Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

SEPSIS

Disusun Oleh:

Tarukan Gabrilla Clara

Pembimbing :

dr. Sessy Margareth, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH

PERIODE 23 JULI – 29 SEPTEMBER 2018

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA TIMUR

2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmatNya tim kami
mampu menyelesaikan tugas referat ini. Kepada orang tua penulis yang senantiasa
mendoakan dan mendukung majunya pendidikan sehingga pembelajaran dan
penulisan referat ini dapat berjalan lancar.

Referat yang berjudul “Sepsis” ini disusun guna memenuhi tugas


kepaniteraan klinik bagian ilmu bedah di Rumah Sakit Universitas Kristen
Indonesia. Penulis berterima kasih kepada dr. Sessy Margareth, Sp.B, selaku
pembimbing referat yang telah memberikan pengajaran dan pengarahan selama
penulisan referat ini.

Penulis menyadari berbagai kekurangan dalam referat ini maka penulis


mengharapkan kritik dan saran membangun dari para pembaca dengan harapan
membawa perbaikan penulisan referat di masa mendatang. Kiranya referat ini dapat
memberikan manfaat dalam menambah pengetahuan baru bagi pembaca.

Jakarta Timur, 28 Agustus 2018

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis merupakan keadaan mengancam nyawa akibat respon inflamasi


sistemik terhadap infeksi dimana dapat terkomplikasi diakrenakan disfungsi organ
hingga hipotensi dan dipengaruhi oleh resusitasi cairan atau hiperlaktatemia,
Berdasarakan studi yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2010, sepsis
merupakan penyebab kematian utama di ruang perawatan intensif. Sepsis juga
merupakan penyumbang faktor penyebab kematian terbanyak di Amerika Serikat,
dimana per tahunnya terdapat lebih dari 750,000 kasus. Sekitar dua per tiga kasus
yang ada pasien memiliki penyakit yang mendasari terjadinya sepsis. Angka
kejadian mortalitas akibat sepsis akan terus bertambah sekitar 1,5% per tahunnya.
Insiden dan mortalitas dari sepsis akan meningkat risikonya bila dihubungkan
dengan usia pasien dan penyakit penyerta pada pasien tersebut.
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Definisi dan Klasifikasi


Sebelum membahas lebih jauh hendaknya kita mengetahui berbagai kondisi
yang menggambarkan kondisi pasien sepsis1:

Tabel 1. Definisi yang biasa digunakan dalam menggambarkan kondisi pasien


sepsis.
Bakteremia Adanya bakteri dalam darah, sebagai
buktinya dibuktikan kultur darah
positif.
Tanda kemungkinan respon sistemik ≥2 kondisi berikut:
yang berbahaya (1) demam (suhu oral>38°C ) atau
hipotermi (<36°C )
(2) takipnea (>24 kali/menit)
(3) takikardia (HR >90kali/menit)
(4) leukositosis (>12000/uL),
leukopenia (<4000/uL), atau >10%
bands.
Sepsis (atau sepsis berat) Respon host terhadap infeksi; respon
sistemik untuk membuktikan atau
yang dicurigai infeksi dan beberapa
derajat hipofungsi organ:
1. Kardiovaskular:
- Tekanan darah sistolik
arterial ≤90 mmHg atau
MAP ≤70 mmHg yang
memberi respon terhadap
pemberian cairan IV.
2. Renal:
- Urine output <0.5 mL/kg
per jam selama 1 jam
walaupun resusitasi cairan
adekuat.
3. Respiratori:
- Pao2/Fio2 ≤250 atau bila
paru adalah satu- satunya
organ yang disfungsional
≤200
4. Hematologi:
- Hitung platelet
<80,000/μL atau 50%
berkurang dalam hitung
platelet dari nilai tertinggi
yang dilakukan dalam 3
hari sebelumnya.
5. Asidosis metabolik yang tidak
dapat dijelaskan:
- pH ≤7.30 atau defisit basa
≥5.0 mEq/L dan level
laktat plasma >1.5 kali di
atas batas normal dari
laporan lab
Syok sepsis Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah
arteri <90 mmHg sistolik, atau 40
mmHg dari tekanan darah pasien
normal) selama setidaknya 1 jam
walaupun resusitasi cairan adekuat.
ATAU
Membutuhkan vasopresor untuk
mengatur tekanan darah sistolik ≥90
mmHg atau MAP≥70 mmHg; * MAP
≥65mmHg dan laktat >2mmol/L
(18mg/dL).
Syok sepsis refrakter Syok sepsis yang bertahan selama >1
jam dan tidak merespon terhadap
cairan atau pemberian presor.

**Resusitasi cairan dikatakan adekuat bila wedge pressure arteri ≥12 mmHg atau
tekanan vena sentral (central venous pressure) ≥8 mmHg.

Adapun definisi sepsis dan syok sepsis menurut Third International


Consensus Definitions for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3)2:

Gambar 1. Third International Consensus Definitions for Sepsis and


Septic Shock (Sepsis-3): (a) definisi pertama Sepsis-2; (b) definisi baru
Sepsis-3
Skoring SOFA (Sequential Organ Failure Assessment) biasa digunakan
dalam penelitian perawatan kritis namun bukan alat kritis yang biasa digunakan
pada bedside ICU. 2

Tabel 2. Skoring SOFA2

**FiO2 = fraksi oksigen diinspirasi; MAP= mean arterial pressure; PaO2 =


tekanan parsial oksigen.
a. Diadaptasi dari Vincent dkk.
b. Dosis katekolamin diberikan mg/kg/min setidaknya selama 1 jam.
c. Skor glasgow coma scale (3-15); semakin tinggi nilai GCS mengindikasikan
fungsi neurologis yang lebih baik.

qSOFA (Quick Sequential Organ Failure Assessment) dikembangkan


sebagai cara mengidentifikasi pasien dengan kemungkinan sepsis dengan cara yang
begitu sederhana. Skor qSOFA 2 atau lebih menunjukkan pasien dengan risiko
lebih besar akan prognosis yang buruk. 2
Gambar 2. Skor qSOFA

2.2 Epidemiologi
Berdasarakan studi yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2010, sepsis
merupakan penyebab kematian utama di ruang perawatan intensif. Sepsis juga Commented [TGC1]: Cari yang paling beru

merupakan faktor penyebab kematian terbanyak di Amerika Serikat, dimana per


tahunnya terdapat lebih dari 750,000 kasus. Sekitar dua per tiga kasus, pasien sepsis
memiliki penyakit yang mendasari terjadinya sepsis. Angka kejadian dan mortalitas
dari sepsis akan meningkat risikonya bila dihubungkan dengan usia pasien dan
penyakit penyerta pada pasien tersebut. Pasien dengan kondisi kritis di Intensive
Care Unit yang memerlukan mesin untuk menunjang hidup, studi menunjukan
bahwa tingkat fatalitas kasus diantara pasien yang terinfeksi di ICU sebesar 33%
jauh melebihi diantara pasien yang tidak mengalami infeksi yaitu sebesar 15%.
Angka kejadian mortalitas akibat sepsis mengalami peningkatan sekitar 1,5% per
tahunnya.1
2.3 Etiologi
Infeksi respiratori seperti pneumonia merupakan hal tersering (64%) yang
menyebabkan sepsis, kemudian diikuti oleh infeksi intra-abdominal dan infeksi
saluran kemih.8 Pemeriksaan kultur darah menunjukkan hasil mikrobiologi 70%
individu positif terinfeksi dengan; yang diisolasi 62% bakteri Gram negatif (spesies
Pseudomonas aeruginosa dan Eschericia coli yang tersering), 47% diakibatkan
oleh bakteri Gram positif (Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae
yang tersering), dan 19% oleh jamur (spesies Candida). 2 Beberapa faktor risiko
yang sudah dikenal dapat memperburuk kasus sepsis yang diantaranya adalah pada
pasien neonatus dan lansia, pasien yang memiliki penyakit kronik (sindrom
imunodefisiensi, penyakit paru obstruktif kronis, kanker) begitu juga dengan
penggunaan dari obat-obatan golongan imunosupresan, pemasangan kateter secara
terus menerus, dan pasien dengan kondisi kritis di Intensive Care Unit yang
memerlukan mesin untuk menunjang hidup.8

2.4 Patofisiologi
Sepsis sering kali dipicu akibat bakteri atau fungi yang tidak biasa
menyebabkan penyakit sistemik pada pejamu yang imunokompeten. Untuk
bertahan pada inang yang di tinggalinya, mikroorganisme tersebut akan
mengeksploitasi pertahanan yang didapat dari pertahanan pejamu. Patogen seperti
bakteri bisa saja menghindari pertahan pejamu karena bakteri memiliki sedikit
molekul yang bisa dikenali reseptor pada tubuh pejamu, dan mengelaborasi faktor-
faktor yang toksik dan virulen. Pada kedua kasus pertahan bakteri tersebut, tubuh
pejamu akan meningkatkan reaksi inflamasi yang hebat dan pasien berakhir
mengalami sepsis maupun syok sepsis namun tetap gagal untuk mengeliminasi
mikroorganisme tersebut. Respon dari sepsis tersebut juga bisa di induksi oleh
eksotoksin yang dikeluarkan mikroba sebagai superantigen.1

Seperti definisi yang sudah dijelaskan bahwa normalnya sepsis merupakan


respons tubuh pejamu akibat adanya infeksi mikroorganisme dalam darah yang
akan muncul dengan berbagai spektrum yang bervariasi mulai dari invasi mikroba
ke aliran darah yang bersamaan juga dengan mekanisme down regulasi pada tubuh
untuk mengontrol reaksi dan bila gagal akan menimbulkan gejala awal gangguan
sirkulasi (takikardia, takipnea, vasodilatasi perifer, demam atau hipotermi dan
adanya sel darah putih yang jumlahnya lebih dari 12.000 atau kurang dari 4.000)
hingga hipoperfusi jaringan, kegagalan sistem multiorgan, dan bahkan kematian. 1

Kaskade Inflamasi 1,4,5


Organisme penginfeksi tersering penyebab sepsis seperti bakteri dan fungi
akan menyebabkan inflamasi sistemik yang selanjutnya akan menginisiasi
terjadinya kaskade fisiologis tubuh. Inflamasi dimaksudkan sebagai respons lokal
terhadap infeksi. Pada tempat yang terinfeksi, endotel melepaskan molekul untuk
menarik leukosit. Secara bersamaan leukosit polimorfonuklear (PMN) teraktivasi
serta melepaskan molekul yang menyebabkan PMN berkumpul dan membatasi
endotel pembuluh darah. Pelepasan mediator oleh PMN pada tempat yang
terinfeksilah yang bertanggung jawab atas tanda kardinal inflamasi lokal berupa
vasodilatasi dan hiperemi setempat serta peningkatan permeabilitas mikrovaskuler
yang mengakibatkan edema. Proses inflamasi lokal yang primitif namun efektif
(perlekatan, kemotaksis, fagositosis, penghancuran bakteri) sangat teratur dalam
berbagai level, terutama melalui produksi sitokin oleh makrofag. Sekali makrofag
teraktivasi, makrofag akan mensekresikan sitokin, misalnya TNF-α, dan mediator
lain ke dalam lingkungan mikro sel. Pelepasan TNF-α merupakan suatu proses
autokrin (self stimulating), peningkatan level sitokin selanjutnya akibat pelepasan
berbagai mediator inflamasi lainnya, misalnya IL-1, platelet activating factor (PAF)
dan IFN-γ, yang akan memicu kesinambungan aktivasi PMN, makrofag dan
limfosit selanjutnya. Selain itu mediator proinflamasi juga merekrut lebih banyak
lagi PMN dan makrofag (proses parakrin). Efeknya adalah pembersihan bakteri dan
debris yang diikuti oleh perbaikan jaringan.
Inflamasi normal melibatkan regulasi perputaran PMN, perlekatan,
diapedesis, kemotaksis, fagositosis dan penghancuran bakteri penginvasi. Proses ini
sangat terkontrol dengan regulasi melalui mediator proinflamasi dan anti-inflamasi
yang dilepaskan oleh makrofag teraktivasi. Saat jaringan terinfeksi, terjadi
pelepasan mediator proinflamasi dan anti-inflamasi secara bersamaan seperti
gambar 3 dibawah ini. Keseimbangan kedua macam mediator ini membantu
perbaikan jaringan dan kesembuhan.

Gambar 3. Respons Inang Pada Severe Sepsis

Respon inang terhadap sepsis dicirikan dengan respon proinflamatori dan


respon imunosupresif antiinflamatori. Arah, luas, dan durasi reaksi-reaksi ini
ditentukan oleh faktor inang (contohnya: karakteristik genetik, usia, penyakit yang
sudah diderita, dan medikasi) serta faktor-faktor patogen (contohnya virulens dan
beban mikrobial). Respon inflamatori diinisiasi oleh interaksi antara pola-pola yang
terkait patogen yang diekspresikan oleh patogen dan reseptor-reseptor pengenalan
pola yang diekspresikan oleh sel-sel inang pada permukaan sel (toll like-receptors
[TLRs] dan reseptor-reseptor lektin tipe C [CLRs]), pada endosome [TLR], atau
pada sitoplasma (retinoic acid inducible gene 1- like receptors [RLR] dan
nucleotide-binding oligomerization domain-like receptors [NLRs]). Konsekuensi
dari inflamasi yang berlebihan adalah kerusakan jaringan kolateral dan kematian
sel nekrotik, yang dapat menyebabkan pelepasan pola-pola molekular yang
berkaitan dengan kerusakan, hal ini dikenal dengan istilah molekul berbahaya yang
memperlama inflamasi melalui aksi pada reseptor-reseptor pola yang sama yang
terpicu oleh patogen.

Inflamasi normal melibatkan regulasi perputaran PMN, perlekatan,


diapedesis, kemotaksis, fagositosis dan penghancuran bakteri penginvasi. Proses ini
sangat terkontrol dengan regulasi melalui mediator proinflamasi dan anti-inflamasi
yang dilepaskan oleh makrofag teraktivasi. Saat jaringan terinfeksi, terjadi
pelepasan mediator proinflamasi dan anti-inflamasi secara bersamaan.
Keseimbangan kedua macam mediator ini membantu perbaikan jaringan dan
kesembuhan. Dalam keadaan ini, inflamasi yang terjadi pada sepsis terus berlanjut
karena berhubungan dengan inoculum pada bakteri dan lokasi infeksi. Dimana
mediator proinflamasi dan anti-inflamasi tersebut tidaklah lagi seimbang melainkan
mengalami pergeseran menuju keadaan immunosupresif anti-inflamasi atau bisa
bergeser menuju proinflamasi.

Pada keadaan pergeseran menuju sel antinflamasi, sel T CD4 yang memiliki
profil anti-inflamasi mengeluarkan IL-10, dan akhirnya menekan aktivasi
makrofag. Yang dirugikan dalam keadaan ini adalah sel –sel endothelial, sel-sel
epitel di organ-organ seperti paru-paru, ginjal dan usus dan sel-sel parenkim seperti
miosit jantung. Ditambah lagi dengan keadaan sel T yang diinduksi oleh keadaan
sepsis dimana stress akan melepas endogen glukokortikoid yang menyebabkan
terjadinya mekanisme potensial apoptosis dan hilangnya kemampuan sel T untuk
berproliferasi atau mengeluarkan sitokin (anergik) sebagai respon terhadap antigen
spesifik yang akhirnya dapat mengganggu respon tubuh terhadap patogen.
Sedangkan kosekuensi reaksi proinflamasi sistemik meliputi kerusakan endotel,
disfungsi mikrovaskuler, gangguan oksigenasi jaringan dan trauma pada organ.
Selain itu proses pro-inflamasi dan anti-inflamasi juga saling mempengaruhi satu
sama lain, menimbulkan perselisihan imunologis yang bersifat destruktif.
Mortalitas sepsis tinggi saat level mediator proinflamasi dan anti-inflamasi tinggi.

Respon sistemik terhadap infeksi diperantarai oleh sitokin yang memiliki


target pada reseptor end-organ dalam responnya terhadap trauma atau infeksi.
Setelah disadari perlunya suatu respon, tubuh akan menghasilkan molekul
proinflamasi yang larut dalam protein dan lipid yang kemudian akan mengaktifkan
pertahanan sel, selanjutnya dihasilkan molekul anti-inflamasi untuk melemahkan
dan menghentikan respon proinflamasi. Normalnya respon sitokin diatur oleh
mediator proinflamasi dan antiinflamasi. Respon inflamasi awal terus dicek oleh
down-regulasi produksi dan perlawanan terhadap efek sitokin yang sudah
dihasilkan. Mediator-mediator ini memulai suatu proses yang saling tumpang tindih
yang secara langsung mempengaruhi endotel, kardiovaskuler, hemodinamik dan
mekanisme koagulasi. Pelepasan berbagai vasoregulator ini umumnya bersifat
lokal.

Efek langsung mikroorganisme penginvasi atau produk toksiknya


berkontribusi terhadap patogenesis sepsis. Faktor yang berpotensi menyerang
adalah endotoksin, komponen dinding sel bakteri (peptidoglikan, muramyl
dipeptide dan asam lipoteikoat) serta produk bakteri (enterotoksin B stafilokokal,
toksin-1 sindrom syok toksik, eksotoksin A pseudomonas dan protein M
streptokokus hemolitikus grup A). Endotoksin merupakan mediator eksogen yang
penting dalam sepsis akibat infeksi bakteri gram negatif. Endotoksin, yakni
lipopolisakarida (LPS) yang ditemukan pada dinding sel bakteri gram negatif,
cenderung menghasilkan gambaran sepsis jika disuntikkan pada manusia.

Pada sepsis gram negatif, monosit mempunyai peran sentral sebagai


mediator LPS. LPS memacu monosit untuk mengeluarkan TNF-α, IL-1 dan IL-6.
Aktivasi monosit oleh LPS terjadi secara bertahap. Mula-mula LPS terikat dengan
protein plasma membentuk LPS-binding protein (LBP). Kompleks ini akan
berikatan dengan reseptor CD-14 pada monosit atau makrofag, CD-14 sendiri
sebelumnya sudah berikatan dengan toll-like receptor (TLR). Saat ini telah
diketahui bahwa TLR-2 berperan dalam pengenalan bakteri gram positif sedangkan
TLR-4 untuk bakteri gram negatif. TNF-α dan IL-1 memacu endotel atau monosit
untuk melepaskan tissue factor (TF) dan memacu sistem koagulasi membentuk
trombus.

LPS mengaktivasi kaskade koagulasi dan komplemen. Pada kaskade


koagulasi, makrofag mengaktifkan bradikinin melalui faktor XII yang
menyebabkan vasodilatasi dan kebocoran plasma. Makrofag dapat teraktivasi untuk
melepaskan TF yang mengakibatkan deposit fibrin pada sel endotel. Sedangkan
pada kaskade komplemen, anafilatoksin C5a memicu terjadinya vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Sistem komplemen sendiri merupakan
suatu kaskade protein yang membantu pembersihan organisme patogen.

Mediator lipid juga berperan dalam patogenesis sepsis dan syok septik.
Pelepasan asam arakidonat (eikosanoid) menyebabkan kerusakan pembuluh darah,
agregasi PMN dan oksigen radikal toksik. Tromboksan menyebabkan
vasokonstriksi dan agregasi trombosit. Prostasiklin menyebabkan vasodilatasi dan
edema perivaskuler. Leukotrien menyebabkan vasodilatasi dan kebocoran
pembuluh darah. Nitric oxide yang dilepas oleh sel endotel, hepatosit dan makrofag
menyebabkan hipotensi dan syok septik karena vasoplegi.

Dengan demikian memungkinkan neutrofil dan cairan mengalami


ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular yang terinfeksi.yang mengarah ke syok
septik.
2.5 Manifestasi Klinik

Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai
dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic inflammatory
response syndrome (SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan berakhir
pada multiple organ dysfunction syndrome (MODS). 1,4

Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu


demam, takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang pada distribusi volume
darah yang tidak sempurna akibat inflamasi sitemik yang akhirnya menyebabkan
perfusi selular dan beberapa jaringan menerima perfusi secara berlebihan. Dapat
menjadi hipotensi pada kondisi vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik
atau “hangat”, dengan muka kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta
peningkatan curah jantung) yang akan bermanifestasi seperti adanya ekstremitas
yang hangat, tekanan nadi melebar, perfusi kulit yang meningkat, penurunan SVR
akibat dari vasodilatasi, dan capillary refill time ≤ 2 atau vasokonstriksi perifer
(renjatan septik hipodinamik atau “dingin”) yang akan ber manifestasi seperti
peningkatan SVR akibat vasokonstriksi, hipotensi, tekanan nadi yang sempit,
ekstremitas dingin, Capillary refill time > 2, dan denyut nadi perifer lemah. Pada
pasien dengan manifestasi klinis ini dan gambaran pemeriksaan fisik yang
konsisten dengan infeksi, diagnosis mudah ditegakkan dan terapi dapat dimulai
secara dini. Penurunan produksi urine (≤0,5ml/kgBB/jam) merupakan tanda klinis
yang lain yang mungkin terlihat sebelum hasil pemeriksaan laboratorium
didapatkan dan seharusnya digunakan sebagai tambahan pertimbangan klinis. 1,4

Selanjutnya pasien akan muncul dengan gejala seperti disfungsi organ atau
sudah terjadi komplikasi. Sepsis biasa menginduksi terjadinya hipotensi yang akan
terus muncul pada pasien sepsis, yang terjadi bersamaan dengan asidosis metabolic,
hiperlaktatsemia, dan acute kidney injury (AKI). Perubahan status mental biasa
muncul pada pasien lansia. Adanya trombositopenia tanpa ada hasil laboratorium
yang mengarah pada disseminated intravascular coagulopathy (DIC) terlihat pada
setengah populasi pasien yang mengalami sepsis. Dan 30% pasien sepsis akan
mengalami acute respiratory distress syndrome (ARDS). 1,4

2.6 Diagnosis
Tanda-tanda infeksi dan disfungsi organ akan sulit dipastikan, dan dengan
demikian, pedoman konsensus internasional terbaru telah memberikan informasi
tentang tanda-tanda bahaya akan awal kemunculan sepsis (Tabel 3)
Tabel 3. Kriteria Diagnosis Untuk Sepsis, Sepsis Parah, dan Renjat SeptikA

Sepsis (infeksi yang terdokumentasi atau terduga terjadi pada pasien ditambah ≥1
poin-poin dibawah ini)B
Variabel-variabel umum
- Demam (suhu ini >38,3ºC)
- Hipotermia (suhu inti <36ºC)
- Peningkatan laju denyut jantung (>90 denyut per menit atau >2 SD
(simpangan baku) diatas batas atas rentang normal sesuai usia)
- Takipnea
- Perubahan status mental
- Edema substansial atau keseimbangan cairan positif (>20 ml/kg berat badan
selama periode 24 jam)
- Hiperglikemia (glukosa plasma >120 mg/dl [6,7 mmol/liter]) walaupun tidak
mengidap diabetes
Variabel-variabel inflamatori
- Lekositosis (hitungan sel darah putih >12.000/mm3)
- Leukopenia (hitungan sel darah putih <4000/mm3)
- Hitungan sel darah putih normal dengan bentuk yang belum matang >10%
- Peningkatan protein C-reaktif plasma (>2 SD diatas batas atas rentang
normal)
- Peningkatan prokalsitonin plasma (>2 SD diatas batas atas rentang normal)
Variabel-variabel hemodinamik
- Hipotensi arterial (tekanan sistolik <90 mmHg; rerata tekanan arterial <70
mmHg; atau penurunan pada tekanan sistolik >40 mmHg pada para individu
dewasa atau sampai >2 SD dibawah batas bawa rentang normal sesuai usia)
- Peningkatan saturasi oksigen vena campuran (>70%)C
- Peningkatan indeks kardiak (>3,5 liter/menit/m2 area permukaan tubuh)D
Variabel-variabel disfungsi organ
- Hipoksemia arterial (rasio tekanan parsial oksigen arterial terhadap fraksi
oksigen yang dihirup, <300)
- Oliguria akut (curah atau output urin <0,5 ml/kg/jam atau 45 ml/jam selama
minimal 2 hari)
- Peningkatan kadar kreatinin, >0,5 mg/dl (>44 µmol/liter)
- Abnormalitas koagulasi (rasio ternormalisasi internasional >1,5; atau waktu
parsial-tromboplastin teraktivasi >60 detik)
- Ileus paralitik (tidak adanya suara usus)
- Trombositopenia (hitungan platelet <100.000/mm3)
- Hiperbilirubinemia (bilirubin total plasma >4 mg/dl [68 µmol/liter)
Variabel-variabel perfusi jaringan
- Hiperlaktatemia (laktat >1 mmol/liter)
- Penurunan tingkat pengisian kapiler
Sepsis parah (sepsis plus disfungsi organ)
Septic shock (sepsis plus hipotensi [refraktori terhadap cairan intravena] atau
hiperlaktatemia)E
A: Data diadaptasi dari Levy dkk.
B: Pada anak-anak, kriteria diagnostik adalah tanda-tanda dan gejala-gejala
inflamasi plus infeksi yang dibarengi dengan hipertermia atau hipotermia (suhu
rektum masing-masing >38,5ºC atau <35ºC), takikardia (dapat saja tidak muncul
ketika terjadi hipotermia), dan minimal salah satu dari indikasi perubahan fungsi
organ berikut ini: perubahan status mental, hipoksemia, peningkatan kadar laktat
serum, atau denyut yang seperti melompat/ kuat.
C: Tingkat saturasi oksigen vena campur yang lebih dari 70% adalah hal yang normal
pada para bayi yang baru lahir dan anak-anak (rentang pediatrik: 75 sampai 80%).
D: Indeks jantung yang berkisar dari 3,5 sampai 5,5 liter per menit per meter kuadrat
adalah hal yang normal pada anak-anak.
E: Hipotensi kambuhan didefinisikan sebagai hipotensi (baik yang bersifat persisten
atau yang disebabkan oleh vasopresor) setelah pemberian bolus cairan intravena).

Hasil laboratorium yang abnormal di awal terjadinya sepsis adanya


leukositosis atau leukopenia, trombositopenia (terjadi pada 30% pasien sepsis) dan
proteinuria. Neutrophil mungkin mengandung granulasi toksik atau vakuola
sitoplasmik. Dengan berlangsungnya sepsis maka akan semakin parah
trombositopenia yang terjadi dan bila bersamaan dengan didapatkannya
perpanjangan waktu dari thrombin, dan peningkatan dari pemeriksaan D-dimers
sangat tinggi kemungkinannya DIC.7
Enzim hati yang abnormal biasa ditemukan pada keadaan awal sepsis dan
kemungkinan bersamaan dengan peningkatan serum bilirubin dan alkalin fosfatase.
Hipotensi yang teru menerus dapat menyebabkan adanya peningkatan transaminase
karena terjadi nekrosis hepatosit iskemia. Selama terjadinya respons tubuh terhadap
sepsis, jaringan tidak dapat mengekstrak oksigen dari darah seperti biasa, akhirnya
menyebabkan metabolism anaerob. Level laktat dalam darah akan meningkat di
awal dan biasanya akan berakhir menjadi asidosis metabolic. Hiperglikemia sering
muncul, biasa pada orang yang mengalami DM dan dapat memicu terjadinya
ketoasidosis diabetikum. 7
Hiperventilasi yang terjadi di awal sepsis dapat menyebabkan alkalosis
respiratorik, dan biasanya akan cepat berubah menjadi asidosis metabolik (dengan
peningkatan anion gap) akibat takipnea dan hiperlaktatsemia. Fase akut yang terjadi
pada penderita sepsis akan berakhir dengan meningkatnya produksi C-reactive
protein, ferritin, fibrinogen dan komponen komplemen.7
Hasil rontgen toraks bervariasi, dari normal, adanya konsolidasi dari
pneumonia, sampai kelebihan cairan dan infilltrat yang terjadi akibat ARDS,
tergantung dari proses terjadinya penyakit. Hasil EKG biasanya menunjukan hasil
adanya sinus takikardi dan terkadang terdapat adanya gelombang abnormal ST-T
yang nonspesifik.7

2.7 Tatalaksana
Menurut Surviving Sepsis Campaign Bundle 20183:
Yang harus terselesaikan dalam waktu 1 jam:
1. Pengukuran level laktat. Ukur ulang bila laktat inisial >2mmol/L.
2. Mengambil kultur darah sebelum pemberian antibiotik
3. Memberikan antibiotik spectrum luas
4. Pemberian cepat kristaloid 30mL/kg untuk hipotensi atau laktat ≥4 mmol/L.
5. Pemberian vasopressor bila pasien hipotensi selama atau setelah resusitas
cairan untuk mengatur MAP ≥65 mmHg
“Waktu nol” atau “waktu presentasi” didefinisikan sebagai waktu triase di
departemen kegawatdaruratan atau jika ada presentasi dari tempat perawatan
lainnya, dari anotasi daftar tabel yang konsisten dengan semua elemen sepsis
(sebelumnya sepsis berat) atau syok septik dipastikan melalui tinjauan bagan. 3

Pengukuran laktat

Karena serum laktat bukan ukuran langsung dari perfusi jaringan, dapat juga
berfungsi sebagai alternatifnya, maka peningkatannya dapat mewakili adanya
keadaan hipoksia jaringan, glikolisis aerobik yang dipercepat oleh meningkatnya
stimulasi beta adrenergik, atau penyebab lainnya yang berkaitan dengan prognosis
yang buruk. Jika laktat inisial meningkat (>2 mmol/L) harus diukur ulang dalam 2-
4 jam untuk panduan resusitasi guna menormalkan laktat pasien. 3
Pengambilan kultur darah sebelum pemberian antibiotik

Hal ini berguna dalam mengoptimalkan identifikasi pathogen dan


meningkatkan prognosis. Kultur darah yang tepat termasuk 2 set (aerob dan
anaerob). 3

Pemberian antibiotik berspektrum luas

Terapi antibiotik spectrum luas empiris dengan satu atau lebih antimikroba
intravena untuk menutupi semua jenis pathogen yan kemungkinan ada dapat segera
dilakukan untuk pasien yang menunjukkan adanya sepsis atau syok sepsis. Terapi
ini harus dipersempit ketika pathogen sudah teridentifikasi dan sensitivitas telah
ditegakkan, atau tidak melanjutkannya bila ternyata asien tidak memiliki infeksi. 3

Pemberian cairan intravena

Resusitasi cairan awal yang efektif sangat penting dalam stabilisasi sepsis
yang meninduksi hipoperfusi jaringan atau syok sepsis. Terapi ini segera diberikan
ketika mengetahui pasien dengan sepsis dan atau hipotensi dan terdapat
peningkatan laktat, dan terselesaikan dalam waktu 3 jam setelah pernyataan
keadaan tersebut. Pemberian kristaloid dalam anjuran dikarena adanya bukti yang
mengindikasikan bahwa adanya keseimbangan cairan positif yang dipertahankan
selama tinggal di ICU akan membahayakan, pemberian cairan diluar resusitasi awal
dibutuhkan secara penilaian secara cermat akan kemungkinan pasien tetap responsif
terhadap cairan.3

Pemberian vasopressor

Pengembalian darurat dari tekanan perfusi yang adekuat ke organ vital


adalah kunci resusitasi. Bila tekanan darah tidak kembali setelah pemberian
resusitasi cairan inisial kemudian dianjurkan pemberian vasopressor dalam 1 jam
pertama untuk mencapai MAP ≥65 mmHg.3

2.8 Prognosis

Pasien yang dapat bertahan dari sepsis, diluar dari seberapa parah sepsis
tersebut, memiliki tingkat mortalitas yang tinggi setelah keluar dari rumah sakit.
Tingkat mortalitas setahun setelah keluar dari rumah sakit akibat sepsis memiliki
angka mortalitas sebesar 7%-43%. Selain itu pasien post sepsis juga meningkatkan
insiden memiliki post traumatic stress disorder, disfungsi kognitif, disabilitas, dan
disfungsi paru yang menetap. 6
BAB III

KESIMPULAN

1. Terapi terbaru sepsis sebagaimana disampaikan pada Surviving Sepsis


Campaign Bundle 2018 bahwa hendaknya menyelesaikan kumpulan
penilaian dan terapi dalam waktu 1 jam; mulai dari pengukuran laktat, kultur
darah, antibiotik spectrum luas, cairan kristaloid hingga vasopresor guna
mencapai prognosis yang lebih baik.
2. Pada sepsis terjadi interaksi kompleks antara sejumlah mediator
proinflamasi dan anti-inflamasi.
3. Keseimbangan mediator proinflamasi dan anti-inflamasi membantu
perbaikan jaringan dan kesembuhan, namun jika keseimbangan hilang dapat
terjadi perlukaan pada jaringan.
4. Mortalitas sepsis tinggi saat level mediator proinflamasi dan anti-inflamasi
tinggi
DAFTAR PUSTAKA

1. Munford, R. S. Harrison’s Principles of Internal Medicine (Severe Sepsis and


Septic Shock) 19th Ed. Mc-Graw Hill. 2015: Hal. 1751.
2. Napolitano, L. M. Mary Ann Liebert, Inc. Sepsis 2018: Definitions and
Guideline Changes. 2018. Disitasi dari: https://twin.sci-
hub.tw/6901/566e7d47cbccf11ce0ca81fa2daae68e/napolitano2018.pdf#view
=FitH, 22 Agustus 2018.
3. Levy, M. M., Evans, L. E., dan Rhodes, A. Springer. The Surviving Sepsis
Campaign Bundle: 2018 update. 2018. Disitasi dari:
https://link.springer.com/content/pdf/10.1007%2Fs00134-018-5085-0.pdf, 22
Agustus 2018.
4. Clinical Pathways in Emergency Medicine. Volume I.
Editors: David, Suresh S (Ed.)
5. Oematan, Manoppo, Runtunuwu. Peran Inflamasi Dalam Patofisiologi Sepsis
dan Syok Septik Pada Anak. 2014.
6. Winters BD, Eberlein M, Leung J, Needham DM, Pronovost PJ, Sevransky JE.
Long-term mortality and quality of life in sepsis: a systematic review. Critical
Care Med. 2010;38(5):1276–1283.
7. Jantjie Taljaard. Sepsis: At-risk patients, clinical manifestations and
management. CME. 2010:Vol. 28 No. 6
8. Angus, D.C. dan Poll, Tom van der. Severe sepsis and Septic Shock. The New
England Journal of Medicine: Critical Care Medicine. 2013

Anda mungkin juga menyukai