Epilepsi
Pembimbing :
Penyusun :
030.13.102
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Epilepsi”
tepat pada waktunya. Penyusunan referat ini ini dilakukan dalam rangka memenuhi
salah satu persyaratan dalam menempuh kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit
Saraf. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar besarnya kepada:
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, hal tersebut tidak
lepas dari segala keterbatasan kemampuan yang peneliti miliki. Oleh karena itu
bimbingan dan kritik yang membangun dari semua pihak sangatlah diharapkan
Penulis
2
DAFTAR ISI
BAB I...............................................................................................................................................3
PENDAHULUAN...........................................................................................................................3
1.1 Latar belakang....................................................................................................................3
BAB II.............................................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................................6
2.1 Definisi..................................................................................................................................6
2.1.1 Definisi konseptual...................................................................................... 6
2.1.2 Definisi operasional/definisi praktis.............................................................6
2.2 Epidemiologi..........................................................................................................................8
2.3 Klasifikasi..............................................................................................................................8
2.3.2 Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi...................................8
2.4 Etiologi..................................................................................................................................9
2.5 Diagnosis.............................................................................................................................11
2.5.1 Anamnesis...................................................................................................11
2.5.2 Pemeriksaan fisik........................................................................................13
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang..............................................................................13
2.6 Diagnosis Banding...............................................................................................................15
2.7 Manajemen epilepsi.............................................................................................................17
2.7.1 Penegakkan diagnosis.................................................................................17
2.7.2 Inisiasi pengobatan......................................................................................17
2.8 Terapi...................................................................................................................................17
2.8.1 Tujuan terapi...............................................................................................17
2.8.2 Faktor-faktor yang perlu diperhatikan pada pengobatan............................20
2.8.3 Epilepsi pada keadaan khusus.....................................................................20
2.8.4 Maintenance................................................................................................24
2.8.5 Indikasi penghentian OAE..........................................................................24
2.8.6 Prosedur penghentian OAE.........................................................................25
2.8.7 Algoritma rencana perawatan pada epilepsi................................................26
2.8.8 Pertolongan pertama saat terjadi bangkitan................................................27
3
2.9 Patofisiologi epilepsi...........................................................................................................28
2.10 Komplikasi epilepsi...........................................................................................................33
2.11 Pasien epilepsi beserta penyakit yang menyertai...............................................................34
2.12 Tindakan preventif pada epilepsi.......................................................................................35
2.13 Prognosis epilepsi..............................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................38
4
BAB I
PENDAHULUAN
Sedikit yang diketahui tentang bagaimana otak membatasi durasi kejang dan
mengakhiri kejang. Tergantung pada tingkat keparahan dan durasi, kejang tunggal
diikuti oleh berbagai perubahan fungsional, metabolik, dan sinaptik yang dapat
membentuk target untuk strategi terapi baru. Sudah lama diketahui bahwa sebagian
besar kejang diikuti oleh periode refraktilitas dimana ambang untuk induksi kejang
tambahan meningkat.
Periode refraktilitas post iktal telah dipelajari secara luas dalam berbagai
model kejang dan epilepsi, termasuk kejang yang diinduksi secara elektrik dan
kimiawi, ranting, dan model epilepsi hewan genetik. Mekanisme yang terlibat dalam
penghentian kejang dan refraktilitas post iktal termasuk perubahan dalam lingkungan
mikro ionik, dalam pH, dan dalam berbagai neuromodulator endogen seperti adenosin
dan neuropeptida. (2)
Kebanyakan kejang biasanya akan berhenti secara tiba-tiba dan spontan, dan
otak akan tetap refrakter terhadap kejang lebih lanjut untuk beberapa waktu
5
sesudahnya. Namun, mekanisme yang mendasari fenomena ini hanya dipahami secara
tidak lengkap. Ada banyak perubahan fungsional, metabolik, dan sinaptik yang
berkembang sebagai reaksi homeostatis terhadap terjadinya kejang, dan mungkin
terlibat dalam pembatasan kejang secara mandiri dan keadaan interiktal atau postiktal.
Memahami mekanisme yang berkontribusi terhadap penghentian kejang berpotensi
mengidentifikasi target baru untuk pengembangan obat antiepilepsi (OAE). (2)
Bergantung pada tingkat keparahan dan lamanya, kejang tunggal dapat diikuti
oleh berbagai perubahan, termasuk EEG, perubahan perilaku post iktal, perubahan
sinaptik dan metabolisme, peningkatan aktivitas neurotransmiter dan neuromodulator,
kematian sel apoptosis, dan perubahan kemanjuran OAE. Dalam referat ini, penulis
membahas epilepsi (2)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
6
2.1.1 Definisi konseptual
Epilepsi
Bangkitan epileptik:
Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/gejala berikut: (1)
Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor pencetus
spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitf, dan somatomotor. (1)
1. Fase prodormal
Fase ini dimulai dari beberapa menit hingga beberapa jam atau bahkan
hitungan hari sebelum terjadinya bangkitan. Fase prodormal terjadi pada kurang lebih
7
40% dari para penderita dan dapat meliputi nyeri kepala, iritabilitas, insomnia,
perubahan mood, depresi atau pun peningkatan aktivitas.
2. Aura
Sebuah aura tampak secara klinis pada beberapa detik atau beberapa menit.
Aura merupakan sebuah awal dari bangkitan dan menandakan onset fokal dari sebuah
bangkitan. Gejala dan manifestasi dari fase ini sangatlah tergantung terhadap lokasi
dari fokus lesi. Sebuah aura terkadang sulit untuk dijelaskan dan dideskripsikan, dan
dapat menyebabkan kecemasan dan rasa takut yang berlebih. Aura dapat berupa
sensasi aneh dari epigastrium, mencium bau-bau aneh ataupun seperti seolah-olah
seperti sedang bermimpi. Hanyalah pasien yang dapat mengingat sebuah aura dengan
sangat baik, dikarenakan fase ini muncul sebelum terdapat penurunan kesadaran.
3. Bangkitan (Ictal)
- Tipe bangkitan
- Durasi bangkitan
- Frekuensi bangkitan
- Waktu bangkitan
4. Post Ictal
Fase ini mungkin tidak ada, dalam durasi yang singkat atau dapat berlangsung
beberapa jam atau bahkan berhari-hari. Biasanya terdapat tidur yang nyenyak dan
terbangun dengan adanya sakit kepala, kelelahan, muntah, kebingungan, nyeri otot
atau ataxia.
8
2.2 Epidemiologi
Pada negara maju, prevalensi median epilepsi yang aktif (bangkitan dalam 5
tahun terakhir) adalah 4,9/1000 (2,3-10,3), sedangkan pada negara berkembang di
pedalaman 12,7 /1000(3,5-45,5) dan diperkotaan 5,9 (3,4-10,2). Di negara Asia,
prevalensi epilepsi aktif tertinggi dilaporkan di Vietnam 10,7/1000 orang, dan
terendah di Taiwan 2,8/1000 orang. (1)
Prevalensi epilepsi pada usia lanjut (>65 tahun) dinegara maju diperkirakan
sekitar >0,9. Pada usia >75 tahun prevalensi meningkat 1,5%. Sebaliknya prevalensi
epilepsi dinegara berkembang lebih tinggi pada usia dekade 1-2 dibandingkan pada
usia lanjut. Kemungkinan penyebabnya adalah insiden yang rendah dan usia harapan
hidup rata-rata dinegara maju lebih tinggi. Prevalensi epilepsi berdasarkan jenis
kelamin dinegara-negara asia, dilaporkan laki-laki sedikit lebih tinggi daripada
wanita. (1)
2.3 Klasifikasi
9
1.3.3 Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum
2. Bangkitan umum. (1)
2.1 Lena (absence)
2.1.1 Tipikal lena
2.1.2 Atipikal lena
2.2 Mioklonik
2.3 Klonik
2.4 Tonik
2.5 Tonik-klonik
2.6 Atonik/astatik
3. Bangkitan tak tergolongkan. (1)
2.4 Etiologi
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut: (1)
10
Tabel 2.1 Penyebab / faktor resiko epilepsi dan bangkitan epileptik(2)
2.5 Diagnosis
Ada tiga langkah dalam menegakkan diagnosis epilepsi, yaitu sebagai berikut: (1)
11
3. Langkah ketiga: tentukan sindroma epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE
1989
2.5.1 Anamnesis
Auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata mengenai hal-hal terkait
dibawah ini: (1)
12
2.5.2 Pemeriksaan fisik
Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi, misalnya: (1)
- Trauma kepala
- Tanda-tanda infeksi
- Kelainan kongenital
- Kecanduan alkohol atau napza
- Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
- Tanda-tanda keganasan.
Pemeriksaan neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat
berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah bangkitan,
maka akan tampak pasca bangkitan terutama tanda fokal yang tidak jarang dapat
menjadi petunjuk lokalisasi, seperti: (1)
- Paresis Todd
- Gangguan kesadaran pasca iktal
- Afasia pasca iktal
13
Resonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam memberikan informasi
tambahan mengenai dampak perubahan metabolik dan perubahan aliran darah
regional di otak berkaitan dengan bangkitan. Indikasi pemeriksaan
neuroimaging (CT scan kepala atau MRI kepala) pada kasus kejang adalah
bila muncul kejang tanpa provokasi pertama kali pada usia dewasa. Tujuan
pemeriksaan neuroimaging pada kondisi ini adalah untuk mencari adanya lesi
structural penyebab kejang. CT scan kepala lebih ditujukan untuk kasus
kegawatdaruratan, karena teknik pemeriksaannya lebih cepat. Di lain pihak
MRI kepala diutamakan untuk kasus elektif. Bila ditinjau dari segi sensitivitas
dalam menentukan lesi kasus elektif. Bila ditinjau dari segi sensitivitas dalam
menentukan lesi structural, maka MRI lebih sensitif dibandingkan CT scan
kepala. (1)
Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan hematologis
Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat
bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal
atau untuk memonitorkepatuhan pasien. (1)
- Punksi lumbal
- EKG. (1)
14
Ada beberapa gerakan atau kondisi yang menyerupai kejang epileptik, seperti
pingsan (syncope), reaksi konversi, panik dan gerakan movement disorder. Hal ini
sering membingungkan klinisi dalam menentukan diagnosis dan pengobatannya.
Tabel 2.1 menunjukkan beberapa pembeda antara kejang epileptic dengan berbagai
kondisi yang menyerupainya. (1)
2.6.1 Syncope
15
Syncope adalah hilangnya kesadaran secara tiba-tiba dikarenakan penurunan
dari aliran darah ke otak.Faktor pencetus adalah rasa cemas, kelaparan, emosi yang
meningkat atau berdiri yang terlalu lama.
Untuk manajemen epilepsi yang efektif, diagnosis merupakan hal yang sangat
esensial. Karakteristik dari tipe bangkitan penting karena menentukan arah dari
tatalaksana.
16
dan setelah menjalani konseling. Namun, pada keadaan khusus obat anti epilepsi
dapat digunakan bahkan setelah kejang yang pertama. Keadaan khusus itu meliputi:
2.8 Terapi
Setelah membuat diagnosis yang tepat, hal yang perlu diperhatikan sebelum
menentukan terapi obat anti epilepsi (OAE) adalah berapa besar kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang, berapa besar kemungkinan terjadinya konsekuensi
psikososial, masalah pekerjaa, atau keadaan fisik akibat bangkitan selanjutnya dan
pertimbangkan untung rugi antara pengobatan dan efek samping yang ditimbulkan.
Ketepatan diagnosis merupakan dasar terapi, diagnosis yang kurang tepat dapat
menyebabkan terapi yang tidak tepat juga. (1)
17
Tabel 2.6 Protokol OAE(2)
1. Jenis kelamin
Beberapa Obat Anti Epilepsi (OAE) dapat berikteraksi pada beberapa pil
kontrasepsi dan beberapa memiliki efek teratogenik. OAE yang memiliki efek
teratogenik bukanlah menjadi pengobatan lini pertama pada wanita yang
merencanakan kehamilan.
2. Usia
Metabolisme dan eleminasi obat pada usia yang ekstrim dapat mempengaruhi
konsentrasi OAE pada darah, sehingga membutuhkan dosis yang sangat
diperhitungkan terutama pada neonatus dan lanjut usia
3. Komorbid
18
4. Interaksi obat
- Tipe bangkitan
Stroke/ hipertensi
Cedera kepala
Alkoholisme
19
Diabetes
Tumor intrakranial
- Pasien lanjut usia memiliki tingkat metabolisme yang lebih lambat dan
dapat mempengaruhi dosis pemberian dan meningkatkan risiko
intoksikasi akibat akumulasi obat
Wanita pada usia produktif dan fertil yang menderita epilepsi harus
segera ditangani dan ditindak lanjuti. Konselinga pada masa pra konsepsi dan
meninjau OAE memiliki peranan yang penting dalam meingkatkan kualitas
hidup ibu dan anak. Pemberian asam folat diberikan dengan dosis 5 mg
diminum 1 kali sehari terbukti dapat mengurangi insiden kecacatan pada
neural tube hingga 85% pada anak anak
1. Efek teratogenik
Telah terbukti bahwa paparan OAE pada janin trimester pertama dapat
meningkatkan insiden kecacatan kongenital. Terdapat efek minor dan minim
pada kehamilan dengan epilepsi seperti kecerdasan verbal yang rendah, defisit
kognitif ringan yang mungkin dapat terlewatkan. Secara umum, wanita hamil
dengan epilepsi memiliki sekurangnya 3% risiko teratogenik. Penggunaan
asam valproat pada dosis lebih dari 1,5 gram per hari dapat meningkatkan
20
risiko teratogenik 20% lebih besar. Risiko ynag lebih tinggi didapatkan pada
pasien yang menjalani OAE dengan kombinasi lainnya termasuk
karbamazepin dan fenobarbiton atau fenitoin. Penggunaan asam valproat atau
polifarmasi harus dihindari selama kehamilan. Apabila pasien mampu untuk
membeli OAE dengan efek samping yang lebih minimal, dapat
direkomendasikan lamotrigin
2. Kehamilan
21
Pada fase post natal, pasien harus dievaluasi untuk frekuensi kejang untuk
menentukan apakah dosis OAE harus diperbarui.
1. Inisiasi pengobatan(2)
- Secara bertahap tingkatkan dosis pada interval 2-6 minggu hingga mencapai
dosis maksimum pada pengobatan yang dapat ditoleransi. Dosis ini merupakan
dosis perawatan minimum
22
- Efek intoksikasi yang berat akan muncul pada fase awal pengobatan, dapat
mengindikasikan bahwa terdapatnya dosis yang terlalu besar ataupun
peningkatan dosis tidak secara gradual. Efek samping seperti kelelahan, rasa
kantuk yang berlebih, pusing berputar ataupun ataxia harus diantisipasi
2.8.5 Maintenance(2)
- Idealnya, hanya satu jenis OAE yang digunakan. begitu dosis maksimal obat
tercapai tanpa adanya respon pengobatan yang memadai atau jika ada efek
samping yang muncul, makan obat lain harus dijadikan pilihan lain sebagai
monoterapi. Obat pertama harus dihentikan secara bertahap
- Bila OAE pertama hanya menghasilkan respon yang parsial, maka OAE kedua
harus ditambahkan secara bertahap setelah memantau interaksikedua OAE.
Tujuannya adalah untuk menghasilkan dosis maksimal dari kedua gabungan
obat. Jika kedua OAE gagal untuk mencapai efek terapeutik yang adekuat
setelah pasien melakukan kontrol secara teratur maka perlu diadakan rujukan
pasien untuk evaluasi lebih lanjut
Penghentian OAE harus dipikirkan bila pasien telah mengalami bebas kejang
selama 2 atau 3 tahun, namun, beberapa faktor ini adalah fakot-fakot yang patut
diperhatikan:
1. Bangkitan parsial
2. Bangkitan umum
23
3. EEG abnormal
4. Pasien
Sebelum mengentikan pengobatan, baiknya kita melihat sudut pandang pasien. Pada
situasi tertentu, pasien mungkin memilih untuk tetap dalam pengobatan walau telah
tercapainya fase remisi secara klinis. Keputusan pasien harus diterima dan dihargai,
meskipun setelah pengobatan yang berhasil, masih terdapat 5-10% kemungkinan
untuk terjadinya bangkitan kembali
5. Konseling
Penghentian OAE harus dilakukan secara bertahap selama 3-6 bulan. Dalam
politerapi, masing-masing obat harus ditarik secara terpisah satu demi satu.
Pertimbangkan efek samping yang diketahui dan efektivitas obat pada pasien dalam
melakukan penghentian OAE
24
2.8.8 Algoritma rencana perawatan pada epilepsi(2)
25
- Menjauhkan benda yang dapat melukai/mencederai pasien
26
2.9 Patofisiologi Bangkitan Epilepsi (3-6)
Eksitabilitas merupakan kunci dan ciri utama dari iktogenesis yang mungkin
berasal dari individu tiap neuron, lingkungan neuron, atau populasi dari neuron.
Eksibilitas yang timbul dari individual tiap neuron mungkin disebabkan oleh
perubahan membran atau properti metabolik tiap neuron. Ketika pengaturan dari
lingkungan maupun konsentrasi ion ekstrasel dan intrasel atau neurotransmitter yang
sub optimal, ketidakseimbangan yang terjadi dapat meningkatkan eksitasi neuron.
Kumpulan perubahan neuronal baik dari segi anatomi dan fisiologi menghasilkan
hipereksitabilitas dari neuron.
Pada keadaan normal terjadi aktivitas otak yaitu perpindahan sinyal antar
neuron. Perpindahan ini terjadi pada akson terminal suatu neuron dengan
dendrit neuron melalui sinaps. Sinaps memegang peranan penting untuk
perpindahan elektrolit dan sekresi neurotransmitter yang dalam vesikel pre
sinaps. Komposisi elektrolit dan neurotransmitter saling berperan dalam
menciptakan keseimbangan gradien ion pada intrasel maupun ekstrasel melalui
ikatan antara neurotrasmitter dengan reseptornya serta proses keluar masuknya
elektrolit melalui kanal masing- masing. Aktivitas tersebut akan menyebabkan
terjadinya proses depolarisasi, hiperpolarisasi, dan repolarisasi, sehingga
terjadinya potensial eksitasi dan inhibisi pada sel neuron. Potensial aksi
diregulasi oleh sel-sel neuron yang berada pada korteks dan kemudian
diteruskan oleh akson, sementara sel inter neuron berfungsi sebagai inhibisi.
27
Gambar 2. Penampang Sinaps Normal
28
Gambar 3. Proses Eksitasi (a) dan Inhibisi (b)
Saat potensial eksitasi dihantarkan oleh akson menuju celah sinaps, akan
dilanjutkan oleh sekresi glutamat ke celah sinaps. Glutamat lalu akan berikatan
pada reseptor non-NMDA, dan Na+ akan masuk ke dalam sel dan mencetuskan
depolarisasi cepat. Apabila depolarisasi mencapai ambang potensial maka Mg 2+
akan menduduki reseptor NMDA yang telah berikatan dengan glutamat dan ko
agonisnya (glisin) dikeluarkan ke celah sinaps, sehingga Na+ akan masuk ke
dalam sel yang akan diikuti dengan Ca2+. Masuknya Na+ dan Ca2+ akan
memperpanjang potensial eksitasi, disebut sebagai depolarisasi lambat. Setelah
Na+ mencapai ambang batas depolarisasi, K+ akan keluar dari dalam sel, yang
disebut sebagai repolarisasi.
Sementara itu, Ca2+ yang masuk ke dalam sel juga akan mendorong
neurotransmitter pelepasan neurotransmitter GABA ke celah sinaps. Saat
GABA berikatan pada reseptor GABAA pasca sinaps dan mencetuskan potensial
inhibisi, Cl- akan masuk ke dalam sel dan menurunkan ambang potensial
membran sampai kembali pada ambang istirahat yang disebut hiperpolarisasi.
Reseptor GABAB pada presinaps berperan memperpanjang potensial inhibisi.
29
Hasil akhir aksi potensial yang dihasilkan merupakan hasil dari potensial
eksitasi dan inhibisi yang dipengaruhi oleh jarak dan waktu.
30
Faktor eksternal terjadi akibat berbagai penyakit, baik dari otak maupun dari
sitemik. Penyakit-penyakit tersebut dapat menyebabkan kerusakan sel neuron,
glia, dan sawar darah otak. Kerusakan pada sel glia akan menyebabkan
kelebihan K+ dan glutamat pada celah sinaps, sehingga sel neuron akan mudah
tereksitasi. Keadaan tersebut juga akan mencetuskan faktor-faktor inflamasi,
kemudian akan menyebabkan peningkatan eksitasi dan akhirnya membentuk
lingkaran yang berkepanjangan. Kerusakan yang terjadi terus menerus dalam
jangka waktu yang lama akan menyebabkan perubahan aktivitas otak, struktur
neuron, dan ekspresi gen.
31
Pada manusia dan hewan percobaan, kejang yang berkelanjutan menyebabkan
kehilangan neuron selektif di daerah yang rentan seperti hipokampus, korteks, dan
talamus. Tingkat cedera saraf terkait erat dengan durasi kejang, menekankan betapa
pentingnya penanganan bangkitan secara cepat dan tepat. Dan bahkan tanpa adanya
kondisi dari hipoksia, asidosis, hipertermia dan hipoglikemia, kejang yang
berkepanjangan dapat menyebabkan kematian dari neuron.(7,8)
Seperti yang kita ketahui sebelumnya epilepsi dapat dikenal secara luas
sebagai sebuah kegawatdaruratan medis yang terkait secara kuat terhadap mortalitas
dan morbiditas pasien Hal tersebut membuat pentingnya untuk mengenali epilepsi dan
memulai pengobatan sedini mungkin untuk menghindari fase refraktori, sama
pentingnya untuk memperhatikan kondisi umum pasien dan memastikan bahwa
pasien dalam kondisi stabil secara hemodinamik.(3) Epilepsi yang berkepanjangan
dapat menyebabkan disritmia jantung, gangguan metabolik, disfungsi otonom, edema
pulmonal neurogenik, hipertermia, rabdomyolisis dan aspirasi pulmonal. Kerusakan
neurologis yang ireversibel dapat terjadi pula pada status epileptikus yang
berkepanjangan.(4)
32
2.11 Pasien epilepsi beserta penyakit yang menyertai(2)
- Ataksik
Anak dnegan gangguan kognitif memiliki insiden epilepsi yang lebih tinggi
condong kepada populasi dengan kerusakan otak organik, onset dini, bentuk
kronik dari epilepsi, lokasi khusus (epilepsi lobus temporal), atau memiliki gangguan
33
menjadi merupakan faktor yang pentung yang menyebabkan gangguan
- Adanya bangkitan
2.11.6 Demensia
Pada bangkitan dengan durasi yang lama atau status epileptikus berulang,
penting.
- Penyediaan layanan ibu hamil yang dapat dijangkau dan efektif terutama saat
- Vaksinasi lengkap sesuai jadwal pada seluruh anak berusia dibawah 5 tahun
34
- Meningkatkan pengobatan dan penanganan pada kondisi lain, seperti
35
2.13 Prognosis Epilepsi(2)
36
DAFTAR PUSTAKA
37