Anda di halaman 1dari 6

TUGAS INDIVIDU

Dosen Pembimbing :
Drs. H Suparto , M.Sc, MM. M.Pd

Disusun Oleh :
BIMA BAGASKARA (E41181974)

JURUSAN : TEKNOLOGI INFORMASI


PRODI : TEKNIK INFORMATIKA

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL


POLITEKNIK NEGERI JEMBER
2018
PERLUKAH PEMUTARAN FILM G30S/PKI

FILM (G 30 S/PKI) mencatat sejarah kelam. TNI memutar kembali film tersebut
bukan untuk membuka luka lama. Tapi untuk menunjukkan sejarah itu kepada anak bangsa.
Khususnya generasi muda yang belum tahu bahwa pernah terjadi peristiwa kelam yang
sangat pahit pada malam 30 September 1965.
Mereka harus tahu sejarah G 30 S/PKI agar hal serupa tidak terulang di kemudian
hari. Bahwa pernah terjadi peristiwa kelam di masa lalu, iya. Tapi, jangan sampai itu kembali
terjadi karena akan sangat menyakitkan. Apalagi bagi TNI. Gerakan tersebut merupakan
pengalaman buruk. Sebab, sejumlah perwira TNI turut menjadi korban. Secara tiba-tiba
mereka dihabisi.Film karya Arifin C. Noer itu mengisahkan peristiwa yang pernah terjadi.
Namun, kemudian menghilang. Sejarah tentang G 30 S/PKI tidak ada lagi. Karena itu, TNI
memutar kembali film G 30 S/PKI. Tujuannya, menginformasikan sejarah tersebut dengan
menayangkan film itu. Setiap prajurit TNI saya wajibkan menonton film tersebut, sedangkan
masyarakat umum sama sekali tidak ada paksaan. Tidak satu pun selain presiden punya
kewenangan melarang panglima TNI memerintahkan prajurit TNI menonton film itu. Sebab,
yang memegang kendali panglima TNI hanya presiden sebagai panglima tertinggi. Sudah
berkali-kali disampaikan bahwa maksud pemutaran film G 30 S/PKI tidak lain untuk
menunjukkan sejarah demi kebaikan di masa mendatang.Sesuai pesan Presiden Soekarno,
jangan pernah melupakan sejarah. Karena itu, TNI tidak menanggapi pandangan miring soal
pemutaran film tersebut. Ada yang bilang dipolitisasi. Apa yang saat ini tidak dipolitisasi?
Ada yang curiga, wajar. Ada yang berpersepsi lain, wajar. Berkomentar apa pun, wajar. Yang
penting, jangan sampai menyebarluaskan berita bohong.
Sejak awal, niatan memutar film G 30 S/PKI itu baik. Bukan untuk membuat polemik.
Kisah yang ditayangkan dalam film tersebut merupakan sejarah. Jika TNI tidak
menyampaikan, tidak menginformasikan, lalu siapa lagi (yang peduli)? Sementara generasi
muda terus tumbuh. Saat ini mereka besar dengan didampingi beragam berita dari media
sosial. Jangan sampai tidak sadar, apalagi abai terhadap sejarah.
Jika sejarah tersebut kembali terjadi, yang menderita bangsa ini. Karena itu, tidak
boleh terjadi lagi peristiwa serupa G 30 S/PKI. Latar belakang masyarakat Indonesia sangat
beragam. Hanya Pancasila ideologi yang tepat. Yang mampu menyatukan setiap perbedaan.
Tidak ada ideologi lain selain Pancasila yang mampu menjaga keutuhan dan kesatuan
Indonesia.
Sementara itu, usul presiden membuat versi baru film G 30 S/PKI tersebut juga cukup
baik. Sebagai bagian dari pemerintah, TNI bersama pemerintah (satu suara) apabila memang
film itu dibuat versi baru. Yang dibuat pemerintah, TNI akan mengikuti. Tentu pemerintah
juga tidak sembarangan. Membuat versi baru film tersebut tentu tidak boleh asal. Tetapi
melalui riset serta dengan waktu yang tidak sedikit.
Saat ini TNI memutar film yang ada. Perkara terdapat beberapa adegan berdarah, ada
lembaga sensor yang mengurusnya. Tentu dengan bantuan lembaga lain. Yang jelas, TNI
memutar film G 30 S/PKI untuk menunjukkan sejarah. Peristiwa yang tidak dapat dihapus
dari sejarah bangsa. Namun, jangan dan tidak boleh lagi terulang kembali.
Nobar film G 30 S/PKI sangat urgen. Film ini tidak hanya menjadi pengingat, tapi
juga wujud perjuangan melawan lupa. Bahkan, film ini dapat menjadi sarana edukatif. Sebab,
dengan menonton film ini, jiwa nasionalisme anak-anak SD akan semakin tebal dan mereka
semakin mencintai perjuangan para pahlawannya. Anak SMP bisa meneladani perjuangan
pahlawannya. Sedangkan anak SMA dan mahasiswa akan semakin kritis. Mereka akan
melakukan analisis terhadap G 30 S terkait pertanyaan mengapa terjadi peristiwa tersebut dan
ke mana arah kejadian tersebut.
PENDAPAT ANDA JIKA PEMERINTAH MEMINTA MAAF KEPADA KELUARGA
PKI

Mengapa negara harus meminta maaf? Apakah maaf menyelesaikan masalah?


Mengapa begitu penting kata itu diucapkan, sembari para penyintas menuntut keadilan?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menguak dalam berbagai tulisan di Facebook,
Twitter, blog, dan situs terkait pentingnya kata maaf dalam peristiwa 1965. Pemerintah
sendiri menegaskan belum ada keputusan apapun terkait apakah negara akan meminta
maaf tentang peristiwa 1965.
Namun Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Menkopolhukam untuk mencari
kuburan massal.
Bilapun ketika negara betul memita maaf, bisakah Anda menerimanya? Ketika Anda
disiksa, disengat listrik, dan ditelanjangi seperti Deborah Sumini?

Ada banyak argumen muncul baik yang pro dan kontra permintaan maaf. Berikut
rangkuman sejumlah pendapat yang tulisan lengkapnya bisa Anda baca dalam tautan-tautan
yang kami sertakan.

1. Apa itu maaf, untuk apa, lalu apa?


Salah satu opini yang paling banyak dibagikan adalah Catatan Pinggir esais
Goenawan Muhammad dalam majalah Tempo yang berjudul "Maaf".
"Kepala Negara meminta maaf? Untuk apa? Untuk kejahatan yang bukan
kejahatannya, atas nama Negara yang sebenarnya tak bisa diwakilinya?" begitu salah satu
kutipan dalam tulisan yang mendapat banyak kritik di media sosial.
"Apa sulitnya minta maaf atas tragedi 65? Ternyata buat GM sulit. But can the president
speak for himself?" kata Damar Juniarto di Twitter. "Bahkan permintaan maaf pada jutaan
orang yang dirampas hidupnya saja dianggap tak perlu oleh GM. Pun ia menghilangkan
tanggungjawab negara!" kata yang lain.

Tapi tak semua mengkritik, "GM memang benar. Apalah arti sebuah maaf? Yang
dibutuhkan adalah pengungkapan kebenaran, rekonsiliasi, dan pelurusan sejarah. Bukan
maaf," kata @siputriwidi di Twitter.
Menanggapi beragam reaksi ini, dua hari setelahnya, Goenawan Muhammad menulis
kembali dalam situs Qureta, yang menegaskan opininya bahwa "kejahatan Negara di
pertengahan 1960-an, di bawah rezim Soeharto, tak bisa diteruskan jadi dosa Negara
Indonesia di awal abad ke-21 yang justru dilahirkan kembali dengan menampik Orde Baru."
"Ketika Negara yang sekarang minta maaf untuk dosa itu, ia mau tak mau hanya
jadi proxy -- dan permintaan maaf dari si "pengganti" tak akan bisa setara nilainya, baik
dalam ketulusan maupun efek psikologisnya, dengan permintaan maaf yang diungkapkan
mereka yang berbuat kejahatan."
2. 'Maaf itu pintu'
Ugoran Prasad, fiksionis, peneliti kajian pertunjukan, yang juga aktif dalam kelompok
musik Melancholic Bitch ikut memberi tanggapan dalam tulisannya berjudul Pintu.

Dalam tulisannya dia mengatakan bahwa maaf memang tidak cukup, tetapi maaf bisa
jadi awal atau pintu untuk langkah selanjutnya, termasuk misalnya membangkitkan kembali
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, perubahan drastis kurikulum pendidikan sejarah, dan
lain-lain.

"Begitu banyak yang harus dilakukan, dan seluruhnya tak bisa dilakukan tanpa
bermula dari sikap-penanda keadilan dari negara untuk mengakui kesalahan ini. Tanpa maaf,
kita berputar di tempat, sibuk bertengkar dengan tetangga sendiri, babak yang tak selesai-
selesai, bengong di lereng, tak bisa naik, tak mungkin turun. Bahkan Camus, yang percaya
bahwa batu harus sampai puncak terlebih dahulu sebelum menggelinding jatuh lagi, tak bakal
suka drama macam ini," tulisnya.

3. 'Maaf itu murah'


Dalam status Facebook, penulis dan peneliti Made Supriatma enggan membicarakan
maaf. "Maaf itu Murah," katanya di awal tulisan. "Pertanyaan saya, apakah kita mau minta
maaf atau minta keadilan?"

"Sudahlah. Berhentilah maaf-maafan. Kita minta keadilan. Negara ini berjanji menegakkan
keadilan. Bukan membuka pintu maaf ... Maaf, saya tidak sependapat dengan maaf-maafan."

4. Maaf itu tentang memberikan ketenangan pada mereka yang dilukai


"Kepala Negara meminta maaf? Ini lebih konyol ketimbang pertanyaan internet cepat
buat apa?" kata penulis Arman Dhani dalam status Facebook-nya.

"Ini bukan soal pemerintah siapa yang menjagal dan pemerintah siapa yang minta
maaf. Ini soal memberikan rasa lega kepada mereka yang kepalang menanggung dosa yang
tak pernah mereka buat."

5. Mengapa sulit minta maaf?


Sementara itu Coen Husain Pontoh, mahasiswa ilmu politik di City University of New
York, dalam situs IndoProgress mencoba mencari jawaban tentang mengapa meminta maaf
sulit.

Ada dua sisi yang dia ulas, yaitu dari perspektif hak asasi manusia (HAM) dan
perspektif ekonomi politik. Dalam kesimpulannya Coen mengatakan bahwa meminta maaf
pada akhirnya adalah langkah awal untuk mengungkap mengapa, untuk kepentingan siapa,
dan siapa yang diuntungkan dari 'genosida' tersebut.

"Permintaan maaf itu, karenanya, bisa berujung pada pembalikan kembali Negara
Indonesia ke relnya semula, yakni sebuah Republik seperti yang diamanatkan oleh
Proklamasi 17 Agustus 1945. Dan itu adalah ancaman nyata buat mereka."
Image captionDokumen yang dimiliki Supardi, eks tapol 1965.
6. 'Refleksi yang tidak hitam putih'

Terkait polemik yang ditimbulkan tulisan Goenaawan Mohamad, Saidiman Ahmad


yang menyelesaikan program doktoral di Canbera, Australia mengaggap, kebanyakan orang
keliru dalam menafsirkan catatan Goenawan.

Di akun Facebooknya, Saidiman menulis, "banyak yang kurang mengerti cara


membaca catatan pinggir. Dikiranya catatan pinggir itu semacam makalah kuliah yang runut,
sistematis dan berisi tesis yang jelas terang. Bukan."

Ditandaskannya, Catatan Pinggir, kolom tetap Goenawan Mohamad di majalah


Tempo, "acapkali hanyalah refleksi atas persoalan yang rumit, yang tidak hitam dan putih.
Sebuah catatan tanpa jawaban pasti. Sebuah kegelisahan yang dibiarkan mengambang.
Catatan yang dibiarkan tidak selesai."

Lalu, apa kata penyintas dan keluarga korban soal maaf?


Wacana minta maaf sudah ramai dibicarakan tahun lalu, tepat 50 tahun peristiwa 1965
terjadi. BBC Indonesia bertanya pada sejumlah penyintas, termasuk Tedjabayu
Sudjojono, aktivis organisasi pemuda CGMI, yang ditangkap Oktober 1965 dan dibuang ke
Pulau Buru.

"Saya tidak mengharapkan terlalu banyak," katanya. "Meski banyak teman-teman


yang mengharapkan kompensasi, ganti rugi. Hanya satu syaratnya, mereka (pemerintah)
minta maaf, bahwa itu ada kompensasi itu nanti dulu. Kalau tidak minta maaf dan bahkan
menghukum mereka, bagi saya tidak masuk akal, karena nanti akan membangkitkan dendam
kembali dan saya tidak setuju itu."

Yadiono, 79 tahun, yang ditangkap karena dituduh menjadi anggota PKI mengatakan
pemerintah tidak perlu minta maaf. "Untuk apa minta maaf? Kembalikan nama baik kami.
Tidak ada guna minta maaf, kami ini tidak salah dibuang tanpa pernah diadili bagaimana
dengan hukum di negara ini."
Daftar Pustaka

http://library.uinsby.ac.id/?p=3062

https://kumparan.com/@kumparannews/alasan-film-g30s-pki-perlu-diputar-lagi

https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/08/150823_indonesia_rekonsiliasi

https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/04/160428_trensosial_mintamaaf

Anda mungkin juga menyukai