Anda di halaman 1dari 6

Fanconi anemia (FA) ditemukan oleh pada 1927 oleh Guido Fanconi.

Fanconi anemia adalah


gangguan darah dimana sumsum tulang tidak membuat sel darah yang cukup atau membuat jenis
sel darah abnormal. Gangguan yang bersifat preogresif ini diturunkan secara autosom resesif dengan
terkait dengan kromosom X. (Moghadam) (Fanconi Anemia Research fund)

Fanconi anemia ditemukan pada semua ras. Meskipun begitu, frekuensi terbesar dapat dtemukan
pada Afrika Selatan, orang kulit hitam sub-Sahara, dan gipsi Spanyol. Angka kelahiran penderita FA
mencapai 1 kasus per 40.000 kelahiran di dunia. Rasio ini cenderung meningkat jika dilihat pada
orang-orang Yahudi Ashkenazi di Amerika Serikat yaitu sebesar 1 kasus per 30.000 kelahiran dengan
frekuensi carrier mencapai 1:90 orang. Rasio perbandingan laki-laki dan perempuan penderita FA
hampir mencapai 1:1. Penyakit ini muncul pada usia rata-rata 8 tahun (mulai dari 2-15 tahun)
dengan rentang hidup 0-50 tahun (rata-rata 20 tahun). (dufour) (Lipton)

Etiopatofisiologi

Falconi anemia disebabkan oleh mutasi pada setidaknya 16 gen yaitu FANCA, FANCB, FANCC,
FANCD1 (BRCA2), FANCD2, FANCE, FANCF, FANCG (XRCC9), FANCI (KIAA1794), FANCJ (BRIP1), FANCL
(PHF9/POG), FANCM (Hef), FANCN (PALB2), FANCO (RAD51C), FANCP (SLX4), FANCQ (XPF/ERCC4).
Protein yang dihasilkan dari gen ini terlibat dalam proses sel yang dikenal sebagai jalur FA. Jalur FA diaktifkan
ketika terjadi proses replikasi DNA. Jika terjadi kerusakan DNA, protein yang dikodekan oleh gen-gen
mutan ini akan dikirimkan ke area tersebut sehingga pada saat perbaikan DNA, gen mutan ini akan
ikut tereplikasi. Gen yang telah mengalami mutasi tersebut juga akan menyebabkan peningkatan
kerusakan DNA yang dapat menyebabkan munculnya pertumbuhan sel abnormal. Pertumbuhan sel
abnormal yang tidak terkontrol akan menyebabkan leukemia myeloid akut atau kanker lainnya
(Brouch) (Dufour)

Jalur FA sangat responsif terhadap jenis kerusakan DNA tertentu yang dikenal sebagai interstrand cross-link
(ICLs). ICL terjadi ketika dua nukleotida DNA pada untaian DNA yang berlawanan secara abnormal
dihubungkan bersama dan akan menghentikan proses replikasi DNA. ICL dapat disebabkan oleh penumpukan
zat beracun yang diproduksi dalam tubuh atau oleh pengobatan dengan obat terapi kanker tertentu. Sejumlah
delapan protein yang terkait dengan kelompok anemia Fanconi bersama-sama membentuk kompleks yang
dikenal sebagai kompleks inti FA. Kompleks inti FA mengaktifkan dua protein, yang disebut FANCD2 dan
FANCI. Aktivasi kedua protein ini membawa protein perbaikan DNA ke area ICL sehingga ikatan silang dapat
dihapus dan replikasi DNA dapat dilanjutkan. (NIH) (Brouch)

Sekitar 80-90% pasien FA mengalami mutasi oleh yang diawali oleh sejumlah gen seperti FANCA, FANCC,
dan FANCG. Gen tersebut akan memberikan instruksi untuk memproduksi komponen kompleks inti FA. Mutasi
pada salah satu dari banyak gen yang terkait dengan kompleks inti FA akan menyebabkan kompleks menjadi
tidak berfungsi dan mengganggu seluruh jalur FA. Akibatnya, kerusakan DNA tidak diperbaiki secara efisien
dan ICL bertambah seiring waktu. ICL akan menganggu replikasi DNA dan akhirnya akan mengakibatkan
kematian sel abnormal karena ketidakmampuan membuat molekul DNA baru atau pertumbuhan sel yang tidak
terkendali karena kurangnya proses perbaikan DNA. Sel-sel yang membelah dengan cepat seperti sel-sel
sumsum tulang dan sel-sel janin yang sedang berkembang akan sangat terpengaruh dengan keadaan ini.
Kematian sel-sel ini menghasilkan penurunan sel darah dan karakteristik kelainan fisik anemia Fanconi. Ketika
penumpukan kesalahan pada DNA menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak terkendali, individu yang terkena
dapat mengembangkan leukemia myeloid akut atau kanker lainnya. (NIH) (Dufour)
1. MK dan MO
MK
Sebanyak 60-75% pasien FA mengalami kelainan kongenital seperti mikrosefalus, gangguan
endokrin, pigmentasi kulit yang berbentuk titik-titik café au lait, peteki, dan kecacatan
pertumbuhan. Sementara itu, sekitar 60-70% pasien memiliki karakteristik klinis berupa
kelainan mental dan fisik, kegagalan sumsum tulang, peningkatan risiko keganasan, disfungsi
endokrin termasuk gangguan hormon pertumbuhan, hipotiroid, terlambatnya pubertas,
diabetes dan osteoporosis. Pasien FA juga dapat mengalami kelainan lain yang melibakan
organ dan sistem lain seperti mata, jari-jari, ginjal, kandung kemih, telinga, jamtung, sistem
gastrointestinal, dan sistem saraf pusat. Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai
berupa anemia progresif, pansitopenia atau kegagalan sumsum tulang. Sementara itu,
kemandulan juga dapat muncul sebagai manifestasi klinis pada FA. Sebanyak 50%
perempuan dengan FA mengalami kemandulan. Hal ini berhubungan juga dengan komplikasi
kehamilan seperti pre eklampsia dan persalinan prematur. Pasien FA pria biasanya
mengalami malformasi geniral, hipoplastik gonad dan jumlah sperma yang rendah. (Wu ZH)
(Lipton) (FARFund)

MO
Kelainan perkembangan tulang dan ggigi yang telah dilaporkan pada pasien FA antara lain
Microdontia, supernumerary teeth, agenesis, perubahan warna gigi, bentuk dan posisi yang
abnormal, terhambatnya perkembangan gigi (terhambatnya gigi tanggal dan terhambatnya
erupsi), dan micrognatia. Sementara itu, perubahan oral yang terdapat pada pasien FA
seperti gingivitis, periodontitis, makroglosia, perdarahan abnormal, karies, disfungsi glandula
saliva, ulcer, hingga kanker mulut. (FARFund) (Goswami)

Gingivitis dan periodontitis adalah manifestasi oral terbanyak yang muncul paada pasien FA.
Trombositopenia yang sering dijumpai pada pasien FA sebagai kondisi sistemik dapat
memperburuk kondisi perdarahan. Keberadaan kelompok bakteri actinomyces dan
cytomegalovirus berkaitan dengan periodontal agresif terutama pada individu yang
mengalami kondisi imunosupresi. Selanjutnya, pasien FA yang telah menerima transplantasi
sumsum tulang (bone marrow transplantation / BMT) dan sedang mengalami kondisi
imunosupresi akibat penggunaan obat imunospresan akan meningkatkan kerentanannya
terhadap infeksi periodontal. Namun pada studi lain menunjukkan bahwa indeks plak, indeks
gingival dan kedalaman probing dan perdarahan saat probing menunjukan nilai yang lebih
tinggi pada individu yang tidak melakukan BMT (D’Agulham) (Falci)

Karies berhubungan erat dengan akumulasi biofilm dan kebersihan rongga mulut. Tidak ada
perbedaan yang signifikan pada jumlah mikroba dalam mulut pada pasien FA yang
mengalami komplikasi hematologis. Hal ini dapat dijelaskan karena perawatan kesehatan
sedang difokuskan pada keadaan sestemik seperti kontrol diet. Konsumsi harian, keadaan
mikroba kariogenik, kurangnya kondisi sosioekonomi dan kurangnya akses kesehatan gigi
merupakan faktor yang berhubungan dengan karies (D’Agulham) (Singh)
2. Treatment
Gejala utama FA adalah kegagalan sumsum tulang progresif biasanya selama masa kanak-
kanak dengan meningkatnya pansitopenia, seringkali diawali dengan trombositopenia atau
leukopenia. Karena peran penting trombosit dalam hemostasis dalam membentuk sumbat
awal pada cedera pembuluh darah, trombositopenia parah menghadirkan risiko tinggi untuk
perdarahan pasca operasi setelah pencabutan gigi pada pasien ini. Jika ditinjau dari keadaan
hemostatis, pencabutan gigi sederhana saja daoat menjadi kondisi yang serius jika tidak
menjalankan tindakan pencegahan yang teapat. Prosedur perawatan gigi yang tidak infasif
tidak membutuhkan tranfusi platelet profilaksis. Sementara untuk prosedur infasif,
desmopresin dan obat antifibrinolitik biasanya digunakan pada kasus ringan dan pada kasus
berat digunakan tranfusi platelet (Goswani) (Singh)

Pasien FA lebih mudah terjangkit infeksi, maka dari itu pencegahan yang tepat harus
dilakukan untuk menghindari situasi yang berisiko infeksi atau perdarahan. Obat kumur
antibakter dan antibiotik oral dapat diresepkan sebelum prosedur perawatan gigi dilakukan.
sebelum adanya tindakan infasif atau bedah minor harus dilakukan pemeriksaan level
platetet dan menjaganya agar bisa mencapai kualitas optimal untuk persiapan prosedur
perawatan. Pada kasus pencabutan atau bedah minor, dapat digunakan agen hemosstatik
lokal seperti BLOTOCLOT/Gelfoam dapat memberi keuntungan untuk menjaga hemostatis.
Perawatan dari infeksi gigi akut harus dilaksanakan segera dan sumber infeksi mulut harus
dihilangkan agar dapat dipastikan tidak adanya lagi infeksi. Pencabutan gigi selalu lebih baik
dibandingkan untuk melakukan terapi pulpa karena pencabutan lebih efektif untuk
menghentikan penyebaran infeksi ke periapikal yang dapat menyebabkan komplikasi lebih
serius pada pasien dengan kondisi imunosupresi. Karies ringan harus direstorasi dan gigi
yang mengalami karies parah harus segera dicabut sebelum pasien melakukan transplantasi.
(Kaul) (Falci)

Jumlah ambang batas trombosit untuk pasien trombositopenik yang harus menjalani prosedur
bedah tetap tidak diklarifikasi dalam literatur saat ini. Namun, praktik umum untuk
meningkatkan jumlah trombosit menjadi setidaknya 50.000 / μL. Untuk prosedur di daerah
kritis, seperti otak atau mata dan untuk operasi besar, jumlah trombosit harus dinaikkan
menjadi setidaknya 100.000 / μL. (Peisker) (Goswami)

Diperlukan data jumlah trombosit pasca transfusi sebelum memulai operasi. Konsentrat
trombosit tambahan dapat ditransfusikan secara intraoperatif dan pasca operasi tergantung
kondisinya. Selain itu, penggunaan prosedur hemostatik lokal diperlukan untuk mengurangi
kebutuhan produk darah dan risiko perdarahan pasca operasi. Jenis obat yang dipilih pada
kasus adalah TA yang merupakan turunan sintetis dari asam amino lisin. Obat ini dapat
menyebabkan aktivitas antifibrinolitik pada manusia. Obat ini memiliki kemampuan untuk
menempel pada situs pengikat lisin dari plasminogen dan memblokir pengikatan ke fibrin
serta aktivasi dan transformasi ke plasmin. Dengan demikian, fibrinolisis dan degradasi
gumpalan darah terhambat. Di beberapa negara, TA tidak tersedia. Epsilon aminocaproic acid
(EA) memiliki efek yang serupa dengan TA. Namun, EA menunjukkan waktu paruh plasma
yang sedikit lebih pendek dan menunjukkan aktivitas antifibrinolitik yang lebih sedikit
daripada TA. Langkah-langkah lokal lainnya seperti bulu kolagen, selulosa teroksidasi, spons
gelatin, lem fibrin dan cyanoacrylate juga dilaporkan bermanfaat untuk hemostasis lokal.
Selanjutnya, tindakan ini dapat dikombinasikan dengan obat antifibrinolitik untuk
mempotensiasi efek hemostatik. Selain itu, EA atau TA sistemik dapat digunakan jika
hemostasis lokal dan transfusi trombosit tampak tidak memadai. Dosis pemuatan 10 g
intravena diikuti dengan 1 g / jam dianjurkan untuk mencapai konsentrasi plasma yang
efektif. Untuk mencegah perdarahan sekunder, bahan jahitan resorbable digunakan untuk
menghindari pengangkatan jahitan. Obat non-steroid, antiinflamasi, dan aspirin, yang
menghambat fungsi trombosit, harus dihindari untuk pengendalian nyeri. Parasetamol adalah
alternatif yang aman untuk mencegah rasa sakit pasca operasi. (Peisker) (Falci) (D’Agulham)

Ada protokol pengobatan yang berhasil dalam literatur saat ini untuk pasien yang terkena
trombositopenia. Pasien dianjurkan menerima 1 U trombosit donor tunggal sebelum operasi.
EA diberikan melalui infus terus menerus selama prosedur dengan kecepatan 500 mg / jam.
Penambahan trombosit yang dikumpulkan dan sel darah merah yang dikemas diberikan secara
intraoperatif. Setelah mengambil cangkok dari krista iliaka anterior gunakan bulu kolagen
untuk hemostasis lokal. Dua unit plasma beku segar diberikan pasca operasi dan infus EA
dilanjutkan pada 500 mg / jam selama 8 jam. Catat banyaknya kehilangan darah. Pantau
pemberian obat setelah operasi. Berdasarkan uraian tersebut didapatkan tiga protokol
perawatan untuk pasien dengan trombositopenia yang menjalani pencabutan gigi. Transfusi
trombosit dikombinasikan dalam satu kasus dengan spons gelatin untuk hemostasis lokal.
Dalam semua kasus, lokasi bedah ditutup sedari awal. Perdarahan pasca operasi setelah
operasi mulut pada pasien yang menunjukkan trombositopenia sulit untuk diprediksi,
meskipun sudah melaksanakan protokol pengobatan. Pemantauan pasien pasca operasi ini
diperlukan untuk mencegah perdarahan yang berlebihan. Kegagalan sumsum tulang terkait
pada pasien FA membutuhkan konsultasi pra operasi di Pusat Perawatan Onkologi
Hematologi. Kebutuhan transfusi darah dan trombosit sebelum operasi harus
dipertimbangkan. Selain risiko pengembangan infeksi luka dan hematoma, pasien FA dapat
memiliki masalah serius dalam terapi adjuvant. Karena meningkatnya kerentanan terhadap
rangsangan mutagenik, dosis standar radioterapi dan kemoterapi umumnya berkurang.
(Peisker) (Kaul) (Goswami)
DAFTAR PUSTAKA

Kaul R, Jain P, Saha S, Sarkar S. Fanconi Anemia in Pediatric Dentistry; Case Report and
Review of Literature. SRM Journal of Research in Dental Sciences. 2017; 8(2); 92-96.

vGoswami M, Bhushan U, Goswami M. Dental Prespective of Rare Disease of Fanconi


Anemia; Case Report with Review. Clin Med Insights Case Rep. 2016; 9:25-30.

Falci SGM, Faria PC, Tataounoff J, dos Santos CRR, Marques LS. Fanconi’s Anemia in
Dentistry; A Case Report and Brief Literature Review. Rev Odonto Ciencia 2014; 26(3): 5-7

vWu ZH. The Concept and Practice of Fanconi Anemia; From Clinical Bedside to The
Laboratory Bench. Transl Pediatr. 2014; 2(3): 112-119.

D’Agulham ACD, Chaibenn CL, Lima AASD, Torres-Pereira CC, Machado MAN. Fanconi
Anemia: Main Oral Manifestations. Rev Gauch Odontol. 2014; 62(3): 281-188.

vNational Institutes of Health. Fanconi Anemia. Genetics Home Reference: Health Conditions.
Jan 2014: [9 screens]. Available from: https://ghr.nlm.nih.gov/condition/fanconi-
anemia#sourcesforpage. Accessed February 26, 2019.

Lipton JM. Fanconi Anemia. Medscape. Jun 2018: [48 screens]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/960401-overview#showall . Acessed February 26,
2019.

vBourch D, Tolar J, Alter BP. Fanconi Anemia. National Organization for Rare Disease. Jan
2017: [24 screens]. Available from: https://rarediseases.org/rare-diseases/fanconi-anemia/ .
Accessed February 26, 2019.

Singh T, Andi K. Fanconi Anemia and Oral Squamous Cell Carcinoma; Management
Consiedrations. The New Zealand Medical Journal. 2017; 130 (1466): 60-67.

vDufour D. How I Manage Patients with Fanconi Anemia. British Journal of Haematology.
2017; 6: 146-156.

vFanconi Anemia Research Fund. Fanconi Anemia: Guidelines for Diagnosis and
Management. 4th edition. Eugene, Oregon; 2014.

vMoghadam AAS, Mahjoubi F, Reisi N, Vosough P. Investigation of FANCA gene in Fanconi


Anemia Patients in Iran. Indian J Med Res. 2016: 143: 184-196.
Peisker A, Raschke GF, Guentsch A, Roshanghias K, Schultze-Mosgau S. Management of
Dental Extraction in A Female Patient with Fanconi Anemia. J Dent Tehran. 2014; 11(5): 613-
619.

Anda mungkin juga menyukai