1.1. Pendahuluan
Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi (United Nations Convention Against
Corruption/UNCAC) yang diikuti Indonesia pada tanggal 9 Desember 2003 di Merida Meksiko bersama 137
negara lainnya menjadi bukti awal komitmen Indonesia untuk memperbaiki diri melalui pemberantasan
korupsi. Dengan ikutsertanya Indonesia meratifikasi konvensi ini pada 21 maret 2006 yang kemudian diikuti
dengan disyahkannya UU no. 7 tahun 2006, menunjukkan kesungguhan Indonesia untuk benar-benar
mengimplementasikan konvensi ini. Adanya dukungan internasional yang kuat melalui konvensi ini
diharapkan oleh pemerintah Indonesia dapat mempercepat pemberantasan korupsi di Indonesia.
Selama ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia telah diatur berdasarkan
peraturan perundang-undangan khusus yang berlaku sejak tahun 1957 dan telah berubah 5 kali, akan tetapi
peraturan perundang-undangan tersebut dianggap tidak memadai karena belum secara khusus membahas
tentang kerjasama internasional dalam hal pengembalian aset1. Disyahkannya UNCAC juga tidak begitu saja
sanggup mengatasi masalah korupsi yang menggerogoti bangsa ini. Dalam pelaksanaannya dibutuhkan
banyak usaha dan kesungguhan tidak hanya dari institusi penegak hukum namun juga dari seluruh elemen
masyarakat, karena pelaksanaan UNCAC tidak hanya tanggung jawab pemerintah namun juga menuntut
peran aktif dari sektor swasta dan masyarakat madani (civil society).
Pemberantasan korupsi sebenarnya telah menjadi perhatian Indonesia terutama setelah berakhirnya era orde
baru yang jatuh karena ketidakpercayaan masyarakat atas pemerintah yang korup. Telah banyak terobosan
yang dilakukan terutama dengan disyahkannya UU no.31 tahun 1999 jo UU no. 20/2001 tentang Tindak
Pidana Korupsi dan UU no. 30 tahun 2002 tentang pembentukan KPK (Korupsi Pemberantasan Korupsi)
sebagai “state auxiliary body” yang khusus menangani korupsi. Dibentuknya KPK sebagai jalan keluar untuk
mempercepat pemberantasan korupsi yang dianggap masih berjalan tersendat selama ini.
Sebagai institusi yang mempunyai peran penting dalam upaya pemberantasan korupsi ini, maka KPK
mempunyai kewajiban untuk memastikan terimplementasinya UNCAC tersebut. Langkah awal untuk
implementasi UNCAC adalah menyelaraskan undang-undang tindak pidana korupsi dan peraturan
perundang-undangan yang lain dengan sejumlah ketentuan yang tercantum dalam UNCAC. Untuk itu KPK
berinisiatif untuk melakukan gap analysis UNCAC dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia. Harapannya, dengan adanya gap analysis ini akan memudahkan proses harmonisasi sejumlah
peraturan perundangan terhadap ketentuan konvensi.
Tentunya implementasi UNCAC tidak harus menunggu hingga seluruh peraturan perundangan terharmonisasi
dengan UNCAC, karena sebenarnya telah banyak peraturan perundang-undangan yang mengarah pada
pemberantasan dan pencegahan korupsi secara masif seperti halnya yang diperintahkan oleh konvensi. Untuk
itu studi ini berusaha mengidentifikasi kegiatan dan peraturan yang telah dikerjakan Indonesia yang sejalan
dengan amanat UNCAC. Meskipun hasil dari berbagai program/kegiatan tersebut belum membuahkan hasil
yang maksimal, yang dibuktikan dengan masih terpuruknya Indonesia akibat Korupsi, namun setidaknya hasil
studi ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi proses harmonisasi perundangan yang sedang
berlangsung.
Program atau kegiatan yang berhubungan dengan ranah pemberantasan korupsi tidak hanya berpusat pada
kegiatan yang dilakukan sehubungan dengan penindakan (penyidikan dan penuntutan) namun termasuk
kegiatan yang berhubungan dengan ranah pencegahan korupsi. Luasnya pemberantasan korupsi yang
diharapkan oleh UNCAC ini mengandung arti pentingnya peran serta semua pihak, terutama pemerintah
1 Penjelasan atas Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations
Conventions Against Corruption
untuk mensukseskan pemberantasan korupsi. Komitmen pemerintah menjadi penting mengingat pemerintah
adalah subyek dan obyek dalam UNCAC ini. Terkait dengan UNCAC, komitmen pemerintah seharusnya
dititikberatkan pada usaha pengembalian aset dan bantuan timbal balik. Karena konvensi ini mengikat banyak
negara untuk secara aktif membuka peluang dalam pengembalian hasil kejahatan korupsi yang tentunya
akan banyak menguntungkan bagi Indonesia.
Studi ini juga menitikberatkan hasil yang sudah dicapai dan rencana Indonesia terhadap 8 pasal yang menjadi
prioritas dan focus percontohan dari UNCAC. Ke-8 pasal tersebut antara lain pasal 5 (kebijakan dan praktek
pencegahan anti korupsi), pasal 15 (penyuapan pejabat publik nasional), pasal 16 (penyuapan pejabat publik
asing dan pejabat dari organisasi Internasional), pasal 17 (Penggelapan, penyelewengan atau pengalihan
kekayaan dengan cara lain oleh seorang pejabat publik), pasal 25 (Perbuatan menghalang-halangi proses
peradilan), pasal 46 (Bantuan timbal balik dalam masalah pidana), pasal 52 ( Pencegahan dan Pelacakan
pengalihan aset perolehan hasil kejahatan), dan pasal 53 (Tindakan-tindakan untuk pengembalian Aset
secara langsung)
Proses pengumpulan data/informasi mengenai kemajuan pelaksanaan UNCAC menjadi salah satu elemen
penting dari konvensi UNCAC, untuk itu studi ini diharapkan dapat melengkapi gambaran mengenai proses
implementasi UNCAC di Indonesia.
1. Memantau kesungguhan Indonesia dalam melaksanakan pasal-pasal UNCAC yang sudah terdapat
pada peraturan perundangan di Indonesia
2. Memantau harmonisasi peraturan perundangan Indonesia terhadap pasal-pasal UNCAC
1.4. Metodologi
Studi ini merupakan studi literatur yang dilengkapi dengan pendapat para ahli dan stakeholder yang relevan.
Hasil studi dilaporkan secara deskriptif dengan menitikberatkan pada kajian terhadap data-data yang
dikumpulkan dari berbagai sumber. Sumber data/informasi yang digunakan dalam studi ini berasal dari
publikasi, pelaporan dan catatan yang diperoleh dari berbagai media termasuk institusi terkait.
Penulisan dalam tiap babnya tidak dilakukan dalam bentuk matriks, hal ini untuk memberikan informasi yang
lebih lebih kaya baik dalam bentuk diagram/gambar atau tabel yang relevan.
Perencanaan studi Pelaksanaan Analisa dan
studi penulisan
laporan
Dalam globalisasi ekonomi saat ini, korupsi telah menjadi masalah internasional yang
membutuhkan kerjasama dan komitmen dari seluruh negara untuk mengatasinya. Kerjasama,
keterbukaan dan komitmen baik dari negara berkembang maupun negara maju dibutuhkan
untuk memutuskan rantai korupsi ini. Karenanya dibutuhkan suatu konvensi yang bisa
diterima dan dipatuhi oleh seluruh negara tanpa terkecuali. Dalam Resolusi 55/61 pada
tanggal 4 desember 2000, sidang umum PBB (Persatuan Bangsa Bangsa) menegaskan bahwa
dibutuhkan sebuah perangkat hukum yang efektif untuk memerangi korupsi. Melalui resolusi
55/61 dibentuk sebuah panitia ad-hoc untuk mengembangkan dan mengkaji draft UNCAC.
Melalui 7 kegiatan yang terselenggara selama kurun waktu 21 januari 2002 hingga 1 Oktober
2003 draft konvensi ini berhasil diselesaikan oleh panitia adhoc untuk diserahkan dalam sidang
umum PBB. Berdasarkan resolusi 58/4 pada tanggal 31 oktober 2003 konvensi ini diadopsi
oleh PBB untuk ditawarkan agar ditandatangani dalam konferensi di Merida Meksiko pada
tanggal 9 – 11 desember 2003, maupun setelahnya hingga 9 desember 2005 di markas besar
PBB di New York. Pada tanggal 9-11 desember tercatat 99 negara menandatangani konvensi
ini di Merida, Mexico. Hingga juni 2007, tercatat 140 negara yang telah menandatangani
konvensi ini dan 93 negara telah meratifikasinya (Untuk data negara yang menandatangani
dan yang meratifikasi dapat dilihat dalam lampiran 1)
Di dalam 8 bab dan 71 pasal yang terdapat dalam UNCAC, mewajibkan negara peserta untuk
menerapkan aksi/program anti korupsi secara luas dan detil yang bahkan dapat menyebabkan
terjadinya beberapa perubahan dalam peraturan perundangan tiap negara yang
mengadopsinya. Program anti korupsi yang ada dalam pasal-pasal UNCAC ditujukan untuk
mendukung dan memastikan terselenggaranya praktek-praktek pencegahan secara masif,
mengatur proses deteksi dan sanksi dari tindak pidana korupsi termasuk mengatur hubungan
dan kerjasama antar negara peserta dalam pemberantasan korupsi.
Untuk memonitor agar konvensi ini benar-benar dijalankan oleh negara peserta konvensi,
maka pasal 63 dari UNCAC mengatur mekanisme pelaksanaannya melalui penyelenggaraan
konferensi negara-negara peserta. Tujuan diadakannya konferensi secara berkala antara lain
untuk (i) Menyepakati berbagai aktifitas, prosedur dan metode kerja demi tercapainya tujuan
konvensi, (ii) Memfasilitasi pertukaran informasi pelaksanaan UNCAC antar negara (iii)
Mengkaji ulang secara periodik pelaksanaan konvensi untuk negara peserta, termasuk
hambatan yang dialami oleh tiap negara (iv) Bekerjasama dengan masyarakat madani melalui
organisasi internasional atau regional termasuk lembaga swadaya masyarakat untuk
memonitoring pelaksanaan konvensi.
Konferensi pertama negara peserta UNCAC telah dilaksanakan di Jordan, pada 10-14
Desember 2006. Terdapat beberapa hal yang diputuskan dalam konvensi tersebut,
diantaranya menentukan tempat dan waku pelaksanaan konferesi kedua yakni di Bali pada
tanggal 28 januari- 1 februari 2008. Ditetapkannya Indonesia sebagai tuan rumah dalam
penyelenggaraan konferensi sekali lagi menunjukkan kesungguhan pemerintah Indonesia
untuk berpartisipasi aktif mensukseskan pelaksanaan konvensi ini.
Konferensi I di Jordan pada tanggal 10 hingga 14 Desember 2006 dihadiri oleh 54 negara
peserta, 33 negara penandatanganan sekaligus observer dan 3 negara observer. Berbagai
organsasi Internasional maupun regional dan lembaga swadaya masyarakat juga turut
berpartispasi dalam konferensi di Jordan ini.
Selain konferensi pokok, diselenggarakan pula 3 forum lain (side event forum) sebagai
pendamping yakni; Forum masyarakat sipil dan sektor swasta; Forum Lembaga anti korupsi,
dan forum untuk parlemen. Side events forum ini disiapkan sebagai platform bagi berbagai
stakeholder untuk mengeekspresikan harapan mereka terhadap implementasi UNCAC di tiap
negara peserta, serta memperjelas peran para masyarakat sipil dalam memonitor dan
berperan serta dalam pelaksanaan UNCAC ini.
Terdapat beberapa resolusi dan keputusan yang disepakati dari pelaksanaan konferensi I di
Jordan ini, yakni mengenai :
1. Review dari Implementasi UNCAC
✔ Konferensi menyetujui dibentuknya sebuah badan/lembaga untuk membantu
terimplementasinya UNCAC secara efektif di negara peserta
✔ Konferensi menyadari bahwa implementasi dari UNCAC merupakan suatu proses yang
berjenjang dan terus berjalan
✔ Meminta UNODC untuk membantu negara peserta yang membutuhkan bantuan dalam
mengumpulkan informasi dan melakukan analisa untuk pembuatan pelaporan yang
harus dilakukan negara tersebut terhadap hasil implementasi UNCAC di negaranya.
Hasil pelaporan tersebut nantinya akan dijadikan sebagai bahan laporan dalam
konferensi ke -dua di Bali
✔ Menegaskan bahwa mekanisme review harus: (a) Transparan, efisien, inklusif dan tidak
memihak; (b) Tidak menghasilkan rangking; (c) Membuka peluang bagi negara peserta
untuk berbagi pengalaman dan kesempatan; (d) Melengkapi mekanisme review yang
telah ada dan bekerja sama dengan institusi internasional/regional yang telah
melakukan review serta , menghindari terjadinya duplikasi dalam kegiatan review
tersebut.
2. Mekanisme pengumpulan data, dimana Konferensi :
✔ Memutuskan bahwa penilaian sendiri (self assessment checklist) digunakan sebagai
alat untuk memfasilitasi tersedianya data/informasi mengenai implementasi UNCAC
yang akan dilaporkan dalam konferensi ke 2 di Bali
✔ Mendorong negara peserta untuk segera menyelesaikan dan mengembalikan hasil
check list yang telah diisi ke sekertariat UNCAC
✔ Meminta kepada sekertariat untuk mengumpulkan dan menganalisa informasi dan data
yang dikumpulkan oleh negara-negara peserta dan mempublikasikan hasil analisa
tersebut dalam konferensi ke 2 di Bali
3. Himbauan untuk mengadopsi UNCAC dan untuk mengharmonisasikan UNCAC ke dalam
peraturan atau perundang-undangan negara peserta, dimana konferensi ini juga;
✔ Menghimbau negara peserta untuk mengadopsi pasal-pasal kriminalisasi dalam UNCAC
ke dalam peraturan perundang-undangan negara peserta. Pasal-pasal yang dimaksud
adalah pasal 15 (penyuapan pejabat,pejabat publik nasional), 16 (Penyuapan pejabat-
pejabat publik asing dan pejabat-pejabat dari organisasi-organisasi Internasional
publik), 17(Penggelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan dengan cara lain
oleh seorang pejabat publik), 23 (Pencucian hasil kejahatan) dan 25 (Perbuatan
menghalang-halangi proses peradilan)
✔ Meminta negara peserta untuk menjelaskan dalam konferensi ke dua di Bali mengenai
kemajuan pelaksanaan UNCAC mengacu pada pasal 63 paragraf 5 dan 6
4. Membentuk Kelompok Kerja antar Negara untuk Pengembalian Aset
✔ Menekankan pentingnya negara peserta konvensi untuk bekerja sama dan bertukar
informasi mengenai hasil-hasil yang telah mereka capai di tingkat nasional terutama
yang berkaitan dengan aliran keuangan hasil korupsi, penelusuran aset hasil korupsi
dan pengembalian sejumlah aset tersebut
✔ Memutuskan untuk membentuk kelompok kerja terbuka antar negara sehubungan
dengan pasal 63 paragraf 4 untuk membantu dan memberikan saran terhadap
implementasi UNCAC terutama saran dalam mekanisme pengembalian aset hasil
korupsi
✔ Memutuskan bahwa kelompok kerja mempunyai fungsi sbb :
(a) Membantu konferensi dalam meningkatkan pengetahuan mengenai pengembalian
aset terutama implementasi dari pasal 52-58 dari UNCAC
(b) Membantu konferensi dalam meningkatkan kerjasama dan inisiatif bilateral dan
multilateral antar (c )negara peserta untuk berkontribusi dalam mengimplementasikan
UNCAC
Memfasilitasi pertukaran informasi antar negara peserta dengan mengidentifikasi dan
menyebarkan good practices (praktek-praktek yang berjalan baik) dari negara-negara
tersebut agar dapat diikuti untuk memperkuat kerangka kerja di tingkat nasional dalam
bantuan timbal balik di bidang kriminalisasi, pencegahan dan pemberantasan korupsi
serta pengembalian aset hasil korupsi
(d) Membangun kepercayaan dan meningkatkan kerjasama antara negara peminta dan
pemberi bantuan dan seluruh intitusi dan stakeholder anti korupsi yang kompeten di
negara peserta untuk berperang melawan korupsi dan berjuang mengembalikan aset
hasil korupsi
(e) Memfasilitasi pertukaran ide antara negara peserta untuk mempercepat
pengembalian aset, termasuk ide mengenai rencana menyediakan bantuan teknis dan
legal untuk menindak lanjuti prosedur hukum internasional dalam pengembalian aset
(f) Membantu konferensi untuk mengidentifikasi kebutuhan peningkatan kapasitas dan
kebutuhan jangka panjang negara peserta dalam mencegah, mendeteksi terjadinya
transfer hasil korupsi ataupun uang/keuntungan yang diperoleh sebagai turunan dari
hasil korupsi tersebut
✔ Memutuskan bahwa kelompok kerja harus mengumpulkan laporan semua kegiatan dari
tugasnya tersebut ke konferensi
5. Bantuan Teknis
✔ Membentuk kelompok kerja untuk memberikan saran dan pertimbangan untuk
kepentingan bantuan teknis
✔ Fungsi dari kelompok kerja bimbingan teknis ini antara lain adalah :
a. Mereview bantuan teknis yang dibutuhkan untuk membantu negara peserta
konferensi berdasarkan laporan yang dibuat oleh negara peserta
b. Menyediakan pedoman prioritas berdasarkan program-program yang disetujui oleh
konferensi
c. Mempertimbangkan informasi yang dikumpulkan melalui self assessment checklist
yang telah disetujui dalam konferensi
d. Melakukan koordinasi agar tidak terjadi duplikasi dalam pemberian bantuan teknis
✔ Sekertariat diminta untuk membantu tercapainya kinerja dan fungsi dari kelompok
kerja ini
6. Menyelenggarakan workshop Kerjasama Internasional untuk Bantuan Teknis bagi
Implementasi UNCAC
✔ Merekomendasikan diselenggarakannya workhop yang dihadiri para ahli/praktisi yang
relevan baik dari lembaga donor maupun negara peserta. Workshop diselenggarakan 6
bulan setelah pelaksanaan konferensi pertama. Tujuan utama dari Workshop ini adalah
memberikan pengertian timbal balik bagi para ahli dan menjadi wadah berdiskusi
terkait best practices dan koordinasi antar negara peserta
✔ Sekertariat diminta untuk berkolaborasi dengan peserta yang tertarik dan bersedia
menyediakan anggaran dan sumber daya untuk memfasilitasi pengorganisasian
workshop ini
7. Memperhatikan terjadinya penyuapan terhadap pejabat-pejabat dari organisasi publik
internasional
✔ Meminta UNODC untuk mengundang organisasi internasional publik untuk berpartisipasi
dalam dialog terbuka mengenai keistimewaan dan imunitas dari organisasi internasional
publik tersebut dalam konferensi UNCAC yang kedua
✔ Memerintahkan UNODC untuk mendorong organisasi internasional untuk mengikuti
prinsip-prinsip dalam UNCAC
8. Best Practices dalam pemberantasan korupsi
✔ Dalam konferensi UNCAC yang kedua, best practices mengenai beberapa program
pemberantasan korupsi dipresentasikan dan didiskusikan
✔ Memutuskan untuk mengundang negara peserta untuk membuat proposal sehubungan
dengan best practices dari pasal-pasal UNCAC yang menjadi prioritas
✔ Mengundang lembaga swadaya masyarakat dengan status sebagai observer untuk
memberikan saran terhadap best practices yang ada
Seperti yang disebutkan dalam resolusi dari konferensi pertama tersebut, dibentuklah tiga
kelompok kerja yang bertanggung jawab memaksimalkan tercapainya tujuan konvensi.
Pembentukan kelompok kerja ini disesuaikan dengan dengan menimbang kondisi, tantangan
dan hambatan dalam implementasi UNCAC. Kelompok kerja tersebut adalah kelompok kerja
implementation review yang bertugas melakukan review terhadap implementasi UNCAC,
kelompok kerja technical assistance yang bertanggung jawab memberikan bantuan teknis
terhadap negara peserta yang membutuhkannya dan kelompok kerja pengembalian asset
yang memfokuskan pada dikembalikannya hasil korupsi ke negara asalnya.
Sebagai tuan rumah konferensi kedua, tentunya Indonesia berkomitmen untuk mensukseskan
penyelenggaraan konferensi ke dua di Bali pada tahun 2008. Sebagai perhelatan negara,
instansi yang menjadi penyelenggara utama dan panitia inti adalah Departemen Luar Negeri
yang dibantu oleh istansi terkait lainnya.
Jika dalam konferensi yang pertama di Jordan, salah satu bentuk persiapan yang dilakukan
Indonesia adalah mempersiapkan gap analysis UNCAC dengan peraturan dan perundangan,
maka saat ini Indonesia menyiapkan Bali arrangement yang akan dipresentasikan dalam
konferensi kedua di Bali nanti.
Bali arrangement adalah ....................................................
Sebagai negara peserta ratifikasi UNCAC sekaligus tuan rumah rumah konferensi ke dua
negara peserta UNCAC, Indonesia secara serius mempersiapkan diri dan secara konsisten
berusaha mengimplementasikan tujuan UNCAC ini. Indonesia termasuk negara yang cukup
yakin dalam implementasi UNCAC, dibandingkan dengan beberapa negara lain yang
mengajukan beberapa eksepsi terhadap implementasi UNCAC.
Dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) 5 tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan
korupsi, muncullah beberapa bentuk kegiatan/program yang diprakarsai oleh institusi-institusi
terkait. Turunnya Instruksi Presiden dalam waktu yang bersamaan dengan ditanda tanganinya
konferensi UNCAC itu berimplikasi pada kegiatan yang dilaksanakan diarahkan sekaligus untuk
mencapai tujuan UNCAC.
Dalam instruksi presiden tersebut, Bappenas sebagai badan yang ditunjuk oleh presiden
diinstruksikan untuk menyusun Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK).
Dalam penyusunannya RAN PK ini juga diarahkan sekaligus untuk mencapai tujuan UNCAC.
RAN PK disusun dalam bentuk matriks yang mencakup dua area kerja pemberantasaan korupsi
yakni matriks bidang pencegahan dan matriks bidang penindakan.
Matriks bidang penindakan terdiri dari percepatan penanganan dan eksekusi tindak pidana
korupsi, dukungan terhadap lembaga penegak hukum, peningkatan kapasitas aparat penegak
hukum, dan pengembangan sistem pengawasan lembaga penegakan hukum.
Jika isi dari matriks RAN PK tersebut dilaksanakan dengan baik dan konsiten, sebenarnya juga
merupakan salah satu perwujudan tujuan dari UNCAC dalam hal pencegahan dan kriminalisasi.
Untuk mensinergikan kegiatan pelaksanaan RAN PK ini dengan implementasi UNCAC, maka
Bappenas sebagai institusi yang terlibat aktif alam penyusunan RAN PK berperan
mengorganisir terbentuknya working group implementasi UNCAC di Indonesia.
Working group implementasi UNCAC di Indonesia saat ini adalah working group pencegahan,
kriminalisasi, asset recovery, dan working group bantuan hukum. Tiap working group terdiri
dari berbagai institusi yang terkait dengan area kegiatan working group tersebut.
Sepertihalnya pelaksanaan RAN PK, kegiatan working group UNCAC ini juga dikomunikasikan
dan dimonitoring secara berkala kepada seluruh instansi yang terlibat
KPK sebagai institusi utama dan focal point dalam pemberantasaan korupsi di Indonesia
terlibat dalam seluruh kegiatan working group tersebut.
Dalam kajian gap analysis tersebut dipaparkan relevansi tiap pasal UNCAC dengan kondisi di
Indonesia dan rekomendasi agar harmonisasi dapat terjadi. Berdasarkan hasil kajian tersebut
diperlukan cukup banyak perubahan dan percepatan perubahan peraturan yang harus segera
dilakukan demi terciptanya harmonisasi dengan UNCAC. Masalah koordinasi antar lembaga
dan jalinan peraturan/perundangan yang kurang harmonis merupakan salah satu masalah
penting yang menjadi “tugas” berat bagi pemerintah Indonesia selanjutnya.
Namun dalam beberapa hal terdapat beberapa pasal UNCAC yang sudah diimplentasikan oleh
Indonesia, untuk area pencegahan contohnya adalah pasal 6 UNCAC yang mewajibkan negara
peserta untuk membentuk suatu lembaga independen yang secara aktif terlibat dalam
pencegahan. Untuk Indonesia melalui UU 30 tahun 2002, KPK dibentuk dengan salah satu
tugasnya untuk aktif dalam pencegahan korupsi. Hal ini merupakan bukti diimplentasikannya
pasal 6 UNCAC secara aktif di Indonesia.
Kajian gap analysis yang dilakukan Indonesia ini merupakan yang pertama kali dilakukan oleh
negara peserta UNCAC. Tentunya komitmen Indonesia ini tidak hanya berhenti begitu saja,
berbagai upaya terciptanya harmonisasi ini perlu terus dilanjutkan kedalam hal yang lebih
nyata.
Mengingat review yang dilakukan bersifat mutual atau timbal balik, maka Indonesia juga
berhak mereview hasil yang dicapai kedua negara tersebut. Untuk kegiatan review ini berbagai
1 Hasil lengkap kajian gap analysis dalam versi bahasa Inggris dapat dilihat dalam web KPK
http://www.kpk.go.id/modules/wmpdownloads/files/UNCAC_Gap.pdf
persiapan telah dilakukan oleh Deplu sebagai focal poin dengan bekerja sama dengan institusi
terkait lainnya seperti Bappenas, Menpan, KPK, PPATK dan seluruh instansi yang terkait
dengan kegiatan pencegahan dan pemberantasaan korupsi
untuk materi mekanismpe pelaksanaannya diatur dalam pasal 63 dari konvensi ini melalui
penyelenggaraan konferensi negara-negara angota konvensi yang diselenggarakan tiap tahun.
Tujuan diadakannya konferensi ini untuk
berbagai mekanisme telah diatur yakni melalui pengumpulan data dan review. Pengumpulan
data hasil implementasi dilakukan melalui kuesioner check list, laporan yang disusun oleh
negara peserta, self asessment, open source maupun kunjungan ke negara yang dimonitor
(country visit). Terdapat dua mekanisme review yang dikembangkan yakni review oleh
lembaga yang dianggap independen maupun melalui peer review. Peer review sendiri dapat
dilakukan secara pleno atau melalui expert. Tiap mekanisme monitoring (baik pengumpulan
data maupun review) memiliki kelemahan dan keunggulan masing-masing (untuk lebih
lengkapnya dapat dilihat dalam lampiran 2)
Setelah informasi tersebut dikumpulkan, badan pelaksana dari UNCAC membutuhkan suatu
mekanisme
Pada awalnya .
2.2.2. Gap analysis dan Usaha Harmonisasi peraturan dan Perundangan Indonesia
terhadap UNCAC
Gambaran singkat mengenai latar belakang lahirnya UNCAC, dan perkembangan UNCAC
baik secara global maupun nasional (jumlah peserta, kelembagaan, dll)
Ikhwal Indonesia terlibat sebagai negara peserta ratifikasi
Konferensi I UNCAC di Jordan, mandat-mandatnya dan gambaran singkat pelaksanaan
UNCAC II di Denpasar
terbentuknya UU 7 tahun 2006 sebagai komitmen Indonesia dalam mengimplementasikan
UNCAC
Bentuk komitmen instansi/otoritas terkait dalam implementasi UNCAC
Pembentukan working group UNCAC sebagai wujud komitmen Indonesia
harmonisasi RAN PK dengan implementasi UNCAC
Komitmen KPK dalam implementasi UNCAC
Bab III
Implementasi UNCAC di Indonesia : Pencegahan
Pencegahan merupakan salah satu komponen penting dari pasal-pasal UNCAC.
Pendekatan pencegahan yang cukup luas baik di sektor swasta maupun sektor publik
membedakan konvensi ini dengan konvensi-konvensi anti korupsi yang telah ada
sebelumnya1. Salah satu yang menjadi esensi dari pencegahan yang terdapat dalam
konvensi ini adalah amanat konvensi bagi negara peserta untuk memiliki lembaga
independen yang memiliki tugas untuk membangun, melaksanakan, mengkoordinasikan
dan memonitoring kebijakan anti korupsi, termasuk praktek-praktek yang efektif dalam
pencegahan korupsi. Keberadaan KPK sesuai amanah UU 30 tahun 2002, yang dilengkapi
dengan perangkat dan sumberdaya yang cukup, memantapkan usaha Indonesia untuk
mendukung usaha pencegahan dan pemberantasan yang komprehensif.
Hal penting lain yang menjadi tugas cukup berat dalam usaha pencegahan korupsi di
Indonesia adalah pencegahan korupsi di sektor swasta. Hal ini dikarenakan selama ini
upaya pencegahan korupsi di Indonesia umumnya hanya menyangkut pencegahan
korupsi terhadap instansi pemerintahan dan penyelenggara negara saja.
Cukup banyak upaya pencegahan yang telah dilakukan di Indonesia yang sebenarnya
dapat dimasukkan dalam implementasi UNCAC.
Salah satu upaya penting Indonesia dalam memperbaiki sistem birokrasi yang termasuk
sebagai sasaran pencegahan UNCAC juga terus diupayakan dengan terselesaikannya
grand strategi reformasi birokrasi di Indonesia yang mulai dipraktekan di beberapa
instansi yang telah siap seperti di lingkungan departemen keuangan
Deskripsi praktek-praktek pencegahan yang telah dilakukan di Indonesia disesuaikan
dengan pasal-pasal yang ada dalam UNCAC.
Berdasarkan isi pasal 5 dari UNCAC yang mewajibkan negara untuk : 1. Membangun dan
melaksanakan kebijakan anti korupsi yang terkoordinasi secara efektif yang
meningkatkan keikutsertaan masyarakat; 2. meningkatkan praktek-praktek yang efektif
dalam pencegahan korupsi; 3. Mengevaluasi hukum dan langkah-langkah administratif
untuk menentukan kecukupan perangkat dalam pencegahan korupsi; 4. Bekerjasama
dengan organisasi internasional atau regional dalam upaya pencegahan korupsi.
Pentingnya memenuhi berbagai kewajiban ini disadari penuh oleh pemerintah Indonesia.
Indonesia menyadari pencegahan korupsi sebagai bagian penting dari upaya
pemberantasan korupsi. Sayangnya dasar hukum yang mencerminkan kebijakan
pencegahan korupsi secara aktif hanya terdapat dalam UU 30 tahun 2002 tentang KPK.
Mayoritas kebijakan pencegahan korupsi yang ada berupa pencegahan pasif seperti
pengawasan pelaksanaan pemerintahan, pengawasan pengelolaan keuangan negara,
serta penerapan kode etik dan standar profesi. Sementara pencegahan yang aktif seperti
mengkontrol dan memonitor penerapan good governance di daerah, melakukan kajian
dan membenahi sistem yang dianggap “prone to corrupt” hanya ada dalam kewenangan
KPK.
1 Sebelum UNCAC, terdapat beberapa konvensi yang telah ada terlebih dahulu, diantaranya Inter-American
Convention Against Corruption tahun 1996, The OECD Convention on Combating Bribery of Foreign Public
Officials in International Business Transaction 1997, The Council of Europe Criminal and Civil Law
Conventions, 1999, and The African Union Convention on Preventing and Combating Corruption, 2003.
2 Isi dari Inpres 5 tahun 2004 dapat dilihat dalam lampiran 3.1
perbaikan sistem pengukuran kinerja dan perbaikan pengadaan barang dan jasa melalui
penggunaan electronic procurement merupakan bentuk-bentuk kebijakan pencegahan
korupsi yang pelaksanaannya terus diupayakan hingga saat ini.
Sebagai salah satu lembaga yang memiliki kewenangan dan tugas pencegahan korupsi
yang paling besar di negeri ini, mengharuskan KPK untuk mengoptimalkan sumberdaya
yang dimiliki untuk menciptakan kebijakan pencegahan korupsi yang efektif.
Kewajiban yang tertera dalam pasal 5 UNCAC tersebut selaras dengan beberapa
kewenangan pencegahan korupsi yang dimiliki KPK, sehingga terdapat beberapa program
dan kegiatan pencegahan KPK yang dapat diidentifikasikan sebagai bagian dari
pelaksanaan pasal 5 UNCAC.
Secara garis besar kebijakan pencegahan KPK ditempuh berdasarkan kewenangan dan
tugas pokok dan fungsi masing-masing direktorat yang ada dalam struktur organisasi
KPK. Dalam pasal 6 UU 30 tahun 2002 wewenang pencegahan dilakukan KPK melalui ;
a. Pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara
b. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi
c. Menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan
d. merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak
pidana korupsi
e. Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum
f. Melakukan kerjasama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi
Berdasarkan pasal 6, UNCAC mewajibkan negara peserta untuk membentuk satu atau
lebih institusi/lembaga independen yang bertugas untuk mencegah korupsi. Selain
memiliki fungsi pencegahan, UNCAC juga mewajibkan lembaga tersebut untuk dilengkapi
dengan sumberdaya yang memadai.
Saat ini di Indonesia terdapat dua lembaga yang mempunyai tugas utama pencegahan,
Komisi Ombudsman Nasional (KON) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebenarnya diluar ke dua lembaga tadi, terdapat beberapa institusi yang mempunyai
fungsi yang dapat dikelompokkan sebagai pencegahan, karena menyangkut pengawasan
dan pembinaan, misalnya MenegPAN, Depdagri, PPATK, dll.
Secara umum untuk area pencegahan korupsi di Indonesia meliputi dua area, pencegahan
aktif dan pencegahan pasif. Program-program yang berkaitan dengan pencegahan aktif
dan pasif tersebut dapat berlaku secara internal maupun eksternal di institusinya masing-
masing. Pencegahan aktif adalah secara langsung menerapkan berbagai kegiatan yang
mampu mengurangi/menghilangkan bentuk kegiatan koruptif di lingkungan kerjanya
ataupun di area/lingkungan yang lebih luas.
Melalui wewenangnya yang luas KPK dapat berperan aktif di area pencegahan korupsi.
Memonitor pelaksanaan good governance di daerah dan memonitor terlaksananya
perbaikan sistem di suatu instansi untuk kemudian dilaporkan perkembangannya ke
Presiden merupakan peran aktif KPK di bidang pencegahan.
Matriks berikut dapat menggambarkan fungsi pencegahan korupsi dan ruang lingkup
pelaksanaan dari sejumlah instansi di Indonesia;
Berdasarkan matriks tersebut terlihat bahwa KPK merupakan lembaga yang berdasarkan
undang-undang mempunyai wewenang pencegahan korupsi yang paling luas di Indonesia.
Memang terdapat Komisi Ombudsman Nasional yang memiliki kewenangan pencegahan
yang nyaris serupa dengan KPK, namun kewenangan ini tidak didukung oleh landasan
hukum yang kuat dan dukungan sumberdaya yang memadai untuk lembaga ini.
Berdasarkan dasar hukum dan dukungan finansial, KPK memiliki keuntungan dan memiliki
tanggung jawab yang lebih besar di bidang pencegahan dibandingkan KON. Perbandingan
antara KPK dan KON dapat dilihat dalam tabel berikut;
Dari perbandingan antara KPK dan KON terlihat bahwa kewenangan KPK cukup lengkap
untuk menuangkan suatu kebijakan pencegahan yang progresif dan berkala termasuk
menindaklanjutinya. Dalam tugas monitoring KPK yang terdapat dalam pasal 14 UU 30
tahun 2002, disebutkan bahwa KPK berwenang untuk melapor ke Presiden RI, Dewan
Perwakilan rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jika saran KPK mengenai
usulan perubahan terhadap instansi atau lembaga pemerintah tidak diindahkan.
Selain KPK, terdapat beberapa institusi yang terkait erat dengan pencegahan korupsi,
terutama instansi yang berhubungan dengan pengawasan dan pembinaan. Tabel berikut
menunjukkan peran beberapa instansi di Indonesia terkait dengan kebijakan pencegahan
korupsi;
Bank Indonesia Peran yang - Menerapkan prinsip KYC (know your customer) di
berdampak pada sektor perbankan
pencegahan korupsi - Penerapan GCG (Good corporate governance) di
di luar lingkungan BI sektor perbankan
- Penerapan manajemen resiko dalam pengelolaan
bank
- Melakukan fit n proper test thd calon dan atau
pemilik/pengurus/pejabat bank
- Pembentukan forum kerjasama antara gubernur BI,
Kapolri dan Jaksa Agung dalam penanganan tindak
pidana di bidang perbankan baik di tingkat pusat atau
daerah
Pencegahan internal (i) Pelaksanaan Peraturan Disiplin Pegawai BI :
Peraturan Dewan Gubernur no. 3/9/PDG tahun 2001
dan Surat Edaran Interen no.3/37Interen tahun 2001,
didalamnya mencantumkan larangan KKN
(ii) Pelaksanaan secara intensif peraturan Tata Tertib
Pegawai (Peraturan dewan gubernur no. 4/7/PDG
tahun 2002 dan Surat Edaran Intern no.
4/13/SE/Interen tahun 2002
(iii) Mencanangkan tahun 2006 sebagai tahun
Kejujuran dengan mengedepankan 3K (Kejujuran,
Kompetensi dan Komitmen)
PPATK (Pusat Peran yang UU no. 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Pelaporan dan berdampak pada Uang memberikan kewenangan kepada PPATK untuk
Analisis Transaksi pencegahan korupsi mengeluarkan peraturan di bidang pencegahan dan
Keuangan) di luar lingkungan pemberantasan tindakan pidana pencucian uang
PPATK - Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang secara ketat yang dilakukan
PPATK diharapkan mampu menurunkan tingkat
Lembaga Peran Pencegahan Praktek Pencegahan yang dilakukan
kejahatan termasuk tindak pidana korupsi dan
memelihara stabilitas sistem keuangan
- Mendorong Penyedia Jasa Keuangan untuk
melakukan GCG
Pencegahan internal Menerapkan prinsip-prinsip GCG (Good corporate
governance) dalam internal PPATK
Depdagri Peran yang Berdasarkan Keppres no.102 tahun 2001, salah satu
berdampak pada fungsi dari departemen dalam negeri adalah
pencegahan korupsi melaksanakan pengawasan fungsional.
di luar lingkungan Berdasarkan fungsi tersebut, kewenangan Depdagri
Depdagri untuk menjabarkan Inpres 5/2004 diwujudkan dalam
(lingkungan penyusunan rancangan peraturan menteri dalam
pemerintah daerah) negeri :
(i) Permendagri Nomor 23 tahun 2007 tentang
pedoman tata cara pengawasan atas penyelenggaraan
pemerintah daerah
(ii) Permendagri No. 24 tahun 2007 tentang pedoman
pemeriksaan dalam rangka berakhirnya masa jabatan
kepala daerah
(iii) Permendagri No. 25 tahun 2007 tentang Pedoman
Penanganan Pengaduan Masyarakat di Lingkungan
Depdagri dan pemerintah daerah
(iv) Permendagri No. 28 tahun 2007 tentang Norma
pengawasan dan kode etik Pejabat Pengawasan
Pemerintah Penyusunan pedoman penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu satu pintu, untuk dilaksanakan di
daerah
Pencegahan internal (i) Membuka kotak pos pengaduan masyarakat di
lingkungan Depdagri
(ii) Pelaporan secara berjenjang dari staf ke pimpinan
Komisi Yudisial Peran yang Berdasarkan UU no.22 tahun 2004, Komisi yudisial
berdampak pada berperan dalam menjaga kehormatan, martabat dan
pencegahan korupsi menjaga perilaku hakim. Mendorong hakim untuk
di lingkungan berperilaku sesuai etika dan adil turut mengurangi
kehakiman perilaku koruptif di lingkungan peradilan.
Pencegahan internal Melakukan pengawasan yang melekat dengan
membentuk :
a. Satuan pengawas intern untuk memastikan
dipatuhinya ketentuan yang berlaku dalam
pengelolaan anggaran komisi yudisial
b. Tim untuk melakukan pengawasan dan penertiban
administrasi, anggaran, peralatan, perkantoran,
disiplin kerja dan kepegawaian
Civil society Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun
2000:
Dengan terbentuknya UU KPK, adanya UNCAC dan Inpres 5/2004 memberikan tekanan
bagi tiap instansi untuk menerapkan kebijakan anti korupsi, untuk dilaporkan dan
dipertanggung jawabkan ke publik melalui berbagai mekanisme, diantaranya melalui
pelaporan ke KPK setiap tahunnya.
Dalam UNCAC, sektor publik diatur dalam pasal 7. Dalam pasal tujuh tersebut, hal pokok
yang menjadi perhatian terkait dengan sektor publik adalah kewajiban negara untuk :
1. Memelihara dan memperkuat sistem rekruitmen, penggajian, pemeliharaan,
promosi dan pensiun pegawai negeri dan, sejauh diperlukan, pejabat-pejabat
publik lain
2. Merumuskan kriteria tentang pencalonan untuk dan pemilihan jabatan
pemerintahan
3. Meningkatkan transparansi dalam mendanai pencalonan untuk jabatan publik yang
dipilih dan dimana mungkin mendanai partai-partai politik
4. Mengadopsi, memelihara dan memperkuat sistem-sistem yang meningkatkan
tranparansi dan mencegah konflik kepentingan.
Implementasi keempat pokok bahasan tersebut, dibahas secara berurutan dalam
pembahasan berikut;
Untuk masalah gaji sendiri, berdasarkan penjelasan UU no. 43 tahun 1999, sistem
penggajian secara umum digolongkan kedalam 3 sistem yakni sistem skala tunggal,
sistem skala ganda dan sistem skala gabungan. Sistem skala tunggal adalah sistem
penggajian yang memberikan gaji yang sama kepada pegawai yang berpangkat sama
dengan tidak atau kurang memperhatikan sifat pekerjaan dan beratnya tanggung jawab.
Sistem skala ganda adalah sistem penggajian yang menentukan besarnya gaji tidak
hanya berdasarkan pangkat namun juga didasarkan pada sifat pekerjaan, beratnya
tanggung jawab dan prestasi kerja yang dicapai. Sistem skala gabungan merupakan
perpaduan antara sistem penggajian skala tunggal dan ganda. Dalam sistem skala
gabungan ini gaji pokok ditentukan sama antara pegawai negeri yang berpangkat sama.
Untuk tunjangan lain yang ditambahkan didasarkan pada jabatan atau besarnya tanggung
jawab, sifat pekerjaan dan prestasi kerja yang dicapai. Perhitungan penggajian sendiri
dalam Undang Undang tersebut tidak dicantumkan bahwa tergantung dengan tingkat
perekonomian negara. Untuk tahun 2008, prosentase peningkatan gaji direncanakan naik
15-20%3
Perbaikan Sistem renumerasi nasional menjadi bagian yang cukup penting dalam
perbaikan sistem kepegawaian secara keseluruhan. Saat ini ada tiga tingkat dalam sistem
renumerasi nasional dimana gaji terendah adalah Rp. 1,3 juta sementara gaji tertinggi
hanya Rp. 2,4 juta. Di banyak negara lain, tingkatan dalam sistem penggajian bisa
mencapai 22 tingkatan. Untuk itu target perbaikan renumerasi nasional kita adalah
membuat tingkatan penggajian menjadi paling tidak 15 tingkatan. Namun perlu disadari
bahwa menaikkan gaji butuh anggaran yang cukup besar. Jika gaji PNS semata-mata
dinaikkan, demi mengejar tingkat kelayakan yang sesuai, maka anggaran negara akan
membengkak 6 kali lipat dari yang biasa. Jumlah yang tidak mungkin untuk dicukupi oleh
anggaran negara yang saat ini terbatas. Gaji besar hanya dapat diberikan jika
pertumbuhan ekonomi tinggi. Pertumbuhan ekonomi dan kinerja ekonomi yang tinggi,
hanya dapat diraih jika birokrat berkinerja baik. Karenanya tetap kinerja birokrasi di
Indonesia harus terus didorong, selain dengan reward yang baik dibutuhkan pula sistem
rekruitmen, promosi dan mutasi yang transparan dan obyektif.
Masalah transparansi dari pegawai negeri sipil juga tidak diturunkan dalam peraturan-
peraturan kepegawaian. Berbagai PP di bidang kepegawaian seperti PP no. 9/2000
tentang kenaikan pangkat PNS dan PP no. 96/2000 tentang mutasi PNS, meskipun
dibentuk setelah berlakunya UU no. 28/1999 yang mengatur tentang pelaporan harta
kekayaan penyelenggara negara juga belum mengaitkan antara sistem kepegawaian
dengan kewajiban PN dalam melaporkan kekayaannya.
Untuk Berbagai pertimbangan “promosi, rotasi, mutasi dan demosi” Pegawai Negeri Sipil
tidak sepenuhnya langsung berkaitan dengan masalah pelanggaran pidana, termasuk
tindak pidana korupsi. Pengaturan hanya meliputi pertimbangan “pemberhentian”
Pegawai Negeri Sipil karena melakukan tindak pidana pada umumnya, dan tidak spesifik
mengenai tindak pidana korupsi.
Pemberhentian sementara Pegawai negeri Sipil yang tersangkut masalah pidana, hanya
sebatas pada mereka yang dikenakan penahanan. Padahal untuk menjamin kualitas
pelayanan kepada masyarakat, hal itu seharusnya diterapkan pada setiap Pegawai Negeri
Sipil yang berstatus tersangka atau terdakwa, baik yang dikenakan penahanan maupun
tidak dikenakan penahanan. Perlakuan yang sama juga seharusnya diterapkan terhadap
penyelenggara negara yang dalam status tersangka atau terdakwa. Dapat saja hal ini
berlaku khusus apabila yang bersangkutan melakukan tindak pidana korupsi.
Kemajuan yang cukup mendasar berkenaan pencegahan tindak pidana korupsi terdapat
3 “Rancangan Induk Reformasi Birokrasi Pemerintahan Tahun 2005-2025” papara Menteri Kementrian Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara dalam Seminar nasional reformasi Birokrasi yang diselenggarakan KPK, 1
November 2007 di Jakarta.
dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, yaitu berkenaan dengan pengangkatan
pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah dan Anggota DPRD. Dalam
hal ini, pemberhentian pejabat publik tersebut dapat langsung dilakukan ketika yang
bersangkutan diantaranya melanggar larangan melakukan tindak pidana korupsi.
Meneledan pada ketentuan ini, mestinya demikian pula ketika hal itu terjadi terhadap
jabatan publik lainnya, seperti menteri, baik yang memimpin departemen maupun yang
tidak memimpin suatu departemen, dan kepala badan pemerintah non departemen,
kepala/ketua lembaga negara dan lain sebagainya ataupun setiap Pegawai Negeri Sipil
pada umumnya. Namun demikian, pemberhentian sementara terhadap Kepala Daerah
dan/atau Wakil Kepala Daerah hanya dapat dilakukan ketika yang bersangkutan telah
berstatus terdakwa. Padahal mestinya hal itu telah dilakukan sejak ketika berstatus
tersangka (penyidikan). Pemberhentian sementara yang demikian itu harus sudah
dilakukan demi menjaga integritas penegak hukum, maupun guna menjaga kualitas
layanan kepada masyarakat yang menjadi tanggungjawab pejabat yang bersangkutan.
Selain perbaikan internal yang dilakukan dalam sistem organisasi dan perbaikan sistem
sumberdaya manusia, hal yang perlu diperhatikan adalah adanya pengaturan akses
masyarakat tentang berbagai informasi publik, standar profesi dalam pelayanan publik,
pengaturan internal profesi di setiap lingkungan pejabat, seperti kode etik profesi.
Saat ini disadari bahwa sistem kepegawaian bagi pegawai negeri di Indonesia membentuk
sistem birokrasi yang memiliki banyak kelemahan dimana kondisi SDM yang dianggap
terlalu gemuk, distribusi pegawai yang tidak merata, etos kerja yang buruk dan
kesejahteraan pegawai negeri yang rendah. Sementara secara kelembagaan, struktur
organisasi yang ada dalam pemerintahan sendiri terlalu besar dan tidak proporsional. Hal
yang lebih buruk lagi dengan struktur organisasi yang gemuk tersebut, banyak yang
belum dilengkapi dengan business process atau ketatalaksanaan yang efisien atau SOP
yang mencukupi. Kelemahan tersebut menyadarkan Indonesia untuk segera melakukan
reformasi Birokrasi. Untuk itu berdasarkan UU 17/2007 tentang Rencana pembangunan
Jangka Panjang Nasional 2005-2025, grand design pelaksanaan reformasi birokrasi mulai
dilaksanakan.
Saat ini grand strategi mengenai reformasi telah disiapkan. Secara konseptual reformasi
birokrasi dilakukan melalui; (i) restrukturisasi organisasi pemerintahan; (ii) simplifikasi
dan otomatisasi bisnis proses, (iii) Rasionalisasi dan realokasi SDM aparatur; dan (iv)
Regulasi dan deregulasi. Untuk tahun 2007, beberapa instansi ditetapkan sebagai pilot
project dari reformasi birokrasi.
Sayangnya semangat untuk melakukan reformasi birokrasi ini lebih disorot dari sisi
perbaikan renumerasinya saja. Peningkatan gaji yang dijadikan prasyarat dalam reformasi
birokrasi ini menimbulkan banyak perdebatan sengit. Diakui untuk mencapai cita-cita
mereform birokrasi di Indonesia ini dibutuhkan biaya yang cukup banyak baik dalam
proses perencanaan maupun dalam proses pelaksanaannya.
Pilot Project Reformasi Birokrasi
Pada dasarnya semua instansi pemerintah secara bertahap akan diarahkan untuk
melakukan reformasi birokrasi. Namun akibat terbatasnya anggaran yang dimiliki negara
perlu dilakukan pilot project terlebih dahulu, selain untuk dievaluasi dampaknya juga
untuk dijadikan pembelajaran (lesson learn) bagi instansi lain yang akan direformasi.
Cukup banyak tahapan yang dilalui dalam pelaksanaan reformasi birokrasi disini jika
diurutkan maka tiap instansi harus; (i) Melakukan Analisis Jabatan dan Evaluasi
Jabatan dimanadidalamnya terdapat banyak kegiatan mulai dari penyusunan peta
jabatan, job description, spesifikasi jabatan, pengukuran beban kerja, klasifikasi jabatan,
persyaratan/kompetensi jabatan, job grading dan assesment pegawai; (ii) Review
ketatalaksanaan (business process ) agar tersusun Standard Operating Procedure (SOP)
yang lebih efisien dan efektif dengan mengoptimalkan teknologi informasi dan
komunikasi; (iii) Penilaian (assesment) status dan kebutuhan SDM (iv) Penetapan Key
Performance Indicator(KPI) setiap jabatan atau unit kerja dan (v) Perumusan besaran
remunerasi sesuai bobot tugas, wewenang dan tanggung jawab (nilai jabatan) dalam
rangka penegakan reward & punishment
Tentunya proses-proses tersebut menuntut kesiapan dan membutuh jangka waktu yang
panjang. Hingga saat ini pengalaman reformasi birokrasi yang berjalan sesuai tahapan
tersebut baru dimiliki oleh Departemen keuangan. Rezising dalam struktur organisasi dan
golden shake hand bagi pegawai yang tidak lulus kompetensi merupakan beberapa
kondisi yang terjadi di internal departemen keuangan. Peningkatan renumerasi yang
kemudian diterima di departemen keuangan diikuti dengan perbaikan SOP dan
peningkatan layanan dan juga peningkatan pengawasan. Karena seperti diakui sendiri
oleh menteri keuangan, berapapun peningkatan gaji yang diterima oleh pegawai di
departemen keuangan tetap belum cukup untuk menghalangi perilaku yang korup karena
begitu banyaknya godaan-godaan ataupun tawaran-tawaran suap yang berpuluh bahkan
beratus kali lebih besar daripada kenaikan gaji yang diterimanya. Namun setidaknya
dengan kenaikan gaji tersebut tidak alasan bagi pegawai di departemen keuangan untuk
melakukan korupsi akibat desakan ekonomi (Corruption by needs).
UNCAC sangat menekankan pentingnya pelaksanaan kode etik yang konsisten bagi
penyelenggara negara, berdasarkan pasal 8 UNCAC , tiap negara wajib untuk :
Dalam konteks Indonesia, telah disepakati bahwa pejabat publik yang dimaksud dalam
UNCAC adalah penyelenggara negara. Definisi Penyelenggara Negara adalah leburan
antara definisi pegawai negeri seperti yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat 2 UU 31/1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan definisi penyelenggara negara
sesuai Pasal 2 UU no.28/1999 mengenai Penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas
dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme4.
Di Indonesia, kode etik bagi pegawai Negeri Sipil telah diatur dalam Pasal 28 Undang-
Undang No. 8 Tahun 1974 jo Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian.
Sedangkan bagi penyelenggara negara yang mungkin saja bukan pegawai negeri, standar
berperilaku yang diamanatkan UNCAC paling mungkin didekati dengan ketentuan Pasal 5
UU no.28/1999 dimana penyelenggara negara berkewajiban untuk; tidak melakukan
perbuatan KKN, bersedia menjadi saksi dalam perkara KKN dan perkara hukum lain,
bersedia melaporkan dan mengumumkan kekayaannya, dan Melaksanakan tugas dengan
penuh tanggung jawab dan adil tanpa membedakan suku agama atau ras.
Prinsip-prinsip standar perilaku yang harus diterapkan oleh negara peserta UNCAC harus
mengakomodir code of conduct yang telah disepakati secara universal seperti The
International Code of Conduct for Public Official yang merupakan resolusi majelis umum
PBB. The International Code of Conduct for Public Official 5 berisikan prinsip-prinsip
berperilaku bagi penyelenggara negara ini telah diakomodir oleh UU 31/1999 dan UU
28/1999.
Bagi penyelenggara negara yang bukan pegawai negeri seperti kepala daerah yang dipilih
melalui pemilihan umum langsung, belum ada peraturan khusus yang mengatur tentang
kode etik yang mengatur standar berperilaku mereka.
Jika pasal 8 dalam UNCAC ini dirunut satu persatu maka diperlukan kode etik yang
4 Menurut pasal 1 ayat 2 UU.31/1999, pegawai negeri adalah meliputi (a) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam
Undang Undang tentang Kepegawaian, (b) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang Undang Hukum
Pidana, (c.) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah, (d) Orang yang menerima gaji atau
upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau (e) orang yang menerima gaji
atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Sementara yang
dimaksud penyelenggara negara dalam pasal 2 UU no.28 tahun 1999 meliputi pejabat negara pada lembaga tertinggi
negara; Pejabat negara pada lembaga tinggi Negara; Menteri; Gubernur;Hakim; Pejabat negara yang lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya
dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5 Salah satu butir dalam The International Conduct for Public Officialyang berhubungan dengan transparansi antara
lain :
III. DISCLOSURE OF ASSETS : 8. Public officials shall, in accord with their position and as permitted or required by
law and administrative policies, comply with requirements to declare or to disclose personal assets and liabilities, as
well as, ifpossible, those of their spouses and/or dependants.
IV. ACCEPTANCE OF GIFTS OR OTHER FAVOURS : 9. Public officials shall not solicit or receive directly or indirectly
any gift or other favour that may influence the exercise of their functions, theperformance of their duties or their judgement.
didalamnya mengatur transparansi dari penyelenggara negara, termasuk mengatur
gratifikasi dan pelaporan LHKPN.
“Setiap Negara Wajib wajib berusaha keras untuk, bila sesuai dan sejalan dengan prinsp-
prinsip hukum nasionalnya, menetapkan tindakan-tindakan dan sistem-sistem yang
mewajibkan pejabat-pejabat publik untuk membuat pernyataan kepada pihak
berwajib mengenai antara lain, kegiatan-kegiatan mereka di luar pekerjaan,
investasi-investasi, aset-aset dan hadiah-hadiah atau keuntungan-keuntungan,
yang dapat menimbulkan konflik kepentingan berkenaan dengan kedudukan
mereka sebagai pejabat publik”
Seperti telah dijelaskan, pasal 8 butir 5 ini telah diakomodasi dalam wewenang yang
harus dijalankan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui pasal 13, UU no 30 tahun 2002
melalui kewenangan untuk (a) melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan
harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) dan (b) menerima laporan gratifikasi.
Pelaksanaan dari pelaporan LHKPN dan gratifikasi yang menjadi tanggung jawab KPK ini
memang belum berjalan secara penuh dan belum dirasakan sebagai suatu kewajiban yang
mengikat penyelenggara negara. Untuk itu hingga 6 tahun sejak disahkannya UU, KPK
tetap terus menginformasikan mekanisme pelaporan dan mengingatkan kewajiban
tersebut kepada seluruh penyelenggara negara melalui berbagai forum sosialisasi.
6 Disarikan dari “Memberdayakan Instrumen Pencegahan Korupsi : Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan
Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia”, 2006, Direktorat Penelitian dan Pengembangan, Komisi
Pemberantasan Korupsi , Publikasi Internal
yang berlaku.
Pada 1998, tepat setelah kejatuhan Presiden Soeharto, para anggota dewan perwakilan
rakyat (DPR) dari fraksi Partai Persatuan Pembangunan dan Fraksi Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) mengusulkan agar pejabat mengumumkan kekayaan pribadi dan
keluarganya sebelum atau sesaat setelah dilantik. Penekanan usulan mereka terletak
pada pemberdayaan fungsi pengawasan dengan mengumumkan secara terbuka kekayaan
seorang pejabat negara kepada masyarakat serta tidak semata-mata mengandalkan
sekertariat negara dan BPKP dalam mengusut jika ditemukan kejanggalan. Usulan itu
kemudian bergulir dan mendorong lahirnya Ketetapan (TAP) MPR No. XI/MPR/1998
tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas KKN.
Guna mengoperasionalkan TAP MPR tersebut, pada 19 Mei 1999, pemerintah dan DPR
membentuk UU no. 28/1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas KKN.
Lewat UU tersebutlah KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara)
dibentuk berikut ditetapkannya berbagai kebijakan penyelenggara negara untuk
melaporkan kekayaannya. Berdasarkan pasal 2 UU no. 28/1999 berikut penjelasannya,
Penyelenggara Negara yang dimaksudkan agar melaporkan kekayaannya di definisikan
secara rinci sebagai berikut;
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
2. Pejabat Negara pada lembaga Tinggi Negara
3. Menteri
4. Gubernur
5. Hakim (yang meliputi hakim di semua tingkatan peradilan)
6. Pejabat negara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (misalnya Kepala Perwakilan RI di Luar Negeri yang berkedudukan
sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil Gubernur, dan
Bupati/Walikota)
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku yang
ditentukan, meliputi :
a. Direksi, komisaris dan pejabat struktural lainnya pada BUMN dan BUMD
b. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan BPPN
c. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri
d. Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer dan
POLRi
e. Jaksa
f. Penyidik,
g. Panitera Pengadilan dan
h. Pemimpin dan bendaharawan proyek
Untuk mengatur tata cara pemeriksaan dan evaluasi pelaksanaan diterbitkanlah berbagai
peraturan pemerintah seperti PP 65/1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan
Penyelenggara Negara dan PP 67/1999 tentang Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang KPKPN yang merupakan pengaturan lebih lanjut dan
menjadi acuan rinci pelaksanaan tugas dan wewenang KPKPN.7
Selama 2 tahun bekerja, KPKPN berhasil meletakkan dasar bagi mekanisme pelaporan
kekayaan PN yang komprehensif. Namun tidak dapat dipungkiri ketika wewenang dan
kinerja KPKPN ini mulai menyentuh kepentingan para penyelenggara negara yang
berpengaruh, ancaman terhadap keberlangsungan lembaga mulai menguat.
Momentumnya adalah ketika pasal 71 ayat (2) UU no. 30/2002 yang diberlakukan pada
27 Desember 2002, KPKPN secara resmi dibubarkan dan dinyatakan melebur dalam
bidang pencegahan KPK.
Pembubaran dan peleburan KPKPN ke dalam KPK di satu sisi berimplikasi positif untuk
memperkuat koordinasi dan meningkatkan efisiensi namun diakui juga terdapat beberapa
hal yang relatif melemahkan mekanisme pelaporan kekayaan, dimana terdapat
pengurangan kewenangan secara signifikan. Dengan dicabutnya pasal 10-19 UU
no.28/1999 oleh pasal 71 ayat (2) UU no.30/2002 maka berbagai PP yang dulunya
menjadi acuan kerja bagi KPKPN menjadi tidak berlaku lagi.
Berbagai tujuan ini akan dapat terlaksana jika didukung oleh mekanisme yang baik dan
perangkat hukum yang memadai. Peran UNCAC cukup signifikan dalam usaha Indonesia
dalam hal ini KPK untuk memperbaiki tingkat efektifitas pelaporan harta kekayaan
penyelenggara negara sebagai instrumen yang berguna bagi pencegahan korupsi. Karena
selain mendesak terbentuknya mekanisme pelaporan kekayaan penyelenggara negara
UNCAC juga merekomendasikan negara peratifikasi untuk menerapkan dan mengatur
sanksi yang efektif bagi penyelenggara negara yang tidak patuh.
Pasal 8 butir (6) UNCAC menyebutkan bahwa “setiap negara peserta harus
mempertimbangkan untuk mengambil, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dari hukum
nasional, tindakan-tindakan indisipliner atau tindakan-tindakan lain terhadap pejabat-
pejabat publik yang melanggar aturan-aturan atau standar-standar yang ditetapkan
dengan pasal ini
Dari pasal ini terlihat bahwa dalam aturan penyelenggara negara untuk transparan
diperlukan pula mekanisme sanksi yang memadai untuk “menekan” efektifitas aturan
tersebut. Dalam pelaksanaan pelaporan LHKPN sendiri, salah satu akar masalah mengapa
sebagian besar tujuan penerapan mekanisme pelaporan kekayaan penyelenggara negara
ini tidak tercapai adalah lemahnya sanksi hukum bagi penyelenggara negara yang tidak
melaporkan, atau melaporkan kekayaan dengan tidak benar.
Sanksi bagi penyelenggara negara yang tidak melaporkan LHKPN hanya berupa sanksi
administratif dan tidak mengikat keseluruhan penyelenggara negara. Berdasarkan pasal
20 ayat (1) UU no.28/1999 menyatakan bahwa setiap PN yang melanggar ketentuan
pasal 5 angka 1,2,3,5 atau 6 dikenakan sanksi administratif yang berlaku. Lantaran
sanksi administratif yang paling tinggi adalah pemecatan, maka sanksi tersebut hanya
dapat dikenakan terhadap penyelenggara negara yang berstatus sebagai pegawai negeri
baik sipil maupun anggota TNI atau POLRI. Sebab hanya penyelenggara negara dengan
kategori tersebutlah yang masuk dalam wilayah pengaturan administrasi negara, baik
sistem kepegawaiannya maupun pendisiplinannya. Sanksi administratif sulit diterapkan
pada penyelenggara negara yang berasal dari pejabat negara, khususnya mereka yang
dipilih maupun diangkat melalui mekanisme politik.
Saat ini sanksi yang ada belum dikaitkan dengan pelanggaran sumpah jabatan maupun
penilaian kinerja. Hampir semua peraturan perundangan yang mengatur jabatan publik
mencantumkan sumpah/janji, yang kurang lebih berbunyi sama yakni;
“ Demi Allah, saya bersumpah/berjanji:
“.....Bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan
penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab...”
Dengan adanya sumpah/janji penyelenggara negara untuk mengamalkan dan mentaati
peraturan perundangan yang berlaku, maka ketidaktaatan penyelenggara negara
terhadap kewajiban wajib lapor bisa diartikan sebagai pelanggaran sumpah. Namun tidak
semua peraturan perundangan yang mengatur jabatan tertentu memasukkan
pelanggaran sumpah sebagai dasar bagi pemberhentian secara tidak hormat. Selain itu
masalah pemberhentian dengan tidak hormat dengan alasan melanggar sumpah juga
tidak diatur secara rinci sehingga sulit untuk dijalankan.
Sanksi juga tidak dikaitkan dengan penilaian kinerja. Hingga saat ini manfaat langsung
bagi penyelenggara negara yang melaporkan belum dirasakan. Berbagai PP di bidang
kepegawaian, seperti PP no.9/2000 tentang kenaikan pangkat PNS dan PP no.96/2000
tentang mutasi PNS, meski dibentuk setelah berlakunya UU no.28/1999 juga belum
mengaitkan antara sistem kepegawaian dengan kewajiban PN melaporkan kekayaannya.
Selama ditangani oleh KPK, mekanisme penyelenggaraan laporan harta kekayaan oleh
penyelenggara negara ini cenderung membaik. Sosialisasi pentingnya LHKPN terus
dilakukan, pengelolaan LHKPN yang tertunda (backlog) terus diantisipasi, dan tindak
lanjut telaah pelaporan LHKPN untuk dijadikan bukti awal dan bukti pendukung dari
proses dari penyidikan dan penuntutan perkara korupsi terus diupayakan.
Cukup banyak hasil dari telaah LHKPN ini yang dijadikan bahan bagi KPK sebagai sumber
informasi utama dalam penyelidikan maupun penyidikan kasus korupsi yang ditangani.
Pelaporan LHKPN yang dikelola oleh KPK juga mampu mendeteksi kemungkinan
terjadinya penyalahgunaan asset negara seperti berpindahnya aset negara ke oknum
penyelenggara negara yang selama ini belum terdeteksi.
Perbaikan mekanisme pelaporan dan penelaahan LHKPN ini terus diusahakan oleh
KPK,karena cukup banyak manfaat yang diperoleh oleh Indonesia dari LHKPN. Selain
transparansi penyelenggara negara, database yang kaya dan
3.4.1.2. Gratifikasi
BAB IV
KRIMINALISASI
Gap Analysis berpendapat bahwa ketentuan ini sudah dipuaskan pasal-pasal 5 dan 6 UU No. 31/99.
Pasal 16: Penyuapan pejabat publik luar negeri dan pejabat publik organisasi internasional
[AYAT (1) MANDATORY; AYAT (2) NON-MANDATORY
Konsep kriminalisasi penyuapan pejabat publik luar negeri belum tercantum dalam hukum Indonesia.
Dalam pasal ini, tindakan-tindakan yang perlu dikriminalisasikan adalah pengundangan (solicitation)
suap oleh pejabat publik luar negeri/organisasi internasional (AYAT 2 – NON MANDATORY), serta
penawaran suap kepada pejabat publik luar negeri/organisasi internasional oleh pihak manapun
(AYAT 1 - MANDATORY). Konsep ini serta pelaksanaannya sudah mulai umum di negara maju,
terutama di Amerika setelah dikeluarkannya UU Praktek Korupsi Luar Negeri (FCPA).
Gap Analysis memberi rekomendasi bahwa ketentuan ini perlu dibuat eksplisit dalam UU Anti-korupsi,
karena ketentuan ini akan merubah subyek dari UU tersebut, sehingga merangkup pengundangan
(solicitation) suap oleh seorang warga asing pejabat publik/organisasi internasional di Indonesia,
serta warga negara Indonesia yang melakukan penyuapan warga asing pejabat publik/organisasi
internasional di negara asing. Secara umum, Gap Analysis mengingatkan bahwa KUHP berdasarkan
prinsip teritorial dalam pasal 2-nya, memungkinkan pemrosesan secara pidana seorang pejabat publik
asing/pejabat publik organisasi internasional yang melakukan tindak pidana di Indonesia.
Pasal 17: Pencurian (Embezzlement), Misapropriasi dan Pengalihan Properti lainnya oleh
pejabat publik [MANDATORY]
Gap Analysis berpendapat bahwa ketentuan ini sudah dipuaskan pasal-pasal 8, 9 dan 10 UU No. 31/99.
Pasal 18: Kemudahan yang didapat secara Korup (Undue Advantage) [NON-MANDATORY]
Gap Analysis membandingkan ketentuan ini dengan pasal 3 UU No. 31/99. Perbedaan utama antara
ketentuan ini dengan pasal tersebut adalah bahwa ketentuan ini menghimbau dipidanakannya
penerimaan serta penawaran “undue advantage” yaitu suatu 'kemudahan' dari pihak publik yang
berwenang: pasal 3 UU 13/99 memerlukan adanya kerugian negara sebelum seseorang dapat
dipidanakan, sementara dalam ketentuan UNCAC ini tidak perlu ada kerugian negara, hanya adanya
penawaran/penerimaan suatu 'kemudahan' dari seorang pihak publik yang berwenang.
Gap Analysis berpendapat bahwa definisi “undue advantage” perlu dimasukkan dalam amandemen UU
anti-korupsi.
Gap Analysis berpendapat bahwa ketentuan ini sudah dipuaskan pasal 2 UU No. 31/99.
Pasal 20: Kekayaan Tidak Sah (Illicit Enrichment) [NON-MANDATORY]
Konsep ancaman hukuman pidana kepada pejabat publik yang tidak dapat memberi keterangan atas
kekayaan yang dimilikinya belum eksplisit dalam UU Indonesia, walaupun prinsipnya sudah tercakup
dalam pasal 2 UU No. 31/99. Gap Analysis berpendapat bahwa harmonisasi dengan ketentuan ini
sangat diperlukan demi memberi 'gigi' peraturan LHKPN yang kini ada, dan menambah bahwa
ketentuan 'asas pembuktian terbalik' dalam konteks 'illicit enrichment' sudah dimasukkan dalam
amandemen UU Anti-korupsi.
UU Anti-korupsi Indonesia versi sekarang belum mencakup pemidanaan oleh KPK suatu TPK yang
murni dilakukan pihak swasta. Ketentuan pasal 21 (non mandatory) adalah kriminalisasi pemberian dan
permintaan “undue advantage” dari atau kepada suatu entitas swasta, dan entitas tersebut adalah subyek
dari ketentuan kriminalisasi ini.
Gap Analysis berekomendasi bahwa entitas sektor swasta yang banyak berkecimpung dalam aktivitas
yang menyangkut ekonomi negara, bidang keuangan, dan komersil, paling beresiko korupsi; saat ini,
pasal 2 atau 3 UU No. 31/99 j/o UU No. 20/01 hanya menyentuh pihak swasta yang berhubungan
dengan suatu tindak korupsi oleh pejabat negara/penegak hukum, jadi konsep utama pasal ini, yaitu
mengkriminalisasikan TPK yang murni terjadi di sektor swasta, belum diundang-undangkan.
Konsep pasal ini adalah dikriminalisasikannya, di bawah UU anti korupsi, embezzlement yang murni
terjadi di sektor swasta. Gap Analysis menyarankan supaya ini dimasukkan amandemen UU No. 31/99
j/o UU No. 20/01.
Konsep pasal ini adalah dimasukkannya pasal-pasal anti-pencucian uang (yang sudah ada dalam UU
tentang Pencucian Uang yaitu UU No.15/02 dan UU No. 25/03) ke dalam amandemen UU Anti-
korupsi – Gap Analysis menyarankan hal ini. Ketentuan pasal ini memberi fokus terhadap kriminalisasi
aksi sebagai berikut: (1)(a)(i) mengkonversi atau mentransfer properti yang diketahui pada saat
konversi dst. adalah hasil kejahatan demi 'mencuci' properti tersebut; (1)(a)(ii) usaha
menyembunyikan/menyelundupi bentuk, lokasi, asal, disposisi, mobilisasi, atau kepemilikan properti
yang diketahui pada saat penyembunyian dst. adalah hasil kejahatan; (1)(b)(ii) akuisisi, kepemilikan,
atau penggunaan properti yang diketahui pada saat akuisisi dst. adalah hasil kejahatan; (1)(b)(iii)
partisipasi dalam, asosiasi dengan, atau bentuk kerjasama lainnya untuk melakukan tindakan-tindakan
yang dijabarkan dalam pasal ini. Ayat (2) dalam pasal ini mengatur agar ketentuan-ketentuan dalam
pasal ini didukung alat hukum sejauh mungkin di Negara Anggota.
Konsep pasal ini adalah kriminalisasi aksi penyembunyian/penyelundupan properti hasil kejahatan, di
mana pelaku tidak terlibat dalam kejahatan pencurian itu sendiri. Gap Analysis memberi rekomendasi
bahwa ketentuan ini sudah tercakup dalam UU Anti Pencucian Uang (UU No.15/02 dan UU No.
25/03), dan perlu dimasukkan ke dalam amandemen UU Anti-korupsi.
Konsep pasal ini adalah diciptakannya liabilitas pidana entitas legal, seperti perusahaan, atas tindakan-
tindakan pidana sebagaimana diatur dalam Konvensi ini. Gap Analysis mengamat bahwa liabilitas
'corporation' sebagai terdakwa dalam kasus korupsi sudah tercantum dalam UU No.31/99 j/o UU
No.20/01 (pasal 1(1) dan pasal 2; pasal 20); Gap Analysis memberi rekomendasi bahwa dalam UU
tersebut perlu ada klarifikasi beban tanggungjawab perusahaan versus beban tanggungjawab manager
secara individu. Perlu diperjelas juga seluas apa ruang lingkup 'Entitas Legal' yang dimaksud dalam
pasal ini; apakah sebatas bentuk 'corporation' saja.
Pasal 27: Partisipasi Dalam TPK dan Tindakan-Tindakan pra-TPK (Participation and Attempt)
[AYAT (1) MANDATORY; AYAT-AYAT (2) DAN (3) NON-MANDATORY]
Ayat (1) pasal ini menjabarkan kriminalisasi mandatory untuk partisipasi dalam TPK, sementara ayat-
ayat (2) dan (3) menjabarkan kriminalisasi non-mandatory untuk tindak-tindak pra-TPK seperti usaha
TPK yang gagal/digagalkan sebelum berhasil dan usaha persiapan untuk TPK. Gap Analysis mengamat
bahwa setidaknya ayat (1) pasal ini sudah tercakup dalam pasal-pasal 12(i) dan 15 UU 31/99 j/o UU
20/01.Gap Analysis memberi rekomendasi supaya peraturan kriminalisasi partisipasi yang sudah ada di
UU tersebut dipertahankan. Gap Analysis tidak menganalisa apakah ayat (2) dan (3) perlu diberlakukan
di Indonesia.
Ayat (2) pasal ini adalah ketentuan non-mandatory untuk peng-kriminalisasian TPK yang gagal
atau digagalkan ('attempt'), sedangkan ayat (3) pasal ini adalah ketentuan non-mandatory untuk peng-
kriminalisasian tindakan-tindakan persiapan/perencanaan TPK. Pasal 55 dan 56 KUHP, yang dikutip
dalam Gap Analysis, tidak memberi ketentuan apapun yang relevan dengan ayat (2) dan (3).
Konsep pasal ini adalah dimasukannya pengetahuan (knowledge), maksud (intent), dan tujuan
(purpose) sebagai elemen-elemen TPK dalam UU anti-korupsi Indonesia, di mana elemen-elemen
tersebut secara hukum dapat di-inferensikan dari situasi fakta yang objektif. Gap Analysis mengamati
bahwa elemen-elemen tersebut sudah muncul dan diaplikasikan di tahap-tahap tertentu acara pidana,
dan elemen-elemen tersebut duah diatur perannya dalam KUHAP (belum ketemu). Gap Analysis
kemudian memberi rekomendasi supaya elemen-elemen tersebut dimasukkan ke dalam amandemen
UU Anti-korupsi. Gap Analysis menyebut bahwa pasal ini non-mandatory.
Konsep pasal ini adalah supaya diadakannya masa kadaluarsa yang 'lama' untuk TPK, serta masa
kadaluarsa yang diperpanjang lagi dalam hal tersangka TPK berhasil kabur dari proses pidana. Gap
Analysis, selain menyatakan bahwa sistem kadaluarsa di Indonesia berbeda cara kerjanya, tidak
memberi rekomendasi. PERLU DI FOLLOW UP
Pasal 30: Penuntutan, Adjudikasi, Sanksi-sanksi [AYAT-AYAT (1), (2), (3), (4), (5), (6), (8), dan
(9) MANDATORY (AYAT (7) NON-MANDATORY)]
1. Konsep ayat (1) adalah supaya sanksi terhadap pelanggaran dalam Konvensi ini sesuai dengan
berat pelanggaran tersebut. Gap Analysis mengamati bahwa hal ini sudah umum dilakukan
dalam proses hukum pidana di Indonesia, dan memberi rekomendasi supaya ketentuan dan
praktek yang sudah ada supaya dipertahankan. Ayat (8) dalam pasal ini menambah bahwa
operasi ayat (1) supaya tidak mengesampingkan kewenangan memberi sanksi/disiplin oleh
atasan yang berwenang.
2. Konsep ayat (2) adalah supaya UU Negara Anggota menyeimbangkan pertimbangan imunitas
pejabat negara dalam pelaksanaan tugas mereka dengan berlangsungnya proses hukum terhadap
pelanggaran-pelanggaran sesuai dengan Konvensi ini. Gap Analysis mengamati bahwa pasal 25,
28, 29 dan 38 UU 31/99 j/o UU 20/01 adalah pasal-pasal di mana pemrosesan kasus pidana
diprioritaskan (25), atau di mana keseimbangan antara penegakan hukum vs. imunitas pejabat
negara telah dipertimbangkan dan hasilnya proses penegakan hukum dipermudah (28, 29, 38).
Belum ada peraturan khusus di mana diatur pertimbangan keseimbangan antara imunitas
pejabat negara versus penegakan hukum.
3. Konsep ayat (3) adalah supaya segala alat hukum dalam hal penuntutan digunakan se-maksimal
mungkin dalam menuntut pelanggaran-pelanggaran terhadap Konvensi ini. Gap Analysis
mengamati bahwa UU No. 8/1981 pasal-pasal 50 s/d 68 memberi pada tersangka dan terdakwa
– namun tidak menerangkan kenapa pasal-pasal tersebut perlu diamati. Kemungkinan besar
demi menunjukkan batasan-batasan yang diberikan UU No. 8/1981 terhadap operasi pasal 30
ayat (3) ini. Yang perlu dikaji lebih lanjut adalah seberapa jauh ayat (3) ini bisa diberlakukan
mengingat amandemen terhadap UU No. 31/99 j/o UU No. 20/01, serta mengingat prinsip-
prinsip Konvensi ini.
4. Konsep ayat (4) adalah supaya UU Indonesia sedemikian rupa mendukung kondisi di mana
tersangka gerak-geriknya terpantau dan terkendali demi menjamin kehadirannya di acara-acara
hukum yang belum berjalan, dalam situasi di mana tersangka tidak ditahan sebelum acara
pengadilan, atau sedang menunggu proses banding di luar rumah tahanan. Terciptanya kondisi
seperti ini dikualifikasi dalam ayat (4) dengan pertimbangan terhadap hak-hak pembelaan
tersangka.
5. Konsep ayat (5) adalah supaya dalam mempertimbangkan untuk membebaskan terdakwa
sebelum masa tahanan maksimal selesai (parole/pelepasan bersyarat dan masa percobaan),
dipertimbangkan bobot (gravitas) dari pelanggaran terdakwa. Gap Analysis mengamat bahwa
pelepasan bersyarat dan masa percobaan telah diatur dalam KUHP pada pasal-pasal 15, 15(a),
15(b) dan 16, dan Gap Analysis memberi rekomendasi bahwa pasal-pasal tersebut sudah cukup
untuk mendukung ayat (5) ini. Namun, KUHP belum secara eksplisit menentukan bahwa dalam
pertimbangan pelepasan bersyarat, perlu dipertimbangkan bobot dari pelanggaran terdakwa –
yang secara eksplisit ditentukan adalah pertimbangan tersebut berdasarkan jaminan bahwa
terdakwa tidak akan mengulang perbuatannya. Pendek kata, KUHP belum sesuai dengan
ketentuan ayat (5) pasal 30 ini.
6. Konsep ayat (6) adalah diadakannya prosedur untuk pemecatan, pen-skorsan, atau pemindahan
pejabat yang dituduh melanggar Konvensi ini, oleh atasan yang berwenang, dengan
mempertimbangkan asas praduga tak bersalah. Gap Analysis mengamat bahwa UU No. 43/1999
dalam pasal 24-nya mengatur tentang skors sementara PNS yang terlibat dalam kasus pidana.
Gap Analysis menekankan bahwa aplikasi ayat ini dalam UU akan melanggar asas praduga tak
bersalah, dan memberi rekomendasi bahwa ketentuan ini tidak perlu diaplikasikan di luar kasus-
kasus di mana proses penyelidikan oleh pihak penegak hukum mengganggu
pekerjaan/pelayanan publik. [TAMBAHAN APA?]
7. Konsep ayat (7) (NON-MANDATORY) adalah supaya diadakannya prosedur diskualifikasi
siapapun yang menjadi terdakwa pelanggaran-pelanggaran Konvensi ini dari (a) menjabat posisi
publik; dan (b) menjabat posisi di BUMN. Gap Analysis mengamat bahwa pasal 23 UU No.
43/1999 sudah mengatur sanksi pemberhentian tidak terhormat untuk PNS yang didakwa
pidana. Gap Analysis juga mengamati bahwa aplikasi perlu diperlengkap dengan klarifikasi
untuk TPK apa saja perlu ditentukan sanksi pemberhentian tidak terhormat tersebut. Gap
Analysis member rekomendasi bahwa ayat ini perlu diaplikasikan.
8. Konsep ayat (9) adalah bahwa 'penggambaran' (description) dalam UU Negara Anggota tentang
pelanggaran-pelanggaran Konvensi adalah yurisdiksi sistem hukum setempat. Gap Analysis
menambah bahwa yang penting adalah ditingkatkannya kepastian hukum dalam hal penegakan
hukum anbti korupsi.
9. Konsep ayat (10) adalah supaya negara anggota berusaha mempromosikan re-integrasi
pelanggar Konvensi ke masyarakat – Gap Analysis tidak menanggapi hal ini. KUHP dan UU
anti-korupsi juga belum menentukan bagaimana terdakwa yang sudah bebas dapat di-
integrasikan lagi ke dalam masyarakat. Ayat ini menentukan suatu hal yang biasanya bukan
wilayah hukum, namun kebijakan umum pemerintah.
Pasal 31: Pembekuan, Perampasan dan Penyitaan (Freezing, Seizure and Confiscation) [AYAT-
AYAT (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (9), DAN (10) MANDATORY; AYAT (8) NON-MANDATORY]
1. Konsep ayat (1) adalah supaya UU Negara Anggota sepenuhnya mendukung prosedur
penyitaan: (a) hasil korupsi, atau properti yang nilainya sesuai dengan aset negara yang dikorup;
dan (b) properti, peralatan, atau alat/instrumen lainnya yang digunakan, atau akan digunakan
untuk melakukan pelanggaran Konvensi ini. Gap Analysis mengamati bahwa prosedur
penyitaan telah didukung UU 31/99 j/o UU 20/01, terutama pasal-pasal: 30 tentang kewenangan
penyelidik untuk membuka, memeriksa dan menyita surat-surat; 38(b) tentang penyitaan
properti oleh negara; 29(4) dan (5) tentang pembekuan/pemblokiran rekening bank; dan 37
tentang pembuktian terbalik. Gap Analysis menambah bahwa pasal 39 UU No. 8/81 juga sudah
mengatur tentang benda-benda apa saja yang dapat disita (pendek kata, segala benda yang
berhubungan dengan tindak pidana) – pasal 46 UU No. 8/81 juga diangkat dalam Gap Analysis
sebagai alat pengembalian aset kepada negara. Inti dari ayat (1) adalah pemberdayaan
instrumen hukum Negara Anggota demi melancarkan dan memastikan aktivitas penyitaan hasil
korupsi atau ekuivalennya. Gap Analysis mengamati bahwa UU No. 8/81 berlaku di mana UU
No. 31/99 j/o UU No. 20/01 tidak secara eksplisit berlaku. Gap Analysis memberi rekomendasi
bahwa UU 31/99 j/o UU 20/01 beserta UU 8/81 sudah dengan cukup menentukan tentang hal
penyitaan hasil korupsi.
2. Konsep ayat ini adalah supaya Negara Anggota mendukung diadakannya proses identifikasi,
pelacakan, pembekuan atau perampasan (seizure) barang apapun yang disebut dalam ayat (1).
Gap Analysis juga memberi rekomendasi bahwa proses tersebut sudah didukung oleh UU dan
peraturan yang sudah ada.
3. Konsep pasal ini adalah supaya UU dan peraturan-peraturan Negara Anggota mengatur tentang
administrasi, oleh pihak berwenang yang kompeten, atas properti yang dibekukan, dirampas
(seized) atau disita berdasarkan ayat (1) dan (2) di atas. Gap Analysis memberi rekomendasi
bahwa hal tersebut sudah dipenuhi UU Indonesia, namun tidak memberi contoh spesifik.
[PERLU DICEK SETIAP BADAN BERWENANGNYA]
4. Konsep ayat ini adalah supaya UU dan paraturan-peraturan Negara Anggota mengatur agar
segala properti yang diperoleh melalui hasil korupsi dapat menjadi obyek ayat-ayat pasal ini.
Sekali lagi, Gap Analysis memberi rekomendasi bahwa UU dan peraturan-peraturan Indonesia
sudah memadai. [PERLU DICEK HUKUM PROPERTI]
5. Konsep ayat ini adalah supaya UU dan peraturan-peraturan Negara Anggota mengatur agar
hasil korupsi yang dijadikan sebagian dari sebuah properti (di mana properti tersebut bukan
hasil korupsi), tidak menutup jalan bagi Negara Anggota untuk tetap menyita (SEBAGIAN?)
properti tersebut sesuai dengan nilai hasil korupsi, melalui metode-metode pembekuan ataupun
perampasan yang diatur dalam pasal ini. [PROSESNYA PASTI KOMPLEKS – NAMUN GAP
ANALYSIS TIDAK MEMBERI ANALISA LEBIH MENGENAI HAL INI]
6. Konsep ayat ini meneruskan konsep ayat (5), dengan mengatur supaya segala penghasilan dari
properti di mana terdapat unsur hasil korupsi, dapat disita sebagai hasil korupsi juga, sejauh
penyitaan sesuai dengan nilai dari hasil korupsi. [PROSESNYA JUGA AKAN KOMPLEKS]
7. Konsep ayat ini adalah supaya pengadilan-pengadilan dan penegak hukum negara anggota
dalam bidang korupsi diberi wewenang untuk mendapatkan catatan bank, finansial, atau
komersial dari institusi yang tersangkut – ini berarti pihak bank tidak bisa menggunakan asas
kerahasiaan bank untuk menolak memberikan dokumen catatan tersebut. [GAP ANALYSIS
TIDAK MENGANALISA HAL INI]
8. Konsep ayat ini adalah supaya UU Negara Anggota memberi beban kepada pelanggar untuk
membuktikan kesah-an harta miliknya yang disangka hasil korupsi.
9. Konsep ayat ini adalah supaya hak-hak pihak ketiga tidak dikesampingkan dengan
beroperasinya pasal ini. [JUGA HAL YANG KOMPLEKS]
10. Konsep ayat ini adalah bahwa segala ketentuan dalam pasal ini pelaksanaannya harus sesuai
dengan hukum Negara Anggota.
Banyak unsur-unsur dari pasal ini yang sebetulnya merujuk ke proses-proses kompleks yang kurang
ditelaah oleh Gap Analysis, terutama tentang hasil korupsi yang dicampur-baur ke dalam properti yang
mungkin diperoleh secara sah, serta tentang hak pihak ke-tiga.
Pasal 32: Perlindungan Saksi, Pakar dan Korban [AYAT-AYAT (1), (2), (4), DAN (5)
MANDATORY; (AYAT (3) NON-MANDATORY)]
1. Konsep ayat (1) adalah supaya diadakan jaminan perlindungan kepada saksi dan saksi pakar
yang memberi kesaksian dalam proses acara pengadilan (serta keluarga dan kerabat mereka),
dari segala potensi usaha pembalasan atau intimidasi. Gap Analysis mengamati bahwa belum
ada UU perlindungan saksi khusus dalam area TPK; yang sudah ada yaitu Undang-undang No.
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; mengenai UU tersebut, Gap Analysis
memberi rekomendasi bahwa perlu ada aksi konkrit dan cepat untuk melaksanakan ketentuan-
ketentuan UU tersebut, terutama dibentuknya suatu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
sesuai Bab III UU tersebut. Gap Analysis juga memberi rekomendasi bahwa opsi perlindungan
saksi khusus dalam konteks TPK perlu dipertimbangkan.
2. Dalam ayat (2), dijabarkan proses-proses standar (due process) yang perlu ditentukan dalam UU
dan peraturan: secara spesifik, sub-ayat (1) adalah penjabaran prosedur perlindungan fisik,
sementara sub-ayat (2) adalah penjabaran prosedur pemberian kesaksian yang mendukung
perlindungan saksi.
3. Konsep ayat (3) (non-mandatory) adalah supaya Negara Anggota bekerjasama dengan Negara
Anggota lain untuk merelokasikan seorang yang dilindungi berdasarkan pasal ini.
4. Ayat (4) menekankan bahwa ketentuan-ketentuan dalam pasal ini berlaku untuk korban, dalam
situasi di mana mereka juga merangkap saksi.
5. Konsep ayat (5) adalah supaya ketentuan prosedur perlindungan saksi mencakup akomodasi
(pertimbangan) terhadap pendapat dan keluhan korban pada tahap-tahap tertentu acara pidana.
Pasal 33: Perlindungan Pelapor [NON-MANDATORY]
Pasal ini menjabarkan ketentuan non-mandatory untuk mengatur perlindungan pelapor melalui UU
Negara Anggota. Gap Analysis memberi rekomendasi bahwa hal ini sudah ditentukan dalam UU dan
peraturan-peraturan Indonesia (pasal 31 UU No.31/99 dan UU 13/2006 – apabila pelapor sudah
menjadi saksi). Yang masih perlu dipertimbangkan lebih jauh apabila pasal ini akan diberlakukan
secara benar di Indonesia adalah perlindungan saksi sebagai entitas terpisah dari saksi, contohnya,
bagaimana menjamin pelaporan secara anonim.
Konsep pasal ini adalah supaya negara anggota menerapkan langkah-langkah hukum terhadap
konsekuensi TPK terhadap hak-hak pihak ke-tiga. Contoh yang diberikan Konvensi adalah TPK
sebagai faktor peng-anuliran kontrak, konsesi, atau instrumen persetujuan lainnya, ataupun bentuk
remedial lain yang melindungi hak pihak ke-tiga yang dilibatkan dalam TPK. Gap Analysis mengamati
bahwa ketentuan ini belum teratur dalam UU Indonesia, dan perlu dicakup dalam amandemen UU
Anti-korupsi.
Konsep pasal ini adalah jaminan Negara Anggota, melalui alat-alat hukumnya, supaya setiap orang
yang dirugikan oleh suatu TPK boleh memulai suatu acara hukum atas pihak yang menyebabkan
kerugian yang dideritanya, demi mendapatkan uang pengganti dari pihak tersebut. Gap Analysis
mengamati bahwa pasal 98-101 dalam Bab XIII UU No. 8/81 tentang KUHP sudah mengatur tentang
mekanisme hukum acara yang memungkinkan korban sebuah TPK untuk mencari ganti rugi dari pihak
yang merugikannya.Gap Analysis memberi rekomendasi bahwa hak untuk menuntut ganti rugi dalam
bentuk uang pengganti perlu diperjelas dalam peraturan yang ada: secara spesifik, bahwa hak tersebut
duduk di seseorang atau suatu badan yang telah dirugikan oleh TPK.
Pasal ini sudah dipenuhi dengan dibentuknya KPK; Gap Analysis memberi rekomendasi bahwa UU
tentang KPK serta tupoksi KPK perlu di-review supaya bisa dijamin sesuai dengan arahan UNCAC.
Gap Analysis memberi contoh bahwa dalam bidang Asset Recovery KPK masih harus diperkuat.
Pasal 37: Kerjasama dengan Lembaga-lembaga Penegak Hukum [AYAT (1) MANDATORY,
AYAT-AYAT (2), (3), (4), DAN (5) NON-MANDATORY
Konsep pasal ini adalah pemberian konsesi-konsesi kepada seorang pelanggar Konvensi ini yang
membantu usaha anti-korupsi penegak hukum. Dalam ayat (1) yang mandatory, kata yang dipakai
Konvensi adalah 'encourage', yaitu pemberian insentif bagi pelaku supaya ia lebih mau bekerjasama
dengan penegak hukum. Ayat-ayat (2) sampai (5) yang non-mandatory menjabarkan bentuk-bentuk
insentif yang dapat ditawarkan Negara Anggota kepada pelaku, yaitu pengurangan hukuman (ayat (2)),
atau imunitas dari penuntutan (ayat (3)). Gap Analysis mengamati bahwa di Indonesia belum ada
mekanisme sejenis ini. Gap Analysis kemudian memberi rekomendasi bahwa mekanisme tersebut perlu
ada, karena akan membantu banyak proses penegakan hukum.
Pasal 39: Kerjasama antara Sektor Publik dengan Sektor Swasta [AYAT (1) MANDATORY,
AYAT (2) NON-MANDATORY]
Konsep pasal ini adalah pemberian insentif bagi sektor swasta untuk berpartisipasi dalam usaha anti-
korupsi. Ayat (1) yang mandatory terutama mengatur bahwa sektor swasta yang perlu dilibatkan adalah
sektor perbankan. Ayat (2) yang non-mandatory mengatur supaya Negara Anggota memberi insentif-
insentif untuk mengundang pelaporan dari sektor swasta. Gap Analysis mengamat bahwa partisipasi
jenis ini sudah diatur dalam Bab V UU No. 31/99, namun ketentuan tersebut mengundang masyarakat
secara umum, bukan komunitas sektor swasta secara spesifik. Gap Analysis tidak memberi
rekomendasi. Apabila kita belajar dari badan anti-korupsi yang sudah menjelajahi usaha anti-korupsi di
sektor swasta khususnya, seperti yang telah dilakukan ICAC Hong Kong, tentu kita akan menemukan
bahwa masih banyak sekali pengembangan yang bisa dicapai dalam area ini di Indonesia.
Konsep pasal ini adalah supaya alat-alat hukum Negara Anggota menyediakan mekanisme untuk
mengatasi halangan-halangan yang muncul akibat aplikasi UU Kerahasiaan Bank. Gap Analysis
mengamati bahwa ketentuan tentang hal ini sudah ada, yaitu dalam pasal 29 UU No. 31/99. Pasal
tersebut mengatur bahwa prosedur proses permintaan informasi ini dimulai dengan diajukannya surat
permintaan dari KPK kepada Gubernur BI, yang kemudian mengatur pemberian informasi dalam batas
waktu tertentu. Gap Analysis kemudian memberi rekomendasi bahwa UU yang sudah ada hanya perlu
dijaga pelaksanaannya. Mungkin perlu ada diskusi mengenai kewenangan KPK untuk mendapatkan
informasi tersebut secara langsung dari bank yang terkait.
Pasal 42: Jurisdiksi [AYAT-AYAT (1), (3), (5) DAN (6) MANDATORY; AYAT-AYAT (2) DAN (4)
NON-MANDATORY]
Konsep ayat (1) yang mandatory adalah bahwa UU Negara Anggota menetapkan jurisdiksi atas TPK
yang terjadi dalam teritorialitas negara-nya (sub ayat (a)), atau yang terjadi dalam kendaraan udara atau
air yang berada di bawah jurisdiksi negara-nya (sub ayat (b)). Gap Analysis mengamati bahwa soal
jurisdiksi ini telah dicakup dalam Pasal-pasal (2) sampai (9) KUHP – di mana prinsip teritorial
terutama ditentukan dalam pasal-pasal (2) dan (3), serta prinsip-prinsip nasionalitas (dalam konteks
seorang warga negara Indonesia sebagai subyek hukum) dalam pasal-pasal (4), (5), (6) dan (7). Gap
Analysis juga mengamati bahwa ketentuan pasal 4 KUHP perlu didekatkan ke masalah TPK; Gap
Analysis memberi rekomendasi bahwa pasal-pasal (2) sampai (9) KUHP perlu ditegakkan, di mana
pasal (4) diberi penekanan khusus dalam hal TPK. Ayat-ayat (3), (5) dan (6) yang mandatory secara
umum mengatur didukungnya penegakan jurisdiksi Negara Anggota dalam usahanya memeriksa dan
menuntut suatu TPK.
Ayat (2) yang non-mandatory menentukan area-area yang berhubungan dengan status nasionalitas
seseorang, atau dengan Negara Anggota secara langsung, di mana Negara Anggota dapat menegakkan
jurisdiksinya atas suatu TPK. Ayat (4) yang non-mandatory menentukan bahwa Negara Anggota dapat
memiliki jurisdiksi atas seorang berkewarganegaraan asing yang melakukan TPK dan tidak di-
ekstradisikan oleh Negara Anggota.