Keputusan merupakan hasil pemecahan dalam suatu masalah yang harus dihadapi
dengan tegas. Dalam Kamus Besar Ilmu Pengetahuan pengambilan keputusan (Decision
Making) didefinisikan sebagai pemilihan keputusan atau kebijakan yang didasarkan atas
kriteria tertentu. Proses ini meliputi dua alternatif atau lebih karena seandainya hanya
terdapat satu alternatif tidak akan ada satu keputusan yang akan diambil.
Menurut J.Reason, Pengambilan keputusan dapat dianggap sebagai suatu hasil atau keluaran
dari proses mental atau kognitif yang membawa pada pemilihan suatu jalur tindakan di antara
beberapa alternative yang tersedia. Setiap proses pengambilan keputusan selalu menghasilkan
satu pilihan final.
Claude S. Goerge, Jr, Mengatakan proses pengambilan keputusan itu dikerjakan oleh
kebanyakan manajer berupa suatu kesadaran, kegiatan pemikiran yang termasuk
pertimbangan, penilaian dan pemilihan diantara sejumlah alternatif.
Kemampuan yang baik dalam pengambilan keputusan harus tercermin pada tiga hal:
cara, hasil keputusannya dan kemampuan menyampaikan hasil keputusan. Proses pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh pemimpin harus dipastikan selaras dengan nilai-nilai dan cita-
cita organisasi atau komunitas. Maka menjadi jelas bahwa proses pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh pemimpin harus transparan dan dapat diukur. Proses pengambilan keputusan
yang tidak transparan dan tidak terukur secara hakiki menjadi proses pembusukan sebuah
organisasi atau sebuah komunitas.
Untuk menghasilkan proses pengambilan keputusan yang baik, yang transparan dan
terukur, pemimpin harus menetapkan mekanisme dan nilai-nilai acuan pengambilan yang dapat
diakses oleh orang-orang yang dipimpin. Akses terhadap mekanisme dan nilai-nilai yang
menjadi acuan dalam pengambilan keputusan ini akan memungkinkan terjadinya kontribusi dan
partisipasi yang lebih intens. Kontribusi dan partisipasi yang lebih intens ini akan semakin
memperkokoh legitimasi pemimpin dan kualitas keputusan-keputusan yang dihasilkannya.
Hasil keputusan bisa biasa oleh dua hal. Pertama, informasi yang tidak akurat. Oleh
karena itu seorang atau sekelompok pemimpin harus memiliki kemampuan menghimpun dan
menyeleksi informasi/data dengan baik. Kedua, motivasi dan kepentingan. Data yang baik,
akurat, lengkap dan up to date bisa menghasilkan keputusan melenceng manakala ada motivasi,
kepentingan dan niatan yang salah dari pemimpin. Siapa yang bisa mengontrol motivasi dan
naiatan seseorang? Tentu tidak ada. Maka, setelah proses pengambilan keputusan, produk
keputusan pemimpin harus juga bisa dikontrol. Alat kontrol produk keputusan pemimpin
adalah: Pertama, seberapa sesuai nilai-nilai yang terkandung dalam keputusan dengan nilai-nilai
organisasi atau komunitas. Kedua, seberapa relevan keputusan itu dengan program, tema dan
arah organisasi. Ketiga, seberapa keputusan itu memiliki daya terap (dapat dilaksanakan) bagi
organisasi atau komunitas.
Pada akhirnya, keputusan yang baik adalah keputusan yang dapat dimengerti oleh orang-
orang yang dipimpin. Maka kemampuan mengkomunikasikan hasil keputusan menjadi sangat
penting. Apakah ini sesuatu yang berat? Tentu saja tidak. Karena, ketika proses pengambilan
keputusan bersifat transparan dan terukur, ketika produk keputusan masih terbuka terhadap
control mereka yang dipimpin, maka sudah dengan sendirinya produk keputusan pemimpin
sudah dipahami oleh mereka yang dipimpin. Tetapi sayangnya banyak pemimpin yang karena
sejak proses pengambilan keputusan tidak transparan dan terukur, serta tidak ada ruang
partisipasi, maka hal mengkomunikasikan keputusan menjadi pekerjaan yang berat. Dan ketika
orang-orang yang dipimpin tidak bisa mengerti produk-produk keputusannya, maka dengan
mudah alamat kesalahan diarahkan kepada mereka yang dipimpin. Ketika terjadi situasi
demikian, maka peluang berkembangnya gaya kepemimpinan yang otoriter semakin besar.
Salah satu contoh kasus yang diambil adalah Pengambilan Keputusan Sekolah Melalui
Manajemen Strategik Pada Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Bandar Baru yang ditulis oleh
Marzuki mahasiswa Magister Administrasi Pendidikan, Pascasarjana Universitas Syiar Kuala.
Dalam contoh kasus ini manajemen strategik merupakan pengelolaan pendidikan yang
berorientasi pada jaminan kepada pelanggan baik internal maupun eksternal dalam pengelolaan
pendidikan pada peningkatan mutu, jelaslah bahwa manajemen strategik haruslah direncanakan
oleh setiap satuan pendidikan. Kemudian mekanisme pengambilan keputusan yang dilakukan
oleh kepala sekolah SMPN 1 Bandar Baru melalui identifikasi awal terhadap unit permasalahan,
merumuskan tujuan penyelesaian masalah, identifikasi berbagai alternatif solusi, menentukan
kriteria pemilihan alternatif solusi, dan menentukan pilihan alternatif solusi serta implementasi
pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini subjek penelitian adalah kepala sekolah, wakil
kepala sekolah, guru-guru, dan pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan kegiatan, dalam
menemukan data peneliti mengunakan teknik observasi, wawancara, dan studi dokumentasi.
Penelitian membuktikan bahwa pengambilan keputusan di SMPN 1 Bandar Baru dilakukan
dengan mengundang dewan guru selanjutnya memaparkan suatu masalah terkait dengan
keputusan yang akan diambil dalam mekanisme pengambilan keputusan mengedepankan pada
musyawarah dewan guru. Implementasi pengambilan keputusan di SMPN 1 Bandar Baru
melalui legalisasi keputusan, rancangan operasional, sosialisasi dan komunikasi, aksi dan
tindakan, pengawasan, review dan evaluasi. Dapat dipahami bahwa mekanisme pengambilan
keputusan diwujudkan dengan mengenal indikator dari suatu permasalahan sehingga alternatif
solusi permasalahan dengan sendirinya harus relevan dengan inti permasalahan yang dihadapi
setelah mekanisme pengambilan keputusan disepakati oleh dewan guru akan dilakukan
sosialisasi secara terbuka dengan masing-masing wakil kepala sekolah selanjutnya disampaikan
kepada seluruh komponen tenaga pendidikan untuk dapat dilaksanakan sesuai rencana.
• Relationalitas Keputusan
1. Model Preskriptif
2 Model Deskriptif
Model ini menerangkan bagaimana kelompok mengambil keputusan tertentu. Model preskriptif
berdasarkan pada proses yang ideal sedangkan model deskriptif berdasarkan pada realitas
observasi.
Selain model rasionalitas, terdapat pendekatan lain untuk perilaku pengambilan keputusan
berfokus pada gaya yang digunakan manajer dalam memilih alternatif. Ada empat gaya
pengambilan keputusan yaitu :
Gaya Direktif
Gaya Analitik
Gaya Konseptual
Gaya Perilaku
Keputusan yang diprogram merupakan keputusan yang bersifat rutin dan dilakukan secara
berulang-ulang, sehingga dapat dikembangkan suatu prosedur tertentu. Keputusan yang
diprogram terjadi jika permasalahan terstruktur dengan baik dan orang-orang tahu bagaimana
mencapainya. Permasalahan ini umumnya agak sederhana dan solusinya relatif mudah. Di
perguruan tinggi keputusan yang diprogram misalnya keputusan tentang pembimbingan KRS,
penyelenggaraan Ujian Akhir Semester, pelaksanaan wisuda, dan lain sebagainya (Gitosudarmo,
1997).
Keputusan yang tidak diprogram adalah keputusan baru, tidak terstrutur dan tidak dapat
diperkirakan sebelumnya. Tidak dapat dikembangkan prosedur tertentu untuk menangani suatu
masalah, apakah karena permasalahannya belum pernah terjadi atau karena permasalahannya
sangat kompleks dan penting. Keputusan yang tidak diprogram dan tidak terstruktur dengan
baik, apakah karena kondisi saat itu tidak jelas,metode untuk mencapai hasil yang diingankan
tidak diketahui,atau adanya ketidaksamaan tentang hasil yang diinginkan(Wijono,1999).
Jenis keputusan dalam sebuah organisasi dapat digolongkan berdasarkan banyaknya waktu yang
diperlukan untuk mengambil keputusan tersebut, bagian mana organisasi harus dapat
melibatkan dalam mengambil keputusan dan pada bagian organisasi mana keputusan tersebut
difokuskan.
Secara garis besar jenis keputusan terbagi menjadi dua bagian yaitu :
1. Keputusan Rutin
Keputusan Rutin adalah Keputusan yang sifatnya rutin dan berulang-ulang serta biasanya
telah dikembangkan untuk mengendalikannya.
Pendelegasian wewenang merupakan sesuatu yang vital dalam organisasi kantor. Atasan
perlu melakukan pendelegasian wewenang agar mereka bisa menjalankan operasi manajemen
dengan baik. Selain itu, pendelegasian wewenang adalah konsekuensi logis dari semakin
besarnya organisasi. Bila seorang atasan tidak mau mendelegasikan wewenang, maka
sesungguhnya organisasi itu tidak butuh siapa-siapa selain dia sendiri.Bila atasan menghadapi
banyak pekerjaan yang tak dapat dilaksanakan oleh satu orang, maka ia perlu melakukan
delegasi. Pendelegasian juga dilakukan agar manajer dapat mengembangkan bawahan sehingga
lebih memperkuat organisasi, terutama di saat terjadi perubahan susunan manajemen.
Yang penting disadari adalah di saat kita mendelegasikan wewenang kita memberikan otoritas
pada orang lain, namun kita sebenarnya tidak kehilangan otoritas orisinilnya. Ini yang sering
dikhawatirkan oleh banyak orang. Mereka takut bila mereka melakukan delegasi, mereka
kehilangan wewenang, padahal tidak, karena tanggung jawab tetap berada pada sang atasan.
Berikut ada tips bagaimana mengusahakan agar para atasan mau mendelegasikan wewenang.
Ciptakan budaya kerja yang membuat orang bebas dari perasaan takut gagal/salah.
Seringkali ada keinginan pada seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan itu sendiri.
Mereka ingin merasakan kepuasan pribadi bila mengerjakannya sendiri. Biasanya mereka
memiliki kemampuan yang memadai namun tidak merasa pasti akan pekerjaannya. Untuk itulah
anda perlu menunjukkan bahwa pekerjaan yang dihasilkan sebuah tim tidak mengurangi mutu
kerja yang diinginkannya. Tunjukkan keyakinan anda bahwa ia tetap melakukan sesuatu yang
baik meski melalui tangan orang lain. Pastikan pula bahwa anda tidak sedang menarik
wewenang itu darinya, justru kini ia menempati suatu posisi baru yang membuatnya bisa melihat
cakrawala pekerjaan lebih luas.
Alasan pendelegasian :
3. “Saya dapat melakukannya lebih baik oleh diri saya sendiri” buah pikiran yang keliru.
11. Kegagalan untuk mendelegasikan kewenangan yang sepadan dengan tanggung jawab.
13. Kegagalan untuk menetapkan kontrol dan tindak lanjut yang efektif.
2. Kurangnya kompetensi
5. Kekacauan [disorganization]
3. Kekritisan keputusan
6. Kekurangan tenaga.
1. Kurangnya insentif, Tidak sepadan dengan waktu, tenaga, resiko, dan fikiran
2. Kurangnya pelatihan, Bawahan tidak mampu karena tidak di latih
3. Menghindari Tanggung jawab, tidak menyenangkan dan menimbulkan stres
4. Ketskutan dan ketidakpastian, takut mengecewakan atasannya
5. Bukan pekerjaannya, merasa bukan bagian dari tugasnya
6. Tidak mempercayai manajer dan organisasinya, bawahan menganggap hanya atasan
yang akan mendapat nama.
Pendelegasian wewenang merupakan sesuatu yang vital dalam organisasi. Atasan perlu
melakukan pendelegasian wewenang agar mereka bisa menjalankan operasi manajemen dengan
baik. Selain itu, pendelegasian pendelegasian wewenang adalah konsekuensi logis dari semakin
besarnya organisasi. Bila seorang atasan tidak mau mendelegasikan wewenang, maka
sesungguhnya organisasi itu tidak butuh siapa-siapa selain diri sendiri.bial atasan menghadapi
banyak pekerjaan yang tidak dapat di laksanakan oleh satu orang, maka ia perlu melakukan
delegasi. Pendelegasian juga di lakukan agar manajer dapat mengembangkan bawahan sehingga
lebih memperkuat organisasi, terutama di saat terjadi perubahan susunan manajemen.
Contoh kasus :
Daalam sautu organisasi besar Direjtur Utama memiliki tugas untuk memberikan
pengarahan kepada staff-staffnya dalam hal kinerja setahun kedepan, namun di hari yang sama
beliau juga ada undangan untuk menghadiri rapat yang akan sangat berpengaruh terhadap
perkembangan organisasinya. Sehingga dalam hal ini Direktur Utama dari organisasi ini
mendelegasikan tugas kepada wakilnya untuk menghadiri seminar tersebut.
Tipe-tipe keputusan :