Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

Epilepsi

Pembimbing :

Dr. Julintari Indriyani Bidramnanta, Sp.S

Penyusun :

Jaya Saraswati, S.Ked

030.13.102

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 14 JANUARI – 16 FEBRUARI 2019


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Epilepsi”
tepat pada waktunya. Penyusunan referat ini ini dilakukan dalam rangka memenuhi
salah satu persyaratan dalam menempuh kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit
Saraf. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar besarnya kepada:

1. Dr. Julintari Indriyani Bidramnanta, Sp.S

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, hal tersebut tidak
lepas dari segala keterbatasan kemampuan yang peneliti miliki. Oleh karena itu
bimbingan dan kritik yang membangun dari semua pihak sangatlah diharapkan

Jakarta, Januari 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

BAB I...............................................................................................................................................3
PENDAHULUAN...........................................................................................................................3
1.1 Latar belakang....................................................................................................................3
BAB II.............................................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................................6
2.1 Definisi..................................................................................................................................6
2.1.1 Definisi konseptual...................................................................................... 6
2.1.2 Definisi operasional/definisi praktis.............................................................6
2.2 Epidemiologi..........................................................................................................................8
2.3 Klasifikasi..............................................................................................................................8
2.3.2 Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi...................................8
2.4 Etiologi..................................................................................................................................9
2.5 Diagnosis.............................................................................................................................11
2.5.1 Anamnesis...................................................................................................11
2.5.2 Pemeriksaan fisik........................................................................................13
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang..............................................................................13
2.6 Diagnosis Banding...............................................................................................................15
2.7 Manajemen epilepsi.............................................................................................................17
2.7.1 Penegakkan diagnosis.................................................................................17
2.7.2 Inisiasi pengobatan......................................................................................17
2.8 Terapi...................................................................................................................................17
2.8.1 Tujuan terapi...............................................................................................17
2.8.2 Faktor-faktor yang perlu diperhatikan pada pengobatan............................20
2.8.3 Epilepsi pada keadaan khusus.....................................................................20
2.8.4 Maintenance................................................................................................24
2.8.5 Indikasi penghentian OAE..........................................................................24
2.8.6 Prosedur penghentian OAE.........................................................................25
2.8.7 Algoritma rencana perawatan pada epilepsi................................................26
2.8.8 Pertolongan pertama saat terjadi bangkitan................................................27

3
2.9 Patofisiologi epilepsi...........................................................................................................28
2.10 Komplikasi epilepsi...........................................................................................................33
2.11 Pasien epilepsi beserta penyakit yang menyertai...............................................................34
2.12 Tindakan preventif pada epilepsi.......................................................................................35
2.13 Prognosis epilepsi..............................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................38

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi tertua, ditemukan pada


semua umur dan dapat menyebabkan hendaya serta mortalitas. Diduga terdapat
sekitar 50 juta orang dengan epilepsi di dunia. Populasi epilepsi aktif (penderita
dengan bangkitan tidak terkontrol atau yang memerlukan pengobatan) diperkirakan
antara 4 hingga 10 /.1000 penduduk /tahun, dinegara berkembang diperkirakan 6
hingga 10/1000 penduduk.(1)

Angka mortalitas pada epilepsi di negara berkembang lebih tinggi


dibandingkan negara maju. Insiden SUDEP (Sudden Unexpected Death) mencapai
1 : 1000 pasien, dimana didapatkan angka kematian wanita lebih tinggi dibandingkan
pada laki-laki. Jenis bangkitan yang memiliki risiko SUDEP tertinggi ialah bangkitan
tonik klonik.(2)

Sedikit yang diketahui tentang bagaimana otak membatasi durasi kejang dan
mengakhiri kejang. Tergantung pada tingkat keparahan dan durasi, kejang tunggal
diikuti oleh berbagai perubahan fungsional, metabolik, dan sinaptik yang dapat
membentuk target untuk strategi terapi baru. Sudah lama diketahui bahwa sebagian
besar kejang diikuti oleh periode refraktilitas dimana ambang untuk induksi kejang
tambahan meningkat.

Periode refraktilitas post iktal telah dipelajari secara luas dalam berbagai
model kejang dan epilepsi, termasuk kejang yang diinduksi secara elektrik dan
kimiawi, ranting, dan model epilepsi hewan genetik. Mekanisme yang terlibat dalam
penghentian kejang dan refraktilitas post iktal termasuk perubahan dalam lingkungan
mikro ionik, dalam pH, dan dalam berbagai neuromodulator endogen seperti adenosin
dan neuropeptida. (2)

Kebanyakan kejang biasanya akan berhenti secara tiba-tiba dan spontan, dan
otak akan tetap refrakter terhadap kejang lebih lanjut untuk beberapa waktu

5
sesudahnya. Namun, mekanisme yang mendasari fenomena ini hanya dipahami secara
tidak lengkap. Ada banyak perubahan fungsional, metabolik, dan sinaptik yang
berkembang sebagai reaksi homeostatis terhadap terjadinya kejang, dan mungkin
terlibat dalam pembatasan kejang secara mandiri dan keadaan interiktal atau postiktal.
Memahami mekanisme yang berkontribusi terhadap penghentian kejang berpotensi
mengidentifikasi target baru untuk pengembangan obat antiepilepsi (OAE). (2)

Bergantung pada tingkat keparahan dan lamanya, kejang tunggal dapat diikuti
oleh berbagai perubahan, termasuk EEG, perubahan perilaku post iktal, perubahan
sinaptik dan metabolisme, peningkatan aktivitas neurotransmiter dan neuromodulator,
kematian sel apoptosis, dan perubahan kemanjuran OAE. Dalam referat ini, penulis
membahas epilepsi (2)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

6
2.1.1 Definisi konseptual

 Epilepsi

Kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan


bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif,
psikologis, dan sosial. Definisi ini mensyaratkan terjadinya minimal 1 kali bangkitan
epileptik. (1)

 Bangkitan epileptik:

Terjadinya tanda/gejala yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal yang


abnormal dan berlebihan di otak. (1)

2.1.2 Definisi operasional/definisi praktis

Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/gejala berikut: (1)

1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan


jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam. (1)
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan (minimal
60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa profokasi/ bangkitan refleks (misalkan
bangkitan pertama yang terjadi 1 bulan setelah kejadian stroke, bangkitan
pertama pada anak yang disertai lesi structural dan epileptiform dischargers).(1)
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi. (1)

Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor pencetus
spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitf, dan somatomotor. (1)

Terdapat 4 komponen dari sebuah bangkitan epilepsi yang dapat dibedakan


tetapi perlu diingat bahwa tidak semua bangkitan memiliki seluruh 4 komponen
berikut:(2)

1. Fase prodormal

Fase ini dimulai dari beberapa menit hingga beberapa jam atau bahkan
hitungan hari sebelum terjadinya bangkitan. Fase prodormal terjadi pada kurang lebih

7
40% dari para penderita dan dapat meliputi nyeri kepala, iritabilitas, insomnia,
perubahan mood, depresi atau pun peningkatan aktivitas.

2. Aura

Sebuah aura tampak secara klinis pada beberapa detik atau beberapa menit.
Aura merupakan sebuah awal dari bangkitan dan menandakan onset fokal dari sebuah
bangkitan. Gejala dan manifestasi dari fase ini sangatlah tergantung terhadap lokasi
dari fokus lesi. Sebuah aura terkadang sulit untuk dijelaskan dan dideskripsikan, dan
dapat menyebabkan kecemasan dan rasa takut yang berlebih. Aura dapat berupa
sensasi aneh dari epigastrium, mencium bau-bau aneh ataupun seperti seolah-olah
seperti sedang bermimpi. Hanyalah pasien yang dapat mengingat sebuah aura dengan
sangat baik, dikarenakan fase ini muncul sebelum terdapat penurunan kesadaran.

3. Bangkitan (Ictal)

Pada sebuah bangkitan yang terdapat sebuah penurunan kesadaran, pasien


tidak mampu untuk memberi informasi/ kronologi dari fase ini. Untuk mendapatkan
informasi ataupun sebuah deskripsi sangatlah bergantung pada saksi mata yang
melihat bangkitan pasien. Karakteristik penting yang penting untuk digali:

- Tipe bangkitan

- Durasi bangkitan

- Frekuensi bangkitan

- Waktu bangkitan

4. Post Ictal

Fase ini mungkin tidak ada, dalam durasi yang singkat atau dapat berlangsung
beberapa jam atau bahkan berhari-hari. Biasanya terdapat tidur yang nyenyak dan
terbangun dengan adanya sakit kepala, kelelahan, muntah, kebingungan, nyeri otot
atau ataxia.

8
2.2 Epidemiologi

Pada negara maju, prevalensi median epilepsi yang aktif (bangkitan dalam 5
tahun terakhir) adalah 4,9/1000 (2,3-10,3), sedangkan pada negara berkembang di
pedalaman 12,7 /1000(3,5-45,5) dan diperkotaan 5,9 (3,4-10,2). Di negara Asia,
prevalensi epilepsi aktif tertinggi dilaporkan di Vietnam 10,7/1000 orang, dan
terendah di Taiwan 2,8/1000 orang. (1)

Prevalensi epilepsi pada usia lanjut (>65 tahun) dinegara maju diperkirakan
sekitar >0,9. Pada usia >75 tahun prevalensi meningkat 1,5%. Sebaliknya prevalensi
epilepsi dinegara berkembang lebih tinggi pada usia dekade 1-2 dibandingkan pada
usia lanjut. Kemungkinan penyebabnya adalah insiden yang rendah dan usia harapan
hidup rata-rata dinegara maju lebih tinggi. Prevalensi epilepsi berdasarkan jenis
kelamin dinegara-negara asia, dilaporkan laki-laki sedikit lebih tinggi daripada
wanita. (1)

Angka mortalitas akibat epilepsi di negara berkembang dilaporkan lebih tinggi


dibandingkan negara maju. Di Laos dilaporkan case fatality rate mencapai 90,0 per
1000 orang pertahun . Angka mortalitas epilepsi pada anak di Jepang dilaporkan 45
per 1000 orang pertahun. Di Taiwan 9 per 1000 orang pertahun , dimana orang
dengan epilepsi memiliki resiko kematian 3 kali lebih tinggi dibandingkan populasi
normal. (1)

2.3 Klasifikasi

Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi

1. Bangkitan parsial/fokal. (1)


1.1 Bangkitan parsial sederhana (kesadaran tidak terganggu)
1.1.1. Dengan gejala motorik
1.1.2. Dengan gejala somatosensorik
1.1.3. Dengan gejala otonom
1.1.4. Dengan gejala psikis
1.2 Bangkitan parsial kompleks
1.2.1. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan
kesadaran
1.2.2. Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
1.3.1 Parsial sederhana yang menjadi umum
1.3.2 Parsial kompleks menjadi umum

9
1.3.3 Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum
2. Bangkitan umum. (1)
2.1 Lena (absence)
2.1.1 Tipikal lena
2.1.2 Atipikal lena
2.2 Mioklonik
2.3 Klonik
2.4 Tonik
2.5 Tonik-klonik
2.6 Atonik/astatik
3. Bangkitan tak tergolongkan. (1)

2.4 Etiologi

Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut: (1)

1. Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis.


Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan
dengan usia.
2. Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui.
Termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.
3. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi struktural pada
otak, misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak
ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat), metabolik,
kelainan neurodegeneratif. (1)

10
Tabel 2.1 Penyebab / faktor resiko epilepsi dan bangkitan epileptik(2)

2.5 Diagnosis

Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. (1)

Ada tiga langkah dalam menegakkan diagnosis epilepsi, yaitu sebagai berikut: (1)

1. Langkah pertama: pastikan adanya bangkitan epileptik


2. Langkah kedua: tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE 1981

11
3. Langkah ketiga: tentukan sindroma epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE
1989

2.5.1 Anamnesis

Auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata mengenai hal-hal terkait
dibawah ini: (1)

a. Gejala dan tanda sebelum, saat, dan pasca bangkitan:


 Sebelum bangkitan/ gajala prodromal
- Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya
bangkitan, misalnya perubahan prilaku, perasaan lapar, berkeringat,
hipotermi, mengantuk, menjadi sensitif, dan lain-lain. (1)
 Selama bangkitan/ iktal:
- Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan?. (1)
- Bagaimana pola/ bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan
kepala, gerakan tubuh , vokalisasi, aumatisasi, gerakan pada salah satu
atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkontinensia,
lidah tergigit, pucat, berkeringat, dan lain-lain. (Akan lebih baik bila
keluarga dapat diminta menirukan gerakan bangkitan atau merekam
video saat bangkitan)
- Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
- Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya
- Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat tidur, saat
terjaga, bermain video game, berkemih, dan lain-lain. (1)
 Pasca bangkitan/ post- iktal:
 Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah, Todd’s
paresis.
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis, alkohol.
c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antara
bangkitan, kesadaran antara bangkitan.
d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya
i. Jenis obat anti epilepsi
ii. Dosis OAE
iii.Jadwal minum OAE
iv. Kepatuhan minumOAE
v. Kadar OAE dalam plasma
vi. Kombinasi terapi OAE
e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik
maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang
h. Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam
i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP), dll. (1)

12
2.5.2 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik umum

Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi, misalnya: (1)

- Trauma kepala
- Tanda-tanda infeksi
- Kelainan kongenital
- Kecanduan alkohol atau napza
- Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
- Tanda-tanda keganasan.

Pemeriksaan neurologis

Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat
berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah bangkitan,
maka akan tampak pasca bangkitan terutama tanda fokal yang tidak jarang dapat
menjadi petunjuk lokalisasi, seperti: (1)

- Paresis Todd
- Gangguan kesadaran pasca iktal
- Afasia pasca iktal

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)

Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan


suatu bangkitan untuk: (1)

- Membantu menunjang diagnosis


- Membantu penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi.
- Membatu menentukan menentukan prognosis
- Membantu penentuan perlu/ tidaknya pemberian OAE
 Pemeriksaan pencitraan otak

Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik diotak. MRI beresolusi tinggi

dapat mendiagnosis secara non-invasif berbagai macam lesi patologik


misalnya mesial temporal sklerosis, glioma, ganglioma, malformasi
kavernosus, DNET (dysembryoplastic neuroepithelial tumor), tuberous
sklerosis. (1)

Fuctional brain imaging seperti Positron Emission Tomography (PET),


Singel Photon Emission Computed Tomography (SPECT) dan Magnetic

13
Resonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam memberikan informasi
tambahan mengenai dampak perubahan metabolik dan perubahan aliran darah
regional di otak berkaitan dengan bangkitan. Indikasi pemeriksaan
neuroimaging (CT scan kepala atau MRI kepala) pada kasus kejang adalah
bila muncul kejang tanpa provokasi pertama kali pada usia dewasa. Tujuan
pemeriksaan neuroimaging pada kondisi ini adalah untuk mencari adanya lesi
structural penyebab kejang. CT scan kepala lebih ditujukan untuk kasus
kegawatdaruratan, karena teknik pemeriksaannya lebih cepat. Di lain pihak
MRI kepala diutamakan untuk kasus elektif. Bila ditinjau dari segi sensitivitas
dalam menentukan lesi kasus elektif. Bila ditinjau dari segi sensitivitas dalam
menentukan lesi structural, maka MRI lebih sensitif dibandingkan CT scan
kepala. (1)

 Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan hematologis

Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis,


hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium,
kalsium, magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi hati
(SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin. (1)

 Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan


diagnosis banding dan pemilihan OAE
 Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi samping OAE
 Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor efek samping OAE,
atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE. (1)
 Pemeriksaan kadar OAE

Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat
bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal
atau untuk memonitorkepatuhan pasien. (1)

 Pemeriksaan penunjang lainnya

Dilakukan sesuai dengan indikasi misalnya:

- Punksi lumbal
- EKG. (1)

2.6 Diagnosis Banding

14
Ada beberapa gerakan atau kondisi yang menyerupai kejang epileptik, seperti
pingsan (syncope), reaksi konversi, panik dan gerakan movement disorder. Hal ini
sering membingungkan klinisi dalam menentukan diagnosis dan pengobatannya.
Tabel 2.1 menunjukkan beberapa pembeda antara kejang epileptic dengan berbagai
kondisi yang menyerupainya. (1)

Tabel 2.2 Diagnosis Banding Kejang Epileptik. (1)

Tabel 2.3 Diagnosis Banding Kejang Epileptik. (Lanj.) (1)

2.6.1 Syncope

15
Syncope adalah hilangnya kesadaran secara tiba-tiba dikarenakan penurunan
dari aliran darah ke otak.Faktor pencetus adalah rasa cemas, kelaparan, emosi yang
meningkat atau berdiri yang terlalu lama.

Tabel 2.4 Perbedaan antara bangkitan epilepsi dan syncope(2)

2.7 Manajemen epilepsi(2)

2.7.1 Penegakkan diagnosis

Untuk manajemen epilepsi yang efektif, diagnosis merupakan hal yang sangat
esensial. Karakteristik dari tipe bangkitan penting karena menentukan arah dari
tatalaksana.

2.7.2 Inisiasi pengobatan

Telah direkomendasikan bahwa pengobtan dimulai setelah adanya konfirmasi


ataupun penegakkan diagnosis epilepsi (adanya 2 atau lebih sebuah bangkitan tanpa
provokasi dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam)

16
dan setelah menjalani konseling. Namun, pada keadaan khusus obat anti epilepsi
dapat digunakan bahkan setelah kejang yang pertama. Keadaan khusus itu meliputi:

- Adanya riwayat epilepsi pada keluarga

- Defisit neurologis yang relevan

- Gambaran EEG yang abnormal menunjukkan adanya aktivitas epileptiform


atau terdapat keterlambatan secara fokal dimana pasien, setelah menjalani
beberapa konseling menginginkan pengobatan

2.8 Terapi

Setelah membuat diagnosis yang tepat, hal yang perlu diperhatikan sebelum
menentukan terapi obat anti epilepsi (OAE) adalah berapa besar kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang, berapa besar kemungkinan terjadinya konsekuensi
psikososial, masalah pekerjaa, atau keadaan fisik akibat bangkitan selanjutnya dan
pertimbangkan untung rugi antara pengobatan dan efek samping yang ditimbulkan.
Ketepatan diagnosis merupakan dasar terapi, diagnosis yang kurang tepat dapat
menyebabkan terapi yang tidak tepat juga. (1)

2.8.1 Tujuan Terapi

Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi dapat


hidup normal dan tercapai kualitas hidup optimal untuk penyandang mental yang
dimilikinya. Harapannya adalah bebas bangkitan, tanpa efek samping. Untuk
tercapainya tujuan tersebut diperlukan beberapa upaya, antara samping/dengan efek
samping yang minimal, menurunkan angka kesakitan dan kematian. Terapi pada
epilepsi dapat berupa terapi farmakologi dan non farmakologi. (1)

Tabel 2.5 Pemiihan OAE berdasarkan bentuk bangkitan. (2)

17
Tabel 2.6 Protokol OAE(2)

2.8.2 Faktor-faktor yang perlu diperhatikan pada pengobatan(2)

1. Jenis kelamin

Beberapa Obat Anti Epilepsi (OAE) dapat berikteraksi pada beberapa pil
kontrasepsi dan beberapa memiliki efek teratogenik. OAE yang memiliki efek
teratogenik bukanlah menjadi pengobatan lini pertama pada wanita yang
merencanakan kehamilan.

2. Usia

Metabolisme dan eleminasi obat pada usia yang ekstrim dapat mempengaruhi
konsentrasi OAE pada darah, sehingga membutuhkan dosis yang sangat
diperhitungkan terutama pada neonatus dan lanjut usia

3. Komorbid

Adanya komorbid, seperti contohnya pada penyakit hati dapat mempengaruhi


konsentrasi OAE pada darah yang akan mempengaruhi toksisitas dan efektivitas obat.

18
4. Interaksi obat

Beberapa obat-obatan dapat berinteraksi secara negatif dengan OAE terutama


obat yang bekerja pada Sistem Saraf Pusat (SSP) seperti obat penenang sehingga
penggunaannya memerlukan pertimbangan. Obat-obatan lain yang memungkinkan
untuk bersifat epileptogenik, contohnya pada phenotiazin. Pemantauan yang cermat
untuk melihat efek samping direkomendasikan pada pasien epilepsi yang sedang
menjalani pengobatan HIV dan atau Tuberkulosis. Pengobatan anti retro viral dan
pengobatan tuberkulosis dapat mengurangi efektivitas dari OAE dan sebaliknya.

2.8.3 Epilepsi pada keadaan khusus(2)

2.8.3.1 Epilepsi pada lanjut usia

Populasi usia 60 taun keatas dapat merasakan gangguan kesadaran, perasaan


ling lung dan kehilangan orientasi waktu sebagai bagian dari bangkitan dan sering
disalah artikan sebagai sindrom geriatri. Para tenaga medis harus menggali adanya
faktor resiko seperti hipertensi, stroke, diabetes, demensia, yang memiliki gejala yang
sama seperti bangkitan epilepsi. Hal ini memungkinkan adanya keterlambatan pada
penegakkan diagnosis di populasi lanjut usia.

- Tipe bangkitan

Bangkitan parsial, terutama bangkitan parsial kompleks merupakan


epilepsi jenis terbanyak dikarenakan adanya epilepsi sekunder pada
rerata lanjut usia. Namun, tipe bangkitan lain seperti secondary
generalized seizure dan bangkitan atonik dapat ditemukan.

- Faktor resiko epilepsi pada lanjut usia

 Faktor herediter/ idiopatik

 Stroke/ hipertensi

 Cedera kepala

 Iskemia jantung dengan penyerta iskemia serebral

 Komplikasi pada penyakit ginjal dan hati

 Alkoholisme

19
 Diabetes

 Tumor intrakranial

 Infeksi SSP (malaria serebral, meningitis, HIV)

1. Terapi OAE (Obat Anti Epilepsi)

Orang lanjut usia dengan epilepsi sering mengjalani berbagai macam


pengobatan. Mereka merupakan populasi yang sangat mungkin untuk
mengonsumsi obat anti hipertensi, anti koagulan, insulin, statin dll. Oleh
karena itu pentung untuk memantau interaksi obat secara khusus.

- Hindari karbamazepin dan benzodiazepin karena mereka dapat


menyebabkan rasa kantuk yang berlebih sehingga dapat menyebabkan
risiko trauma

- Penting untuk mengamati secara langsung apakah adanya gangguan


fungsi memori pada pasien lanjut usia

- Pasien lanjut usia memiliki tingkat metabolisme yang lebih lambat dan
dapat mempengaruhi dosis pemberian dan meningkatkan risiko
intoksikasi akibat akumulasi obat

2.8.3.2 Epilepsi pada wanita dengan keluarga

Wanita pada usia produktif dan fertil yang menderita epilepsi harus
segera ditangani dan ditindak lanjuti. Konselinga pada masa pra konsepsi dan
meninjau OAE memiliki peranan yang penting dalam meingkatkan kualitas
hidup ibu dan anak. Pemberian asam folat diberikan dengan dosis 5 mg
diminum 1 kali sehari terbukti dapat mengurangi insiden kecacatan pada
neural tube hingga 85% pada anak anak

1. Efek teratogenik

Telah terbukti bahwa paparan OAE pada janin trimester pertama dapat
meningkatkan insiden kecacatan kongenital. Terdapat efek minor dan minim
pada kehamilan dengan epilepsi seperti kecerdasan verbal yang rendah, defisit
kognitif ringan yang mungkin dapat terlewatkan. Secara umum, wanita hamil
dengan epilepsi memiliki sekurangnya 3% risiko teratogenik. Penggunaan
asam valproat pada dosis lebih dari 1,5 gram per hari dapat meningkatkan

20
risiko teratogenik 20% lebih besar. Risiko ynag lebih tinggi didapatkan pada
pasien yang menjalani OAE dengan kombinasi lainnya termasuk
karbamazepin dan fenobarbiton atau fenitoin. Penggunaan asam valproat atau
polifarmasi harus dihindari selama kehamilan. Apabila pasien mampu untuk
membeli OAE dengan efek samping yang lebih minimal, dapat
direkomendasikan lamotrigin

2. Kehamilan

Tujuan dari perawatan epilepsi adalah tercapainya tingkat epilepsi


yang dapat terkontrol dan menghindari adanya defek kongenital dan anak
yang lahir mampu berkembang secara normal baik fisik, mental, sosial
maupun intelektual. Pendekatan yang disiplin dan terarah sangatlah penting.
Sekitar 1 dari 3 ibu hamil memiliki penurunan frekuensi kejang.
Meningkatnya kontrol dari kejang secara nyata kemungkinan disebabkan d
engan adanya peningkatan hormon progesteron dimana hormon progesteron
memiliki efek anti konvulsan. Beberapa ibu hamil dengan epilepsi mengalami
perburukan diduga akibat ketidakpatuhan pasien dalam menjalani pengobatan
karena kecemasan pasien terhadap efek teratogenik.Pasien dengan keluhan
seperti ini harus diedukasi mengenai bahayanya kejang pada kehamilan
termasuk kehamilan prematur dan abortus. Penyakit komorbid seperti diabetes
melitus, hipertensi, HIV/ AIDS, anemia dan infeksi harus segera ditangani
secara optimal untuk menghasilkan prognosis yang lebih baik

3. Persalinan dan fase post natal

Selama persalinan sebanyak 1-2% ibu kemungkinan memiliki bangkitan


umum tonik-klonik. Lebih dari 90% pada ibu hamil memiliki kehamilan,
persalinan dan fase post natal yang normal. Namun, penting bagi klinisi untuk
lebih waspada pada komplikasi selama kehamilan dan sesudahnya. Lorazepam
4 mg intravena diberikan pada kejang berulang atau berkepanjangan terhadap
repon fenitoin. Telah terbukti bahwa fenitoin intravena menghambat kontraksi
miometrium dan karenanya harus dihindari dalam persalinan. Vitamin K harus
diberikan secara rutin untuk semua bayi baru lahir dengan ibu dalam
pengobatan OAE untuk mengurangi risiko perdarahan pada bayi baru lahir.

21
Pada fase post natal, pasien harus dievaluasi untuk frekuensi kejang untuk
menentukan apakah dosis OAE harus diperbarui.

Menyusui merupakah sebuah tantangan dikarenakan OAE dapat menembus


Air Susu Ibu (ASI) dan oleh karena itu klinisi harus memperhatikan perkembangan
neurologis pada neonatus. Klinisi harus memantau apakah terdapatnya iritabilitas dan
kantuk pada neonatus. Hal tersebut mungkin merupakan sebuah manifestasi klinis
dari adanya intoksikasi dari OAE dan pengobatan harus segera dihentikan. Penting
untuk memberikan edukasi pada ibu tentang penanganan pada bayi baru lahir dengan
memperhatikan bahwa kantuk merupakan efek samping umum dari OAE. Kelelahan
dan rasa kantuk pada bayi baru lahir sering terjadi segera setelah bayi memasuki fase
post natal sehingga dapat menyebabkan kematian pada neonatus.

1. Inisiasi pengobatan(2)

- Memulai pengobatan dengan 1 jenis OAE

- Memulai pengobatan dengan dosis terendah yang direkomendasikan untuk


memulai pengobatan

- Secara bertahap tingkatkan dosis pada interval 2-6 minggu hingga mencapai
dosis maksimum pada pengobatan yang dapat ditoleransi. Dosis ini merupakan
dosis perawatan minimum

- Bila kejang belum dapat teratasi setelah mencapai dosis maksimum


pengobatan pertama, obat kedua harus ditambahkan sambil
mempertimbangkan secara bertahap mengurangi atau mempertahankan obat
awal tergantung pada repon pasien terhadap pengobatan. Apabila dengan
monoterapi (1 jenis obat) gagal, maka politerapi yang melibatkan beberapa
obat dengan cara kerja yang berbeda diindikasikan

- Tujuan pengobatan adalah untuk menghasilkan pengobatan dengan dosis


terendah tetapi menghasilkan efektivitas maksimal dengan efek samping yang
minimal

- Pengenalan OAE secara bertahap dapat menghasilkan efek terapeutik yang


sama dengan inisiasi dosis besar secara cepat, tetapi pengenalan OAE secara
bertahap memiliki efek samping yang lebih minimal sehingga oleh karenanya
direkomendasikan

22
- Efek intoksikasi yang berat akan muncul pada fase awal pengobatan, dapat
mengindikasikan bahwa terdapatnya dosis yang terlalu besar ataupun
peningkatan dosis tidak secara gradual. Efek samping seperti kelelahan, rasa
kantuk yang berlebih, pusing berputar ataupun ataxia harus diantisipasi

2.8.5 Maintenance(2)

- Idealnya, hanya satu jenis OAE yang digunakan. begitu dosis maksimal obat
tercapai tanpa adanya respon pengobatan yang memadai atau jika ada efek
samping yang muncul, makan obat lain harus dijadikan pilihan lain sebagai
monoterapi. Obat pertama harus dihentikan secara bertahap

- Bila OAE pertama hanya menghasilkan respon yang parsial, maka OAE kedua
harus ditambahkan secara bertahap setelah memantau interaksikedua OAE.
Tujuannya adalah untuk menghasilkan dosis maksimal dari kedua gabungan
obat. Jika kedua OAE gagal untuk mencapai efek terapeutik yang adekuat
setelah pasien melakukan kontrol secara teratur maka perlu diadakan rujukan
pasien untuk evaluasi lebih lanjut

- Kepercayaan antara dokter dan pasien sangatlah penting untuk memastikan


bahwa pasien memahami dan mematuhi pengobatan

2.8.6 Indikasi penghentian OAE(2)

Penghentian OAE harus dipikirkan bila pasien telah mengalami bebas kejang
selama 2 atau 3 tahun, namun, beberapa faktor ini adalah fakot-fakot yang patut
diperhatikan:

1. Bangkitan parsial

Bangkitan parsial umumnya sangat sulit untuk dikendalikan khususnya pada


seseorang yang memiliki masalah pada area hipokampus dan lobus temporal,
sehingga tingkat rekurensi sangatlah tinggi. Akan lebih baik bila pengobatan
diteruskan

2. Bangkitan umum

Bangkitan umum khususnya dengan etiologi yang tidak diketahui atau


idiopatik memiliki tingkat remisi terbaik

23
3. EEG abnormal

Apabila gambaran EEG secara persisten menunjukkan hasil yang abnormal


pada pengobatan yang teratur, maka sangatlah penting untuk melanjutkan pengobatan
hingga hasil abnormal pada EEG dapat secara signifikan diselesaikan dan gambaran
EEG normal dapat dihasilkan

4. Pasien

Sebelum mengentikan pengobatan, baiknya kita melihat sudut pandang pasien. Pada
situasi tertentu, pasien mungkin memilih untuk tetap dalam pengobatan walau telah
tercapainya fase remisi secara klinis. Keputusan pasien harus diterima dan dihargai,
meskipun setelah pengobatan yang berhasil, masih terdapat 5-10% kemungkinan
untuk terjadinya bangkitan kembali

5. Konseling

Konseling pasien sebelum adanya penghentian OAE sangatlah esensial dan


menjelaskan tentang kemungkinan untuk terjadinya rekurensi dari bangkitan
dikarenakan bebas dari bangkitan tidak dapat dipastikan/ dijanjikan

2.8.7 Prosedur penghentian OAE

Penghentian OAE harus dilakukan secara bertahap selama 3-6 bulan. Dalam
politerapi, masing-masing obat harus ditarik secara terpisah satu demi satu.
Pertimbangkan efek samping yang diketahui dan efektivitas obat pada pasien dalam
melakukan penghentian OAE

24
2.8.8 Algoritma rencana perawatan pada epilepsi(2)

2.8.9 Pertolongan pertama saat terjadi bangkitan

1. Hal yang dilakukan

- Menjauhkan pasien dari situasi berbahaya, seperti kebakaran, lalu


lintas, air dll.

25
- Menjauhkan benda yang dapat melukai/mencederai pasien

- Melonggarkan baju, menjauhkan kaca mata

- Melindungi kepala pasien dengan bantal

- Putarlah pasien ke kanan/kiri, sehingga salive atau mukus dapat


mengalir keluar dari rongga mulut

- Menunggu dan membiarkan pasien hingga sadar kembali sepenuhnya

- Lalu membiarkan pasien istirahat atau menuntun pasien menuju tempat


yang aman dan menghubungi anggota keluarga/ petugas kesehatan

2. Hal yang tidak dilakukan

- Jangan menaruh benda-benda pada mulut pasien

- Jangan memberikan sesuatu untuk diminum pasien

- Jangan mencoba untuk menahan/ membatasi bangkitan pasien

Gambar 1. Recovery position

26
2.9 Patofisiologi Bangkitan Epilepsi (3-6)

Eksitabilitas merupakan kunci dan ciri utama dari iktogenesis yang mungkin
berasal dari individu tiap neuron, lingkungan neuron, atau populasi dari neuron.
Eksibilitas yang timbul dari individual tiap neuron mungkin disebabkan oleh
perubahan membran atau properti metabolik tiap neuron. Ketika pengaturan dari
lingkungan maupun konsentrasi ion ekstrasel dan intrasel atau neurotransmitter yang
sub optimal, ketidakseimbangan yang terjadi dapat meningkatkan eksitasi neuron.
Kumpulan perubahan neuronal baik dari segi anatomi dan fisiologi menghasilkan
hipereksitabilitas dari neuron.

Pada keadaan normal terjadi aktivitas otak yaitu perpindahan sinyal antar
neuron. Perpindahan ini terjadi pada akson terminal suatu neuron dengan
dendrit neuron melalui sinaps. Sinaps memegang peranan penting untuk
perpindahan elektrolit dan sekresi neurotransmitter yang dalam vesikel pre
sinaps. Komposisi elektrolit dan neurotransmitter saling berperan dalam
menciptakan keseimbangan gradien ion pada intrasel maupun ekstrasel melalui
ikatan antara neurotrasmitter dengan reseptornya serta proses keluar masuknya
elektrolit melalui kanal masing- masing. Aktivitas tersebut akan menyebabkan
terjadinya proses depolarisasi, hiperpolarisasi, dan repolarisasi, sehingga
terjadinya potensial eksitasi dan inhibisi pada sel neuron. Potensial aksi
diregulasi oleh sel-sel neuron yang berada pada korteks dan kemudian
diteruskan oleh akson, sementara sel inter neuron berfungsi sebagai inhibisi.

27
Gambar 2. Penampang Sinaps Normal

Elektrolit yang memegang peran dalam meregulasi aktivitas otak adalah


natrium (Na+), kalsium (Ca2+), magnesium (Mg2+), dan klorida (Cl-).
Neurotransmitter utama dalam proses eksitasi adalah glutamat yang akan
berikatan pada reseptornya, yaitu N-metil-D-aspartat (NMDA) dan non-NMDA
(Amino-3-hydroxy-5methyl-isoxasole pro pionic acid/ AMPA dan kainat).
Sedangkan neurotransmitter utama dalam proses inhibisi adalah Y-asam
aminobutirik (GABA) yang akan berikatan pada reseptor GABAA dan GABAB.

28
Gambar 3. Proses Eksitasi (a) dan Inhibisi (b)

Saat potensial eksitasi dihantarkan oleh akson menuju celah sinaps, akan
dilanjutkan oleh sekresi glutamat ke celah sinaps. Glutamat lalu akan berikatan
pada reseptor non-NMDA, dan Na+ akan masuk ke dalam sel dan mencetuskan
depolarisasi cepat. Apabila depolarisasi mencapai ambang potensial maka Mg 2+
akan menduduki reseptor NMDA yang telah berikatan dengan glutamat dan ko
agonisnya (glisin) dikeluarkan ke celah sinaps, sehingga Na+ akan masuk ke
dalam sel yang akan diikuti dengan Ca2+. Masuknya Na+ dan Ca2+ akan
memperpanjang potensial eksitasi, disebut sebagai depolarisasi lambat. Setelah
Na+ mencapai ambang batas depolarisasi, K+ akan keluar dari dalam sel, yang
disebut sebagai repolarisasi.

Sementara itu, Ca2+ yang masuk ke dalam sel juga akan mendorong
neurotransmitter pelepasan neurotransmitter GABA ke celah sinaps. Saat
GABA berikatan pada reseptor GABAA pasca sinaps dan mencetuskan potensial
inhibisi, Cl- akan masuk ke dalam sel dan menurunkan ambang potensial
membran sampai kembali pada ambang istirahat yang disebut hiperpolarisasi.
Reseptor GABAB pada presinaps berperan memperpanjang potensial inhibisi.

29
Hasil akhir aksi potensial yang dihasilkan merupakan hasil dari potensial
eksitasi dan inhibisi yang dipengaruhi oleh jarak dan waktu.

Setelah terjadinya hiperpolarisasi, selama beberapa saat membran sel yang


mengalami hiperpolarisasi di bawah ambang istirahatnya, disebut sebagai after
hyperpolaritation (AHP). AHP merupakan hasil dari keseimbangan Ca2+ di
dalam sel dalam sel dan K+ di luar sel. Pada fase ini sel neuron akan mengalami
masa refrakter dan tidak dapat di stimulasi hingga terjadinya pertukaran Ca 2+
keluar sel dan K+ kedalam sel melalui kanal yang tidak dipengaruhi oleh gradien
voltase. Keseimbangan ion di dalam dan luar sel dikembalikan oleh pompa Na +
- K+ dan dibantu oleh adenosine triphosphate (ATP), dan juga terdapat peranan
sel glia.

Adanya ketidakseimbangan pada proses eksitasi dan inhibisi akan menyebabkan


hipererektabilitas yang menyebabkan bangkitan epileptik. Ketidakseimbangan
tersebut dapat disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Penyebab
internal antara lain merupakan mutasi kanal Na+ , K+ , Ca2+ . Mutasi ini
menyebabkan masuknya Na+ dan Ca2+ ke dalam sel secara terus menerus
sehingga terjadi paroxysmal depolarization shift (PDS). PDS dipelopori oleh
reseptor non-NMDA, akibat meningkatnya jumlah Na+ , pada mutasi kanal Na+
dan dapat diperpanjang saat reseptor NMDA terbuka yang diikuti oleh
masuknya Na+ sehingga Na+ menumpuk pada intrasel. Pada mutasi kanal Ca 2+ ,
PDS terjadi karena depolarisasi lambat yang makin dihambat oleh Ca 2+ di dalam
intrasel. Sementara mutasi pada kanal K+ akan menghambat keluarnya K+
menuju ekstrasel yang justru akan menghambat terjadinya repolarisasi dan
memperpanjang depolarisasi, yang akhirnya menyebabkan PDS.

Pada hipererektabilitas akan terjadi peningkatan sekresi glutamat menuju celah


sinaps, sehingga terjadi peningkatan jumlah Ca2+ di dalam sel. Jumlah Ca2+ yang
berlebih akan menyebabkan aktifnya enzim ekstrasel yang nantinya akan
mencetuskan terjadinya apoptosis. Hal ini merangsang berbagai faktor inflamasi
yang akan meningkatkan permeabilitas sel, gangguan keseimbangan elektrolit,
edema otak, kerusakan sawar darah otak dsb.

30
Faktor eksternal terjadi akibat berbagai penyakit, baik dari otak maupun dari
sitemik. Penyakit-penyakit tersebut dapat menyebabkan kerusakan sel neuron,
glia, dan sawar darah otak. Kerusakan pada sel glia akan menyebabkan
kelebihan K+ dan glutamat pada celah sinaps, sehingga sel neuron akan mudah
tereksitasi. Keadaan tersebut juga akan mencetuskan faktor-faktor inflamasi,
kemudian akan menyebabkan peningkatan eksitasi dan akhirnya membentuk
lingkaran yang berkepanjangan. Kerusakan yang terjadi terus menerus dalam
jangka waktu yang lama akan menyebabkan perubahan aktivitas otak, struktur
neuron, dan ekspresi gen.

Hipererktabilitas satu sel neuron akan mempengaruhi sel neuron disekitarnya.


Sekelompok neuron yang mencetuskan aktivitas abnormal secara bersamaan
disebut juga dengan hipersinkron. Pada saat suatu sel neuron teraktivasi maka
sel-sel neuron di sekitarnya akan ikut teraktivasi. Jika sel-sel neuron di
sekitarnya teraktivasi secara bersamaan maka akan tercetuslah potensial eksitasi
yang besar dan menimbulkan gejala klinis. Penyebaran PDS hipersinkroni
pada seluruh hemisfer saat iktal maupun interiktal dipengaruhi oleh aktivitas
interneuron pada talamus yang sebagian besar bersifat inhibisi.

Gambar 4. Penyebab Bangkitan Epileptik

31
Pada manusia dan hewan percobaan, kejang yang berkelanjutan menyebabkan
kehilangan neuron selektif di daerah yang rentan seperti hipokampus, korteks, dan
talamus. Tingkat cedera saraf terkait erat dengan durasi kejang, menekankan betapa
pentingnya penanganan bangkitan secara cepat dan tepat. Dan bahkan tanpa adanya
kondisi dari hipoksia, asidosis, hipertermia dan hipoglikemia, kejang yang
berkepanjangan dapat menyebabkan kematian dari neuron.(7,8)

Seperti yang kita ketahui sebelumnya epilepsi dapat dikenal secara luas
sebagai sebuah kegawatdaruratan medis yang terkait secara kuat terhadap mortalitas
dan morbiditas pasien Hal tersebut membuat pentingnya untuk mengenali epilepsi dan
memulai pengobatan sedini mungkin untuk menghindari fase refraktori, sama
pentingnya untuk memperhatikan kondisi umum pasien dan memastikan bahwa
pasien dalam kondisi stabil secara hemodinamik.(3) Epilepsi yang berkepanjangan
dapat menyebabkan disritmia jantung, gangguan metabolik, disfungsi otonom, edema
pulmonal neurogenik, hipertermia, rabdomyolisis dan aspirasi pulmonal. Kerusakan
neurologis yang ireversibel dapat terjadi pula pada status epileptikus yang
berkepanjangan.(4)

2.10 Komplikasi Bangkitan Epilepsi(9,10)


1. Sistem saraf pusat
Edema serebral, narkosis akibat penumpukan karbon dioksida, hipoksia
serebral, dan perdarahan serebral
2. Kardiovaskular
Aritmia, henti jantung, takikardia, bradikardia, gagal jantung kongestif,
hipertensi, dan hipotensi
3. Respirasi
Apneu, acute respiratory distress syndrome, infeksi nosokomial, aspirasi,
spasme laring, asidosis respiratorik, dan emboli paru
4. Metabolik
Asidosis metabolik, hiperkalemia, hiponatremia, hipomagnesemia,
hipermagnesemia, dan dehidrasi
5. Ginjal
Asidosis renal tubular, sindrom nefritik akut, oligouria, uremia,
rabdomiolisis, dan mioglobinuria

32
2.11 Pasien epilepsi beserta penyakit yang menyertai(2)

2.11.1 Cerebral Palsy

Cerebral palsy diklasifikasikan menjadi sindrom berikut:

- Spastik (hemiplegia, tetraplegia dan diplegia)

- Ataksik

- Diskinetik (choreo-atetotik dan distonik)

2.11.2 Gangguan fungsi kognitif

Anak dnegan gangguan kognitif memiliki insiden epilepsi yang lebih tinggi

dibangdingkan populasi pada umumnya Namun, gangguan fungsi kognitif

tidak selalu ada pada pasien dengan epilepsi

2.11.3 Gangguan Psikiatri

Epilepsi bukanlah sebuah gangguan psikiatri, walau sejumlah pasien

memiliki kemungkinan untuk menderita gangguan psikiatri. Hal ini lebih

condong kepada populasi dengan kerusakan otak organik, onset dini, bentuk

kronik dari epilepsi, lokasi khusus (epilepsi lobus temporal), atau memiliki gangguan

penyesuaian pada lingkungan sosial sekitar

2.11.4 Gangguan Perilaku

Epilepsi memiliki kecenderungan untuk dapat berkaitan dnegan gangguan

perilaku, seperti hiperaktif, iritabilitas, gangguan pada atensi dan cenderung

agresif. Gangguan perilaku dapat menjadi efek samping dari pengobatan

( phenobarbitone atau klonazepam)

2.11.5 Gangguan fungsi intelektual

Lingkungan yang tidak nyaman pada anak dengan epilepsi di lingkungan

sekolah dan rumah dapat menyebabkan masalah emosional yang mungkin

33
menjadi merupakan faktor yang pentung yang menyebabkan gangguan

fungsi intelektual dan interaksi sosial

Gangguan fungsi intelektual meliputi:

- Adanya bangkitan

- Adanya aktivitas epilepsi secara subklinis

- Kelainan otak secara struktural

- Pengobatan yang tidak sesuai dan efek samping dari OAE

2.11.6 Demensia

Pada bangkitan dengan durasi yang lama atau status epileptikus berulang,

hilangnya sel neuron dikarenakan perkembangan dari gangguan fungsi

kognitif. Pertolongan dan tatalaksana epilepsi secara dini menjadi sangat

penting.

2.12 Tindakan preventif pada epilepsi

Langkah-langkah berikut harus dipertimbangkan dalam pencegahan epilepsi

- Pendidikan dan peningkatan kesadaran masyarakan tentang etiologi,

presentasi, manajemen dan hasil dari epilepsi akan membantu institusi

kesehatan dalam mengimplementasikan strategi pencegahan dan mengurangi

stigma buruk mengenai epilepsi

- Penyediaan layanan ibu hamil yang dapat dijangkau dan efektif terutama saat

persalinan untuk mementingkan keselamatan ibunya dan menghindari adanya

kecacatan seumur hidup pada anak yang baru lahir

- Penegakkan diagnosis yang dini dan pengobatan yang adekuat

- Vaksinasi lengkap sesuai jadwal pada seluruh anak berusia dibawah 5 tahun

34
- Meningkatkan pengobatan dan penanganan pada kondisi lain, seperti

gangguan metabolik, contohnya pada hipoglikemia, elektrolit imbalans dan

hiperbilirubinemia yang dapat menjadi faktor pemberat penyakit epilepsi

- Konseling pada pasien yang memiliki riwayat keluarga dengan epilepsi

Tabel 2.7 Faktor pencetus kejang

35
2.13 Prognosis Epilepsi(2)

Awitan pengobatan dini dengan tingkat kepatuhan yang baik sangat


mempengaruhi prognosis pada epilepsi. Secara umum, penelitian menunjukkan bahwa
bangkitan dapat terkontrol dengan hasil yang memuaskan, sebanyak 70% yang
menjalani pengobatan menunjukkan hasil yang memuaskan, dan sekitar 15% tetap
pada masa refrakter setelah pemberian seluruh intervensi terapeutik. Pasien yang tetap
pada masa refrakter seringkali memiliki faktor komorbiditas. Bangkitan epilepsi
umum pada kasus idiopatik memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan pasien
dengan epilepsi simtomatik. Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi
prognosis:
- Memiliki kombinasi tipe bangkitan pada 1 pasien (seperti halnya pada pasien
dengan epilepsi simtomatik atau epilepsi dengan bangkitan umum kriptogenik)
- Kejang parsial kompleks
- Defisit neurologis somatik
- Gangguan psikiatri
- Kejang neonatal
- Kejang infantil
- Status epileptikus

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E. Pedoman Tatalaksana Epilepsi.


Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2014
2. National Guidelines for the Management of Epilepsy:A practical guide for
healthcare workers.2016
3. Loscher W, Kohling R. Functional, metabolic, and synaptic changes after seizure
as potential targets for antiepileptic therapy. Epilepsy and behavior.
2010;19:105-13
4. Logroscino G, Hesdorffer DC, Cascino GD, Annegers JF, Bagiella E, Hauser
WA. Long-term mortality after a first episode of status
epilepticus. Neurology. 2002;58:537–41
5. Pal S, Sombati S, Limbrick DD, Jr, DeLorenzo RJ. In vitro status epilepticus
causes sustained elevation of intracellular calcium levels in hippocampal
neurons. Brain Res. 1999;851:20–31.
6. Bleck TP. Refractory status epilepticus in 2001. Arch Neurol. 2002;59:188–9.
7. Kapur J, Stringer JL, Lothman EW. Evidence that repetitive seizures in the
hippocampus cause a lasting reduction of GABAergic inhibition. J
Neurophysiol. 1989;61:417–26.
8. Nevander G, Ingvar M, Auer R, Siesjö BK. Status epilepticus in well-
oxygenated rats causes neuronal necrosis. Ann Neurol. 1985;18:281–90.
9. Tunjungsari D, Loho AM, Budikayanti A. Outcome of acute symptomatic
seizure in emergency department in Cipto mangunkusumo hospital June 2013-
January 2014.2014
10. Lothman E. The biochemical basis and pathophysiology of status
epilepticus. Neurology. 2003;40:13–23

37

Anda mungkin juga menyukai