dan
ASUHAN KEPERAWATAN
PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN GERONTIK
Oleh
MARTHALIA ASTUTI
NIM 1601100005
Malang,
( (
LAPORAN PENDAHULUAN
KEPERAWATAN GERONTIK
Oleh
MARTHALIA ASTUTI
NIM 1601100005
Konsep Gerontik
A. Pengertian lanjut Usia
Proses menua merupakan suatu yang fisiologis, yang akan dialami oleh setiap orang.
Batasan orang dikatakan lanjut usia berdasarkan UU No 13 tahun 1998 adalah 60 tahun.
Proses menua (aging process) merupakan suatu proses biologis yang tidak dapat dihindarkan,
yang akan dialami oleh setiap orang. Menurut Paris Constantinides, 1994. Menua adalah
suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan (graduil) kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri/ mengganti dan mempertahankan struktur dan fungsi secara normal,
ketahanan terhadap injury (termasuk infeksi) tidak seperti pada saat kelahirannya.
Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai dewasa, misalnya
dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan syaraf dan jaraingan lain sehingga
tubuh ‘mati’ sedikit demi sedikit. Sebenarnya tidak ada batas yang tegas, pada usia berapa
penampilan seseotang mulai menurun. Pada setiap orang, fungsi fisiologis alat tubuhnya
sangat berbeda, baik dalam hal pencapaian puncak maupun saat menurunnya. Namun
umumnya fungsi fisiologis tubuh mencapai puncaknya pada umur 20–30 tahun. Setelah
mencapai puncak, fungsi alat tubuh akan berada dalam kondisi tetap utuh beberapa saat,
kemudian menurun sedikit demi sedikit sesuai bertambahnya umur.
2. Etiologi
Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan bertambahnya umur, intoleransi terhadap
glukosa juga meningkat, jadi untuk golongan usia lanjut diperlukan batas glukosa darah yang
lebih tinggi daripada orang dewasa non usia lanjut.
Pada NIDDM, intoleransi glukosa pada lansia berkaitan dengan obesitas, aktivitas fisik
yang berkurang,kurangnya massa otot, penyakit penyerta, penggunaaan obat-obatan,
disamping karena pada lansia terjadi penurunan sekresi insulin dan insulin resisten. Lebih
dari 50% lansia diatas 60 tahun yang tanpa keluhan, ditemukan hasil Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) yang abnormal. Intoleransi glukosa ini masih belum dapat dikatakan sebagai
diabetes. Pada usia lanjut terjadi penurunan maupun kemampuan insulin terutama pada post
reseptor.
Pada lansia cenderung terjadi peningkatan berat badan, bukan karena mengkonsumsi
kalori berlebih namun karena perubahan rasio lemak-otot dan penurunan laju metabolisme
basal. Hal ini dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya diabetes mellitus.
Penyebab diabetes mellitus pada lansia secara umum dapat digolongkan ke dalam dua
besar :
a. Proses menua/kemunduran (Penurunan sensitifitas indra pengecap, penurunan fungsi
pankreas, dan penurunan kualitas insulin sehingga insulin tidak berfungsi dengan baik).
b. Gaya hidup (life style) yang jelek (banyak makan, jarang olahraga, minum alkohol, dan
lain-lain.)
Keberadaan penyakit lain, sering menderita stress juga dapat menjadi penyebab terjadinya
diabetes mellitus. Selain itu perubahan fungsi fisik yang menyebabkan keletihan dapat
menutupi tanda dan gejala diabetes dan menghalangi lansia untuk mencari bantuan medis.
Keletihan, perlu bangun pada malam hari untuk buang air kecil, dan infeksi yang sering
merupakan indikator diabetes yang mungkin tidak diperhatikan oleh lansia dan anggota
keluarganya karena mereka percaya bahwa hal tersebut adalah bagian dari proses penuaan itu
sendiri.
3. Klasifikasi
a. Diabetes melitus tipe I
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut baik melalui
proses imunologik maupun idiopatik. Karakteristik Diabetes Melitus tipe I:
1. Mudah terjadi ketoasidosis
2. Pengobatan harus dengan insulin
3. Onset akut
4. Biasanya kurus
5. Biasanya terjadi pada umur yang masih muda
6. Berhubungan dengan HLA-DR3 dan DR4
7. Didapatkan antibodi sel islet
8. 10%nya ada riwayat diabetes pada keluarga
b. Diabetes melitus tipe II :
Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif
sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin.
Karakteristik DM tipe II :
1. Sukar terjadi ketoasidosis
2. Pengobatan tidak harus dengan insulin
3. Onset lambat
4. Gemuk atau tidak gemuk
5. Biasanya terjadi pada umur > 45 tahun
6. Tidak berhubungan dengan HLA
7. Tidak ada antibodi sel islet
8. 30%nya ada riwayat diabetes pada keluarga
9. ± 100% kembar identik terkena
4. Patofisiologi
Dalam proses metabolisme, insulin memegang peranan penting yaitu memasukkan
glukosa ke dalam sel yang digunakan sebagai bahan bakar. Insulin adalah suatu zat atau
hormon yang dihasilkan oleh sel beta di pankreas. Bila insulin tidak ada maka glukosa tidak
dapat masuk sel dengan akibat glukosa akan tetap berada di pembuluh darah yang artinya
kadar glukosa di dalam darah meningkat.
Pada Diabetes melitus tipe 1 terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
Pasien diabetes tipe ini mewarisi kerentanan genetik yang merupakan predisposisi untuk
kerusakan autoimun sel beta pankreas. Respon autoimun dipacu oleh aktivitas limfosit,
antibodi terhadap sel pulau langerhans dan terhadap insulin itu sendiri.
Pada diabetes melitus tipe 2 yang sering terjadi pada lansia, jumlah insulin normal tetapi
jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang sehingga glukosa
yang masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa dalam darah menjadi meningkat.
5. Manifestasi Klinis
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada lansia umumnya
tidak ada. Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang tinggi,
dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan inkontinensia urin.
Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi
adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium
lanjut. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi
degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf.
Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga
gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang
luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa
kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang
sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan
adalah :
a. Katarak
b. Glaukoma
c. Retinopati
d. Gatal seluruh badan
e. Pruritus Vulvae
f. Infeksi bakteri kulit
g. Infeksi jamur di kulit
h. Dermatopati
i. Neuropati perifer
j. Neuropati viseral
k. Amiotropi
l. Ulkus Neurotropik
m. Penyakit ginjal
n. Penyakit pembuluh darah perifer
o. Penyakit koroner
p. Penyakit pembuluh darah otak
q. Hipertensi
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam diabetes melitus terbagi menjadi 2, yakni : penatalaksanaan secara
medis dan penatalaksanaan secara keperawatan. Penatalaksanaan secara medis adalah sebagai
berikut:
a. Obat Hipoglikemik oral
1) Golongan Sulfonilurea / sulfonyl ureas
Obat ini paling banyak digunakan dan dapat dikombinasikan denagn obat golongan
lain, yaitu biguanid, inhibitor alfa glukosidase atau insulin. Obat golongan ini
mempunyai efek utama meningkatkan produksi insulin oleh sel- sel beta pankreas,
karena itu menjadi pilihan utama para penderita DM tipe II dengan berat badan yang
berlebihan. Obat – obat yang beredar dari kelompok ini adalah:
a. Glibenklamida (5mg/tablet).
b. Glibenklamida micronized (5 mg/tablet).
c. Glikasida (80 mg/tablet).
d. Glikuidon (30 mg/tablet).
2) Golongan Biguanid / Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi glukosa hati, memperbaiki ambilan
glukosa dari jaringan (glukosa perifer). Dianjurkan sebagai obat tunggal pada pasien
dengan kelebihan berat badan.
3) Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase
Mempunyai efek utama menghambat penyerapan gula di saluran pencernaan,
sehingga dapat menurunkan kadar gula sesudah makan. Bermanfaat untuk pasien
dengan kadar gula puasa yang masih normal.
b. Insulin
1) Indikasi insulin
Pada DM tipe I yang tergantung pada insulin biasanya digunakan Human
Monocommponent Insulin (40 UI dan 100 UI/ml injeksi), yang beredar adalah Actrapid.
Injeksi insulin juga diberikan kepada penderita DM tipe II yang kehilangan berat badan
secara drastis. Yang tidak berhasil dengan penggunaan obat – obatan anti DM dengan
dosis maksimal, atau mengalami kontraindikasi dengan obat – obatan tersebut, bila
mengalami ketoasidosis, hiperosmolar, dana sidosis laktat, stress berat karena infeksi
sistemik, pasien operasi berat, wanita hamil dengan gejala DM gestasional yang tidak
dapat dikontrol dengan pengendalian diet.
2) Jenis Insulin
a. Insulin kerja cepat Jenis – jenisnya adalah regular insulin, cristalin zink, dan
semilente.
b. Insulin kerja sedang Jenis – jenisnya adalah NPH (Netral Protamine Hagerdon)
c. Insulin kerja lambat Jenis – jenisnya adalah PZI (Protamine Zinc Insulin)
d. Sedangkan untuk penatalaksanaan secara keperawatan adalah sebagai berikut:
1) Diet
Salah satu pilar utama pengelolaan DM adalah perencanaan makan. Walaupun
telah mendapat tentang penyuluhan perencanaan makanan, lebih dari 50 %
pasien tidak melaksanakannya. Penderita DM sebaiknya mempertahankan
menu diet seimbang, dengan komposisi idealnya sekitar 68 % karbohidrat, 20
% lemak dan 12 % protein. Karena itu diet yang tepat untuk mengendalikan
dan mencegah agar berat badan tidak menjadi berlebihan dengan cara : Kurangi
kalori, kurangi lemak, konsumsi karbohidrat komplek, hindari makanan yang
manis, perbanyak konsumsi serat.
2) Olahraga
Olahraga selain dapat mengontrol kadar gula darah karena membuat insulin
bekerja lebih efektif. Olahraga juga membantu menurunkan berat badan,
memperkuat jantung, dan mengurangi stress. Bagi pasien DM melakukan
olahraga dengan teratur akan lebih baik, tetapi jangan melakukan olahraga yang
berat – berat.
7. Pemeriksaan Diagnostik
Glukosa darah sewaktu
a. Kadar glukosa darah puasa
b. Tes toleransi glukosa
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan:
a. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
b. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
c. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75
gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl
8. Komplikasi
Komplikasi diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi akut dan kronis. Yang termasuk
dalam komplikasi akut adalah hipoglikemia, diabetes ketoasidosis (DKA), dan
hyperglycemic hyperosmolar nonketocic coma (HHNC). Yang termasuk dalam
komplikasi kronis adalah retinopati diabetic, nefropati diabetic, neuropati, dislipidemia,
dan hipertensi.
a. Komplikasi akut
Diabetes ketoasidosis
Diabetes ketoasidosis adalah akibat yang berat dari deficit insulin yang berat
pada jaringan adipose, otot skeletal, dan hepar. Jaringan tersebut termasuk sangat
sensitive terhadap kekurangan insulin. DKA dapat dicetuskan oleh infeksi
( penyakit)
b. Komplikasi kronis:
1) Retinopati diabetic
Lesi paling awal yang timbul adalah mikroaneurism pada pembuluh retina.
Terdapat pula bagian iskemik, yaitu retina akibat berkurangnya aliran darah retina.
Respon terhadap iskemik retina ini adalah pembentukan pembuluh darah baru, tetapi
pembuluh darah tersebut sangat rapuh sehingga mudah pecah dan dapat
mengakibatkan perdarahan vitreous. Perdarahan ini bisa mengakibatkan ablasio
retina atau berulang yang mengakibatkan kebutaan permanen.
2) Nefropati diabetic
Lesi renal yang khas dari nefropati diabetic adalah glomerulosklerosis yang
nodular yang tersebar dikedua ginjal yang disebut sindrom Kommelstiel-Wilson.
Glomeruloskleriosis nodular dikaitkan dengan proteinuria, edema dan hipertensi.
Lesi sindrom Kommelstiel-Wilson ditemukan hanya pada DM.
3) Neuropati
Neuropati diabetic terjadi pada 60 – 70% individu DM. neuropati diabetic
yang paling sering ditemukan adalah neuropati perifer dan autonomic.
4) Displidemia
Lima puluh persen individu dengan DM mengalami dislipidemia.
5) Hipertensi
Hipertensi pada pasien dengan DM tipe 1 menunjukkan penyakit ginjal,
mikroalbuminuria, atau proteinuria. Pada pasien dengan DM tipe 2, hipertensi bisa
menjadi hipertensi esensial. Hipertensi harus secepat mungkin diketahuin dan
ditangani karena bisa memperberat retinopati, nepropati, dan penyakit
makrovaskular.
6) Kaki diabetic
Ada tiga factor yang berperan dalam kaki diabetic yaitu neuropati, iskemia,
dan sepsis. Biasanya amputasi harus dilakukan. Hilanggnya sensori pada kaki
mengakibatkan trauma dan potensial untuk ulkus. Perubahan mikrovaskuler dan
makrovaskuler dapat mengakibatkan iskemia jaringan dan sepsis. Neuropati, iskemia,
dan sepsis bisa menyebabkan gangrene dan amputasi.
7) Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan dengan kadar glukosa darah di bawah 60 mg/dl,
yang merupakan komplikasi potensial terapi insulin atau obat hipoglikemik oral.
Penyebab hipoglikemia pada pasien sedang menerima pengobatan insulin eksogen
atau hipoglikemik oral.
WOC DIABETES MELLITUS
DM Tipe 1 DMTipe 2
Penurunan BB
Pembatasan
Diit
Fleksibilitas
darah merah
Intake tidak Resiko nutrisi kurang
adekuat dari kebutuhan
Poliuria
Pelepasan O2
Kekurangan
volume cairan
Nyeri Akut
Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Data Subyektif
a. Identitas
DM pada pasien usia lanjut umumnya terjadi pada usia > 60 tahun dan umumnya
adalah DM tipe II ( non insulin dependen ) atau tipe DMTTI.
b. Keluhan utama
DM pada usia lanjut mungkin cukup sukar karena sering tidak khas dan asimtomatik
( contohnya ; kelemahan, kelelahan, BB menurun, terjadi infeksi minor, kebingungan
akut, atau depresi ).
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada umumnya pasien datang ke RS dengan keluhan gangguan penglihatan karena
katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot ( neuropati perifer ) dan
luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?
e. Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya
Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat terapi insulin
jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang
dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.
f. Pola pemenuhan kebutuhan sehari – hari
1. Aktivitas/ Istirahat :
Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.
2. Sirkulasi
Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas,
ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi, perubahan tekanan darah
3. Integritas Ego
Stress, ansietas
4. Eliminasi
Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare
5. Makanan / Cairan
Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan, haus,
penggunaan diuretik.
6. Neurosensori
Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia, gangguan
penglihatan.
7. Nyeri / Kenyamanan
Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)
8. Pernapasan
Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)
9. Keamanan
Kulit kering, gatal, ulkus kulit.
2. Data obyektif
Pemeriksaan fisik pada Lansia
a. Sel ( perubahan sel )
Sel menjadi lebih sedikit, jumlah dan ukurannya menjadi lebih besar, berkurangnya
jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan intrasel.
b. Sistem integumen
Kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak, kulit kering dan pucat dan terdapat
bintik – bintik hitam akibat menurunnya aliran darah kekulit dan menurunnya sel – sel
yang memproduksi pigmen, kuku pada jari tengah dan kaki menjadi tebal dan rapuh.
Pada orang berusia 60 tahun rambut wajah meningkat, rambut menipis / botak dan
warna rambut kelabu, kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya.
c. Sistem Muskuler
Kecepatan dan kekuatan kontraksi otot skeletal berkurang pengecilan otot karena
menurunnya serabut otot. Pada otot polos tidak begitu berpengaruh.
d. Sistem pendengaran
Presbiakusis ( menurunnya pendengaran pada lansia ) membran timpani menjadi
altrofi menyebabkan austosklerosis, penumpukan serumen sehingga mengeras karena
meningkatnya keratin.
e. Sistem Penglihatan
Karena berbentuk speris, sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon
terhadap sinar, lensa menjadi keruh, meningkatnya ambang penglihatan ( daya
adaptasi terhadap kegegelapan lebih lambat, susah melihat gelap ). Hilangnya daya
akomodasi, menurunnya lapang pandang karena berkurangnya luas pandangan.
Menurunnya daya membedakan warna hijau atau biru pada skala.
f. Sistem Pernafasan
Otot – otot penafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunnya aktivitas
sillia, paru kurang elastis, alveoli kurang melebar biasanya dan jumlah berkurang.
Oksigen pada arteri menurun menjadi 75 mmHg. Karbon oksida pada arteri tidak
berganti – kemampuan batuk berkurang.
g. Sistem Kardiovaskuler
Katub jantung menebal dan menjadi kaku. Kemampuan jantung memompa darah
menurun 1 % pertahun. Kehilangan obstisitas pembuluh darah, tekanan darah
meningkat akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer.
h. Sistem Gastointestinal
Kehilangan gigi, indra pengecap menurun, esofagus melebar, rasa lapar menurun,
asam lambung menurun waktu pengosongan lambung, peristaltik lemah sehingga
sering terjadi konstipasi, hati makin mengecil.
i. Sistem Perkemihan
Ginjal mengecil, nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50 %,
laju filtrasi glumesulus menurun sampai 50 %, fungsi tubulus berkurang sehingga
kurang mampu memekatkan urine, Dj urin menurun, proteinuria bertambah, ambang
ginjal terhadap glukosa meningkat, kapasitas kandung kemih menurun ( zoome )
karena otot – otot yang lemah, frekwensi berkemih meningkat, kandung kemih sulit
dikosongkan, pada orang terjadi peningkatan retensi urin dan pembesaran prostat (75
% usia diatas 60 tahun).
j. Sistem Reproduksi
Selaput lendir vagina menurun / kering, menciutnya ovarium dan uterus, atrofi payu
darah testis masih dapat memproduksi meskipun adanya penurunan secara berangsur
– angsur, dorongan sek menetap sampai usia diatas 70 tahun asal kondisi kesehatan
baik.
k. Sistem Endokrin
Produksi semua hormon menurun, fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah,
berkurangnya ACTH, TSH, FSH, dan LH, menurunnya aktivitas tiroid sehingga laju
metabolisme tubuh ( BMR ) menurun, menurunnya produk aldusteran, menurunnya
sekresi, hormon godad, progesteron, estrogen, testosteron.
l. Sistem Sensori
Reaksi menjadi lambat kurang sensitif terhadap sentuhan (berat otak menurun sekitar
10 – 20 % )
3. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan
metabolisme protein, lemak.
2) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan osmotik diuresis ditandai dengan
tugor kulit menurun dan membran mukasa kering.
3) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati
perifer) ditandai dengan gangren pada extremitas.
4) Keletihan berhubungan dengan kondisi fisik yang kurang.
5) Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan glukosa darah yang tinggi.
4. Intervensi Keperawatan
1) Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan
metabolisme protein, lemak.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi pasien dapat
terpenuhi.
Kriteria Hasil :
1. Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat
2. Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya
Intervensi :
1. Timbang berat badan sesuai indikasi.
R/ Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat.
2. Tentukan program diet, pola makan, dan bandingkan dengan makanan yang dapat
dihabiskan klien.
R/ Mengidentifikasikan kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapeutik.
3. Auskultrasi bising usus, catat nyeri abdomen atau perut kembung, mual, muntah dan
pertahankan keadaan puasa sesuai inndikasi.
R/ Hiperglikemi, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit menurunkan motilitas
atau fungsi lambung (distensi atau ileus paralitik).
4. Berikan makanan cair yang mengandung nutrisi dan elektrolit. Selanjutnya
memberikan makanan yang lebih padat.
R/ Pemberian makanan melalui oral lebih baik diberikan pada klien sadar dan fungsi
gastrointestinal baik.
5. Identifikasi makanan yang disukai.
R/ Kerja sama dalam perencanaan makanan.
6. Libatkan keluarga dalam perencanaan makan.
R/ Meningkatkan rasa keterlibatannya, memberi informasi pada keluarga untuk
memahami kebutuhan nutrisi klien.
7. Observasi tanda hipoglikemia (perubahan tingkat kesadaran, kulit lembap atau dingin,
denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala, pusing).
R/ Pada metabolism kaborhidrat (gula darah akan berkurang dan sementara tetap
diberikan tetap diberikan insulin, maka terjadi hipoglikemia terjadi tanpa
memperlihatkan perubahan tingkat kesadaran.
8. Kolaborasi :
a. Lakukan pemeriksaan gula darah dengan finger stick
R/ Analisa di tempat tidur terhadap gula darah lebih akurat daripada memantau gula
dalam urine.
b. Pantau pemeriksaan laboratorium (glukosa darah, aseton, pH, HCO3)
R/ Gula darah menurun perlahan dengan penggunaan cairan dan terapi insulin
terkontrol sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel dan digunakan untuk sumber
kalori. Saat ini, kadaar aseton menurun dan asidosis dapat dikoreksi.
c. Berikan pengobatan insulin secara teratur melalui iv
R/ Insulin regular memiliki awitan cepat dan dengan cepat pula membantu
memindahkan glukosa ke dalam sel. Pemberian melalui IV karena absorpsi dari
jaringan subkutan sangat lambat.
d. Berikan larutan glukosa ( destroksa, setengah salin normal).
R/ Larutan glukosa ditambahkan setelah insulin dan cairan membawa gula darah
sekitar 250 mg /dl. Dengan metabolism karbohidrat mendekati normal, perawatan
diberikan untuk menghindari hipoglikemia.
e. Konsultasi dengan ahli gizi
R/ Bermanfaat dalam penghitungan dan penyesuaian diet untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi.
2) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan osmotik diuresis ditandai dengan
tugor kulit menurun dan membran mukosa kering.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kebutuhan cairan atau hidrasi
pasien terpenuhi
Kriteria Hasil : Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital
stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat
secara individu dan kadar elektrolit dalam batas normal.
Intervensi :
a. Kaji riwayat klien sehubungan dengan lamanya atau intensitas dari gejala seperti
muntah dan pengeluaran urine yang berlebihan.
R/ Membantu memperkirakan kekurangan volume total. Adanya proses infeksi
mengakibatkan demam dan keadaan hipermetabolik yang meningkatkan kehilangan
air.
b. Pantau tanda – tanda vital, catat adanya perubahan tekanan darah ortostatik.
R/ Hipovolemi dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia. Perkiraan berat
ringannya hipovolemi saat tekanan darah sistolik turun ≥ 10 mmHg dari posisi
berbaring ke duduk atau berdiri.
c. Pantau pola napas seperti adanya pernapasan Kussmaul atau pernapasan yang berbau
keton.
R/ Perlu mengeluarkan asam karbonat melalui pernapasan yang menghasilkan
kompensasi alkalosis respiratoris terhadap keadaan ketoasidosis. Napas bau aseton
disebabkan pemecahan asam asetoasetat dan harus berkurang bila ketosis terkoreksi.
d. Pantau frekuensi dan kualitas pernapasan, penggunaan otot bantu napas, adanya
periode apnea dan sianosi.
R/ Hiperglikemia dan asidosis menyebabkan pola dan frekuensi pernapasan normal.
Akan tetapi peningkatan kerja pernapasan, pernapasan dangkal dan cepat serta
sianosis merupakan indikasi dari kelelahan pernapasan atau kehilangan kemampuan
melalui kompensasi pada asidosis
e. Pantau suhu, warna kulit, atau kelembapannya.
R/ Demam, menggigil, dan diaphoresis adalah hal umum terjadi pada proses infeksi,
demam dengan kulit kemerahan, kering merupakan tanda dehidrasi.
f. Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit, dan membrane mukosa.
R/ Merupakan indicator tingkat dehidrasi atau volume sirkulasi yang adekuat.
g. Pantau masukan dan pengeluaran
R/ Memperkirakan kebutuhan cairan pengganti, fungsi ginjal, dan keefektifan terapi
yang diberikan.
h. Ukur berat badan setiap hari.
R/ Memberikan hasil pengkajian terbaik dari status cairan yang sedang berlangsung
dan selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti.
i. Pertahankan pemberian cairan minimal 2500 ml/hari
R/ Mempertahankan hidrasi atau volume sirkulasi.
j. Tingkatkan lingkungan yang menimbulkan rasa nyaman. Selimuti klien dengan kain
yang tipis.
R/ Menghindari pemanasan yang berlebihan terhadap klien lebih lanjut dapat
menimbulkan kehilangan cairan.
k. Kaji adanya perubahan mental atau sensori.
R/ Perubahan mental berhubungan dengan hiperglikemi atau hipoglikemi, elektrolit
abnormal, asidosis, penurunan perfusi serebral, dan hipoksia. Penyebab yang tidak
tertangani, gangguan kesadaran menjadi predisposisi aspirasi pada klien.
l. Observasi mual, nyeri abdomen, muntah, dan distensi lambung.
R/ Kekurangan cairan dan elektrolit mengubah motilitas lambung sehinnga sering
menimbulkan muntah dan secara potensial menimbulkan kekurangan cairan dan
elektrolit.
m. Observasi adanya perasaan kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan berat
badan, nadi tidak teratur, dan distensi vaskuler.
R/ Pemberian cairan untuk perbaikan yang cepat berpotensi menimbulkan kelebihan
cairan dan gagal jantung kronis.
n. Kolaborasi :
a. Berikan terapi cairan sesuai indikasi :
Normal salin atau setengah normal salin dengan atau tanpa dekstrosa.
R/ Tipe dan jumlah cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan dan respon klien
secara individual.
b. Albumin, plasma, atau dekstran.
R/ Plasma ekspander (pengganti) dibutuhkan jika mengancam jiwa atau tekanan darah
sudah tidak dapat kembali normal dengan usaha rehidrasi yang telah dilakukan.
c. Pasang kateter urine.
R/ Memberikan pengukuran yang tepat terhadap pengeluaran urine terutama jika
neuropati otonom menimbulkan retensi atau inkontinensia.
3) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik
(neuropati perifer) ditandai dengan gangren pada extremitas.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan tidakterjadi komplikasi.
Kriteria Hasil :
1. Menunjukan peningkatan integritas kulit
2. Menghindari cidera kulit
Intervensi :
1. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna,turgor,vaskuler,perhatikan kemerahan.
R/ Menandakan aliran sirkulasi buruk yang dapat menimbulkan infeksi
2. Ubah posisi setiap 2 jam beri bantalan pada tonjolan tulang
R/ Menurunkan tekanan pada edema dan menurunkan iskemia
3. Pertahankan alas kering dan bebas lipatan
R/ Menurunkan iritasi dermal
4. Beri perawatan kulit seperti penggunaan lotion
R/ Menghilangkan kekeringan pada kulit dan robekan pada kulit
5. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik
R/ Mencegah terjadinya infeksi
6. Anjurkan pasien untuk menjaga agar kuku tetap pendek
R/ Menurunkan resiko cedera pada kulit oleh karena garukan
7. Motivasi klien untuk makan makanan TKTP
R/ Makanan TKTP dapat membantu penyembuhan jaringan kulit yang rusak
4) Kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang kurang.
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kelelahan dapat teratasi.
Kriteria hasil :
1. klien dapat mengidentifikasikan pola keletihan setiap hari.
2. klien dapat mengidentifikasi tanda dan gejala peningkatan aktivitas penyakit yang
mempengaruhi toleransi aktivitas.
3. klien dapat mengungkapkan peningkatan tingkat energi.
4. klien dapat menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas
yang diinginkan.
Intervensi :
1. Diskusikan kebutuhan akan aktivitas. Buat jadwal perencanaan dan identifikasi
aktivitas yang menimbulkan kelelahan.
R/ Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat aktivitas
meskipun klien sangat lemah.
2. Diskusikan penyebab keletihan seperti nyeri sendi, penurunan efisiensi tidur,
peningkatan upaya yang diperlukan untuk ADL.
R/ Dengan mengetahui penyebab keletihan, dapat menyusun jadwal aktivitas.
3. Bantu mengidentivikasi pola energi dan buat rentang keletihan. Skala 0-10 (0 =
tidak lelah, 10 = sangat kelelahan)
R/ Mengidentifikasi waktu puncak energi dan kelelahan membantu dalam
merencanakan akivitas untuk memaksimalkan konserfasi energi dan produktivitas.
4. Berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup/ tanpa diganggu.
R/ Mencegah kelelahan yang berlebih.
5. Pantau nadi , frekuensi nafas, serta tekanan darah sebelum dan seudah melakukan
aktivitas.
R/ Mengindikasikan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara fisiologis.
6. Tingkatkan partisipasi klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai
kebutuhan.
R/ Memungkinkan kepercayaan diri/ harga diri yang positif sesuai tingkat aktivitas
yang dapat ditoleransi.
7. Ajarkan untuk mengidentifikasi tanda dan gejala yang menunjukkan peningkatan
aktivitas penyakit dan mengurangi aktivitas, seperti demam, penurunan berat
badan, keletihan makin memburuk.
R/ Membantu dalam mengantisipasi terjadinya keletihan yang berlebihan.
5) Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan glukosa darah yang tinggi.
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan tidak terjadi tanda-tanda
infeksi
Kriteria hasil :
1. Tidak ada rubor, kalor, dolor, tumor, fungsiolesia.
2. Terjadi perubahan gaya hidup untuk mencegah terjadinya infeksi.
Intervensi :
1. Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan sperti demam, kemerahan, adanya
pus pada luka, sputum purulen, urine warna keruh atau berkabut.
R/ Pasien mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah mencetuskan
keadaan ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi nosokomial.
2. Tingkatkan upaya pencegahan dengan melakukan cuci tangan yang baik pada
semua orang yang berhubungan dengan pasien termasuk pasiennya sendiri.
R/ Mencegah timbulnya infeksi nosokomial.
3. Pertahankan teknik aseptik pada prosedur invasif.
R/ Kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi meddia terbaik dalam
pertumbuhan kuman.
4. Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh, masase daerah
tulang yang tertekan, jaga kulit tetap kering, linen kering dan tetap kencang.
R/ Sirkulasi perifer bisa terganggu dan menempatkan pasien pada peningkatan
risiko terjadinya kerusakan pada kulit.
5. Berikan tisue dan tempat sputum pada tempat yang mudah dijangkau untuk
penampungan sputum atau secret yang lainnya.
R/ Mengurangi penyebaran infeksi.
6. Kolaborasi
a. Lakukan pemeriksaan kultur dan sensitifitas sesuai dengan indikasi.
R/ Untuk mengidentifikasi adanya organisme sehingga dapat memilih atau
memberikan terapi antibiotik yang terbaik.
b. Berikan obat antibiotik yang sesuai
R/ Penanganan awal dapat mambantu mencegah timbulnya sepsis.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. (2002) . Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. EGC,
Jakarta.
Corwin, EJ. (2009). Buku Saku Patofisiologi, edisi revisi. EGC, Jakarta.
Kushariyadi. (2010) . Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia . Salemba Medika,
Jakarta.
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Media Aesculapius,
Jakarta.
Smeltzer; Suzanne C; dkk. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin
asih. EGC, Jakarta.