Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada zaman sekarang ini terdapat perhatian yang semakin besar terhadap
dunia islam khususnya studi hadits. Perkembangan cepat yang dialami oleh
banyak ilmu serta pengaruhnya yang semakin besar terhadap kehidupan
masyarakat, memaksa kita untuk mempelajari segala hal yang berkaitan dengan
bidang ini. Dengan mengetahui tentang studi hadits, maka kita akan lebih
memahami dan mempunyai wawasan yang luas tentang seluk beluk yang
berkaitan dengan studi hadist tersebut. Sehingga kita sebagai generasi penerus
bangsa mampu meningkatkan dunia pendidikan terutama yang berlandaskan
hadist nabi.
Pada awalnya rasulullah SAW melarang sahabat untuk menulis hadits,
karena dikhawatirkan bercampur baur penulisannya dengan Al-Qur’an. Perintah
untuk melukiskan hadits yang pertama kali oleh khalifah umar bn abdul azis.
Beliau penulis surat kepada gubernur di madinah yaitu Abu Bakar bin
Muhammad bin Amr hazm al-alsory untuk membukukan hadits. Sedangkan ulama
yang pertama kali mengumpulkan hadits adalah Arroby bin Sobiy dan Said bin
Abi Arobah, akan tetapi pengumpulan hadits tersebut masih acak (tercampur
antara yang sohih dengan dhoif, dan perkataan para sahabat).
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan
beragam. Tetapi kebingungan itu kemudian menjadi hilang setelah melihat
pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi
pandangan, bukan hanya dari satu segi pandangan saja.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa saja klasifikasi hadits berdasarkan kuantitas periwayatannya?
1.2.2 Apa saja klasifikasi hadits berdasarkan sumber penyandarannya?
1.2.3 Apa saja klasifikasi hadits berdasarkan kualitasnya?

1
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui klasifikasi hadits berdasarkan kuantitas
periwayatannya
1.3.2 Untuk mengetahui klasifikasi hadits berdasarkan sumber
penyandarannya
1.3.3 Untuk mengetahui klasifikasi hadits berdasarkan kualitasnya

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Klasifikasi hadits berdasarkan kuantitas periwayatannya.


2.1.1 Hadits Muttawatir
A. Pengertian Hadits Muttawatir
Setiap hadits pasti mempunyai rawi yang banyak dari berbagai tingkatan.
Jika sejumlah sahabat yang menjadi rawi pertama suatu hadis itu banyak sekali,
rawi yang kedua (tabi’in), ketiga (tabi’it – tabi’in) dan seterusnya sampai pada
rawi yang mendewankan (membukukan) dalam keadaan yang sama, seimbang
atau bahkan lebih banyak jumlahnya, maka termasuk Hadis mutawatir.1
Pada dasarnya mutawatir berarti berurutan, berkesinambungan, kontinyu
(tatabu’ = ‫)تتابع‬. Secara terminologis, hadis mutawatir (‫ )الحديث المتواتر‬dapat
diartikan sebagai hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi dalam setiap
generasi sanad, mulai awal (sahabat nabi) sebagai perawi tertua hingga akhir
(perawi, penulis hadis).
Dari definisi yang dikemukakan oleh beberapa muhadditsin mengenai
hadis mutawatir, maka dapat disimpulkan bahwa Hadis mutawatir adalah hadis
yang bisa dipertanggungjawabkan keadaannya dari system periwayatannya
karena pada setiap generasi (thabaqat) sanadnya terdapat sejumlah perawi
yang tidak mungkin diantara mereka berbuat dusta atau penyelewengan
terhadap hadis yang diriwayatkan.

B. Syarat-syarat Hadits Muttawatir


Adapun syarat-syarat hadits muttawatir, yaitu:
1) Jumlah perawinya banyak yang tidak mungkin berdusta
Menurut Abu Thayyib, minimal 4 orang, mengkiaskan saksi dalam
persidangan. Kelompok Asy-Syafi’i berpendapat, minimal 5 orang
mengkiyaskan Nabi-nabi Ulul Azmi. Sebagian ulama lain menentukan minimal
20 orang berdasar QS. Al-Anfal 65, yang menjelaskan tentang 20 orang yang
tahan uji sehingga dapat mengalahkan 200 orang kafir. Ada pula yang

1
Rahman, Facthur. Ikhtishar Mushtalatul Hadis. (Bandung: PT Alma’arif.1991). Hlm 59

3
menentukan minimal rawinya berjumlah 40 orang, berdasar QS. Al-Anfal 64,
yaitu jumlah orang mukmin ketika itu.

2) Jumlah rawinya seimbang dalam semua tingkatan.


Dengan demikian jika misalnya suatu hadis diriwayatkan oleh 10
sahabat, kemudian diterima oleh 5 orang tabi’in dan seterusnya hanya
diriwayatkan oleh 2 orang tabi’it tabi’in, maka tidak termasuk hadis
mutawatir.

3) Berdasarkan Tanggapan Panca Indra.


Maksudnya warta yang disampaikan itu benar-benar hasil pendengaran
atau penglihatannya sendiri bukan hasil pemikiran atau teori yang mereka
temukan.2

C. Macam-macam Hadits Mutawatir

1. Hadits Mutawatir lafzhi


Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz
dan makna yang sama, serta kandungan hukum yang sama.
Contohnya :

“Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia


mengambil tempat duduknya dari api neraka”
Hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari enam puluh dua sahabat dengan
teks yang sama, bahkan menurut As-Syuyuti diriwayatkan lebih dari dua ratus
sahabat.

2. Hadits Mutawatir Ma’nawai

Hadits mutawatir ma’nawi ialah hadits yang berbeda bunyi lafalnya dari
beberapa jalur periwayatan, tetapi mempunyai kesamaan dalam hal makna, isinya
mengandung suatu hal, suatu sifat, atau suatu perbuatan. Misalnya hadits yang

2
Ibid. Hal : 60-62

4
menjelaskan tentang Nabi Muhammad mengangkat tangannya ketika berdo’a.3 Ada
sekitar 100 hadits yang menceritakan hal tersebut, tetapi mempunyai versi lafal yang
berbeda.4
Jalal ad-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyuthi dalam
kitabnya Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, mendefinisikan
hadits mutawatir ma’nawi sebagai berikut:
.‫ان ينقل جماعة يستحيل تواطؤهم على الكذب وقائع مختلفة تشترك في امر‬
“Hadits yang dinukilkan oleh banyak orang yang menurut adat mustahil
mereka bersepakat untuk berdusta atas kejadian yang berbeda-beda tetapi
bertemu pada titik persamaan”.
Contoh hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits-hadits tentang
mengangkat tangan ketika berdo’a yang diriwayatkan dalam lebih dari 100
hadits. Meskipun redaksi hadits berlainan tetapi isinya sama. Demikian pula
hadits tentang rukyat, bilangan rakaat dalam shalat, membaca al-qur’an dengan
nyaring pada waktu shalat maghrib, isya’, subuh, tawaf di baitullah, melempar
jumrah, melakuan sya’i, antara shafa dan marwah, dan manasik haji lainnya. 5
Hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a tersebut adalah.

Artinya : “Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam berdo'a


selain dalam shalat istisqa’ dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak
putih kedua ketiaknya”.
Hadits yang semakna dengan hadits diatas antara lain hadits-hadits
yang ditakhrij oleh Imam Ahmad, al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi:

Artinya : “Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua


pundak beliau”

3
M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2010), h. 228.
4
Ibrahim Dasuki As-Syahrawi, Musthalah Al-Hadits (Mesir: Syirkah At-Thiba’ah Al-
Fanniyah Al-Muttahidah, t. th), h. 10.
5
Idri, Op. Cit., h. 139.

5
2.1.2 Hadits Ahad
Ahad jamak dari “Ahada”, menurut bahasa “al-wahid” yang
berarti satu.Dengan demikian hadis ahad adalah Hadis yang diriwayatkan
oleh satu orang. Sedangkan Hadis ahad menurut istilah dan banyak
didefinisikan oleh para ulama adalah sebagai berikut:

“Khabar yang jumlah perawinya tidak sampai jumlah perawi


Hadis mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima dan
seterusnya yang tidakmemberikan pengertian bahwa jumlah perawi
tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi Hadis mutawatir.”
Ada juga yang mendifinisikan Hadis ahad secara singkat, yakni
Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat muawatir.Hadis Ahad secara
garis besar oleh ulama-ulama hadis dibagi menjadi dua , yaitu masyhur
dan ghairu masyhur.
1. Hadits ahad masyhur
Hadits masyhur menurut bahasa “muntasyir” yang berarti sesuatu yang
sudah tersebar, sudah popular. Sedangkan menurut ulama ahli hadits, ialah :

“Hadits yang mempunyai jalan yang terhingga, tetapi lebih dari dua jalan
dan tidak sampai kepada batas hadits yang mutawatir.” Hadits ini dinamakan
masyhur karena popularitasnya di masyarakat, walaupun tidak mempunyai
sanad sama sekali, baik berstatus shahih atau dha’if.
Contohnya:

“Rasulullah SAW. bersabda: “Seorang muslim adalah kaum muslimin


yang tidak terganggu oleh lidah dan tangannya”. (HR. Bukhari muslim, dan
Tirmidzi)

6
“Bagi siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia
mandi”. (HR. Bukhari).

2. Hadits ahad ghairu masyhur.


a. Hadits Aziz

“Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi
tersebut terdapat pada satu thabaqat saja, kemudian setelah itu, orang-orang
pada meriwayatkannya.”
Jadi hadits aziz tidak hanya diriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap
thabaqah, yakni sejak dari thabaqah pertama sampai terakhir harus terdiri dari
dari dua oprang, tetapi selagi salah satu thabaqah (lapisannya) saja, didapati
dua orang rawi, sudah bisa dikatakan hadits aziz.
Contohnya:

“Rasulullah SAW, bersabda, “kita adalah orang-orang yang paling akhir


(di dunia) dan yang paling terdahulu di hari kiamat.” (H.R. Hudzaifah dan Abu
Hurairah).

b. Hadits Gharib
Hadits Gharib dita’rifkan sebagai berikut:

“Hadits yang didalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam


meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.”
Hadits gharib terbagi dua yaitu gha rib mutlak (fard) dan gharib nisby.
Gharib mutlak yakni apabila penyendirian rawi dalam meriwayatkan hadits itu
mengenai personalianya dan harus berpangkal ditempat ashlus sanad yaitu
tabi’iy bukan sahabat.

7
Sedangkan gharib nisby ialah apabila penyendirian itu mengenai sifat-
sifat atau keadaan tertentu seorang rawi. Dan hal ini mempunyai beberapa
kemungkinan, misalnya tentang sifat keadilan dan kedlabitan (ketsiqahan)
rawi tertentu, istilah-istilah muhadditsin yang bersangkutan dengan hadits
gharib, cara-cara untuk menetapkan kaghariban hadits (I’tibar).
Contohnya :

”Dari Umar bin Khatab, katamya aku mendengar Rasulullah SAW.


bersabda ” Sesungguhnya amal perbuatan itu hanya (memperoleh) apa yang
diniatkannya.”(HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain)

D. Kedudukan Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad


Hadits Mutawatir jumlahnya banyak sekali dan sudah pasti shahih,
sehingga tidak dibahas lagi dalam ilmu isnad/musthalahul Hadits, karena ilmu
Hadits membahas siapakah perawi Hadits itu, seorang muslim, adil, dhabith
ataukah tidak, bersambung-sambung sanadnya atau tidak dan seterusnya.
Hanya yang perlu dibahas di dalam Hadits Mutawatir adalah apakah jumlah
perawi yang meriwayatkan itu sudah cukup banyak atau belum, mungkinkah
yang sama memberitakan itu atau tidak, baik berdusta dengan jalan mufakat
atau karena kebetulan saja, demikian pula keadaan yang melatarbelakangi
berita itu, terutama kalau bilangan perawi itu tidak begitu banyak jumlahnya.
Karena hadits mutawatir sudah pasti shahih, wajib diamalkan tanpa ragu-ragu,
baik dalam masalah aqidah/keimanan maupun dalam bidang amaliyah, yakni
baik mengenai ubudiyah maupun mu'amalah. Dan Hadits Mutawatir
memberikan faedah qath'i (yakin), sehingga bagi orang yang mengingkari
hadits mutawatir dihukumi keluar agama Islam dan termasuk kafir.[16]
Sedangkan menurut M. Ajaj al-Khotib, bahwa Hadits Mutawatir merupakan
suatu perintah atau larangan yang harus diikuti dan diamalkan oleh setiap
orang muslim.
Sedangkan Hadits Ahad memberikan faedah dhanni (diduga keras akan
kebenarannya) wajib diamalkan kalau sudah diakui akan keshahihannya dalam

8
ilmu Hadits dan Ushul Fiqh. Para muhaqqin menetapkan bahwa Hadits Ahad
yang shahih diamalkan dalam bidang amaliah, baik masalah-masalah ubudiyah
maupun masalah-masalah mu'amalah, tidak di dalam bidang aqidah/keimanan,
karena keimanan atau keyakinan harus ditegakkan atas dasar atau dalil yang
qath'i, sedangkan Hadits Ahad hanya memberikan faedah dhanni. Oleh karena
itu, mempercayai suatu i'tikad yang hanya berdasarkan dalil dhanni tidak dapat
dipersalahkan. Dan Hadits Ahad tidak dapat menghapuskan hukum dari al-
Qur'an, karena al-Qur'an adalah Mutawatir, demikian pendapat imam Syafi'i.
Dan menurut Ahlu al-Dhahir (pengikut madzhab ad-Dahahiri) bahwa Hadits
Ahad juga tidak boleh dipakai untuk mentakhsiskan ayat-ayat al-Qur'an yang
'am, pendapat ini dikuti oleh sebagian ulama' pengikut Hambali.

2.2 Klasifikasi hadits berdasarkan sumber penyandarannya.


2.2.1 Hadits Qudsi
Hadist Qudsi berarti Al Qudu, sedangkan kata Al Qudu artinya suci dan
bersih. Hadist qudsi ialah sesuatu yang dikhabarkan Allah Subhanhu Wa
Ta'ala. kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. dengan melalui
ilham atau impian, yang kemudian Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam menyampaikan ma’na dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapan
kata beliau sendiri. Dan menurut istilah hadits qudsi adalah apa yang
disandarkan oleh Nabi dari perkataan-perkataan beliau kepada Allah SWT.6
Perbedaan antara Al-Qur’anul Karim, Hadist Nabi, dan Hadits Qudsi
diantaranya;
a. Al-Qur’an Karim mempunyai lafadz dan makna dari Allah SWT dan
diturunkan secara berkala.
b. Hadist Nabi memiliki Lafadz yang bersumber dari Nabi SAW tetapi
maknanya dari Allah SWT dan diturunkan tidak secara berkala serta
dinisbatkan kepada Rasulullah SAW.

6
Syaikh Manna Al-Qaththan.,Pengantar Studi Ilmu Hadits (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,
2005).hal.25

9
c. Hadist Qudsi mempunyai lafadz berasal dari Nabi Muhammad SAW tapi
maknanya dari Allah SWT, tidak berkala dan dinisbatkan kepada Allah
SWT.
Jumlah Hadîts-Hadîts Qudsiy dibandingkan dengan jumlah hadits-hadits
Nabi, maka Hadîts Qudsiy bisa dibilang tidak banyak. Jumlahnya lebih sedikit
dari 200 hadits. Contoh Hadits Qudsiy seperti hadits yang diriwayatkan Imam
Muslim di dalam kitab Shahîh-nya dari Abu Dzarr radliyallâhu ‘anhu dari Nabi
Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam pada apa yang diriwayatkan beliau dari Allah
Ta’ala bahwasanya Dia berfirman,

“Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan


perbuatan zhalim atas diri-Ku dan menjadikannya diantara kamu diharamkan,
maka janganlah kamu saling menzhalimi (satu sama lain).” (HR.Muslim)

2.2.2 Hadist Marfu’


Secara bahasa, marfu’ merupakan bentuk isim maf’ul dari kata ‫ َرفَ َع‬yang
berarti meninggikan, atau lawan dari ‫ض َع‬
َ ‫ َو‬yang berarti merendahkan. Disebut
marfu’ karena dinisbatkan kepada orang yang mempunyai kedudukan yang
tinggi, yaitu Nabi saw. Sedangkan Hadits Marfu’ menurut istilah adalah:
“Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perkataan ,
perbuatan, taqrir (ketetapan) atau sifat”.
Dari definisi di atas dapat difahami bahwa segala sesuatu yang
disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan, taqrir,
ataupun sifat beliau disebut dengan hadis Marfu'. Orang yang menyandarkan
itu boleh jadi Sahabat, atau selain sahabat. 7
Hadis marfu’ bisa dibagi menjadi beberapa macam:
a) Marfu qauli, yaitu Hadis yang disandarkan kepada Nabi saw., berupa
perkataan. Misalnya, sahabat Nabi saw atau yang lainnya, mengatakan:
“Rasulullah saw berkata demikian…”

7
Syaikh Manna Al-Qaththan.,Pengantar Studi Ilmu Hadits (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,
2005).hal.28

10
b) Marfu fi’liy, yaitu Hadis yang disandarkan kepada Nabi saw berupa
perbuatan. Misalnya, sahabat Nabi saw, tabi’in, atau yang lainnya,
berkata: “Rasulullah saw melakukan demikian…”
c) Marfu’ taqriri, yaitu Hadis yang disandarkan kepada Nabi saw berupa
ketetapan. Misalnya, sahabat Nabi saw, tabi’in, atau yang lainnya,
berkata: “Telah dilaksanakan dihadapan Nabi saw demikian…”, serta
tidak ada yang meriwayatkan bahwa perbuatan itu diingkarinya.
d) Marfu’ washfiy, yaitu Hadis yang disandarkan kepada Nabi saw seputar
akhlaknya. Misalnya, sahabat Nabi saw atau siapa saja, mengatakan:
“Rasulullah saw merupakan manusia yang paling baik akhlaknya.”

2.2.3 Mawquf
َ َ‫ َوق‬yang berarti
Secara bahasa, mauquf merupakan isim maf’ul dari kata ‫ف‬
berdiam atau berdiri. Secara etimologi Al-Mauquf ( ‫ ) الموقوف‬berasal dari kata
waqafa ( ‫ ) وقف‬yang berarti berhenti. Seakan-akan perawi menghentikan
sebuah hadits pada shahabat. Beberapa ulama hadis memberikan terminologi
hadis Mauquf sebagai berikut :
“Yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat dalam bentuk
perkataan,perbuatan, atau taqrir beliau, baik sanadnya muttashil atau
munqathi.” atau “Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat berupa
perkataan, perbuatan, atupun taqrir beliau.”
Hadits mauquf dapat disifati hadits shahih atau hasan tetapi tidak ada
kewajiban untuk menjalankannya, tetapi boleh dijadikan sebagai penguat
dalam beramal karena sahabat dalam hal ini hanya berkata atau berbuat yang
dibenarkan oleh Rasulullah SAW.8
Pembagian Hadis Mauquf menjadi tiga macam:
a) Mauquf qauli. Perhatikan ungkapan Imam Ali bin Abi Thalib ra. berikut:

“Beritakan kepada masyarakat sesuai dengan tingkat pengetahuan


mereka! Apakah kalian senang, (bila) Allah dan Rasulnya didustakan.”

8
Syaikh Manna Al-Qaththan.,Pengantar Studi Ilmu Hadits (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,
2005).hal.29

11
b) Mauquf fi’il. Contohnya adalah perbuatan Imam Ibnu Abbas ketika dia
menjadi imam, padahal sebelumnya dia bertayamum. Hadits ini secara engkap
sebagai berikut:

“Debu yang bersih adalah air wudhunya orang musim yang cukup baginya
dari (menggunakan) air. Imam al-Hasan berkata: ‘Tayamum mencukupinya
(dari wudhu) selama dia tidak berhadas. Imam Ibnu Abbas pun menjadi imam
sedang dia (sebelumnya) tayamum.”(HR. al-Bukhari).
c) Mauquf Taqriri. Contohnya adalah uangkapan sebagian tabi’in berikut ini:

“Saya melakukan sesuatu di depan seorang sahabat, dan dia tidak


mengingkariku.”

2.2.4 Maqthu
Secara bahasa, maqthu’ merupakan bentuk isim maf’ul dari kata ‫ َق َط ََع‬yang
berarti gugur atau terputus. Kata ini merupakan lawan dari kata َ‫ص َل‬
َ ‫ َو‬yang
berarti bersambung.
Sedangkan, secara istilah adalah "Sesuatu yang disandarkan pada Tabiin
baik perkataan maupun perbuatan tabi'in tersebut" atau "Sesuatu yang
disandarkan kepada tabi'i atau generasi yang datang sesudahnya berupa
perkataan atau perbuatan"
Contoh Hadits Maqthu adalah perkataan Haram bin Jubair, seorang
tabi’iy besar, berikut:

”Orang mukmin itu bila telah mengenal Tuhannya, niscaya dia


mencintai-Nya. Dan bila dia mencintai-Nya, maka Allah akan menerimanya.”

2.3 Klasifikasi hadits berdasarkan kualitasnya.


2.3.1 Shahih
Sahih menurut bahasa adalah lawan dari “saqim” artinya sehat lawan
sakit, haq lawan batil. Sedangkan menurut istilah muhaditsin, hadits shahih

12
adalah hadits yang dinukilkan atau diriwayatkan oleh rawi-rawi yang adil,
sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat, dan tidak
janggal.
Dari segi terminology, diartikan dengan definisi sebagai berikut :

Hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung proses


periwayatan oleh orang yang adil, dan kuat daya ingatnya dari orang yang
serupa sifatnya serta terbebas dari keganjilan dan cacat).9
Secara istilah, beberapa ahli memberikan defenisi antara lain sebagai
berikut :
 Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya
bersambung (muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith
dari orang yang adil dan dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan
dan tidak ber’illat”.
 Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung
sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan
tidak ber’illat.”
Para ulama hadits memberikan definisi hadits shahih sebagai “hadits
yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang
yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah Saw. atau kepada sahabat atau
kepada tabiin, bukan hadits yang syadz (controversial) dan terkena illat, yang
menyebabkan cacat dalam penerimannya.”10
Suatu hadits dapat dinilai shohih apabila telah memenuhi 5 syarat :
• Rawinya bersifat Adil
• Sempurna ingatan
• Sanadnya tidak terputus
• Hadits itu tidak berillat dan

9
Nuruddin, ‘ulumul hadits (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012) hlm.240
10
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hlm.132

13
• Hadits itu tidak janggal
Arti Adil dalam periwayatan, seorang rawi harus memenuhi 4 syarat
untuk dinilai adil, yaitu :
• Selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui perbuatan maksiat.
• Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
• Tidak melakukan perkara-perkara Mubah yang dapat menggugurkan iman
kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan.
• Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan
dasar Syara'.
Contoh Hadits Shahih
Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan sabda Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan
dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim no. 1467) .

2.3.2 Hasan
Menurut bahasa hasan sifat Musyabbahah dari “Al Husn” yang
mempunyai arti “Al Jamal” (bagus), sedangkan secara istilah, para ulama
berbeda pendapat dalam men-definisikannya karena melihat bahwa ia
merupakan pertengahan antara Hadits Shahih dan Dhaif, dan juga karena
sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya.
Secara terminologis hadis hasan didefinisikan sebagai berikut :

Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya dan diriwayatkan


oleh orang yang kurang sempurna kredilitasnya. Hadis hasan adalah hadis yang
memenuhi semua syarat-syarat hadis shahih, hanya saja seluruh atau sebagian
perawinya kurang dhabit. Dengan demikian perbedaan hadis shahih dan hadis
hasan terletak pada tinggi atau rendahnya kedhabitan seorang rawi. Hadis
hasan terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Hasan Lizzatihi. Maksudnya hadis itu telah memenuhi syarat-syarat hadis
hasan.

14
2. Hasan Lighairihi, suatu hadis yang meningkat kualitasnya menjadi hadis
hasan karena diperkuat oleh hadis lain.11 Contoh dari hadis hasan li
ghairihi antara lain hadis At-Turmudzi.

Artinya: “Hak bagi orang-orang muslim ialah mandi di hari jum’at,


hendaklah salat seorang mereka mengusap dari wangi-wangian
keluarganya. Jika ia tidak memperolehnya, air pun cukup menjadi wangi-
wangian.”

2.3.3 Dha’if
Dha’if artinya “lemah”. Adapun yang disebut hadis dha’if adalah hadis
yang kehilangan satu atau lebih syarat-syarat hadis shahih atau hadis hasan.
Adapun yang dimaksud dengan hadis dha’if adalah sebagaimana rumusan
sebagai berikut :
‫الحديث الضعيف ما لم يجمع صفة الحسن بفقد شرط من شروطه‬
Hadis dha’if adalah hadis yang tidak memiliki syarat sebagai hadis hasan
karena hilangnya sebagian syarat). Pada dasarnya hadis dha’if itu disebabkan
dua alasan, yaitu :
1. Karena sanadnya tidak muttasil (bersambung) seperti; cacatnya seorang atau
beberapa rawi.12
2. Nama hadis dhaif karena alasan / sebab tidak muttasilnya sanad antara lain ;
hadis mursal, hadis munqati’, hadis mu’adhdhal, hadis mudallas, dan hadis
muallal.
Nama hadis dhaif karena alasan / sebab ini antara lain hadis mudha’af,
hadis mudhtharib, hadis maqlub, hadis mungkar, hadis matruk, dan hadis
mathrub.

11
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), 271.
12
A.Qadir Hasan, Ilmu Mushthalaha al-Hadits. (cet. III; Bandung: CV. Diponegoro, 1987)
hlm. 91

15
Contohnya adalah hadis yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam kitab
Sunan-nya. Meriwayatkan kepada kami Abu Ahmad al-Marrar bin Hammuyah,
katanya: meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Mushaffa, katanya:
meriwayatkan kepada kami Baqiyyah bin Al-Walid dari Tsaur bin Yazid dari
Khalid bin Mi’dan dari Abu Umamah dari Nabi SAW., bahwa beliau berkata:

ُ ‫ْت قَ ْلُبُهُ يَ ْو َم ت َ ُم ْوُتُ القُلُ ْو‬


‫ب‬ ْ ‫ِب ِ هّلِلِ لَ ْم يَ ُم‬
ُ ‫ام لَ ْيلَتَى ال ِع ْيدَي ِْن يَ ْحتَس‬
َ َ‫َم ْن ق‬
“Barang siapa berdiri mengerjakan salat pada malam dua hari raya
semata-mata karena Allah, maka tidak akan mati hatinya pada hari semua hati
mati.”

2.3.4 Mawdhu’
Hadis mawdhu’secara etimologis bermakna yang disusun, dusta yang
diada-adakandan yang diletakkan. Sedangkan dari segi terminologi ulama
hadis: Sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasul saw, secara mengada-ada dan
dusta, yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan,dan beliau taqrirkan.
Tanda-tanda hadits mawdhu’:
1. Hadis tersebut mengandung susunan yang kacau (tidak karuan), yang mana
tidak mungkin disabdakan oleh Nabi.
2. Hadis tersebut memiliki kandungan yang berhak mendapatkan celaan.
3. Isinya bertentang dengan ketetapan agama yang kuat dan jelas.
4. Ada beberapa pengakuan yang sah yang menunjukkan kepalsuannya.
5. Bertentang dengan Alquran.
6. Isinya bertentangan dengan akal.13

13
A.Qadir Hasan,op.cit,121.Ajjajal-Khatib,op.cit,h.369

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pembagian
hadits adalah suatu proses, cara atau perbuatan membagi hadits menjadi
beberapa bagian dengan tujuan memisahkan atau mengklasifikasikan suatu
hadits dengan hadits lain berdasarkan sanad, matan serta perawinya
Suatu hadits memiliki klasifikasi yang berbeda, ada klasifikasi hadits
yang ditinjau dari kuantitas periwatannya ynag terdiri dari hadits mutawatir
( mutawatir lafadzh, mutawatir ma’nawi dan mutawatir amali ) dan hadits
ahad ( hadits masyhur dan hadits ghairu masyhur ) dan ada yang ditinjau
dari dari segi sumber penyandaran yaitu hadits qudsi, hadits marfu’, hadits
mawqfu dan hadits maqhtu dan ada juga yang ditinjau dari kualitasnya yaitu
shahih, hasan, ataupun dhaif dan Mawdhu.

3.2 Saran
1. Selalu percaya tanpa ada keraguan terhadap wahyu Allah SWT yang
telah diturunkan kepada nabi Muhammad SAW yang telah terjamin
kebenarannya.
2. Sebagai umat islam marilah kita selalu mencari informasi atau pun ilmu
pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan kita.
3. Sebagai umat islam marilah kita mencari tahu hadits dan ajaran islam
yang didedikasikan sebagai ibadah atau pengabdian kepada Allah Swt.

17
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Suparta, Munzier(1996). Utang Ranuwijaya Ilmu Hadits.Cet 2. Jakarta: Raja


Grafindo Persada.
Idri. 2010. Studi Hadits. Jakarta: Kencana.
Khon, Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah.
Suryadilaga, M. Alfatih. 2010. Ulumul Hadits. Yogyakarta: Teras
Qaththan, Syaikh Manna(2005).pengantar Studi Ilmu Hadits.Jakarta:Pustaka Al-
Kautsar.

18
STUDI HADITS
(Klasifikasi Hadits berdasarkan kuantitas periwayatan, sumber
penyandaran serta kualitas)

DISUSUN OLEH KELOMPOK III :


1. Ahmad Sauky Al Farisi (11455106041)
2. Aulia Rahma Jumardi (11655201550)
3. Della Indriyani (11655203580)
4. Mayanur Hasanah (11655200266)
5. Edo Hadi Pandoyo (11355100415)

JURUSAN TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
2017

19

Anda mungkin juga menyukai