tingginya gelombang T, lebarnya kompleks QRS, dan gelombang sinus.

Kalium merupakan kation intraseluler. Hampir 95-98% dari total


kalium ditubuh terdapat pada intraseluler, khususnya di otot. Total

21 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
penyimpanan kalium dalam tubuh berkisar 50 mEq/kg (sekitar 3500 mEq
pada orang dengan berat badan 70 kg). Homeostasis mempertahankan
tingkat kalium serum dalam kisaran serum antara (3,5-5,0 mEq/L). Jika
berlebihan 90% kalium akan di eksresikan melalui ginjal dan kurang dari <
10% melalui feses dan keringat. Selain itu, untuk membuat kadar kalium
tetap stabil dalam serum maka uptake kalium dalam sel ditingkatkan
memalui pompa Na-K-ATP ase. Saat pompa ini bekerja membutuhkan
peran stimulus dari adrenergik dan insulin. Ketika kalium terlalu banyak di
dalam sel maka akan menyebabkan penurunan tendensi kalium untuk
berdifusi ke luar sel, hal ini dikarenakan muatan anion yang rendah yang
dapat mencegah kalium meninggalkan sel. Saat terjadi peningkatan jumlah
kalium di dalam sel maka terjadi peningkatan RMP dan menyebabkan
depolarisasi kemudian menyebabkan penurunan tendensi untuk natrium
atau kalsium masuk ke dalam sel, yang kemudian menyebabkan flasid otot.

3. Hiperfosfatemia dan hipokalsemia

Karena fosfat merupakan elektrolit intraselelur, pelepasan fosfat


akibat lisis sel yang signifikan dapat menambah jumlah tersebut. Sel
hematologik dapat mengandung empat kali lebih banyak fosfat intraseluler
dibandingkan dengan sel limfoid normal. Hiperfosfatemia dapat
menyebabkan mual, muntah, diare atau letargi. Saat terjadi peningkatan
fosfat, fosfat akan berikatan dengan kalsium kation. Sehingga dapat
menyebabkan hipokalsemia sekunder. Hipokalsemia menyebabkan
downstream neuromuskular dan selanjutnya dapat menyebabkan efek
kardiovaskular seperti kram, hipotensi, tetani dan aritmia. Selain itu,
endapan kalsium-fosfat dapat terdeposisi ke jaringan dan menyebabkan
nefrokalsinosis.

4. Acute Kidney Injury (AKI)

Gagal ginjal akut pada tumor lisis sindrom diakibatkan oleh urat
nefropati akut atau hiperfosfatemik nefrokalsinosis yang menyerang
tubulointerstitium. Beberapa penelitian menunjukkan bahwarasio antara

22 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
asam urat urin terhadap kreatinin >1 dapat menyebabkan nefropati asam
urat, namun penelitian lain telah mencatat bahwa rasio asam urat dengan
kreatinin yang tinggi merupakan etiologi yang lain penyebab AKI.

Hubungan antara AKI dan TLS telah didemonstrasikan melalui


bermacam populasi dan subtipe tumor. Penelitain Annemans et al
menemukan bahwa pasien dengan leukemia yang memiliki TLS dapat
menyebabkan AKI 45%.

2.3.4 Terapi9,10

Hidrasi

Alkalinasi Urin

Telah dijelaskan sebelumnya pada subbab hiperleukositosis


bahwa alkalinasi urin bertujuan untuk meningkatkan pH urin agar
meningkatkan solubilitas asam urat. Namun, peningkatan alkalinasi pada
urin justru akan menyebabkan penurunan solubilitas kalisum-fosfat
sehingga terjadi presipitasi kalisum-fosfat. Lebih jauh lagi, pH yang tinggi
menyebabkan kalsium bebas akan berikatan dengan albumin dan
menyebabkan hipokalsemia lebih lanjut. Oleh karena itu, alkalinasi urin
tidak direkomendasikan pada pasien dengan TLS10.

Allupurinol10

Allupurinol diberikan pada semua anak dengan dosis 250-500


mg/m2/hari (maksimal 800 mg/hari) dibagi dalam 3 dosis. Sediaan Zyloric
tablet tersedia dalam 100 dan 300 mg.

Allupurinol akan dirubah menjadi oxypurinol dan sebagai xantine


analog yang berperan sebagai kompetitif inhibitor bagi xantin oksidase dan
memblok perubahan purin ke asam urat (gambar 4). Hal ini bertujuan untuk
mencegah hiperuresemia namun tidak mengobati hiperuresemia yang sudah
terjadi sebelumnya. Lebih lanjut, oxypurinol juga menginhibit perubahan
xantine ke asam urat. Pemberian allupurinol direkomendasikan untuk

23 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
profilaksis pada pasien dengan risiko rendah atau intermediate terjadinya
tumor lisis sindrom. Smalley et al. Melalukan uji coba pada 1.172 pasien
yang di evaluasi baik efikasi dan keamanan penggunaan allupurinol IV pada
pasien dnegan hiperuresemia. Terbukti dapat menurunkan kadar asam urat
57% pada dewasa dan 88% pada anak-anak. Ketika allupurinol digunakan
sebagai profilaksis, allupurinol dapat mencegah peningkatan kadar asam
urat pada 93% dewasa dan 92% anak-anak.

Dikarenakan oxypurinol di ekskresikan di ginjal, pengaturan dosis


dibutuhkan pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik. Kerap
kali, allupurinol berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas yakni muncul
ruam, hepatitis akut dan eosinofilia. Allupurinol juga dapat menurunkan
clearance dari purine-based chemotherapeutic agent seperti 6-
mecaptopurine dan azathiprine. Allupurinol juga dapat berinteraksi dengan
aathioprine dan siklofosfamid dan menyebabkan supresi sumsum tulang
yang berat.

Rasburicase

Resburicase (Elitek) merupakan Aspergillus-derived recombinant


urate oxidase yang telah disahkan oleh US Food and Drug Administraion
(FDA) pada tahun 2002 sebagai terapi inisiasi hiperuresemia pada pasien
pediatrik dengan leukemia, limfoma dan keganasan tumor solid yang
menerima terapi antikanker. Urolitik jenis ini mengubah asam urat menjadi
alantoin. Dikatakan bahwa alantoin ini adalah metabolit yang 5-10 kali lebih
larut dibanding asam urat. Pui, dkk dan Goldman, dkk dalam sari pediatari
tahun 2012 lebih menganjurkan penggunaan urat oksidase rekombinan
untuk mengobati hiperuresemia yang berat pada kasus leukemia akut.

Dalam kasus dengan TLS yang diikuti dengan peningkatan asam


urat, terapi yang direkomendasikan adalah rekombinant urate oksidase
dengan dosis 0,05-0,2 mg/kg IV, dapat diulang jika dibutuhkan. Obat ini
lebih efektif dibandingkan allopurinol untuk mencegah TLS dan

24 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
menurunkan kebutuhan dialisis. Penelitian menunjukkan efikasi terhadap
pencegahan TLS sangat tinggi dengan dosis injeksi Rasburicase 5 mg.

Menurut Guideline for the Prevention of Tumor Lysis Syndrome yang


dikeluarkan oleh Sickkids, rasburicase direkomendasikan untuk

 Anak-anak dengan risiko tinggi TLS

 Anak yang baru terdiagnosis atau relaps leukemia atau limfoma yang
tidak mendapatkan terapi oral dengan alasan fisiologis seperti muntah
dan gangguan absorpsi gastrointestinal.

 Anak yang baru terdiagnosis atau relaps leukemia atau limfoma dengan
gangguan ginjal yang nyata ( kreatinin serum ≥ 1,5x batas normal)

 Anak yang memiliki alergi allopurinol

Gambar 5: metabolism purin10

Tabel 7: kesimpulan rekomenadi untuk mencegah tumor lisis sindrom12

Intervensi Risiko TLS

Rendah Tinggi

Hidrasi Ya Ya

Alkalinasi urin Ya/Tidak Tidak

Allopurinol Ya Tidak

Rasburicase Tidak Ya

25 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
Febuxostat

Febuxostat merupakan inhibitor xantin oxidase terbaru yang


memiliki hipersensitivitas yang rendah dibandingkan allopurinol. Hal ini
dikarenakan metabolitnya dirubah menjadi metabolit yang inaktif di liver,
dan pengaturan dosis juga tidak dibutuhkan. Obat ini dianjurkan sebagai
profilaksis TLS pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap allopurinol
atau disfungsi ginjal. Penelitian terbaru fase III yang membandingkan
febuxostat vs allopurinol dalam pencegahan TLS menunjukkan bahwa
terjadi penurunan asam urat yang signifikan pada febuxostat namun tidak ada
perubahan serum creatinin yang signifikan berbeda antara kedua variabel
tersebut. Febuxostat memang cenderung lebih mahal dibandingkan
allopurinol.

2.4 Anemia akut

2.4.1 Introduksi

Anemia merupakan masalah klinis yang umum pada anak dan


umumnya sering teridentifikasi di departeen emergensi. Umumnya
presentasi klinis nonurgen dan biasanya untuk menegakkan diagnosis sering
kali pasien dikonsultasikan ke hematologis. Namun perhatian emergensi,
klinisi harus memutuskan diagnosis kerja dan terapi sebelum hematologis
memeriksa pasien. Subab ini akan merangkum beberapa tipe anemia yang
dapat muncul pada kasus emergensi13.

Anemia akut pada bidang emergensi dapat disebabkan oleh patologi


primer atau sekunder atau keduanya serta perdarahan akibat operasi. Anemia
akut dapat terjadi pada anak sehat atau yang memiliki penyakit sistemik, atau
juga yang diketahui memiliki penyakit hematologi. Anemia mungkin dapat
mengindikasikan adanya gangguan single hematopoietic cell line (seperti sel
darah merah) atau berkaitan dengan perubahan multiple cell line seperti
adanya keterlibatan sumsum tulang, penyakit imunologis, dan destruksi
periferal eritrosit atau sekuestrasi sel. Anemia akut umumnya terjadi pada
kehilangan darah dan pasien biasanya menunjukkan gejala. Untuk

26 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
menentukkan etiologi ini dapat dipahami dengan melihat klasifikasi anemia,
klinis yang berkaitan serta interpretasi laboratorium. Pembahasan ini
selanjutkan berfokus pada evaluasi, klasifikasi dan diferensial diagnosos
serta menegement awal anemia akut14.

2.4.2 Definisi14

Anemia didefinisikan sebagai penurunan konsentrasi Hb berdasarkan


standar sesuai usia, jenis kelamin dan ras. Hal ini dapat menyebabkan
penurunan kapasitas pembawa oksigen. Selain itu, definisi anemia dapat
berdasarkan konsentrasi Hb dibawah 2 standar deviasi berdasarkan Hb untuk
usia pada anak13.

Anemia merupakan diagnosis berdasarkan penilaian laboratorium


dimana sel darah merah atau Hb di bawah normal.

Tabel 8 : nilai normal Hb. Hematocrit dan sel darah merah berdasarkan usia15

Nilai normal

Usia Hemoglobin (g/dL) Hematokrit (%) Jumlah Sel Darah


Merah(x106 /mcL)

3 bulan 10,4-12,2 30-36% 3,4-4,0

3-7 tahun 11,7-13,5 34-40 4,5-5,0

Laki-laki dewasa 14,0-18,0 40-52 4,4-5,9

Perempuan 12,0-16,0 35-47 3,8-5,2


dewasa

Data frekuensi anemia pada departemen emergensi sangat sedikit.


Anemia terjadi pada 9%-14% anak dan 14% pasien obstetrik. Data yang
berdasarkan frekuensi kejadian pada populasi umum sangat sedikit. Pada

27 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
kedokteran emergensi, anemia dibagi menjadi dua kategori umum yakni akut
dan komplikasi yang mengancam nyawa.

Untuk mendiagnosis anemia pada anak secara akurat, terlebih dulu harus
mengetahui klasifikasi, memahami patofisologi dan terapi yang akan diberikan.
Pengumpulan sample juga harus tepat untuk memberikan interpretasi yang
akurat.

Anemia akut sendiri menunjukkan adanya penurunah populasi RBC


karena hemolysis atau perdarahan. Pada departemen emergensi, perdarahan
merupakan etilogi yang paling umum.

Anemia akut dapat mengancam nyawa karena terjadi penurunan


kapasitas pembawa oksigen secara tiba-tiba pada darah. Hal ini berkaitan
dengan etiologi dengan atau tanpa penurunan volume intravascular. secara
umum penurunan hemoglobin akut adalah <7-8 g/dl sudah dapat menunjukkan
gejala, sedangkan kadar 4-5 g/dL dapat ditoleransi pada anemia kronis16.

2.4.3 Klasifikasi anemia14

Anemia secara tradisional diklasifikasikan berdasarkan proses


patofisologinya atau berdasarkan ukuran sel darah merah.

Anemia berdasarkan patofisiologinya dijabarkan sebagai berikut

 Terganggunya produksi sel darah merah, dimana prekursr sel darah merah
terhenti untuk membelah baik secara diturunkan atau didapat
 Anemia akibat inaktivitas eritropoiesis, dimana tejadi peningkatan
precursor sel darah merah namun gagal untuk maturasi
 Anemia akibat kehilangn darah baik akut maupun kronis.
 Anemia hemolitik, dimaa sel darah merah dirusak saat berada disirkulasi
baik oleh faktor instrinsik maupun injuri eksternal. Sumsum tulang akan
berespon terhadap penurunan Hb dengan cara meningkatkan produksi
retikulosit.

28 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
Tabel 9: Klasifikasi anemia14

Lebih jauh lagi, klasifikasi berdasarkan mekanisme patofisiologi


berkaitan dengan ukuran eritrosit (mikrositik, normositik atau makrositik) serta
morfologi. Kombinasi data ini mulai dari riwayat pasien, pemeriksaan fisik
menjadikan klinisi dapat menentukkan arah diagnosis banding. Sebagai catatan,
kehilangn darah akibat trauma, nontrauma seperti perdarahan gastrointestinal,
epistaksis berat atau menoragia, yang mempresentasikan penyebab tersering
anemia akut pada anak pada departemen emergensi.

Secara garis besar, pembagian anemia akut dibidang emergensi adalah16

 Kehilangan darah
Kehilangan darah merupakan penyebab umum terjadinya anemia akut.
Yakni anemia defisiensi besi baik akibat chronic slow bleeding dan

29 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
deficit nutrisi. Kasus yang mengancam nyawa adalah akibat trauma,
perdarahan massif saluran cerna.
 Hemoglobinopati
Pasien dengan sikle sel dapat mengalami komplikasi yang mengancam
nyawa akibat acute splenic sequestration dan krisis aplastic. Krisis
aplastic ini terhentinya ertropoiesis yang umumnya berkaitan dengan
human parovirus B19.
 Hemolysis akut
Akibat abnormalitas enzim sel darah merah, defek membrane,
autoimun hemolytic anemia, hemolytic uremic syndrome, DIC dan lain-
lain.

2.4.4 Evaluasi diagnostik14

Pada beberapa kasus, anemia merupakan tanda dari penyakit yang


mendasarinya dan bukan merupakan diagnosis akhir. Klinisi harus teliti
mengenai riwayat dahulu yng mungkin merupakan predisposisi terjadinya
anemia. Anemia pada bayi dini, perlu diketahui riwayat kehamilan apakah ada
komplikasi selama persalinan, obat-obatan yang diminum setelah kehamilan,
serta anemia selama kehamilan. Perlu juga dicermati adakah kuning,
splenomegaly, keganasan, dan riwayat transfusi. Pasien juga perlu di evaluasi
adakah hiperbilirubinemia, diet, infeksi akut atau kronik, endokrinopati, dan
mudah memar serta kehilangan darah. Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan
anemia akut dapat disertai gejala takikardi, takipneu, menurunnya capillary
refill time, ikterik, pucat, limfadenopati, hepatomegali, atau splenomegali,
hematuria, dan atau adanya gagal jantung kongestif.

Para klinisi harus menyadari dengan betul bahwa pada pemeriksaan


laboratorium dapat disertai artefak yang mengarah ke anemia. Adanya
kerusakan secara teknis seperti dalam menilai hematocrit dapat disertai dengan
plasma trapping, ketidakadekuatan sentrifugasi, dan terlalu sedikitnya sample
kapiler. Pada kasus anemia, penemuan laboratorium pada kasus anemia dapat
ditemukan beberapa keganjilan data mulai dari riwayat penyakit hingga
pemeriksaan fisik.

30 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
Berikut akan dijelaskan mengenai skema diagnostic anemia pada anak15.

31 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
2.4.5 Anamnesis14

Perlu kita nilai usia, jenis kelamin, ras, etnis, diet, riwayat
pengobatan, gejala yang mengindikasikan adanya infeksi, dan riwayat keluarga.
Sebagai contoh, anemia dapat dideteksi pada pasien dengan usia antara 3 hingga
6 bulan yang mengindikasikan adanya gangguan kongenital seperti gangguan
struktur Hb atau sintesis Hb, berbeda dengan anemia defisiensi besi, yang
umumnya tidak terdapat pada pasien dengan usia setelah usia 6 bulan. Perlu
juga diketahui, anemia selama fase neonatal dapat terjadi isoimunisasi dari
antibodi ibu atau terjadi anemia hemolitik kongenital. Riwayat adanya
hiperbilirubinemia mungkin penting sebagai petunjuk mengarah ke diagnosis
anemia hemolitik kongenital, spherocytosis herediter, riwayat splenektomi, dan
atau kolesistektomi.

Pada gangguan hematologi tertentu dapat memicu anemia yang


berkaitan dengan kromosom X yang tentu tidak terdapat pada laki-laki, X-
linked ini termasuk defisiensi glukosa-6- fosfat (G6PD) dan defisiensi piruvat
kinase, yang keduanya dapat memicu anemia hemolitik. Pada kasus yang sama,
defisiensi enzim dan hemoglobinopati sangat umum terjadi pada etnis populasi

32 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
tertentu seperti penyakit yang berakitan dengan HbS dan HbC di Afrika atau
Amerika Afrika, serta G6PD dan talasemia yang umum pada masyarakat
mediterania. Beberapa kelainan hemoglobinopati dan defisiensi enzim dapat
memacu anemia merupakan kelainan yang diturunkan, oleh karena itu, penting
sekali ditanyakan riwayat hematologi, adakah ikterik, batu empedu atau
splenomegali.

Dikarenakan eritropoesis yang efektif bergantung dengan


keadekuatan intake besi, vitamin B12, dan asam folat. Oleh karena itu, sangat
penting untuk menanyakan diet harian pasien dan kebiasaan makan pasien,
apakah memiliki kebiasaan makan yang tidak biasa atau pica atau pagophagia
(makan es) yang dapat mengindikasikan adanya anemia defisiensi besi. Perlu
juga diketahui, obat-obat yang dikonsumsi pasien. Begitu banyak klas obat yang
dapat memicu reaksi antibodi seperti penisilin, golongan sulfa, neuroleptic,
termasuk trisiklik, antidepresan dan fenotiazin, obat-obatan yang berkaitan
dengan terapi jantung seperti tiazid, alfa metildopa, dan antihiperglikemi dari
klas sulfonylurea. Pada pasien dengan defisiensi G6PD, infeksi atau
penggunaan obat oksidan seperti antimalara primaquine dn kloroquine,
sulfonamide dan banyak obat lainnya yang dapat memicu proses hemolitik.

Anemia biasanya disertai dengan penyakit akut maupun kronik.


Pada kasus diare lama dan makrositik anemia, perlu dipertimbangkan adanya
penyakit pada usus kecil yang memacu terganggunya proses reabsorpsi folat
atau vitamin B12. Atau inflammatory bowel disease dan enteropati eksudatif
yang dapat memicu kehilangan darah dan menyebabkan anemia mikrositik.
Pasien ini juga dapat merupakan anemia mikrositik yang berkaitan dengan
inflamasi kronik. Penelitian terbaru menyatakan bahwa pelepsan mediator
inflamasi seperti IL-6 dapat memacu peningkatan produksi hepcidin, 25- asam
amino yang diproduksi di hepar. Hepcidin ini menghambat absorpsi besi pada
usus kecil dan menyebabkan sekuestrasi besi di makrofag. Kaskade ini
dianggap bertanggung jawab pada anemia normositik dengan penyakit kronik.

33 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
2.4.6 Pemeriksaan fisik

Pucat merupakan gejala umum yang berkaitan dengan anemia dan ini
disebabkan oleh kombinasi dari konsentrasi Hb dalam darah, kondisi
vasokonstriksi pembuluh darah kutaneus, dan ada atau tidaknya edema. Pucat
sebagai temuan pemeriksaan fisik sangat bervariasi, pada anak yang tampak
pucat dapt memiliki konsentrasi Hb yang normal. Bisa saja pasien dapat
menampakkan kulit yang sedikit kekuningan, hal ini dapat merupakan kondisi
familial dan bukan merupakan indikasi anemia atau hemolisis. Selain pucat,
temuan pemeriksaan fisik lainnya adalah nyeri kepala, pingsan, kelemahan,
kelelahan, lekas marah, takikardi, dispneu, anoreksi, dan edema. Anak-anak
dengan anemia hemolitik mungkin mengalami mual, muntah dan nyeri perut,
nyeri sendi, demam, sakit kuning, dan perubahan warna urin. Temuan
pemeriksaan fisik lain mungkin dapat memberikan petunjuk penting etiologi
anemia. Sebagai contoh, pada pemeriksaan wajah dengan gambaran tulang
rahang atas yang menonjol yang menunjukkan adanya hematopoiesis
ekstramdular pada talasemia mayor atau pada kasus jarang pada anemia
defisiensi besi yang berat. Stomatitis sudut mulut sering terlihat pada anemia
defisiensi besi, glositis khas pada defisiensi B12 atau asam folat. Pasien dengan
anemia hemolitik kongenital atau leukemia dapat ditandai dengan
splenomegali14.

2.4.7 Pemeriksaan penunjang

Evaluasi laboratorium yang utama harus termasuk pemeriksaan


jumlah sel darah merah dengan disertai indeks sel drah merah. Jumlah sel darah
putih dengan hitung jenis, jumlah retikulosit dan apusan sel darah tepi.
Pengukuran Hb pada anak harus di bandingkan dengan nilai normal
berdasarkan usia dan jenis kelamin untuk membuktikan apakah seorang anak
benar anemia atau tidak. Untuk membuktikan apakah anak anemia harus diukur
kadar MCV. MCV berguna untuk menilai mikrositik, normositik dan
makrositik14.

34 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
2.4.8 Etiologi dan Patofisiologi13

Fungsi utama sel darah merah adalah mentransport oksigen dari paru
ke jaringan dan menstransport karbon dioksida ke paru. Transport oksigen
dipengaruhi oleh sejumlah, afinitas oksigen dan aliran darah.

a. Anemia akibat bone marrow failure syndrome

Bone marrow failure syndrome dapat diturunkan atau didapat.


Kelainan dini ditandai dengan gagalnya proses hematopoiesis. Umumnya
menyebabkan gambaran pansitopenia pada anak, meskipun isolated cytopenia
dapat terjadi namun sangat jarang. Sekiatr 25% diturunkan dan sangat sedikit
proses yang didapat.

Anemia aplastic didapat atau Acquired aplastic anemia (AA) dapat


diakibatkan oleh induksi toksin atau obat tertentu seperti benzene,
kloramfenikol dll, atau bisa juga idiopatik. Mekanisme ini merupakan penyakit
yang diperantari oleh system imun dimana terbentuk abnormal cytotoxic T-
cell (sel CD8+) mediated injury pada stem sel hematopoietic yang
menyebabkan aplasia sumsum tulang. Gambaran pansitopenia dapat ringat
hingga sedang, namun secara bertahap dapat berkembang menjadi AA yang
berat. AA yang berat didefinisikan sebagai jumlah netrofil absolut kurang dari
500/ul, jumlah platelet kurang dari 20,000/ul dan presntasi retikulosit < 0,5%.
Pasien dengan AA yang berat merupakan indikasi untuk transplantasi stem sel
atau terapi imunosupresif dan transfuse harus diberikan selama prses evaluasi
transplantasi.

Kegagalan sumsum tulang konstitusional (anemia fanconi,


diskeratosis kongenital dll) harus dipikirkan ketika pada pemeriksaan fisik
ditemukan perawakan pendek., dekstrkardia atau abnroalitas skeletal seperti
tidak adanya tulang radius, jempol, sindaktili atau klinodaktili.

Krisis aplastic dapat terjadi pada pasien dengan anemia hemolitik


kongenital. Pasien dengan anemia sikle sel, defisiensi enzim dan sperositosis

35 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
herediter dapat menggambarkan anemia berat yang tiba-tiba, yang kadang
dapat mengancam nyawa.

b. Anemia akibat inaktivitas eritropoeisis

Anemia defisiensi besi13

Defisiensi besi merupakan penyebab umum anemia. Sebagian besar


kebutuhan besi akan didapat dari penggunaan ulang dari penyimpaan besi di
tubuh dan hanya sedikit yang hilang perharinya (1-2 mg/hari) yang perlu
digantikan oleh diet makanan. Besi di absorpsi dari duodenum dan ditransport
ke jaringan melalui transferrin di plasma. Setiap molekul transferrin akan
mengikat dua molekul besi dan transferrin yang mengikat besi ini akan
ditransportasikan untuk perkembangan precursor sel darah merah, dimana
akan berikatan dengan reseptor transferrin dan masuk ke dalam sel melalui
endositosis. Di dalam sel, besi digunakkan untuk sintesis Hb, dan besi di
simpan sebagai ferritin dan hemosiderin. Beberapa ferritin dapat ‘bocor’ ke
dalam serum, dan serum ferritin ini digunakan sebagai marker besi simpanan
di tubuh.

Anemia defisiensi besi dicurigai ketika berkaitan dengan mikrositik


(rendahnya MCV). Akibatnya terjadi inefektivitas eritropoiesis, yakni
menurunnya total sel darah merah dan anisositosis, yang ditandai melalui red
cell distribution width (RDW). RDW umumnya > 16 pada anemia defisiensi
besi (nomal 12-14). Nilai RDW ini membantu membedakan anemia defisiensi
besi dari talasemia trait, yang juga data memberikan gambaran anemia dan
mikrositosis. Pada talasemia, jumlah sel darah merah tinggi sebagai
kompensasi dengan meningkatnya eritropoiesis, dan kadar RDW dapat normal
atau meningkat minimal. Analisa Hb dapat menunjukkan peningkatan HgbA2
dan atau HgbF pada beta talasemia trait dan tidak terdapat pada anemia
defisiensi besi. Profil serum besi (serum besi, TIBC, ferritin dan saurasi
transferrin) dapat membantu diagnosis anemia defisiensi besi.

Pada anemia defisiensi besi subklinis, antara Hb dan MCV dapat


normal. Dalam beberapa kasus, rendahnya ferritin dan meningkatnya

36 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
protoporfirin eritrosit bebas, dapat digunakan sebagai marker eritropoiesis
defisiensi besi. Protoporfirin eritrositik bebas normal pada talasemia trait.
Saturasi transferrin juga sangat bermanfaat, dimana transferrin normal 20-50%
dan kurag dari 15% mengindikasin defisiensi besi.

Terapi pada kasus ini bertujuan untuk meningkatkan Hb secara


perlahan, yakni dengann terapi besi oral mulai dari dosis 3-5 mg/kg/hari.
Respon retiklosit akan terlihat dalam 72 jam dan Hb akan meningkat dalam
seminggu. Terapi harus diteruskan sampai 3 bulan setelah Hb mencapai normal
untuk menambah besi simpanan. Transfuse sel darah merah jarang
diindikasikan kecuali pada Hb < 4 g/dL.

Keracunan timbal

Keracunan timbal merupakan diagnosis banding pada anemia


mikrositik. Bagaimanapun, anemia mikrositik akibat keracunan timbal
sebagian besar disertai dengan anemia defisiensi besi atau talasemia trait.
RDW yang dapat membedakan keduanya. Terdapat riwayat menelan chip cat
yang terkelupas yang mengandung timbal dan menelean lumpur (pica atau
pacofagia)13.

Anemia pada penyakit kronis

Anemia pada penyakit kronis merupakan penykit sistemik yang


sering menyebbkan anemia sekunder, seperti pada inflamasi kronis ( TB,
osteomyelitis kronis), gangguan autoimun atau keganasan. Anemia biasanya
ringan hingga sedang dan umumnya normositik normokrom, meskipun kadang
mikrositik. Serum ferritin meningkat, sedangkan serum besi menurun
bersamaan dengan penurunan TIBC. Jumlah reseptor trasnferin soluble di
serum tinggi yang mengindikasikan penurunan suplay besi, meskipun kondisi
ini dapat terjadi ada anemia defisiensi besi. Mekanisme anemia pada penyakit
kronis nampaknya terjadi akibat inadequate release besi dari makrofag.
Hepcidin merupakan peptide kecil yang disintesis dari hepar dapat
mencerminakn besi simpanan dan mengatur transportasi besi. Produksi

37 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
hepcidin dapat meningkat sebagai respon terhadap sitokin (IL-6) dan dapat
mencegah pelepasan besi dari makrofag, menyebabkan hipoferremia13.

Anemia megaloblastik

Meskipun jarang ditemukan pada departemen emergensi. Defisiensi


vitamin B12 dan asam folat dapat menyebabkan anemia megaloblastik.
Penyakit ini ditandai dengan tingginya MCV > 100 fl, dan terdapat neutropenia
ringan dan trombositopenia. Makroovalosit dan hipersegmen neutrophil dapat
terlihat pada apusan darah tepi. Makrosit biasa tertutup oleh adanya talasemia
trait. Anemia ini biasanya akibat kekurangan gizi atau diturunkan.

c. Hemolitik anemia

Immune hemolytic anemia13

Immune hemolytic anemia (IHA) terjadi ketika antibody (IgG atau


IgM) berikatan dengan antigen sel darah merah dan menyebabkan destruksi sel
darah merah. Antibody ini diproduksi sebagai hasil alloimmunitas yang terjadi
akibat mismatched transfuse darah atau proses autoimun. Autoimmune
hemolytic anemia (AIHA) dapat secara primer (idiopatik) atau sekunder akibat
penyakit sistemik. Lebih jauh lagi, berkaitan dengan tipe dan antibody sensitif
suhu. AIHA dapat tipe warm antibody atau tipe cold antibody.

Warm antibody AIHA disebabkan oleh antibody IgG yang berikatan


kuat saat suhu ruangan. Antibody ini merupakan panagglutinin, antibody ini
bereaksi dengan salah satu antigen sel darah merah. Antibody IgG tidak secara
umum mengaktifkan complement, ketika berikatan dengan sel darah merah
makan akan difagositosis oleh makrofag limpa melalui reseptor Fc.

Penyakit yang berkaitan dengan Cold agglutinin pada anak, hamper


jarang, dan hal ini dapat mengancam nyawa. Pada sebagian besar kasus,
penyakit ini transient dan dapat sembuh secara spontan. Penyakit ini
diperantarai oleh antibody IgM yang berikatan kuat dengan sel darah merah
saat suhu 0-4 derajat selsius. Antibody ini akan mengaktifkan komplemen dan
menyebabkan hemolysis di intravascular. Antibody ini secara umum akibat

38 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
dari infeksi mycoplasma atau infeksi virus, tidak jarang obat-obatan seperti
sefalosporin dapat menginduksi cold antibody.

Ketika AIHA dicurigai, test direct antiglobulin positif (Coomb’s test)


dapat mengkonfirmasi diagnosis ini. Hitung darah lengkap dengan jumlah
retikulosit, serta apusan darah tepi, jumah bilirubin dan adanya laktat
dehydrogenase sangat membantu untuk menilai beratnya hemolysis. Pada
apusan darah tepi tampak sperositosis, polikromasia dan sel darah merah
dengan inti sel. LDH dan bilirubin meningkat. Adanya hemoglobinuria
mengindikasikan adanya hemolysis intravascular. Coomb’s test yang positif
memberikan karakteristik tipe antibody dan fiksasi komplemen. Pada tipe
warm antibody, Coomb’s test positif untuk IgG. Pada cold agglutinin, coomb’s
test (direct antiglobulin test/DAT) dengan polispesifik sera mungkin negative.
Namun monospesific DAT dengan anti-C3 pada suhu ruangan dapat positif.

Terapi pada penyakit ini berkaitan dengan penyebab dan tipe AIHA.
Langkah pertama adalah stabilisasi pasien, karena pasien dapat mengalami
deplesi volume akibat hemolysis intravascular. pada kebanyakan kasus AIHA
tipe warm antibody, semua unit darah dapat tidak kompatibel untuk di uji,
sebagai antibody nonspesifik.

d. Gangguan membrane sel darah merah

Gangguan membrane sel darah merah merupakan grup kelainan


yang diturunkan, ditandai dengan adanya defek pada salah satu protein
membrane sel darah merah. Bberapa entitas dalam kelompok ini adalah
spherositosis herediter (HS), elliptositosis herediter (HE), piropoikilositosis
herediter (HPP) dan stomatositosis herediter (HSt).

Menifestasi klinis pada gangguan membarn sel darah merah


memiliki banyak bentuk, asimptomatik untuk HE, hingga berat dan
menyebabkan transfusion dependent terutama pada HS berat dan HPP.
Sebagian besar pasien yang memiliki anemia ringan hingga sedang. Beberapa
pasien akan terlihat ikterik dan adanya batu empedu. Umum juga terlihat
pembesaran limpa mulai dari ringan hingga sedang. Pasien dengan penyakit ini

39 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
berisiko mengalami komplikasi yang mengancam nyawa seperti kiris aplasia
dan kolesistitis akut dari batu empedu, akibat dari hemolysis kronis. Pada krisis
aplastic, produksi sel darah merah ditekan akibat infeksi virus, umumnya adalah
parovirus B19. Pada pasien ini akan tampak anemia berat dan retikilositopenia.
Transfuse sel darah merah dibutuhkan pada beberapa kasus berat.

Diagnosis abnormalitas membrane berdasarkan temuan klasik pada


apusan darah tepi. Pada HS dan HE akan ditemukan sperosites dan eliptosites.
Sedangkan pada HPP akan tampak poikilositosis, eliptositosis dan rendahnya
MCV.

e. Defisiensi enzim sel darah merah

Defisiensi Glucose -6- phosphate-dehydrogenase (G6PD)


merupakan penyebab umum defisiensi enzim sel darah merah. Pada populasi
dunia kira-kira 400 juta jiwa terkena penyakit ini. Defisiensi ini akibat defek
genetic yang disebabkan oleh mutasi gene G6PD, yang terletak pada long arm
pada kromosom X. defisiensi enzim menyebabkan penurunan glutation (GSH),
dan akibatnya radikal bebas menyerang sel darah merah.

Pasien biasanya akan tampak penurunan Hb yang berat dan ada


hemolysis seperti anemia dengan retikulositosis, peningkatan bilirubin dan
hemoglobinuria.

40 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
Diagnostik hemolisis14

f. Hemoglobinopati

Hemoglobinopati merupakan gangguan yang ditandai dengan defek


pada gen globin alfa atau beta, sehingga menyebabkan abnormalitas sintesis
hemoglobin baik secara kuatitatif maupun kualitatif. Talasemia merupakan
abnormalitas Hb secara kuantitatif, beratnya anemia bergantung dari luasnya
dan tipe mutasi. Bagaimanapun, jarang sekali ditemukan pada kasus emergensi.

Anemia sikle sel merupakan abnormalitas ecara kaulitatif pada


cincin globulin, dimana valin digantikan oleh asam glutamat pada asam
amino ke-enam pada cincin globin beta. Sehingga bentuk Hb seperti sickled-
shape akibat deoxigenasi. HbS ini (sikle sel) akan di hemolysis.

Pada kasus ini dapat terjadi krisis aplastic, akibat kompensai


hemolysis kronis dan usia sel darah merah yang pendek akibat peningkatan
aktivitas hematopoiesis, dan dalam satu keadaan hematopoiesis kemudian
berhenti. Pada keadaan ini, akan terjadi Hb yang sangat rendah, infeksi
khususnya parvovirus B19 yang merupakan penyebab umum krisis aplastic.
Selain adanya Hb yang drop, pasien juga akan mengalami retikulositopenia

41 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
yang rendah. Terapi ini adalah dengan cara diberiknnya transfuse PRBC
khususnya jika Hb <5 g/dL atau ketika ada tanda ketidakstabilan hemodinamik.

Krisis sequestrasi limpa diakibatkan oleh vasooklusi didalam limpa, yang


menyebabkan penyatuan darah. Akibatnya, anemia akut, rendahnya kadar Hb
yang berat dan berkaitan dengan trombositopenia, retikulositosis dan
pembesarn limpa, kadang akan tamak seperti kondisi syok. Krisis ini umumnya
terjadi pada usia muda sebelum limpa di auto-infarcted. Tingkat mortalitas
sangat tinggi jika transfuse terlambat dan pemberian PRBC emergensi sangat
diindikasikan13.

g. Anemia hemolitik lainnya

Microangiopathic hemolytic anemias (MAHA) merupakan


penyebab tersering anemia hemolitik yang mendadak dan berat. Seperti
hemoliytic uremic syndrome (HUS). Hemolysis ini diakibatkan oleh ‘shear
stress’ dan fragmentasi sel darah merah ke glomerulus ginjal sehingga
menyebabkan deposisi platetel-fibrin secara berlebih dan menyebabkan
kerusakan glomerulus. Sehingga hal ini disebut sebagai mikroangiopati. Hal ini
berkaitan dengan thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP), yang memiliki
presntasi yang sama namun menifestasi ginjalnya minim.

Penyakit yang mengancam nyawa lainnya adalah hemophagocytic


lymphohistiocytosis (HLH). HLH ditandai dengan hiperaktivasi dan proliferasi
yang tidak terkontrol dari makrofag, histiocyte dan sel T CD8+. Penyakit ini
biasanya familial, akibat mutasi pada gen perforin atau didapat yang merupakan
penyebab sekunder dari infeksi (misalnya virus Epstein-Barr), keganasan, atau
penyakit rematlogikal seperti juvenile rheumatoid arthritis.

Diagnosis ini berdasarkan adanya temuan klinis dan laboratorium


yakni demam lama, spelomegali, bisitopenia, hipertrigliseridemia/
hipofibrinogenemia dan temuan adanya hemofagositosis pada biopsy atau
aspirasi sumsum tulang.

42 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
Terapi inisiasi adalah immunosupresi dengan menggunakan steroid
dan atau cidosporin, dan harus diberikan sesegera mungkin.

2.4.9 Terapi13,15

Terapi anemia disesuaikan berdasarkan etiologinya. Terapi emergensi


diindikasikan berdasarkan situasi tertentu dan berdasarkan usia pasien, kondisi
klinis, tipe, dan keparahan penyakit, serta ada tidaknya gangguan hemodinamik.

Pada departemen emergensi, langkah pertama adalah mengevaluasi


ABCs (A airway, B Breathing, C circulation) dan mengobati kondisi yang
mengancam nyawa sesegera mungkin. Kristaloid merupakan pilihan pertama
cairan yang akan diberikan.

1. Anemia akut akibat kehilangan darah


Monitor dengan pulse oximetry, monitor jantung, dan tensimeter.
Berikan suplemen oksigen melalui nasal kanul atau face mask. Pasang 2 IV
line, dan segera infus 1-2 liter kristaloid sambil dimonitor tanda dan gejala
gagal jantung kongestif iatrogenic.
Pertimbangkan untuk pemberian transfuse darah tipe O atau darah
spesifik untuk pasien yang tetap mengalami hipotensi setelah pemberian
infus 2L kristaloid pada pasien muda sehat dengan kadar hematocrit
dibawah 20 atau pada pasien tua dengan hematocrit dibawah 30.
Vasopressor merupakan kontraindikasi relative untuk penanganan
syk hipovolemik.
2. Anemia akut akibat hemoglobinopati
Keputusan transfuse bergantung pada laju jatuhnya kadar Hb dan
kondisi klinis pasien. Pada pasien dengan anemia sikle sel, koreksi anemia
dengan tranfusi sangat adekuat. Hidroksiurea dapat digunakan untuk
menurunkan risiko krisis sikle sel. Pada anemia yang berat (kadar Hb < 5
g/dL), full-volume transfusion dapat menyebabkan overload. Pasien ini
secara rutin ditransfusi namun perlu juga pemberian diuretic. Jika terdapat
krisis aplastic, yang ditandai dengan penurunan retikulosit, hal ini
merupakan indikasi transfuse.

43 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
3. Anemia akut akibat acquired platelet disorder
Pasien dengan trombositopenia disertai adanya bukti perdarahan
harus mendapatkan transfuse platelet. Pasien dengan jumlah platelet <
10,000/ul berisiko untuk mengalami perdarahan serebral dan membutuhkan
transfuse profilaksis.

Indikasi transfusi darah13

Tidak terdapat guideline khusus yang menyebutkan indikasi


transfuse darah pada pediatric. Umumnya guideline indikasi transfusi
terdapat pada pasien dewasa. Berdasarkan keputusan-keputusan umum,
maka dibuat kesimpulan sebagai berikut:

 Hb yang rendah <7-8 g/dL atau kehilangan darah yang cepat lebih dari 30-
40%, membutuhkan transfuse PRBC pada sebagian pasien
 Pada anak dengan anemia berat, transfuse PRBC telah terbukti aman dan
efektif serta dapat meningkatkan hematocrit sekitar 1% tiap 1 ml/kg transufi
PRBC.
 Pada pasien dengan hemoglobinopati, sel darah merah ditransfusikan untuk
mencegah komplikasi akut dan kronik
 Pada neonates, peningkatan hematokrit hingga diatas 0,30-0,35 dibutuhkan
ketika terdapat distress respirasi.

Dosis transfuse biasanya 10-12 ml/kgBB. Pada infant dengan berat


badan 10 kg dapat diberikan 100-120 ml darah. Diasumsikan bahwa
hematocrit donor 65%, tiap 4ml/kg darah yang ditransfusikan akan
meningkatkan Hb sekitar 1 g/dL atau hematocrit 3%. Volume transfuse
diberikan secara perlahan selama 1,5-2 jam pada suhu ruangan.

44 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
2.5 Efek Samping Transfusi

2.5.1 Introduksi

Terdapat berbagai macam efek samping yang bias terjadi setelah


transfuse. Menurut WHO reaksi ini dibagi berdasarkan waktunya yakni akut <
24 jam dan delayed > 24 jam.

Menurut data dari National Heallth Surveillance Agency, setiap 1.065


transfusi setidaknya terdapat reaksi transfuse ringan (85%), sedang (12,7%),
dan berat (2,2%). Sejak reaksi alergi lebih sering pada anak dibandingan
dewasa, diagnosis reaksi transfuse menjadi underdiagnosed.

Macam-macam jenis efeks samping transfuse dijabarkan dalam skema


berikut ini17.

Gambar 6 : skemia pembagian reaksi transfusi17

Reaksi akut mulai dari febril non spesifik sampai yang mengancam nyawa
yakni hemolysis intravascular. jika reaksi akut transfuse dicuragi maka perlu
tindakan sebagai berikut:

 Jika curiga reaksi akut transfuse, hentikan transfuse secepatnya

45 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
 Cek label kantong darah dan cek identitas pasien
 Jika reaksi tansfusi berat atau terdapat ketidakcocokan identitas, lepas
needle segera
 Jika reaksi transfuse ringan, biarkan IV line tetap terbuka lalu berikan infus
0,9% NaCl

Mengenali gejala reaksi transfuse17

Tabel 10: Kategori reaksi ringan

Tanda Gejala Penyebab yang mungkin

Urtikaria (localized) Pruritus Hipersensitifitas (ringan)

Rash (localized)

Menegemen untuk kategori reaksi ringan

 Lambatkan transfuse
 Berikan antihistamin IM
 Jika tidak ada perbaikan klinis selama 30 menit atau tanda dan gejala
memburuk, terapi sebagai kategori 2, jika membaik maka pelankan
transfuse

46 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
Tabel 11: Kategori reaksi sedang-berat

Tanda Gejala Penyebab yang mungkin

Flushing Ansietas Hipersensitivitas

Urtikaria Pruritus

Rigors Palpitasi

Demam Dispneu ringan

Gelisah Nyeri kepala

Takikardi

Menegemen untuk kategori reaksi sedang-berat

 Hentikan transfuse dan biarkan IV line terbuka dengan normal salin di


tempat yang berbeda
 Kembalikan unit darah beserta administrasi transfuse, dan perika urin serta
sample darah.
 Berikan antihistamin IM dan oral atau antipiretik rektal. Hindari
penggunaan aspirin pada pasien trombositopenia
 Berikan kortikosteroid IV dan bronkodilator jika terdapat gambaran
anafilaksis (seperti brokospasme, stridor)
 Jika klinis membaik, ulangi transfuse secara lambat dengan unit darah yang
baru dan di observasi dengan hati-hati
 Jika klinis tidak membaik dalam 15 menit atau jika tanda dan gejala
memburuk, terapi sebagai kategori 3.
 Kumpulkan sample urin untuk 24 jam kemudian untuk membuktikan
adanya hemolysis atau tidak.

47 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
Tabel 12: Kategori 3 reaksi yang mengancam nyawa

Tanda Gejala Penyebab yang mungkin

Rigor Ansietas Intravascular hemolysis akut

Demam Nyeri dada Mismatched blood transfusion

Gelisah Nyeri sepanjang transfusion Kontaminasi bakteri dan syok septik


line

Hipotensi (turunnya Respiratory distress/ nafas Overload cairan


20% TD sistolik) pendek

Takikard Nyeri punggung Anafilaksis


(meningkatnya 20%
laju jantung)

Hemoglobinuria Nyeri kepala TRALI

Unexplained Dispneu
bleeding (DIC)

Menegemen pada reaksi yang mengancam nyawa

 Hentikan transfuse dan biarkan IV line tetap terbuka dengan normal salin di
tempat lain
 Infus normal salin dan pertahankan TD sistolik
 Pertahanka jalan nafas dan berikan oksigen dengan mask
 Berikan adrenalin (1: 1000 solution) 0,01 mg/kgBB melalui inejski
intramuscular secara perlahan
 Berikan kortikosteroid IV dan bronkodilator jika terdapat gambaran
anafilaksis
 Berikan diuretic seperti furosemide 1 mg/kgIV
 Perika urin untuk menilai secara visual adakah hemoglobinuria
 Kirim unit darah dengan set transfuse, sample urin dan darah untuk
dilakukan pemeriksaan oleh transfusion center.
 Hitung urin output dalam 24 jam, dan pertahankan balance cairan

48 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
 Nilai adakah perdarahan atau luka pada tempat suntikan. Jika terdapat bukti
adanya DIC, berikan platelet (dewasa 4-6 unit) dan cryoprecipitate (dewasa
: 12 unit) atau FFP (dewasa 3 unit)
 Nilai ulang, jika hipotensi
o Berikan saline
o Berikan inotropic, jika tersedia
 Jika urin output sedikit atau terbukti adanya gagal ginjal akut (peningkatan
kalium, uerum dan kreatinin):
o Pertahankan balance cairan secara akurat
o Berikan diuretic seperti furosemide 1 mg/kg IV
o Pertimbangkan pemberikan infus dopamine, jika tersedia
o Pertimbangkan untuk dialisis
 Jika dicurigai bakterimia (adanya rigor, demam, kolaps, tidak adanya reaksi
hemolitik) mulai berikan antibiotic IV broad-spectrum.

2.6 TRALI

2.6.1 Introduksi

Penyebab meningkatnya morbiditas dan mortalitas terkait transfusi di


Amerika Serikat adalah transfusion-related acute lung injury (TRALI). Kriteria
diagnosis untuk TRALI telah berkembang dan umumnya terdapat hipoksia dan
edema pulmonal bilateral yang terjadi selama atau dalam 6 jam transfuse tanpa
disertai adanya gagal jantung atau overload intravascular. membedakan dengan
diagnosis banding transfuse overload sangat sulit. Terapi pada kasus ini yakni
dengan pemberian terapi suportif berupa oksigen dan ventilasi mekanik.
Diuresis tidak di indikasikan dan peran steroid pun tidak terbukti. Pasien
umumnya akan membaik dalam beberapa hari. Semua tipe produk darah dapat
menyebabkan TRALI. Namun bagaimanapun pada transfuse plasma rich-
component, seperti fresh frozen plasma dan platelet apheresis berimplikasi
dalam hamper semua kasus yang berkaitan dengan TRALI. Pathogenesis
TRALI tidak begitu dipahami. Antibody leukosit pada donor plasma telah

49 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
berimplikasi pada sebagian kasus dengan antibody directed pada human
leukocyte antigen (HLA) klas I, HLA klas II atau neutrophil-spesific antigen,
khususnya HNA-3a. aktivasi endothelium pulmonal sangat penting dalam
perkembangan TRALI. Transfused leukoagglutinating antibodies berikatan
dengan netrofil resipien yang terletak pada endotel pulmonal dan menyebabkan
aktivasi dan pelepasan oksidase dan damaging biologic response lainnya yang
menyebabkan kebocoran kapiler18.

Pada minoritas, kasus TRALI, tidak ada antibody yang diidentifikasikan


dan neutrophil yang terdapat pada komponen transfuse dapat menyebabkan
TRALI dengan aktivasi endotel pulmonal, mekanisme ini disebut ‘two hit’
mechanism.

2.6.2 Definisi

Hubungan antara gejala acute lung injury (ALI), transfuse, dan


leukoagglutinins pertama dilaporkan oleh Brittingham in 1957. TRALI
didefinisikan sebagai ‘new acute lung injury’ (ALI) yang terjadi selama atau
dalam 6 jam setelah transfuse. Kriteria TRALI dapat dilihat pada table berikut.

Tabel 13: kriteria TRALI menurut Canadian Consensus Conference19

50 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
TRALI merupakan acute lung injury sementara yang berkaitan
dengan transfuse. Hal ini tidak berbeda secara fisiologi dengan ALI atau ARDS,
pada penampakkan autopsy pada kasus TRALI yang fatal ditemukan adanya
PMN mediated dab temuan autopsy ini sama dengan pasien ALI / ARDS.
Diagnosis TRALI harus dipertimbangkan pada semua kasus distress respiratori
dengan hipoksemia yang signifikan (PaO2/FiO2 kurang dari 300 mmHg)
sementara yang berkaitan dengan transfuse dan harus memenuhi kriteria untk
ALI (table1). TRALI dapat dengan atau tanpa adanya factor risiko ALI
sepanjang saat di observasi tampak insufisiensi pernapasan yang sementara dan
berkaitan dengan transfuse (table 2). Namun, perburukan fungsi pulmonal
setelah transfuse dengan penurunan status respirasi perlu dipertimbangkan
TRALI.

2.6.3 Insidensi dan Predisposis

Di Amerika Utara dilaporkan bahwa insidensi TRALI mencapai 1


per 5000 hingga 1 pada 1323 pasien yang menerima transfuse, data terbaru dari
Quebec melaporkan bahwa insidensinya adalah 1 per 100.000 hingga 1 per
10.000 (berggantung pada produk transfuse). Di Eropa, TRALI sangat jarang,
dilaporkan insidensinya adalah 1.3 per 1.000.000 hingga 1 per 7900. Meskipun
insidensi TRALI yang sebenarnya tidak diketahui. Tidak ada pasien yang
spesifik merupakan predisposes TRALI20.

2.6.4 Gambaran Klinis dan penunjang

TRALI berkembang dalam 6 jam setelah transfuse. Umumnya terjadi pada


1-2 jam pertama transfuse. Temuan klinis biasanya akan muncul takipneu,
sianosis, dispneu, dan demam ( kenaikan 1 derajat selsius atau lebih). Meskipun
hipotensi dilaporkan pada sebagian besar pasien namun bukan temuan yang

51 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
rutin. Auskultasi paru akan ditemukan ronki difus dan penurunan suara nafas.
adanya hipoksemia dengan PaO2/FiO2 kurang dari 300 mmHg, dan penurunan
pulmonary compliance sedangkan fungsi jantung normal. Gambaran radiografi
tampak difus, infiltrate halus disertai edema pulmonal (gambar 7).

Gambar 7: Foto Rontgen paru dengan TRALI20

Foto rontgen di atas merupakan foto pada pasien sebelum operasi,


tampak konsolidasi hamper selurh kedua lapang paru terutama pada mid dan
upper lobes dengan aspirasi dan edema disertai gambaran cardiac yang
normal.

2.6.5 Komponen darah terkait

Komponen darah yang sering menyebabkan TRALI adalah plasma-


containing blood component turunan konsentrat trombosit (whole blood
derived platelet concentration/WB-PLTs), diikuti FFP, PRBCs, whole blood,
konsentrasi platelet apheresis (A-PLTs), granulosit, cryoprecipitate, dan
intravenous immunoglobulin (IVIg). IVIG dapat menyebabkan TRALI jika
mengandung antibody antileukosit dengan jumlah signifikan yang menyerang
antigen secara langsung pada leukosit resipien, namun IVIg related
transfusion sangat jarang sekali. Dua produk yang paling sering dilaporkan

Gambar 8: Produk darah yang berisiko menyebabkan TRALI 19

52 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
menyebabkan TRALI adalah PRBs dan WB-PLTs yang tidak memiliki kadar
plasma yang tinggi19.

2.6.6 Faktor Risiko

Tabel 14 : Faktor Risiko TRALI

2.6.7 Pathogenesis18-20

TRALI terjadi akibat dari interaksi antibody leukosit spesifik


dengan leukosit dan endotel pulmonal. Human Lecocyte Antigen (HLA),
kedua HLA baik klas I dan klas I, serta antibody terhadap Human Neutrophil
Antigen (HNA) memiliki peran terhadap pathogenesis TRALI.

Terdapat dua mekanisme dasar terjadinya pathogenesis TRALI pada


pasien dengan immunokompeten, dan mekanisme lain telah dihipotesakan
pada pasien neutropenic. Pada pasien dengan jumlah neutropenia yang
normal, adesi dan aktivasi neutrophil memicu kerusakan endotel, kebocoran
plasma, dan ALI (gambar 9A-B ). Hipotesis pertama bahwa TRALI
merupakan penyebab sekunder dari single antibody-mediated event (2A).
pada model ini, TRALI disebabkan karena infuse pasif antibody donor yang
secara langsung menyerang antigen resipien pada permukaan leukosit atau
infus leukosit donor ke resipien dengan antibody menyerang secara langsung
leukosit donor. Hipotesis kedua menerangan bahwa TRALI disebabkan oleh
paling tidak 2 independent event (gambar B), event yang pertama berkaitan
dengan kondisi klinis yang sudah terdapat pada pasien resipien seperti aktivasi
endotel pulmonal yang menyebabkan sequestrasi neutrophil pulmonal. Event
yang kedua, yakni infus spesiik antibody yang secara langsung menyerang

53 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
adesi PMNS pada paru atau menyerang biologic response modifier lainnya.
Termasuk komponenen lipofilik yang menyebabkan aktivasi produk
mikrobisidal, dan adesi PMNs, menghasilkan kerusakan endotel, kebocoran
kapiler dn TRALI. Kondisi lain, telah dijelaskan mekanisme TRALI pada
pasien neutropenia. Pada pasien ini TRALI disebabkan oleh infuse vascular
endothelial growth factor (VEGF), yang merupakan factor efektif
peningkatan permeabilitas, atau akibat infuse antibody yang menyerang HLA
klas II yang berada pada endotel vascular pulmonal sehingga menyebabkan
bentuk endotel berubah dan mengalami fenestrasi, dan selanjutnya
menyebabkan kebocoran pulmonal ringan.

Gambar 9 : Patogenesis TRALI20

Gambar 10 : perbedaan fisiologi neutrophil normal dan abnormal20

54 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
2.6.8 Pencegahan

Kurangnya penggunaan produk darah dapat menurunkan terjadinya


TRALI. Jika pasien donor memiliki antibody dengan frekuensi yang tinggi
pada antigen leukosit seperti HNA-3a, HLA-A2, dan HLA-B12, pasien
dengan jenis ini harus didiskualifikasi dari donasi plasma atau platelet.

Untuk memberikan donor darah yang aman, United Kingdom telah


mendiskluaifikasikan wanita multipara sebagai pendonasi plasma
dikarenakan plasma dari wanita multipara merupakan factor utama penyebab
TRALI. Pada wanita multipara menunjukkan tinggiya laju sensitisasi HLA.

Pemberian transfuse pada operasi elektif, diperlukan pembersihan


komponen seluler seperti antibody, lipid, dan biologic response modifiers
(BRMs) dari fraksi plasma. Produk yang segar ini berguna untuk meniadakan
efek lipid pada pasien dengan risiko tinggi yang bukan neutropenia.
Penggunaan PRBs kurang dari 14 hari dan konsentrasi platelet kurang dari 2
hari dapat mencegah berbagai macam efek dari komponen-kompoen tersebut,
yang terkumpul selama penyimpanan, pada penyimpanan PRBCs dan
konsentrat platetel dengan waktu yang singkat memiliki akumulasi PMN yang
tidak signifikan. Selain itu, strategi lain yakni degan cara menurunkan kadar
plasma pada komponen darah menunjukkan penurunan kejadian TRALI.

2.6.9 Tatalaksana

Terapi TRALI adalah terapi suportif dengan pemberian oksigen,


dalam kebanyakan kasus membutuhkan support ventilasi. Berbeda dengan
tipe ARDS lainnya, pasien dengan TRALI umumnya akan membaik secara
sempurna dengan resolusi infiltrate paru dalam 96 jam paska transfuse. Laju
mortalitas telah dilaporkan antara 5% dan 10%. Pasien dengan TRALI
memiliki volume intravascular yang euvolemik atau bias juga hipovolemik
akibat adanya kebocoran cairan yang masuk ke dalam paru. Pemberian

55 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
diuretic pada pasien TRALI dapat menyebabkan hypovolemia. Tidak ada data
mengenai efikasi steroid, sehingga saat ini penggunaannya belum jelas20.

56 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

1. Pernomo, bambang. Dkk. 2012. Leukemia Akut dalam Buku Ajar


Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta :Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2. Windiastuti, Endang,dkk. 2002. Gangguan metabolik pada leukemia
limfositik akut dengan hiperleukositosis.
3. Jain, Richa, dkk. 2013. Hyperleukocytosis: emergency management. Indian
J pediatr(february 2013) 80 (2) : 144-148. Symposim on pgimer Manaement
Protocols on Oncological Emergencies. India: Researchgate.
4. Rollig, Christoph, dkk. 2016. How I treat Hyperleukocytosis in acute myeod
leukemia. Germany: bloodjournal.org
5. Windiastuti, Endang dan Mulawi, Caroline. 2002. Gangguan Metabolik
pada Leukemia LimfositikAkut dengan Hiperlekositosis. Jakarta:
Saripediatr,Vol4 No1,Juni 2002:31-35.
6. UY, Hussein, dkk. 2011. Hyperleucocytosis in acute and chronic
leukaemias (myeloid and lymphoid type). Biohealth Science Bulletin 2011,
3 (1), 20-28.
7. Holig, Kristina, dkk. Leukocyte Depletion by Therapeutic
Leukocytapheresis in Patients with Leukemia. Transfusion Medicine and
Hemotherapy: Germany. 2012
8. Uz. Medical Emergency : Leukostasis. Global Journal of Hematology and
Blood Transfusion: Turkey. 2015
9. Abla, Oussama, et al. Early Complications of Hyperleukocytosis and
Leukapheresis in Childhood Acute Leukemias. Pediatr Hamatol Oncol:
United Emirate Arab. 2006
10. Edeani, Amaka. Tumor Lysis Syndrome. American Society of Nephrology:
USA. 2014
11. Jones, L Gail. Guideline for the Management of Tumour Lysis Syndrome
in Adults and Children with Haematological Malignancies on Behalf od
British Committee for Standars in Haematology. British Society for
Haematology: London. 2014. Page 10.

57 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i
12. Sickkids. Guideline for the Prevention of Tumour Lysis Syndrome. Ickkids:
UK. 2010.
13. Nahar, Akash, dkk. Approach to Severe Anemia in Children in the
emergency room. Hematology-Oncology Childrens Hospital: Bulevard.
2014.
14. E, Steven, Krug. Pediatric Emeregncy Medicine Hematologic and
Oncologic Emergencies. Elsevier: Chicago. 2010.
15. Janus, Jenniefer, dkk. Evaluation of Anemia in Children. Aafp: West
Virginia.2015.
16. Kahsai, Daniel. Acute anemia. American College of Emergency Physicians,
American medical Association: USA. 2015.
17. WHO. Clinical Transfuison Practice. WHO: USA. 2010.
18. Latham, Tom. Transfusion Related Acute Lung Injury (TRALI).
Transfusion Medicine Clinical Policies Group: UK. 2011.
19. J, Darrell, MD Triulzi. Transfusion Related Acute Lung Injury: Current
Concept for the Clinician. International Anesthesia Research Society: USA.
2009
20. Silliman Cristhoper, R Daniel, Amruso, K Lynn, Boshkov. Transfusion
Related Acute Lung Injury. Bloodjournal: Portland. 2016
21. R, Terkeltaub. Novel Therapies for Treatment of Gout and Hyperuricemia.
Veterans Affairs Medical Center: San Diego. 2009.
22. Darmon, dkk. Acute Lysis Syndrome: a Comprehensive review. Rev Bas
Ter Intensiva: France. 2008

58 | E m e r e g e n s i H e m a t o l o g i / K i k i R o s m a y a n t i

Anda mungkin juga menyukai