Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

1.2.Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
1.2.2. Tujuan Khusus

1.3.Manfaat
1.3.1. Manfaat untuk mahasiswa
a. dokter keluarga dalam menangani masalah kesehatan keluarga.

1.3.2. Manfaat untuk puskesmas

1.3.3. Manfaat untuk masyarakat

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kustha berarti
kumpulan gejalagejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga
Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr.
Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut
Morbus Hansen. Kusta yang juga disebut lepra merupakan penyakit infeksi
granulomatous kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, terutama
mengenai sistem saraf perifer, kulit, namun dapat juga terjadi mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf
pusat (Kementrian Kesehatan RI. 2012; A.Kosasih et al., 2010)
Diantara 11 negara penyumbang penderita kusta di dunia, Indonesia
menduduki urutan ke 4. Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat di
seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang
terinfeksi penyakit tersebut. Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang
diperkirakan menderita kusta. India adalah negara dengan jumlah penderita
terbesar, diikuti oleh Brasil dan Myanmar. Distribusi angka penemuan kasus
baru kusta di dunia yang terlapor di WHO, diketahui jumlah kasus baru kusta
pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075 dengan jumlah terbanyak di Asia
Tenggara yaitu sebanyak 160.132 kasus. (Siregar. 2003)

2.2 EPIDEMIOLOGI
Penyebaran penyakit kusta dari suatu benua, negeri dan tempat lain
sampai tersebar ke seluruh dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan
orang yang telah terkena penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau
Melanesia termasuk Indonesia diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina
(Kosasih ,2003). Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah
patogenitas kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan
lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan-

2
perubahan imunitas, dan kemungkinan-kemungkinan adanya Reservoir diluar
manusia (Linuwih, 2003). Menurut WHO Weekly Epidemiological Report
mengenai kusta tahun 2010, prevalensi tertinggi penyakit kusta terdapat di
India, dengan jumlah penderita sebanyak 87.190 jiwa pada tahun 2009.
Perngkat kedua terdapat di Brazil, dengan jumlah penderita 38.179 jiwa pada
tahun 2009. Indonesia sendiri Universitas Sumatera Utara berada di peringkat
ketiga, dengan jumlah penderita sebanyak 21.026 jiwa pada tahun 2009
(WHO, 2010). Menurut laporan WHO tersebut, selama tahun 2009 terdapat
17.260 kasus baru di Indonesia, dengan 14.227 kasus teridentifikasi sebagai
kasus kusta tipe Multi Basiler (MB) yang merupakan tipe yang menular. Dari
data kasus kusta baru tahun 2009 tersebut, 6.887 kasus diantaranya oleh
diderita oleh kaum perempuan, sedangkan 2.076 kasus diderita oleh anak-
anak (WHO, 2010).

2.3 ETIOLOGI
Penyebab munculn yapenyakit kusta adalah bakteri Mycobacterium
leprae yang ditemukan pertama kalioleh G. H. Armauer Hansen pada tahun
1873. Bakteri ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka pada
permukaan kulit atau bisa juga melalui droplet yangdihembuskan dari saluran
pernafasan. Sehgal (dalam Putra, 2012) mengatakan bahwa Mycobacterium
leprae memiliki ciri-ciri yaitu tahan asam,bersifat gram positif, berbentuk
batang, lebar 0,3-0,4 mikrometer, panjang 2-7mikometer, dan hidup di dalam
sel yang banyak mengandung lemak dan lapisanlilin. Mycobacterium leprae
membelah dalam kurun waktu 21 hari, sehingga menyebabkan masa tunas
yang sangat lama yaitu 4 tahun. Munculnya penyakit kusta tersebut ditunjang
oleh cara penularan.

3
(A.Kosasih et al., 2010)

2.4 CARA PENULARAN


Cara Penularan Cara penularan penyakit kusta sampai sekarang masih
belum diketahui dengan pasti, namun beberapa ahli mengatakan bahwa
penyakit kusta menular melalui saluran pernafasan dan kulit (Chin, 2006).
Penularan dapat terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh
pasien dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Secara teoritis penularan ini
dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan pasien, akan tetapi pasien
yang sudah mengkonsumsi MDT tidak menjadi sumber penularan
(Kementrian Kesehatan RI. 2012). Agustin dan Nurjanti (2002 dalam
Susanto, 2006) menyatakan bahwa penyakit kusta tidak hanya ditularkan oleh
manusia tetapi juga ditularkan oleh binatang seperti armadillo, monyet dan
mangabey. Mycobacterium leprae hidup pada suhu rendah. Bagian tubuh
manusia yang memiliki suhu lebih rendah yaitu mata, saluran pernafasan
bagian atas, otot, tulang, testis, saraf perifer dan kulit (Burn, 2010). Penyakit
kusta yang telah menular akan menimbulkan tanda dan gejala pada penderita
kusta.

2.5 PATOGENESIS
M. leprae sebagai mikroorganisme penyebab lepra masuk ke dalam
tubuh melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan
mukosa hidung. Pengaruh dari infeksi M. Leprae bergantung pada imunitas
seseorang, pengaruh kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang
rendah. Mikroorganisme ini bersifat obligat intraselular yang terutama pada

4
sel makrofag di seluruh pembuluh darah pada dermis dan sel schwann di
jaringan saraf. Bila M. Leprae masuk ke tubuh maka tubuh akan
mengeluarkan makrofag untuk melakukan fagositosis. Universitas Sumatera
Utara Pada tipe LL yang mengakibatkan kelumpuhan sistem imunitas selular,
makrofag tidak mampu menghancurkan basil sehingga basil dapat
bermultiplikasi dengan bebas sehingga dapat merusak jaringan. Pada kusta
tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, makrofag dapat
menghancurkan basil, sayangnya setelah semua basil difagositosis, makrofag
akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-
kadang bersatu membentuk sel Datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera
diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan massa epiteloid akan menimbulkan
kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya. Sel schwann merupakan sel target
untuk pertumbuhan M. Leprae, disamping itu sel schwann berfungsi sebagai
demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila
terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel schwann, basil dapat bermigrasi
dan beraktifasi. Akibatnya aktifasi regenerasi saraf berkurang dan terjadi
kerusakan saraf yang progresif (Amirudin et al, 1997).

2.6 GEJALA KELINIS


Menurut Departemen Kesehatan RI (2006), diagnosis penyakit
kustaditetapkan dengan cara mengenali cardinal sign atau tanda utama
penyakit kusta yaitu: a. bercak pada kulit yang mengalami mati rasa; bercak
dapat berwarna putih (hypopigmentasi) atau berwarna merah (erithematous),
penebalan kulit (plakinfiltrate) atau berupa nodul-nodul. Mati rasa dapat
terjadi terhadap rasa raba,suhu, dan sakit yang terjadi secara total atau
sebagian; b. penebalan pada saraf tepi yang disertai dengan rasa nyeri dan
gangguan padafungsi saraf yang terkena. Saraf sensorik mengalami mati rasa,
saraf motorik mengalami kelemahan otot (parese) dan kelumpuhan
(paralisis), dan gangguan pada saraf otonom berupa kulit kering dan retak-
retak. Gejala pada penderita kusta yang dapat ditemukan biasanya penderita
mengalami demam dari derajat rendah hingga menggigil, nafsu makan

5
menurun, mual dan kadang-kadang diikuti dengan muntah. Penderita kusta
juga mengalami sakit kepala, kemerahan pada testis, radang pada pleura,
radang pada ginjal, terkadang disertai penurunan fungsi ginjal, pembesaran
hati dan empedu, serta radang pada serabut saraf (Zulkifli, 2003).

2.7 KLASIFIKASI
Klasifikasi penyakit kusta menurut Depkes (2006) yaitu dibagi menjadi
tipe paucibacillary (PB) dan multibacillary (MB). Tipe paucibacillary atau
tipekering memiliki ciri bercak atau makula dengan warna keputihan,
ukurannya kecildan besar, batas tegas, dan terdapat di satu atau beberapa 15
tempat di badan (pipi,punggung, dada, ketiak, lengan, pinggang, pantat, paha,
betis atau pada punggung kaki ), dan permukaan bercak tidak berkeringat.
Kusta tipe ini jarang menular tetapi apabila tidak segera diobati menyebabkan
kecacatan (Sofianty, 2009). Tipe yang kedua yaitu multibacillary atau tipe
basah memiliki ciri-ciri berwarna kemerahan, tersebar merata diseluruh
badan, kulit tidak terlalu kasar, batas makula tidak begitu jelas, terjadi
penebalan kulit dengan warna kemerahan, dan tanda awal terdapat pada
telinga dan wajah (Hiswani, 2001).

2.8 PENEGAKAN DIAGNOSIS


Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis,
dan histopatologis, dan serologis. Diantara ketiganya, diagnosis secara
melihat gambaran klinis lah yang terpenting dan paling sederhana. Hasil
bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan
histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes
lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru
dapat diketahui setelah 3 minggu. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa
komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat, saja atau keduanya.
Secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak
membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak terlalu jelas. Hal ini dengan
mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas

6
terhadap rasa raba, dan dapat juga dengan rasa suhu, yaitu panas dan dingin
dengan tabung reaksi. Perhatikan pula ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi
yang dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan).
Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Dapat pula
diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi. 2,4 Mengenai saraf perifer yang
perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan nyeri atau tidak.
Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N.
fasialis, N. aurikuralis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N.
poplitea lateralis, dan N. tibialis posterior. Untuk tipe lepramatosa kelainan
saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang untuk tipe tuberkuloid
kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.2,4
Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam
deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung
oleh granuloma yang terbentuk sebgai reaksi terhadap M. leprae, yang
mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus
respiratorius atas, tulangtulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi
sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya,
tetapi terutama karena kerusakan saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf
(A.Kosasih et al., 2010: Siregar. 2003)

2.9 DIAGNOSIS BANDING


Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo, ptiriasis
versikolor, ptiriasis alba, Tinea korporis. Pada lesi papul, granuloma annulare,
lichen planus. Pada lesi plak, tinea korporis, ptiriasis rosea, psoriasis. Pada
lesi nodul, acne vulgaris, neurofibromatosis. Pada lesi saraf, amyloidosis,
diabetes, trachoma. (Lewis S. Leprosy. 2010)

2.10 PENATALAKSANAN
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk
menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita,
mencegah timbulnya penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, strategi

7
pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.2
Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT)
dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS, direkomendasikan oleh
WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah: mengatasi resistensi
dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-out
rate) dan ketidaktaatan penderita. (A.Kosasih et al., 2010) Dengan matinya
kuman maka sumber penularan dari pasien, terutama tipe MB ke orang lain
terputus. Cacat yang sudah terjadi sebelum pengobatan tidak dapat diperbaiki
oleh MDT. Bila pasien kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman
kusta dapat menjadi resisten/kebal terhadap MDT, sehingga gejala penyakit
menetap, bahkan meburuk. Gejala baru dapat timbul pada kulit dan saraf. .
(A.Kosasih et al., 2010)
Menanggapi masalah kusta yang begitu kompleks, pemerintah
melakukan upayaupaya pengendalian kusta yang berpedoman pada WHO
dengan mengsinkronkan dengan strategi kementrian kesehatan yang disusun
dalam kebijakan nasional 21 pengendalian kusta di Indonesia (Depkes, 2010).
Isi dari kebijakan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Terciptanya masyarakat
sehat bebas kusta yang mandiri dan berkeadilan. 2) Meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat termasuk swasta
dan masyarakat madani. 3) Melindungi kesehatan masyarakat dengan
menjamin tersedianya upaya kesehatan yang merata, bermutu, dan keadilan.
4) Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan. 5)
Menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik. 6) Peningkatan penemuan
kasus kusta sejak dini di masyarakat baik secara aktif maupun pasif.

2.11 KOMPLIKASI
Apabila tidak segera ditangani, penyakit kusta adalah penyakit kronis
yang dapat menimbulkan masalah kecacatan (Susanto, 2006). WHO Expert
Committee on Leprosy membuat klasifikasi cacat pada tangan, kaki dan mata
bagi penderita kusta. Berikut adalah klasifikasi cacat pada penderita kusta:2
Cacat pada tangan dan kaki Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak

8
ada kerusakan atau deformitas yang terlihat. Tingkat 1 : ada gangguan
sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat. Tingkat 2 :
terdapat kerusakan atau deformitas. Cacat pada mata Tingkat 0 : tidak ada
kelainan atau kerusakan pada mata (termasuk visus). Tingkat 1 : ada kelainan
atau kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang.
Tingkat 2 : ada kelainan mata yang terlihat (misalnya lagoftalmos, iritis,
kekeruhan kornea) dan atau visus sangat terganggu. (A.Kosasih et al., 2010)

2.12 PROGNOSIS
Prognosis penyakit kusta bergantung pada tipe kusta apa yang diderita
oleh pasien, akses ke pelayanan kesehatan, dan penanganan awal yang
diterima oleh pasien. Relaps pada penderita kusta terjadi sebesar 0,01 – 0,14
% per tahun dalam 10 tahun. Perlu diperhatikan terjadinya resistensi terhadap
dapson atau rifampisin. Karena berkurangnya kemampuan imunitas tubuh,
kehamilan pada pasien kusta wanita yang berusia dibawah 40 tahun dapat
mempercepat timbulnya relaps atau reaksi, terutama reaksi tipe 2. Secara
keseluruhan, prognosis kusta pada anak lebih baik karena pada anak jarang
terjadi reaksi kusta (Lewis, 2010)

9
BAB III
ILUSTRASI KASUS

3.1

10
BAB IV
PEMBAHASAN

11
BAB V
PENUTUP
5.1.Kesimpulan
5.2.Saran

12
DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Kesehatan RI. 2012. Pedoman nasional program pengendalian


penyakit kusta. Jakarta: Bakti Husada.

A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe – Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta.
2010. Dalam: Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;h. 73-88.

Siregar. 2003. Saripati penyakit kulit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;.h.
124-6.

World Health Organization. WHO model prescribing information: drug used in


leprosy. Diunduh dari:
http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html 6. Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI. 2008. Fritzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 7th Edition. Mc Graw Hill;h. 1787-96.

13
LAMPIRAN

14

Anda mungkin juga menyukai