Anda di halaman 1dari 15

JOURNAL READING

Pembaharuan Menejemen Pada Keratitis Infeksi


Ariana Austin, MS,1 Tom Lietman, MD,1 Jennifer Rose-Nussbaumer, MD1,2

Pembimbing:
dr. Michael,Sp.M

Disusun oleh:
Theo Ambra
112016180

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTASKEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA
WACANA
PERIODE 18 FEBRUARI-23 MARET 2019 RUMAH SAKIT
FAMILY MEDICAL CENTER 2019
Keratitis infeksi adalah penyebab utama dari penurunan pengelihatan dan kebutaan, yang sering
mengenai pada kaum marjinal. Diagnosis yang tepat dari penyebab adalah penting, teknik
terbaru seperti in vivo confocalmicroscopy sangat membantu untuk mendiagnosis adanya fungus
dan Acantamoeba. Generasi berikutnya memiliki potensial untuk meberikan diagnosis dini dan
akurat meskipun untuk organisme yang sulit di kultur dengan metode konfensional. Antibiotic
topical merupakan treatmen yang baik untuk keratitis bakterialis dan review terakhir menemukan
mengatakan bahawa antibiotic topical yang diresepkan secara umum sama efektif nya. Namun,
hasil skeunder yang buruk menjadi melting kornea, scarring, dan perforasi. Membutuhkan terapi
tambahan untuk mengurangi respon immune yang berkaitan dengan keratitis termasuk
kortikosteroid topical . randomized pengontrolanpenggunaan Steroid untuk ujicoba pada ulkus
kornea didapatakan bahwa steroid meskipun steroid dapat mencegah tetapi tidak cukup
signifikan untuk meningkatkan pengobatan secara keseluruhan, Steroid memiliki keuntungan
yang sama untuk ulkus yang berada di central , dalam dan luas, non-Nocardia atau Pseudomonas
aeruginosa yang invasive; untuk pasien yang memiliki dasar pengelihatan yang rendah; dan
memulai pengobatan lebih awal setelah penggunaan antibiotic. Ulkus fungal lebih sering
memilki gejala klinis yang lebih buruk dari pada ulkus bakterialis, dengan tidak ada nya
pengobatan yang baru sejak tahun 1960 ketika natamisin topical diperkenalkan. kontrol secara
random Mycotic Ulcer Treatment Trial (MUTT) I memperlihatkan keuntungan dari natamicin
dibandingkan voriconazole untuk ulkus fungal, khususnya untuk yang disebabkan oleh
Fusarium. MUTT II memperliihatkan bahwa voriconazole oral tidak dapat meningkatkan hasil
yang baik, meskipun memberikan beberapa efek pada ulkus yang disebabkan oleh Fusarium.
Pemberian meningkatkan kejadian yang tidak di ingankan yang tidak serius,penulis
menyimpulkan bahwa tidak merekomendasikan untuk menggunakan vorioconaole oral. Keratitis
viral memiliki halyang berbeda dengan keratitis bacterial dan fungal yang lebih sering kambuh
dan sering terjadi di negara maju.

Herpetic Eye Dessease Study (HEDS) memperlihatkan adanya keuntungan yang signifikan
dengan menggunakan kortikosteroid topical dan acyclovir oraluntuk stromal keratitis. HEDS II
memperlihatkan bahwa acyclovir oral menurunkan angka kekkambuhan dari bebrbagai tipe virus
keratitis herpes simpleks sampai setengahnya. Strategi yang akan dating untuk menurunkan
angka morbiditas terkait dengan keratitis infeksi akan lebih multidimensi dengan terapi
tambahan pada modifikasi terhadap respon imun terhadap infeksi untuk mendapatkan hasil
gejala klinis yang baik. Ophthalmology 2017;124:1678-1689 ª 2017 by the American Academy
of Ophthalmology

Penyakit pada korena adalah hal yang mendasari terjadinya kebutaan secara monocular pada
dunia luas, terutama pada kaum marjinal.1 opasitas pada kornea yang besar akibat adanya
keratitis infeksius adalah penyebab urutan ke empat terjadinya kebutaan secara global dan yang
bertanggung jawab untuk 10% penurunan pengelihatan yang dapat di cegah pada negara yang
maju.

Di India sendiri terdapat 2 juta orang yang mengalami ulkus kornea. Di United States, keratitis
infeksi sering terjadi terkait dengan penggunaan lensa kontak. Tetapi di beberapa negara lain
lebih sering karena adanya trauma mata akibat pekerjaan pertanian. Pada pembahasan ini ,kita
akan mengeksplor dari literature yang sudah ada dan arahan selanjutnya untuk mendiagnosis
dan pengobatan pada keratitis infeksius.

Diagnosis

Diagnosis yang baik untuk keratitis dibutuhkan untuk menentukan pengobatan dan mendapatkan
kesembuhan dari infeksi. Gold standart dari diagnosis tetap menggunakan Gram dan kultur dari
sempelkornea meskipun sensitivitasnya tidak sempurna. Pewarnaan Gram dan Giemsa
menguntungkan karena memberikan hasil yang instan dengan pewarnaan Gram dapat terditeksi
secara akurat organisme yang menjadi penyebab 60% sampai 75% pada kasus bacterial dan 35%
sampai 90%pada kasusu fungal. Giemsa memiliki sensitivitas 40% sampai 85% untuk
mendiagnosis kasus fungal. Darah dan biakan agar coklat lebih sering digunakan untuk bakteri,
dimana agar Sabouraud atau potato dextrose adalah yang paling baikuntuk mengisolasi fungus,
dan agar non-nutrien dengan lapisan Escherichia coli dapat digunakan untuk mengkultur
Acanthamoeba. Kaldu Thioglycollate adalah pilihan lain untuk mengidentifikasi bakteri aerobic
atau bakteri fluktuatuv anaerobic, tetapi kontaminasi menjadi salah satu masalah., dan seing
menjadi kesulitan untuk menentukan dibandingkan dengan mengisolasiorganisme untuk
menentukan penyebab. Keratitis virus dapat didiagnosis dari pemeriksaan fisik karna
karakteristik adanya dendritic appearance, tetapi polymerase chain reaction terkadang digunakan
untuk mengkonfirmasi diagnosis dengan sensitivitas yang tinggi.
Masih ada ruang untuk mengeksplor secara substansial untuk metodediagnosis keratitis
infeksius. In vivo confocal microscopy betumbuh menjadi popular pada beberapa tahun
belakangan ini karena cepat dan sensitivitasnya tinggi dalammenditeksi organisme yang besar
seperti filamentous fungus, acanthamoeba, dan Nocardia bacteria. Segmen anterior optikal
kornea tomography digunakan sebelumnya untuk memberikan ukuran obyektif pada infiltrat
kornea atau ukuran scaratau untuk memonitor penipisan kornea dalam pengobatan.

Keratitis bacterial

Di United States keratitis bacterial;eboh sering terjadi berkaitan dnegan penggunaan lensa
kontak, kasus yang parah memiliki progress yang cepat dan menyebabkan kehilangan
pengelihatan yang permanen dan membutuhkan transplantasi kornea

Antibiotic

Antibiotic topical merupakan pengobatan lini pertaman untuk keratitis bakterialis. Klinisi
memiliki banyak factor untuk memiliki regimen antibiotic, termasuk board-spectrum, cakupan
toxicity, ketersediaan dan harga dan epidemiologi bagian spesifik dari pathogenesis dan pola
resistensi. Memang survey international yang terakhir dari spesialis korna menemukan bahwa hal
ini merupakan factor yang menjadi perhatian dari pemelihan antibiotic

Cochrane-style meberikan review kualitas yang baik, randomized, controlled, clinical trials pada
menejemen keratitis bakterialis dengan menggunakan antibiotic topical yang menidentifikasi dari
16 percobaan dibandingkan dengan 2 atau lebih antibiotic topical sampai 7 hari. McDonald et al
mendapatkan tidak adanya perbendaan signifikan dalam relative risk dari suskenya terapi yang
di definisikan sebagai reepitilisasi yang komplit dari korena atau penyembuhan dalam waktu
yang tepat. Meskipun masih ada sedikit peningkatan relative risk dari kejadian yang tidak
diinginkan, seperti ketidak nyamanan pada mata atau chemical conjunctivitis dengan
aminoglycoside-cephalosporin dibandingkan menggunakan fluoroquinolones tidak memiliki
perbedaan komplikasi yang serius.
Ulkus bakterialis biasanya responsive terhadap pengobatan dengan menggunakan antibiotic
topical drops yang ada, peningkatan angka resistensi antibiotic pada infeksi seperti resisten
methicillin pada Staphylococcus aureus di America Utara menjadi sebuah perhatian. The US
Centers for Disease Control and Prevention mengestimasikan bahwa 2 juta orang yang terinfeksi
resisten terhadap obat mukroba setiap tahunnya. 80% dari hasil isolasi methicillin-resistant
Staphylococcus aureus di United States telah dilaporkan resisten pada banyak class antibiotic
yang diresepkan yaitu flurocuinolon. penggunaan steroid pada Corneal Ulcer Trial (SCUT), in
vitro susceptibility memiliki korelasi dengan gejala klinis. Untuk itu kultur kornea dan tes
sensitivitas disarankan untuk semua ulkus korna. Sangat penting untuk menilai respon pada
treatmen dan jika pasien menunjukan perburukan pada treatmen , salah satu dapat ditukar dengan
antibiotic spectrum luas.namun apabila insitial terapi dengan abtibiotik spectrum luas , toksisitas
dari hal tersebut dapat menjadi faktor sangat penting untuk dampak kesembuhan dan sering
disarakan kan untuk mengurani terapi.

Meskipun pathogen ulkus bacterial suspect untuk penggunaan antibiotic topical, tetapi dapat
menjadi gejala klinis sekunder yang buruk seperti astigmatisme irregular dan corneal opacity.
Untuk itu menginvestigasi factor yang mengurangi inflammatory respon pada infeksi dimana
hasil pada corneal melting dan scarring yang berlanjut, mungkin adalah jalan untuk memberikan
dampak yang baik pada gejala klinis pada keratitis bacterial

Anticollagenases

Salama infkesi akut fibroblast, keratisit dan cell inflaatori lainnya mensekretkan enzim seperti
collagen dan matriks metalloproteinases yang terlibat dalam degradasi protein dan keratolisis.
Mengarahkan terapi ke arah stabilisasi dari cornea melting mungkin dapat menurunkan insiden
dari keparahan komplikasi dari keratitis infeksius, seperti perforasi kornea dan memerlukan
terapi penetrating keratoplasti. Tetrasiklin memperlihatkan bahwa dapat menghambat kolagenase
dan menunjukan anti metalloproteinase activity in vitro.

Pada suatu pembelajaran laboratorium, alkali dapat menginduksi ulkus kornea pada kelinici
dengan dramatis menurunkan dari 85%-9% dalam randomized sampai dosis tinggi tetrasiklin
yang diberikan secara sistemik. studi pada kelinici yang lain doksisisiklin yang diberikan
sistemik dapat menurunkan angka perforasi kornea pada ulkus pseudomonas sampai 50%.
Sayangnya tidak ada percobaan randomized control yang memiliki kualitas bagus pada manusia
untuk menuntun klinisi pada penggunaan adjuvant doxycycline untuk treatmen pada ulkus
kornea meskipun digunakan secara luas oleh spesialis kornea.

Steroid

Pemberian adjuvant kortikosteroid sudah lama didebatkan untuk pengobatan ada keratitis
bacterial. Ornag yang mendukung penggunaan kortikosteroid memberikan pendapat bahwa dapat
meningkatkan outcome dengan menurunkan inflamasi dengan demikian menurunkan scarring,
neovaskularisasi dan stromal melt. Namun pendapat lain mengatakan bahwa kortikosteroid daoat
memperlambat penyembuhan epitilisasi dan mungkin memperburuku infeksi

Cochrane review untuk adjuvant steroid topical untuk keratitis bacterial diidentivikasi pada 4
percobaan randomized controlled dibandingkan dengan adjuvant steroid dengan hanya
memberikan topical antibiotic saja. 3 bagian kecil dari percobaan randomized controlled
menunjukan keuntungan dengan pemberian tambahan topical steroid untuk pengobatan pada
ulkus kornea ditemukan tida ada perbedaan dalam hasil ketajaman visual atau waktu
penyembuhan dimana randomized pada yang hanya diberikan antibiotic topical saja dan
randomized yang diberikan antibiotic topical dan steroid topical. Keempat dan terbesar
percobaan randomized controlled menginvestigasi peran steroid pada pengobatan ulkus korena
bakterialis sampai saat ini adalah SCUT. SCUT adalah randomized, double-masked, placebo-
controlled clinical trial yang membandingkan penambahan kortikosteroid topical dengan placebo
pada pengobatan dari ulkus kornea bacterial. Total dari 500 partisipan dengan kultur postitive
bacterial ulcer telah terdaftar di Aravind Eye Hospitals di Madurai, Coimbatore, dan Tirunelveli,
India, the University of California, San Francisco, dan the Dartmouth-Hitchcock Medical Center
di New Hampshire. Pasien telah diacak untuk mendapatkan prednisolone sodium phosphate
1.0% topical atua placebo topical dimulai setelah 48 jam penggunaan dari moxifloxacin 0.5%
topical.
Meskipun semua data menunjukan tidak adanya perbedaan pada hasil seperti pada bulan ke 3
ketajaman visual , pad bulan ke 3 ukuran luka atau angka perforasi antara kortikosteroid dan
placebo grub, subgrub anlasisis menyarankan kortikosteroid lebih memiliki keuntungan pada
beberapa subgurb. Pasien dengan pengelihatan rendah (counting finger atau lebih buruk)
memiliki 1.7 lines lebih baik pada pengelihatannya pada bulan ke 3 pada kelompok
kortikosteroid di bandingkan dnegan kelompok placebo (p=0.03) ulkus central, yang menutupi 4
mm pupil, di lakukan pengobatan dengan kortikosteroid juga mendapatkan perbaikan pada bulan
ke 3 best spectacle-corrected visual acuity (BSCVA) dibandingkan dnegan placebo (~2
llineslebih baik p=0.02) juga, pasien dengan ulkus dalam membaik dengan steroid topical (1.5
line better ; p=0.07) waktu pemberian steroid juga membuktikan sebagai factor yang signifikan,
dengan pasien yang dirandom untuk kortikosteroid setelah hanya 2-3 hari pemberian antibiotik
memiliki BSCVA yang mebaik pada bulan ke 3 dan yang juga diberikan placebo secara acak
(~1 line better BSCVA; P= 0.01).

Dasar dari SCUT subgroup anlaisis juga mengatakan subtype organisme merupakan factor
penting untuk pertimbangkan pemberian insisasi pemberian tambahan steroid topical pada ulkus
bakterialis. Nocardia, merupakan bakteri acid-fast atipikal, di wakili 10% dari seluruh ulkus di
SCUT. Ulkus Nocardia secara acak menggunakan kortikosteroid memiliki infiltrate 0.40 mm
lebih besar atau ukuran scar pada 3 bulan dibandingkan placebo (p=0.03) meskipun tidak ada
hasil yang menjadi buruk setelah 3 bulan BSCVA (P =0.21) trend ini berkanjut selama 12 bulan
dengan ulkus non Nocardia yang mebaik dengan kortikosteroid (1 line improvement of BSCVA;
P=0.02) dan ulkus Nocardia memburuk (rata-rata ukuran luka 0.47 mm; P = 0.02; tidak ada
perbedaan pada BSCVA) secara keseluruhan ulkus Pseudomonas aeruginosa tidak mendapatkan
keuntungan dengan pembrian kortikosteroid; meskipun subtiipe invasive P. aeruginosa
menunjukan peningkatan ketajaman pengelihatan 2.5 lines pada3 bulan BSCVA pada
randomisasi steroid dan placebo

Penulis dari Cochrane review termasuk bahwa tidak memadahi nya evidence untuk menyuport
pemberian tambahan steroid meberikan 4 percobaan yang telah direview, hanya SCUT yang
memiliki kekuatan. Memeberikan penemuan pada subgrub analasis . praktisi kami memberikan
tambahan steroid pada keratitis bakterialis dengan hasil kultur positive non nocardia dimulai
setelah pemberian antibiotic topical yang sesuai. Konfirmasi dari penemuan Scut subgroub
nalasisis meminta dengan disain yang baik percobaan randomized controlled clinical. Ringkasan
yang relevandari percobaan randomized clinical untuk ulkus bakterialis daoat di lihat pada

Keratitis Fungal

Ulkus fungal lebih sering terjadi dibandingkan dengan ulkus bakterialis dan sangat sedikit
evidence untuk pedoman penangannya. keratitis fungal mewakili sedikit presentase dari kasus
keratitis infkesius pada iklim sedang, meskipun pada iklim tropical hal ini dapat juga
menyebabkan 50% ulkus infeksius. Penggunaan lensa kontak teridentifikasi sebagai faktor risiko
untuk keratitis fungal pada United States dan outbreak dari keratitis Fusarium terkait penggunaan
lensa kontak terjadi di ReNu MoistureLoc (Bausch & Lomb, Rochester, NY) contact lens
solution. Tidak ada makanan dan obat-obatan baru pada adminsitras peneremiaan semenjak
natamicin, polyene topical diperkenalkan pada tahun 1960.

Pengobatan topical

Efeltif treatmen dengan penggunaan natamicin topical 5% terbatas karena sedikitnya penyerapan
ke bagian stroma kornea. amphotericin B 0.3% to 0.5% topical adalah alternative tetapi
membutuhkan akses ke penggabungan farmasi dan toksitisanya terbatas. Voriconazole adalah
generasi baru dari triazole lebih memiliki popularitas yang besar padapengobatan keratitis fungal
karena memiliki penetrasi yang bagus pada mata. Sebagai tambahan pada penelitian in vitro oleh
Walsh et al voriconazole adalah satu-satunya obat yang sudah di uji dimana 100%%fungal yang
di isolasi umumnya terlibat pada keratitis.

MUTT I adalah double-masked, randomized controlled clinical trial yang membandingkan


natamycin topical dan vriconazole topical pada ulkus fungalyang berserabut. Ulkus fungal
smear-positive terdaftar dan secara random diberikan voriconazole 1% topical atau natamicin 5%
topical. Setelah mendaftar 323pasien Data Safety and Monitoring Committee menyarankan
memberhentikan percobaan karena pemberian topical voriconazole secara stastistik
meningkatkan angka kejadian perfaorasi korna atau terapi penetrasi keratoplasty dibandingkan
randomized pada natamicin (p=0.009), percobaan acak pad apemberian natamicin topical
memilikirerata 1.8 lines better BSCVA pada 3 bulan dibandingkan dengan kelompok
voriconazole (P = 0.006). pebedaan ini dicaatat antara ulkus Fusarium dimana memiliki 4- lines
better BSCVA jika penelitian acak ini natamicin daripada voriconazole (P < 0.001) 3 bulan
ukuran luka lebih kecil untuk ulkus Fusarium yang diberikan natamisin daripada yang diberikan
voriconazole (coefficient = 1.02 mm; P < 0.001) tetapi untuk ulkusnon fusarium (coefficient =
0.17 mm; P=0.42 meskipun lebih tinggi presentase pada pasien dengan kultur positif untuk
fungus pada hari ke 6 steleah kelompok voroconazole p daripada kelompok natamisin
bagaimanapun juga organismenya, natamicin lebih disarankan darip pada penggunaan
voriconazole untuk semua pengobatan fungi (p<0.001)

Hasi dari Mycotic Ulcer Treatment Trial I memperlihatkan keuntungan natamicin dibandingkan
dengan voriconazole untuk pengobatan topical pada keratitis fungal dan untuk Fusariumkeratitis.
Hasil dapat fikonfirmasi dengan percobaaan randomize clinical sekunder dan dari Cochrane
review yang terakhir.

Voriconazole oral

Meskipun voriconazol oral tidak berhasil untuk meningkatkan hasil dibandingkan natamicin
terdapat alasan lain voriconazoleoral mungkin dapat efesien pada pengobatan keratitis fungal.
Pertama, pemberian dosis intermiten padapengobatan topical mungkin memberikan hasil pada
interval pengobatan level subterapeutik, dan pengobatan oral mungkin dapat memberikan
keadaan yang lebih stabil pada infeksi. Suatu penelitian membandingkan sampel aqueous setelah
pemberian voriconazole topical dan oral ditemukan bahwa pada pemberian voriconazoletopikal
memiliki hasil variable aqueous dengan konsentrasi tinggi diikuti dengan konsentrasi inhibisi
yang minimum yaitu 90% untuk fungal yang di isiolasi terinhibisi (MIC90). Perbedaan secara
kontras dibuktikan voriconazole oral memiliki level pengobatan yang konstan. Sebagai catatan
pada berbagai macam kasus dilaporkan suskes dengan menggunakan pengobatan voriconazole
topical oral ataupun intravena. Voriconazole biasa diguakan berkesinambungan dengan obat
topical.
Mycotic Ulcer Treatment Trial II melakikam percobaan klinikal doublemasked, randomized,
placebo-controlled menginvestigasi efek dari pemberian tamabahan voriconazole oral
dibandingkan dengan placevo oraluntuk smear positive filamentous fungal keratitis. Tdak adanya
perbednaan pada hasil yang pertama , angka dariperforasi atau dibutuhkannya pengobatan
keratoplasti penetrating antara diantara keduanya pada 3 bulan (hazard ratio, 0.82; P = 0.29). tida
terdapat juga perbedaan pada hasilyang kedua yaitu pada ketajaman pengelihatan (P = 0.77),
scar size (P =0.35) dan angka dari reepitilisasi (P = 0.65). lebih banyak terjadi hal yang tidak
diinginkan secara signifikan pada pmeberian kelompok voriconazole oral, termasuk
meningkatnya aspartate aminotransferase atau alanine aminotransferase (P =0.003) dan
gangguan visual (P =0.03) dibandingkan dengan kelompok placebo.

Secara berurutan subgroub analisis menenmukan adanya kemungkinan keuntungan pada


variconazole oral pada ulkus Fusarium. Pemberian tambahan pengobatan untuk keratitis fungal
memiliki potensial yaitu dengan pemberian injeksi intracameral dengan amphotericin atau tanpa
hypopion drainage atau injeksi intrasomal dari voriconazole. Namun, penelitian lebih lanjut pada
teknik ini dengan percobaan well-designed randomized controlled dibutuhkan untuk menentukan
keuntungan. Untuk itu saat ini natamicin topical menjadi pengobatan berbasis bukti untuk
keratitis filamentous fungal, dan penambahan voriconazoleoral harus dipertimbangkan jiga
organisme nya adalah Fusarium

Keratitis viral

Keratitis Herpes simplex virus (HSV) diperkirakan terkena pada 500.000 orang di United States
dan mengestimasi 1.5 juta secara global. Hal ini paling sering terjadi sebagai penyebab
terjadinya kebutaan akibat infeksi konrea unilateral yang sering terjadi di negara maju. Keratitis
viral berbeda dengan keratitis bacterial dan fungal keratitis ini sering menjadi kronis dan
kambuh. Selain sakit, infeksi ini juga mengancam pengelihatan, keraititis HSV dapat secara
signifikan mempengaruhi kualitas hidup penederita meskipun pasien tidak memperlihatkan
infeksi yang aktif. Keratitis viral yang disebabkan oleh varicella-zoster virus (VZV) dan
cytomegalovirus (CMV) jarang terjadi.
Pengobatan topical

Pengobatan topical untuk keratitis viral termasuk pemberian obat antivirus dan tambahan steroid
topical. Antiviral trifluridine topical paling sering di resepkan untuk pengobatan antiviral topical
pada keratitis HSV di sunited States. Meskipun trifluridine efektif untuk mengobati keratitis
HSV, trifluridine memiliki bioavalibel yang renda dan menyebabkan permukaan ocular toksik,
sehingga pengguanaannya menjadi terbatas sebagai antiviral topical yang dikembangkan.
Acyclovir topical adalah pengobatan lini pertamauntuk keratitis HSV di Europe karena lebih
efektif dibandingkan dengan trifluridine dengan toksisitas pada Permukaan ocular yang lebih
rendah. Sayanganya, acyclovir topical tidak tersedia di United States. Ganciclovir adalah
pengobatan sintetik yang baru dengan broadspectrum antiviral yang lebih. Sebagai pengobatan
tambahan keratits HSV dan VZV, ganciclovir topikallebih efektif pada pengobatan keratitis yang
disebabkan oleh CMV. Ganciclovir menunjukan bahwa lebih efektif denganmenggunakan
acyclovir kerana toksisitas pada ocular lebih rendah. Hal ini juga mengurangi resisten terhadap
pengobatan. Northwestern University belakangan ini melakukan percobaan large randomized
controlled yang menginvestigasi ganciclovir untuk pengobatan dari keratitis VZV
(NCT02382588)

Kortiko steroid topical biasanya digunakan sebagai tanbahan dari pengobatan antiviral topical.
Herpetic Eye Disease Study (HEDS) I mengevaluasi keefektivitasan dari kortikosteroid untuk
pengobatankeratitis stromal HSV . pada percobaan randomized controlled ini 106 pasien dengan
keratitis HSV stromal yang aktif di lakukan randomized untuk mendapatkan prednisolone
phosphate topical atau placebo yang ditepring dalam periode 10 minggu . semua pasien
mendapatkan trifluridine topical. HEDS I menemukan bahwa pada waktu pertengahan
pengobatan gagal secara drastis leboh pendekpada kelompik placebo pada hari ke 17 kelompok
placebo dan hari ke 98 pada kelompok steroid topical (P < 0.001). waktu resoluso pada infeksi
menjadi lebih singkat secara signifikan pada kelompok yang mendapatkan kortikosteroid ,
dengan median hari ke 26 pada mereka yang mendapatkan kortikosteroid dan hari ke 72untuk
yang mendaptakan placebo (p<0.001) ketajaman visual pada bulan ke 6 tidak terdapat perbedaan
pada kedua kelompok
Pengobatan oral

HEDS I menginvestigasi bahwa tambahan acyclovir oral sebagai pengobatan pada keratitis HSV
stromal. Total pada 104 pasien mendapatakan trifluridine dan kortikosteroid topical dan secara
random mendapatkan acyclovir oral 200 mg atau placebo, yang dikonsumsi 5 kali dalam sehari
selama 10minggu . meskipuan dari hasil investigasi mengatakan bahwa pemebrian acyclovir oral
mengalami kegagalan yang terlambat (dari 62 hari pada kelompok plasebo dan 84 hari pada
kelompok acyclovir) dari hasil penelitian tidak didapatkan hasil yang signifikan (p=0.46)
acyclovir oral mendapatkanhasil yang signifikan peningkatan pada BSCVA pada bulan ke 6
(p=0.04) tetapi yang penting pada penelitian ini sulitnya untuk menentukan karena terdapat
perbedaan yang relative besat pada dasar BSCVA dikedua kelompok. Acyclovir oral
menunjukan lebih efesien diberikan pada keratitis VZV dan hasil penemuam dari HEDS I
sering memberikan pengobatan yang sama

Valacyclovir adalah antiviral terbaru yang memiliki toleransi yang baik dan beberapa literature
mengatakan bahwa penyerapan pada ocular lebih baik. Sebagai tambahan dosis pengobatan
untuk valacyclovir adalah 1g 3 kali sehari, yang bertolak belkang dengan acyclovirdimana
pemberian 400 mg 5kali dalam sehari (800mg 5 kali sehari untuk VZV) dimana mempengaruhi
kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat. Valganciclovir oral leboh banyak digunakan untuk
keratitis stromal CMV tetapi memiliki efek samping tang signifikan , termasuk anemia aplastic
dimana harus di monitor penggunaanya.

Pada praktisi kami, kamu secara general menggunakan antiviral oral untuk menghindari
toksisitas pada ocular yang merupakan komplikasidari terapitopikal dan mengaburkan gejala
klinis. Kami mengembalikan bahwa penggunaan obat topical hanya sebagai tambahan ketika
pengobatan oral tidak adekuat atau pada pasien yang tidak memiliki responyang baik pada terapi
sistemik

Profilaksis

HEDS II melakukan pemeriksaan pada penggunaan acycloviroral yang berkepanjangan untuk


HSV ocular yang berulang. Percobaan besar multicenter, randomized, placebo-controlled
menemukan bahwa HSV ocular beulang 45% lebih rendah pada kelompok acyclovir dengan
19% pada kelompok acyclovir menunjukan berulang dan 32 % pada kelompok placebo
menunjukan berulang pada bulan ke 12 (p<0.001)

Herpes zoster ophthalmicus (HZO) di sebabkan oleh VZV yang kembali aktif setelah infeksi
yang pertama. Sejak diperkenalkannya vaksin varicella pada anak , maka insiden HZO
meningkat kaena sedikitnya natural passive immune untuk melawan virus. Saat ini dianjurkan
untuk meberikan vaksin pada semua orang dewasa dengan caksin zoster untuk mencegah HZO
dan infeksi zoster lainnya. Zoster Eye Disease Study akan mengindentivikasi perpenjangan
penggunaan valacyclovir untuk profilaksis dari keratitis VZV

Future Directions

Generasi berikutnya

Keratitis dengan kulturnegativ memberikan permasalahan yang signnifikan untuk klinisi.


Sebagai contoh pada Aravind Eye Hospital di India 38% kerokankornea dari mata dengan
dugaan keratitis infeksi memberikan hasil yang negative padakultur dan smear antara tahun 2002
dan 2012. Generasiberikutnya mungkin dapat meningkatkan diagnosis secara akurat dari keratitis
infeksi, secara particular untuk organisme yang sulit untuk dikultur dengan metode
konvensioanal seperti bakteria atioikal atau anaerob. Generasi berikutnya daoat menditeksi
organisme lebih dari dengan menggunakan teknik kultur tradisional dan memberikan informasi
yang leig mengenai mikroba dari ocular surface. Namun halini tidak jelas apakah pendekatan ini
dapat digunakan secara efektif untuk menentukan penyebab infeksi atau data snsitivitas
antibiotik

Collagen Cross-Linking untuk keratitis Bacterial dan Fungal

Collagen cross-linking (CXL) adalah pengobatan dimana photochemically mengativkan


riboflavin yang meningkatkan kovalen formasi antaramolekul kolagen di kornea. Collagen cross-
linking menuatkan jaringan kornea dan belakangan ini digunakan untuk penanganan ketaoconus
dan ectatic kelainan korena lainnya. Collagen cross-linking mungkin memberikan keuntungan
padapengobatan ullkusinfeksius karena meberikan efek antimicroba secara langsung dan
potensialuntuk meningkatkan daya tahan kornea terhadap degradasi enzimatik.
Penelitian in vitro menunjukan bahwa ultraciolet –cahaya ditambah riboflavin dapat efektif
melawan banyakbakteial pathogen yang menyebabkan ulkus kornea. Angka laporan kasus
menunjukan bahwa CXL memikiki keuntungan yang potensial untuk pengobatan bacterial yang
membandel dan keratitis fungal dengan efek memperbaiki gejala , menyembuhkan dari
progresivitas melting dan pemulihan dari pengobatan yang resisten pada infeksi. Satu kasuskecil
pengobatan pada 16 pasien dengan keratitis bakterialis secara eksklusif menggunakan CXL. Ke
empat belas pasien ulkusnya sembuh dengan tanpa pengobatan lebih lanjut hanya 2 antibiotik
topical yang dibutuhkan untuk menyembuhakn infeksi. Jika CXL dapat digunakan ditempat dari
pengobatan antibiotic hal ini dapat membantu mnangani pada infeksi yang sudah resisten
terhadap obat dan mencegah toksisistas pada surface ocular yang belkangan ini menjadi
klomplikasi dari pengobatan ulkus bakterialis

Masih sedikit literature yang mendukung untuk penggunaan CXL pada pengobatan keratitis
filamentous fungal. CXL in vitra sendiri tidak menunjukan dapat menginaktifkan fungus
meskipun satu dari penelitian in vitro CXL ditambah dengan amphotericin dapat meningkatkan
inhibisi dari pathogen fungal dari pada hanya deiberikan amphotericin saja. Meskipun tidak
banyak literatut yang mendukung untuk penggunaan CXL untuk keratitis fungal halini sudah
digunakan untuk yang berhubungan dengan antifungal oleh beberapa klinisi, berharap dapat
mendapatkan keuntungan dari buruknya prognosis untuk ulkus fungal.

Untuk saat ini 3 prospective pecobaan klinikal dilakukan untuk meihat efek dari pengobatan
menggunakan CXL pada keratitis infeksi. Bamdad et al mengacak 32 pasien dengan jeraitis
vakterial untuk mendapatkan CXL dan ditambah dengan terapi standat atau hanya terapi stndart
saja. 2 minggu setelah pengobatan, penerima pengobatan CXL memiliki rerata yang lebih rendah
pada ulkus (0.69 vs. 1.70; P=0.001) , area yang lebih kecil dari defects epithelial (P=0.001) dan
area lebih kecil dari infiltrate (P < 0.001) diabndingkan dengan yang hanya menerima terapi
standart saja. Rerata durasi pengobatan lebih pendek pada kelompok CXL (P < 0.001).

Percobaan randomized lain padapasien dengan keratitis bacterial, fungal dan acantamoeba atau
organisme campur dilakukan perbandingan pengobatan dengan CXL dan hanya diberikan
antimikroba saja. Meskipun percobaan ini didapakan tidak adanya perbedaan antara dua
kelompok, halini mendapat beberapa issues termasuk randomizasion yang tidak pas , pasien
ydenga berbagai macam keratitis sebagai inklusi dan kurangnya tenaga. Ketiga, percobaan kecil
randomized clinical mengindetifikasi cross-linking merupakan terapitambahan untuk ulkus
fungal yang dalam pada Aravind Eye Hospital di Madurai, India menyarankan CXL dapat
mengurangi angka perforasi padaulkus fungal

Keterbatasan dari percobaan ini dan hasil yang bercampur , membuat tidak diketahui nya CXL
menguntumgkan untuk terapi tambahan padakeraitis infkesius. Saat ini kasus yang paling kuat
belakangan ini dapat di selesaikan dengan penggunaan CXL pada keratitis bakterialis . pada
skala yang besar dengan disain percobaan randomized klinikal dibutuhkan untuk menilia
seutuhnya utilitas CXL untuk pengobatan keratitis infeksius

Kesimpulan

Meskipun penggunaan obat antimicorba yang pas untuk semua pathogen ynag mengimplikasi
pada keratitis infeksius sering menimbulkan klinikal yang buruk. Strategi untuk menurunkan
angka morbiditas terkait dengan kondisi yang akan menjadi multidimensional, termasuk
pencegahan ulkus kornea, peningkatan diagnosis dini dan teknik diagnosis yang tepat seperti
next-generation sequencing dan agen antimikorba utuk mengatasi resisten obat . terapi tambahan
focus pada modifikasi pada imuune respon tehadap infeksi dengan demikian mengurangi
kejadian konea melting dan sacrring yang menyebakan pengelihatan yang burk, mungkin
memiliki potensi yang besar untuk meningkatkan hasi lklinis.

Anda mungkin juga menyukai