Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Studi dari literatur anestesiologi bahwa 1 dari 10.000 pasien memiliki jalan

napas sulit yang tidak dapat diprediksi, dan data dari IGD menunjukkan bahwa

1% dari pasienakan memiliki jalan napas yang gagal yaitu pasien yang tidak dapat

diintubasi dalam tiga kali percobaan oleh operator yang terampil. Penting untuk

pengambilan keputusan manajemen jalan napas apakah pasien berpotensi akan

kesulitan jalan napas.

Evaluasi ini harus dilakukan di masing-masing pasien yang membutuhkan

manajemen jalan napas, dan paling baik dilakukan secara tertib, cara yang

sistematis sebelum pasien apnea.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Difficult Airway

Difficult airway (Kesulitan Jalan Napas): Menurut ASA adalah adanya faktor-

faktor klinis yang menyulitkan baik ventilasi dengan masker atau intubasi yang

dilakukan oleh dokter yang berpengalaman dan terampil.

2.2 Difficult Ventilation

Difficult ventilation (Kesulitan Ventilasi): Menurut ASA adalah ketidakmampuan

dari ahli anestesi yang berpengalaman untuk menjaga SO2 > 90 % saat ventilasi

dengan menggunakan masker wajah dan O2 inspirasi 100%, dengan ketentuan

bahwa tingkat saturasi oksigen pra ventilasi masih dalam batas normal.

Penilaian Kesulitan Ventilasi: (OBESE)

 Over weight (body mass index > 26 kg/m2)

 Beard

 Elderly (> 55 tahun)

 Snoring

 Edentulous

Magboul Difficult Mask Ventilation (DMV) Prediction Score

2
Prediksi Score = Mendekati positf 5 (+5) maka kemungkinan adanya Difficult

Mask Ventilation (DMV)

2.3 Difficult Intubation

Difficult intubation (Kesulitan Intubasi): Menurut ASA adalah dibutukkannya > 3

kali usaha intubasi atau usaha intubasi yang terakhir > 10 menit.

Penilaian Kesulitan Intubasi

a. Mallampati

M = Mallampati

• Class I = Visualisasi soft palate, fauces, uvula, pilar anterior dan

posterior.

• Class II = Visualisasi soft palate, fauces and uvula

• Class III = Visualisasi soft palate dan base of the uvula

• Class IV = Semua soft palate tidak terlihat

b. Measurement 3-3-2-1 OR 1-2-3-3 Fingers

3
M = Measurements 3-3-2-1 or 1-2-3-3 Fingers

 3 - Fingers Mouth Opening

 3 - Fingers Hypomental Distance. 3 Fingers between the tip of the

jaw and the beginning of the neck (under the chin)

 2 - Fingers between the thyroid notch and the floor of the mandible

(top of the neck)

 1 - Finger Lower Jaw Anterior subluxation

c. Movement of the neck

M= Movement of the neck

Ektensi leher "normal" adalah 35ᵒ(The atlanto-oksipital/ A-O joint).

Keterbatasan ektensi sendi terdapat pada spondylosis, rheumatoid arthritis,

halo-jaket fiksasi, pasien dengan gejala yang menunjukkan kompresi saraf

dengan ekstensi servikal.

d. Malformation of the Skull (S), Teeth (T), Obstruction (O), Pathology (P)

STOP

Ms =Malformation of the skull, teeth, obstruction, pathology (STOP)

 S = Skull (Hydro and Mikrocephalus)

 T = Teeth (Buck, protruded, & gigi ompong, makro dan mikro

mandibula)

 O = Obstruction (obesitas, leher pendek dan bengkak disekitar

kepala and leher)

4
 P = Pathologi (kraniofacial abnormal & Syndromes: Treacher

Collins, Goldenhar’s, Pierre Robin, Waardenburg syndromes)

Jika skore pasien 8 atau lebih, maka kemungkinan ada kesulitan

intubasi

2.4 Jenis Kesulitan Jalan Napas

 Kesulitan ventilasi dengan sungkup atau supraglottic airway (SGA)

 Kesulitan pemasangan SGA

 Kesulitan dilakukan laringoskopi

 Kesulitan intubasi trakea

 Kegagalan intubasi

2.5 Evaluasi Jalan Napas

 Memperoleh riwayat kesulitan jalan napas

Riwayat penyakit (riwayat kesulitan jalan napas) dapat membantu

dalam cara menghadapi kesulitan jalan nafas.

 Pemeriksaan fisik

Ciri-ciri anatomi tertentu (ciri-ciri fisik dari kepala dan leher) dan

kemungkinan dari kesulitan jalan nafas

5
 Evaluasi tambahan

Tes diagnostik tertentu (Radiografi , CT-scan , fluoroskopi ) dapat

mengidentifikasi berbagai keadaan yang didapat atau bawaan pada pasien

dengan kesulitan jalan napas

2.6 Persiapan Standar pada Managemen Kesulitan Jalan Napas

1. Laryngoscope bila kaku dengan beberapa alternatif desain dan ukuran dari

yang biasa dipakai orang-orang secara rutin.

2. Endotrakea tube berbagai macam ukuran.

3. Pemandu endotrakeal tube. Contohnya stylets semirigid dengan atau tanpa

lubang tengah untuk jet ventilasi, senter panjang, dan mangil tang

dirancang khusus untuk dapat memanipulasi bagian distal endotrakeal

tube.

4. Peralatan Intubasi fiberoptik.

5. Peralatan Intubasi retrograd.

6. Perangkat ventilasi jalan nafas darurat nonsurgical. Contohnya sebuah jet

transtracheal ventilator, sebuah jet ventilasi dengan stylet ventilasi, LMA,

dan combitube.

7. Peralatan yang sesuai untuk akses pembedahan napas darurat (misalnya,

cricothyrotomy).

8. Sebuah detektor CO2 nafas (kapnograf).

6
2.7 Strategi Intubasi pada Kesulitan Jalan Napas

1. Intubasi sadar,

2. Laringoskopi dengan bantuan video,

3. Intubasi stylets atau tube-changer,

4. SGA untuk ventilasi (LMA, laringeal tube)

5. SGA untuk intubasi (ILMA),

6. Laryngoscopic bilah rigid dari berbagai desain dan ukuran,

7. Intubasi dengan bantuan fiberoptik, dan

8. Stylets menyala atau Ligth Wand.

2.8 Algoritma Kesulitan Jalan Napas

Pada tahun 1993, ASA’s Task Force pada jalan nafas sulit pertama kali

menerbitkan algoritma yang menjadi pokok manajemen jalan nafas untuk klinisi.

Algoritma ini diterbitkan lagi pada tahun 2003. Perubahan paling dramatis pada

7
“ASA Difficult Airway Algorithm (ASA-DAA)” yaitu penempatan LMA dari

jalur emergensi menjadi rutin. ASA mengartikan “difficult airway” sebagai situasi

dimana anaestesiologist terlatih konvensional mengalami kesulitan dengan

ventilasi masker atau keduanya. Berdasarkan data yang ada, insidens kegagalan

intubasi yaitu 0,05 hingga 0,35 %, sedangkan insidens kegagalan intubasi/

ketidakmampuan melakukan ventilasi masker yaitu 0,01 hingga 0,03%.

Algoritme ASA bertindak sebagai model pendekatan terhadap kesulitan

jalan nafas bagi perawat anestesi, dokter gawat darurat dan tenaga diluar rumah

sakit, juga ahli anestesi. Walaupu algoritme banyak menjelaskan tentang

algoritme, gambaran yang menonjol yang dibicarakan di sini. Satu pernyataan

pada dokumen ini mensimpulkan kesulitan menulis dan merekomendasikan

manajemen pada kesulitan jalan nafas: “ Kesulitan jalan nafas mewakili interaksi

yang kompleks antara factor pasien, keadaan klinis dan ketrampilan personel.”

Jalan masuk algoritma dimulai dengan evaluasi jalan nafas. Walaupun

terdapat beberapa pertentangan sepert metode dan indeks nilai yang dievaluasi,

klinisi harus menggunakan seluruh data yang ada dan pengalaman klinis sendiri

untuk mencapai penilaian umum sebagai kesulitan jalan nafas pasien dalam hal

laringoskopi dan intubasi, tehnik ventilasi supraglotik, resiko aspirasi atau

toleransi apnu.

Evaluasi ini harus mengarahkan klinisi untuk memasuki algoritme ASA

pada satu dari dua poin dasar : A-“awake intubation”, atau B- usaha intubasi

setelah induksi anestesi umum. Ini menyoroti penamaan yang salah tidak hanya

untuk kesulitan jalan nafas, tapi relevan terhadap seluruh keadaan dimana jalan

nafas ditangani. Kotak B menggambarkan pendekatan yang diambil pada

8
kebanyakan intubasi trakea ( dan dapat diterapkan untuk masker wajah-dan SGA-

pasien). Keputusan untuk memasuki algoritme via kotak A atau B merupakan

suatu premanajemen. Kotak A dipilih bila kesulitan jalan nafas diantisipasi,

sedangkan

kotak B untuk situasi dimana kesulitan jalan nafas tidak diantisipasi. Keputusan

ini dapat disaring pada penekanan perkembangan SGA. Takenaka,

mempertanyakan kebutuhan untuk memasuki kotak ASA DAA saat SGA

dipertimbangkan berguna walaupun kesulitan jalan nafas pada intubasi

laringoskopi trakea sudah diantisipasi. Ini sudah lebih jauh digambarkan ke

dalam jalur keputusan reoperatif oleh Rosenblatt. Gambar 2-27 menguraikan

algoritme pendekatan jalan nafas (AAA). Pilihan cabang seperti pernyataan yang

sebelumnya ditekankan dari panduan praktis ASA, sangat tergantung pada

9
ketrampilan dan pengalaman klinisi. Rincian AAA dapat ditemukan ditempat lain

dan disimpulkan di sini:

1. Apakah dibutuhkan pengendalian jalan nafas? Tidak masalah seberapa

rutin sedasi atau anestesi umum mempunyai potensi mengakibatkan pasien

apnu, sebaiknya selalu dipertimbangkan secara serius dan alternatifnya

harus dipertimbangkan

2. Akankah laringoskopi langsung akan sulit? Jika terdapat indikasi dimana

laringoskopi langsung akan sulit (berdasarkan pemeriksaan fisik dan

riwayat), klinisi dapat melakukan dengan dengan teknik lain (induksi,

laringoskopi langsung, LMA, dll)bila sesuai klinis. Ini adalah esensi dari

kotak B ASA-DAA.

3. Dapatkah ventilasi SGA digunakan? Jika klinisi merasa bahwa terdapat

suatu alasan fisik bahwa ventilasi SGA (dengan facemask, LMA, atau alat

yang lain) akan sulit, suatu titik “tidak dapat diintubasi/tidak dapat

diventilasi)” (CNI/CNV) telah dicapai. Karena ini merupakan algoritme

preoperative, kotak A ASA-DAA dipilih

4. Apakah terdapat resiko aspirasi? Seperti dibicarakan di awal, pasien

dengan resiko aspirasi bukan kandidat untuk pengunaan SGA elektif.

Suatu titik waktu “ tidak dapat diintubasi/seharusnya tidak diventilasi”

telah dicapai dan kotak ASA-DAA dipilih

5. Akankah pasien mentoleransi suatu periode apnu? Pertanyaan 3 dari daftar

ini sulit dijawab dan sangat sangat tergantung pada ketrampilan dan

pengalaman klinisi. Bila intubasi gagal, dan ventilasi tidak adequate,

kemampuan pasien untuk mempertahankan saturasi oksigen akan

10
ditentukan kemampuannya untuk mentoleransi periode apnu. Faktor

seperti usia, obesitas, status pulmo, komsumsi oksigen abnormal ( mis,

demam), dan pilihan obat induksi akan mempengaruhi ini. Faktor ini telah

didiskusikan secara terperinci di tempat lain. Untuk mengilustrasikan

penerapan klinis AAA, jalur algoritme ini akan diikuti skenaro klinis pada

akhir bab ini.

Pengecualian terhadap AAA yaitu pasien yang tidak dapat bekerjasama karena

retardasi mental, intoksikasi, kecemasan, penurunan derajat kesadaran, atau usia.

Pasien ini mungkin masih memasuki kotak A, tetapi intubasi “awake” mungkin

membutuhkan modifikasi teknik yang mempertahankan ventilasi spontan (cth,

induksi inhalasi)

Persiapan pasien untuk intubasi “awake” didiskusikan nanti. Pada

kebanyakan keadaan, intubasi “awake” berhasil jika pendekatan dengan perhatian

dan kesabaran. Jika intubasi “awake” gagal, klinisi memiliki sejumlah pilihan.

Pertama, dapat dipertimbangkan pembatalan pembedahan. Pada situasi ini.

Peralatan atau personil khusus dapat dikumpulkan untuk kembali ke ruang

operasi. Jika pembatalan tidak dipilih, dapat dipertimbangkan teknik anestesi

regional, atau, jika situasi membutuhkan, jalan nafas bedah (mis, trakeostomi)

dapat diilih.

Keputusan untuk melanjutkan dengan anestesi regional karena jalan nafas

telah dinilai atau terbukti sulit untuk ditangani harus dipertimbangkan dalam hal

resiko dan benefit (table 22-15). ASA-DAA benar-benar berguna pada jalan nafas

sulit yang tidak diantisipasi (kotak B, tidak dapat diintubasi dengan laringoskopi

11
langsung setelah induksi anestesi). Jika obat induksi (dengan atau tanpa pelemas

otot) telah diberikan dan jalan nafas tidak dapat dikendalikan, keputusan

manajemen vital vital harus dibuat secara cepat. Secara tipikal, klinisi telah

mencoba laringoskopi langsung dan intubasi setelah anestesi ventilasi “mask”

yang berhasil atau gagal (kecuali induksi cepat sedang dilakukan). Bahkan jika

saturasi oksigen pasien tetap adequate dengan usaha ini, jumlah usaha

laringoskopi sebaiknya dibatasi hingga tiga kali. Seperti didiskusikan di awal,

trauma jaringan lunak dapat terjadi akibat laringoskopi multipel, yang

memperburuk keadaan. Pertama, ventilasi “mask” sebaiknya dilaukan. Jika

“facemask” adekuat, jalur nonemergensi ASA-DAA dimasuki. Klinisi kemudian

dapat berubah teknik ke yang paling nyaman dan/atau cocok untuk melakukan

intubasi jika dibutuhkan. Ini dapat termasuk, tapi tidak dibatasi, oral “blind” atau

intubasi nasal; intubasi yang difasilitasi dengan bronkoskop fiberoptik, LMA,

LMA-Fastrach, bougie, lighted stylet, atau retrograde wire; atau jalan nafas bedah.

(Paling luas diterapkan pada prosedur ini, juga teknik baru, didiskusikan di

skenario klinis pada bagian selanjutnya bab ini). Jika ventilasi masker gagal,

algoritma menyarankan ventilasi supraglotis melalui LMA. Jika berhasil, jalur

nonemergensi ASA-DAA telah dimasuki lagi dan teknik alternative intubasi

trakea dapat digunakan, jika dibutuhkan (mis, mungkin ventilasi LMA adekuat

untuk situasi klinis).

Bila ventilasi LMA gagal mempertahankan pasien, jalur emergensi

dimasuki. ASA-DAA menyarankan penggunaan Esophageal-Tracheal Combitube,

rigid bronkoskopi, oksigenasi transtrakeal, atau jalan nafas bedah.

12
Pada suatu waktu, keputusan untuk membangunkan pasien sebaiknya

dipertimbangkan berdasarkan adekuasi ventilasi, resiko aspirasi, dan resiko

memelakukan percobaan intubasi atau prosedur pembedahan.

Pemposisian LMA kedalam algoritme (pada publikasi ulang tahun 2003)

berdasar pada lebbih dari 12 tahun penggunaan klinis di Amerika (dan lebih dari

20 tahun pengalaman di seluruh dunia). Relatif sedikit kasus kegagalan LMA

dalam menghadapi situasi“CNI/CNV” telah dilaporkan. Tiga kategori berperan

pada kegagalan ini: sudut oral-faring akut, sumbatan pada level hipofaring,

sumbatan di bawah liptan fokal. Sebaliknya banyak kasus penyelamatan dengan

LMA pada jala nafas gagal telah dilaporkan. Walau studi control jarang, Parmer

mencatat bahwa seluruh kasus CNI/CNV (dengan pengecualian sumbatan

subglotis iatrogenic) terjadi pada periode 2 tahun pada satu ruma sakit

diselamatkan dengan LMA.

Anatomi Jalan Nafas

Kata “jalan napas” (atau airway, dalam bahasa Inggris), mengarah kepada

saluran pernapasan atas, yang terdiri dari rongga hidung dan rongga mulut,

faring, laring, trakhea dan brokus. Jalan napas pada manusia merupakan suatu

saluran udara yang sangat penting dan saling berhubungan. Karena jalan

oroesofageal dan nasotraheal bersilangan, terjadilah suatu evolusi atau perubahan

secara anatomis dan fungsional untuk melindungi jalan napas sublaringeal agar

tidak terjadi aspirasi makanan yang melewati faring. Secara anatomis,

13
pertumbuhan dan perkembangan saluran pernapasan atas sangat kompleks selama

masa neonatal dan anak-nak, dan berjalan sesuai dengan ukuran dan bentuk, dan

hal ini disesuaikan lagi dengan ukuran tulang servikal. Hal ini serupa dengan

sistem lainnya dalam tubuh, pertumbuhan dan perkembangan saluran napas atas

dipengaruhi oleh genetik, nutrisi dan hormonal. Tabel berikut ini menunjukan

perbedaan anatomis laryng antara orang dewasa dengan bayi.

14
DAFTAR PUSTAKA

American Society of Anesthesiologists. 2003. Practice guidelines for management of

the difficult airway. Anesthesiology.

Daniella, Dian. 2017. Penangan Jalan Napas Sulit Pada Neonates. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Katolik Atma Jaya.

Sood, J. (2005), Laryngeal Mask Airway and its Variant , Indian Journal of Anesthesia.

Walls, Ron, M., Murphy, Michael, F. 2008. Manual of Emergency Airway

Management, 3rd Edition, Lippincott Williams & Wilkins,

15

Anda mungkin juga menyukai