Anda di halaman 1dari 20

BLOK HARD TISSUE SURGERY

SELF LEARNING REPORT


CASE STUDY-1
“Anestesi”

TUTOR:

DISUSUN OLEH:
Asa Aolada Akhira
G1B016035

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO

2019
ANESTESI

A. Anestesi Lokal
Menurut Harty dan Ogston (1995), anestesi lokal adalah hilangnya rasa
atau sensasi pada bagian tubuh yang terlokalisir dan disebabkan oleh adanya
blokade impuls secara mekanis atau karena pemakaian obat tanpa disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversibel. Obat anestesi lokal
tersebut bekerja didalam akson dengan membentuk beberapa molekul
terionisasi yang akan memblok kanan Na+ sehingga potensial aksi tidak
mungkin terjadi (Rahardjo, 2009).. Terdapat empat manfaat dari anestesi,
yaitu manfaat diagnosis, terapeutik, menimbulkan rasa nyaman selama operasi
(perioperatif), dan mengurangi rasa sakit pada postoperatif.
Menurut Raharjo (2009) terdapat beberapa sifat anestesi lokal,
diantaranya:
a. Tidak iritasi dan merusak jaringan
b. Batas keamanan obat lebar
c. Waktu kerja obat lama
d. Masa pemulihan tidak terlalu lama
e. Larut dalam air
f. Stabil dalam larutan
g. Dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan
Keefektifan anestesi lokal sangat penting dan menjadi dasar penghilangan
rasa sakit di bidang endodontik karena perawatan endodontik tidak dapat
dilakukan tanpa menghilangkan rasa sakit (Reader, 2006). Agar dapat dicapai
anesthesia yang efektif, maka harus diketahui keadaan emosional dan fisik
pasien, pemahaman efek obat-obatan yang diinjeksikan, penggunaan teknik
anestesi yang tepat dan benar, serta keuntungan dan kerugian penambahan
vasokonstriktor (Wilder, 2011).
Anestesi lokal yang diberikan kepada pasien harus dalam dan seringkali
untuk mencapai keadaan ini tidak hanya menggunakan teknik konvensional
saja, tetapi memerlukan anestesi tambahan, seperti anestesi intra osseus,
ligamen periodonsium dan intra pulpa (Wray, 2003). Dengan demikian dapat
dicapai tingkat anestesi yang memadai sehingga dapat memberikan
kenyamanan kepada pasien selama perawatan endodontik berlangsung. Selain
itu prosedur endodontik dapat dilaksanakan dengan baik agar tercapai
keberhasilan perawatan yang diberikan (Walton, 2009).
1. Macam bahan anestesi lokal dan karakteristiknya
Bahan anestesi lokal berdasarkan ikatan kimianya dibagi menjadi dua
golongan besar, yaitu golongan ester (-COO-) dan golongan amida (-
NHCO-). Perbedaan keduanya terletak pada tempat metabolismenya,
dimana golongan ester di metabolisme di plasma, sedangkan golongan
amida di metabolisme di hati. Beberapa bahan anestesi lokal juga
ditambahkan dengan vasokonstriktor untuk mengurangi efek toksiknya
dan membatasi agen anestesi hanya pada daerah yang terlokalisir
walaupun vasokonstriktor memiliki kontraindikasi pada beberapa keadaan
tertentu (Yagiela, 2011).
a. Golongan Ester
Menurut Katzung, dkk (2014), bahan anestesi lokal golongan ester
dihidrolisis di dalam plasma oleh enzim pseudocholinesterase. Kadar
hidrolisis ini akan berpengaruh pada potensi toksisitas dari obat
anestesi. Hasil metabolisme dari golongan ester dapat menghasilkan
PABA yang dapat menimbulkan reaksi alergi. Bahan anestesi yang
termasuk dalam golongan ester, yaitu kokain, prokain, benzokain,
ametocaine, piperokain, tetrakain, dan kloroprokain.
1) Kokain
Pada umumnya, penggunaan kokain hanya terbatas pada anestesi
topikal untuk tindakan hidung, telinga, dan tenggorokan, karena
kokain memiliki efek vasokonstriktor yang kuat sehingga dapat
mengurangi terjadinya perdarahan. Sekarang kokain sudah jarang
digunakan karena digantikan dengan penggunaan bahan anestesi lain
yang dicampur dengan vasokonstriktor agar mengurangi efek
toksisitas secara sistemik (Katzung, dkk., 2014).
2) Prokain
Sejak diperkenalkan pada tahun 1905 dengan nama novokain,
prokain menjadi anestesi yang paling digemari selama lebih dari
lima puluh tahun, akan tetapi kini kegunaan prokain sudah
digantikan dengan lignokain dari golongan amida karena lebih aman
dan durasinya lebih panjang (Yagiela, 2011).
Pada awalnya, prokain digunakan untuk segala jenis anestesi,
namun karena potensinya rendah, onsetnya lambat, dan durasinya
pendek, maka kini penggunaannya sebatas untuk anestesi infiltrasi
saja. Prokain juga memiliki efek samping seperti bisa menimbulkan
reaksi hipersensitivitas, yang terkadang dalam dosis rendah sudah
dapat mengakibatkan kolaps hingga kematian (Yagiela, 2011).
3) Benzokain
Benzokain merupakan turunan dari prokain. Bahan ini tidak bisa
larut sempurna dalam cairan encer. Benzokain memiliki toksisitas
yang rendah karena cenderung bersifat menetap di lokasi aplikasi
dan tidak mudah diserap ke dalam sirkulasi sistemik (Katzung, dkk.,
2014). Benzokain sangat disarankan untuk anestesi pada permukaan
besar dalam rongga mulut. Efek samping yang ditimbulkan
benzokain adalah warna kebiruan pada kuku, bibir, kulit, atau
telapak tangan (Syarif, 2007).
b. Golongan Amida
Golongan amida dihidrolisis oleh degradasi enzim, tepatnya oleh
enzim mikrosomal di hati. Kecepatan metabolisme senyawa amida di
dalam hati sangat bervariasi pada setiap individu, akibatnya toksisitas
dari golongan amida ini akan meningkat pada pasien dengan gangguan
fungsi hati. Bahan anestesi yang termasuk dalam golongan ini, yaitu
lignokain, mepivakain, prilokain, bupivakain, etidokain, dibukain,
ropivakain, dan levobupivakain (Katzung, dkk., 2014).
1) Lignokain (Lidokain)
Lignokain merupakan anestesi lokal yang kuat dan dapat
digunakan secara luas dengan pemberian secara topikal maupun
suntikan. Anestesi ini bereaksi lebih cepat, lebih kuat, dengan durasi
yang lebih panjang daripada prokain. Pada larutan 0,5%
toksisitasnya sama dengan prokain, akan tetapi pada larutan 2%,
lignokain lebih toksik daripada prokain. Kerja lignokain akan lebih
baik apabila ditambahkan dengan vasokonstriktor (Katzung, dkk.,
2014).
Vasokonstriktor yang paling umum digunakan adalah epinefrin
(adrenalin) dengan konsentrasi 1:100.000 atau 1:80.000. sediaan
yang paling umum ditemukan adalah pehacaine yang merupakan
kombinasi dari lignokain, HCL (pelarut), dan vasokonstriktornya
(Howe dan Whitehead, 2013).
2) Mepivakain
Farmakologi dari mepivakain sangat mirip dengan lignokain.
Mepivakain lebih banyak digunakan untuk anestesi secara suntik
karena kurang efektif sebagai bahan anestesi topikal. Mepivakain
juga ditambahkan dengan vasokonstriktor, biasanya dengan
konsentrasi 1:80.000, akan tetapi untuk pasien yang memiliki
kontraindikasi dengan penggunaan vasokonstriktor, mepivakain
juga dipasarkan dalam bentuk larutan 3% tanpa vasokonstriktor
(Howe dan Whitehead, 2013).
3) Prilokain
Prilokain hanya digunakan untuk anestesi secara suntik karena
tidak efektif untuk anestesi topikal. Aksi yang ditimbulkan oleh
prilokain lebih cepat daripada lignokain, akan tetapi efek yang
ditimbulkan tidak terlalu dalam. Penggunaan prilokain
kontraindikasi pada bayi, wanita hamil, penderita
metahaemoglobinemia, gangguan hati, ginjal, dan gagal jantung
(Howe dan Whitehead, 2013).

2. Dosis, Onset, dan Durasi Bahan Anestesi Lokal


1. Kokain
Nama agen : Kokain hidroklorida spray 4%
Dosis maksimal : tanpa vasokonstriktor 2,8 mg/Kg
Onset : 4 menit
Durasi : 2-30 menit
2. Prokain
Nama agen : Prokain 2% dengan adrenalin 1:50.000
Nama dagang : Novocaine
Dosis maksimal :dengan vasokonstriktor 500 mg/Kg; tanpa
vasokonstriktor 200 mg/Kg
Onset : infiltrasi 31/2 menit; regional 71/4 menit
Durasi : infiltrasi 21/4 jam; regional 21/4 jam
3. Lignokain (Lidokain)
Nama agen : Lignokain 2% dengan adrenalin 1:80.000
Nama dagang : Pensacain
Dosis maksimal : dengan vasokonstriktor 500 mg/Kg; tanpa
vasokonstriktor 200 mg/Kg
Onset : infiltrasi 11/2 menit; regional 4 menit
Durasi : infiltrasi 3 jam; regional 3 jam
4. Prilokain
Nama agen : Prilokain 3% dengan adrenalin 1:30.000
Nama dagang : Citanest
Dosis maksimal : dengan vasokonstriktor 600 mg/Kg; tanpa
vasokonstriktor 400 mg/Kg
Onset : infiltrasi 11/2 menit; regional 4 menit
Durasi : infiltrasi 2 jam; regional 3 jam
5. Mepivakain
Nama agen : Mepivacaine 3%
Nama dagang : Carbocaine
Dosis maksimal : tanpa vasokonstriktor 400 mg/Kg
Onset : infiltrasi 21/2 menit; regional 41/2 menit
Durasi : infiltrasi 1 jam; regional 2 jam
(Howe dan Whitehead, 2013).
3. Teknik Anestesi Lokal
1. Anestesi Blok
Anastesi blok diindikasikan apabila suatu inflamasi atau infeksi
merupakan kontraindikasi untuk dilakukan injeksi supraperiosteal,
misalnya pasa operasi untuk membuka antrum atau ekstraksi beberapa
gigi sekaligus (Purwanto, 1993). Pada teknik anestesi blok, larutan
anestesi didepositkan di dekat batang saraf sehingga akan terjadi
pemblokiran seluruh impuls dan menimbulkan anestesi pada daerah
yang disuplai saraf tersebut (Howe dan Whitehead, 2013). Anestesi
blok terdapat dalam berbagai bentuk berkaitan dengan nervus yang di
blokir, antara lain inferior dental block, mental nerve block, posterior
superior alveolar block, infraorbital block, greater palatine block, dan
nasopalatine block (Wray, D., dkk., 2003).
Menurut Norton (2012), ada beberapa cara dalam melakukan
anestesi blok, yaitu:
a. Teknik Gow-Gates Block
Teknik ini merupakan variasi dari anestesi blok nervus
alveolaris inferior. Nervus yang teranestesi dengan menggunakan
teknik ini adalah nervus alveolaris inferior beserta cabangnya,
nervus bukalis longus, nervus lingualis, nervus mylohyoid, dan
nervus aurikulotemporalis. Teknik ini diindikasikan pada pasien
yang memerlukan dua tindakan atau lebih pada area gigi rahang
bawah dan mukosa bukal, bisa bekerja baik pada nervus alveolaris
bifida, dan pasien dengan beberapa komplikasi. Pada teknik ini,
jarum harus dipastikan berkontak dengan tulang leher kondilus
sampai kedalaman kira-kira 25 mm (Norton, 2012).
b. Teknik Akinosis
Teknik ini digunakan untuk menganestesi nervus alveolaris
inferior, nervus lingualis, serta nervus mylohyoideus. Teknik ini
dilakukan dengan mulut tertutup untuk menggapai nervus
mandibular, sehingga teknik ini cocok untuk pasien dengan
keterbatasan membuka mulut dengan lebar seperti pada penderita
trismus (Norton, 2012).
c. Teknik Fisher
Teknik ini digunakan untuk menganestesi nervus alveolaris
inferior, nervus insisivus, nervus mentalis, nervus lingualis, serta
nervus bukalis dalam beberapa prosedur yang melibatkan jaringan
lunak area posterior dari bukal. Indikasi digunakannya teknik ini
adalah pada prosedur pencabutan beberapa gigi dalam satu kuadran
dan prosedur pembedahan yang melibatkan jaringan lunak bagian
bukal anterior hingga M1, serta jaringan lunak bagian lingual
(Norton, 2012).
2. Anestesi Infiltrasi
Anestesi infiltrasi merupakan jenis anestesi yang didepositkan di
dekat serabut terminal saraf dan akan terinfiltrasi di daerah terlokalisir
yang disuplai oleh saraf tersebut (Howe dan Whitehead, 2013).
Terdapat beberapa teknik anestesi infiltrasi, yaitu:
a. Injeksi submukosa
Larutan anestesi didepositkan tepat di balik membran mukosa
dan cenderung tidak menimbulkan anestesi pada pulpa gigi. Injeksi
submukosa digunakan untuk menganestesi saraf bukal panjang
sebelum pencabutan gigi molar bawah ataupun sebelum tindakan
operasi jaringan lunak (Howe dan Whitehead, 2013).
b. Injeksi supraperiosteal
Digunakan pada bidang kortikal bagian luar dari tulang
alveolar yang tipis dan dapat terperforasi oleh saluran vaskular
yang kecil, sehingga larutan anestesi akan mudah terinfiltrasi pada
jaringan sekitarnya. Teknik ini merupakan teknik yang paling
sering digunakan dalam dunia kedokteran gigi (Howe dan
Whitehead, 2013).
c. Injeksi subperiosteal
Larutan anestesi didepositkan di antara periosteum dan bidang
kortikal. Teknik ini hanya dilakukan apabila tidak ada alternatif
lain karena menimbulkan rasa sakit yang tinggi (Howe dan
Whitehead, 2013).
d. Suntikan intraosseus
Larutan anestesi didepositkan pada tulang medularis sebanyak
0,25 ml. Teknik ini sangat efektif bila dilakukan dengan bantuan
bur dan jarum yang didesain secara khusus. Suntikan intraosseus
digunakan untuk anestesi pada pulpa yang disertai dengan
gangguan sensasi jaringan lunak ringan (Howe dan Whitehead,
2013).
e. Suntikan intraseptal
Merupakan modifikasi dari teknik intraosseus dan hanya dapat
digunakan setelah dilakukan anestesi superfisial. Teknik ini
digunakan apabila anestesi yang menyeluruh sulit diperoleh, akan
dipasang gigi tiruan immediate, dan digunakan apabila suntikan
supraperiosteal tidak dapat dilakukan (Howe dan Whitehead,
2013).
f. Suntikan intraligamen
Teknik ini digunakan untuk prosedur yang memerlukan durasi
selama 45-55 menit, digunakan untuk pasien anak karena tidak
menimbulkan rasa sakit kecuali injeksi dilakukan dengan cepat,
digunakan untuk prosedur perawatan multi kuadran, untuk
prosedur perawatan gigi tunggal, untuk prosedur perawatan
endodontik dan periodontal, serta dilakukan apabila anestesi sulit
diperoleh dengan metode yang lebih konvensional atau apabila
metode konvensional menjadi kontraindikasi (Howe dan
Whitehead, 2013).
3. Anestesi Topikal
Anestesi topikal merupakan jenis anestesi yang dilakukan dengan
cara mengaplikasikan agen anestesi tertentu pada daerah kulit maupun
membran mukosa untuk membaalkan ujung-ujung saraf superfisial dan
menganestesi dengan kedalaman 2-3 mm (Meechan, 2001). Manfaat
lainnya dari penggunaan anestesi topikal adalah untuk membaalkan
mukosa sebelum dilakukannya injeksi (Howe dan Whitehead, 2013).
Terdapat empat jenis anestesi topikal, yaitu:
a. Semprot atau spray
Bahan aktif dari jenis ini adalah lignokain hidroklorida 10%.
Anestesi spray digunakan untuk tindakan yang memerlukan waktu
singkat. Onset yang dibutuhkan adalah 1 menit dan durasinya
adalah 10 menit. Anestesi ini dapat didistribusi dengan mudah dan
menghasilkan efek yang lebih luas daripada yang diinginkan serta
memiliki efek antiseptik (Howe dan Whitehead, 2013).
Prosedur penggunaan anestesi ini yaitu dengan mengeringkan
daerah yang akan dianestesi, kemudian larutan anestesi
disemprotkan pada gulungan kapas kecil. Kapas yang mengandung
bahan anestesi tersebut diletakkan pada daerah sulkus yang akan
disuntikkan selama kurang lebih 1 menit (Howe dan Whitehead,
2013).
b. Salep atau ointment
Bahan aktif dari jenis ini adalah lignokain hidroklorida 5%.
Anestesi ointment digunakan untuk tindakan yang memerlukan
waktu cukup lama. Onset yang dibutuhkan adalah 3-4 menit
dengan durasi sekitar 1 jam. Anestesi ini dilakukan untuk
pemberian aplikasi pada gingiva lunak sebelum pemberian
tumpatan yang dalam. Cara penggunaannya dengan mengoleskan
salep pada area yang dituju (Howe dan Whitehead, 2013).
c. Emulsi
Bahan aktif dari jenis ini adalah lignokain hidroklorida 2%.
Anestesi emulsi digunakan apabila ingin mencetak seluruh rongga
mulut pasien yang sangat sensitivf atau mudah mual. Anestesi ini
juga dapat digunakan untuk mengurangi rasa nyeri post-operasi
seperti setelah melakukan gingivektomi. Prosedur penggunaan
anestesi emulsi, yaitu dengan mengambil 1 sendok teh emulsi yang
selanjutnya dikumur-kumur pada sekitar rongga mulut dan
orofaring, lalu dibiarkan selama 1-2 menit, dan kemudian dibuang
sesaat sebelum dilakukan tindakan pencetakan (Howe dan
Whitehead, 2013).
d. Etil klorida
Anestesi ini memiliki onset selama 1 menit. Etil klorida
digunakan untuk menganestesi permukaan sebelum dilakukannya
insisi dari abses fluktuan. Etil klorida bila disemprotkan pada kulit
atau mukosa akan menguap dengan cepat sehingga dapat
menimbulkan anestesi melalui efek pendinginan (Howe dan
Whitehead, 2013).

B. Pembahasan Kasus
 Skenario kasus 1A
Seorang pasien anak perempuan berusia 6 tahun datang bersama
ibunya ke RSGM untuk memeriksakan gigi depan bawah kanan yang
sudah goyah dan bisa digerak-gerakkan dengan lidah, serta benih gigi
penggantinya sudah sedikit terlihat dibelakang gigi susu yang goyah..
Pasien terlihat sangat kooperatif dan komunikatif. Setelah dilakukan
pemeriksaan, terlihat gigi 81 yang telah goyah derajat 3 dan gigi 41
terlihat sudah mulai erupsi sebagian pada sisi lingual gigi 81. Dokter
memutuskan untuk mencabut gigi 81 tersebut.
1. Pemeriksaan subjektif, objektif, diagnosis dan rencana perawatan
a. Pemeriksaan subjektif
1) Identitas Pasien
a) Usia : 6 tahun
b) Jenis kelamin: perempuan
2) Anamnesa
a) Chief complain : gigi depan bawah kanan yang sudah goyah
dan bisa digerak-gerakkan dengan lidah.
b) Present illness : benih gigi penggantinya sudah sedikit
terlihat dibelakang gigi susu yang goyah
b. Pemeriksaan objektif
1) Keadaan umum pasien : compos mentis
2) Pemeriksaan ekstraoral : tidak ada keterangan
c. Pemeriksaan intraoral : Terlihat gigi 81 yang telah goyah derajat 3
dan gigi 41 terlihat sudah mulai erupsi sebagian pada sisi lingual gigi
81.
d. Diagnosis
Gigi 81 persistensi
e. Rencana perawatan
1) Anestesi lokal gigi 81 dengan etil klorida spray
2) Ekstraksi gigi 81
3) Medikamentosa berupa analgesik (ibuprofen) selama 3 hari untuk
mengurangi rasa nyeri apabila dan antibiotik (amoxicillin) selama 5
hari untuk mencegah infeksi bakteri. Obat yang diberikan dalam
sediaan syrup atau puyer
4) Edukasi untuk menjaga kebersihan rongga mulut dan penggunaan
obat pada pendamping pasien (ibu)
2. Alat dan bahan anestesi yang digunakan
a. Alat : diagnostic set, cotton roll, kapas/kassa, APD.
b. Bahan :
1) Larutan povidone iodine 10% (larutan antiseptik)
2) Larutan etil klorida (larutan anestesi lokal)
3. Teknik dan prosedur anestesi sesuai kasus
a. Teknik
Teknik anestesi yang dilakukan pada pasien dengan luksasi derajat
2 berupa anestesi topikal. Pada kasus ini diberikan anestesi topikal
berupa spray dengan larutan etil klorida.
b. Prosedur
1) Mengeringkan daerah yang akan dianestesi dan dilanjutkan dengan
melakukan tindakan asepsis pada rongga mulut pasien dengan
povidone iodine 10% bila perlu.
2) Menyemprotkan larutan anestesi berupa etil klorida pada kapas.
3) Meletakkan kapas tersebut pada daerah mukosa sekitar gigi 81,
tunggu sekitar 1 menit sebelum melakukan ekstraksi. Durasi yang
didapatkan sekitar 10 menit.
 Skenario kasus 1B
Seorang laki-laki berusia 40 tahun datang ke poli gigi dengan keluhan
gigi geraham kanan bawah yang berlubang besar dan pernah sakit
sebelumnya. Pasien menginginkan gigi tersebut untuk dicabut. Hasil
pemeriksaan intraoral terdapat kavitas pada gigi 46 yang sudah mengenai
kamar pulpa. Tes sensitivitas dengan CE (-), sonde (-), perkusi (-), palpasi
(-). Dokter gigi tersebut mengedukasi pasien untuk mempertahankan gigi
tersebut dengan perawatan saluran akar, namun pasien tersebut menolak
dan tetap ingin gigi tersebut dicabut. Kondisi umum pasien baik dan tidak
memiliki riwayat penyakit sistemik. Pemeriksaan vital sign dalam batas
normal.

1. Pemeriksaan subjektif, objektif, diagnosis dan rencana perawatan


a. Pemeriksaan subjektif
1) Identitas Pasien
a) Usia : 40 tahun
b) Jenis kelamin : Laki-laki
2) Anamnesa
a) Chief complain : gigi geraham kanan bawah yang berlubang
besar dan pernah sakit sebelumnya
b) Present illness : terdapat kavitas pada gigi 46 yang sudah
mencapai kamar pulpa dan sempat sakit satu minggu lalu.
Pasien sudah sempat konsumsi obat dan keadaan sekarang sudah
tidak sakit
b. Pemeriksaan objektif
1) Keadaan umum pasien : compos mentis
2) Vital sign : normal
3) Pemeriksaan ekstraoral : tidak ada keterangan
4) Pemeriksaan intraoral : terdapat kavitas pada gigi 46 yang
sudah mengenai kamar pulpa. Tes sensitivitas dengan etil
klorida (-), sonde (-), perkusi (-), palpasi (-).
c. Diagnosa
Nekrosis pada gigi 46.
d. Rencana perawatan
1) Premedikasi dengan antibiotik (amoxicillin) dan antiinflamasi
(asam mefenamat)
2) Pemberian anestesi lokal berupa anestesi topikal, anestesi blok
mandibula, dan anestesi infiltrasi pada nervus buccalis longus
3) Ekstraksi gigi 46
4) Medikamentosa berupa analgesik (ibuprofen) selama 3 hari
untuk mengurangi rasa nyeri apabila timbul
2. Alat dan bahan anestesi yang digunakan
a. Alat : diagnostic set, disposable injection syringe, APD.
b. Bahan :
1) Larutan povidone iodine 10% (larutan antiseptik)
2) Lidokain spray 10% (larutan anestesi lokal)
3) Lidokain 2% dengan adrenalin 1:80.000 dalam ampul 2 cc
(larutan anestesi lokal)
3. Teknik dan prosedur anestesi sesuai kasus
a. Teknik
Teknik yang digunakan adalah anestesi topikal spray dengan
lidokain 10%, kemudian blok mandibula untuk menganestesi
nervus alveolaris inferior, nervus lingualis, dan nervus buccalis
longus. Seluruh gigi akan teranestesi kecuali insisivus sentral dan
lateral yang menerima inervasi dari serabut saraf sisi
kontralateralnya. Selain itu, anestesi biasanya kurang menyeluruh
pada aspek bukal gigi-gigi molar, maka perlu dilakukan anestesi
pada nervus buccalis longus dengan teknik infiltrasi.
b. Prosedur
1) Persiapan pasien terlebih dahulu pada posisi semisupine.
2) Mengeringkan daerah yang akan dianestesi dan dilanjutkan
dengan melakukan tindakan asepsis pada rongga mulut pasien
dengan povidone iodine 10% bila perlu.
3) Melakukan anestesi topikal dengan lignokain 10% sediaan
spray. Larutan anestesi disemprotkan pada gulungan kecil
kapas, kemudian kapas tersebut diletakkan pada daerah yang
akan disuntikkan selama kurang lebih 1 menit.
4) Injeksi mandibula dilakukan dengan memblok nervus
alveolaris inferior, dengan teknik palpasi fosa retromolar
dengan jari telunjuk hingga kuku jari menempel pada linea
oblique. Syringe diletakkan diantara kedua molar pada sisi
yang berlawanan, jarum diarahkan sejajar dengan dataran
oklusal gigi pada ramus mandibular kearah ramus dan jari,
selanjutnya jarum ditusukkan pada apeks trigonum
pterygomandibular dan diteruskan gerakan jarum di antara
ramus dan ligamen serta otos yang menutupi permukaan dalam
ramus sampai ujungnya berkontak pada dinding posterios
sulkus mandibularis. Zat di deponirkan 1,5 cc di sekitar
foramen mandibula, selanjutnya nervus lingualis dianestesi
dengan cara mengarahkan jarum pada pertengahan perjalanan
masuknya jarum suntik.
5) Injeksi infiltrasi nervus buccalis dengan memasukkan jarum
pada lipatan mukosa pada suatu titik tepat di depan gigi molar
pertama. Perlahan-lahan tusukkan jarum sejajar dengan korpus
mandibula dengan bevel mengarah ke bawah, ke suatu titik
sejauh molar ketiga. Bahan anestesi dideponir secara perlahan
seperti waktu memasukkan jarum melalui jaringan.
 Skenario kasus 1C
Seorang pasien perempuan berusia 35 tahun datang ke praktek dokter
gigi dengan keluhan ingin mencabutkan gigi geraham kiri atas yang
berlubang besar. Sebelumnya gigi tersebut pernah ditambal 2x namun
selalu lepas sehingga pasien ingin mencabutkan saja gigi geraham
tersebut. Berdasarkan pemeriksaan intraoral terdapat kavitas yang sudah
menembus kamar pulpa gigi 26 dan menyisakan sedikit mahkota klinis
yang tidak dapat direstorasi, perkusi (-), palpasi (-) dan tes vitalitas
dengan CE (-). Berdasarkan anamnesa, pasien memiliki riwayat hipertensi
dan mengkonsumsi obat nifedipin 30 mg secara rutin, sehingga tekanan
darah pasien konstan 130/90 mmHg
1. Pemeriksaan subjektif, objektif, diagnosa, dan rencana perawatan
a. Pemeriksaan subjektif
1) Identitas Pasien
a) Usia : 35 tahun
b) Jenis kelamin : perempuan
2) Anamnesa
a) Chief complain : keluhan ingin mencabutkan gigi
geraham kiri atas yang berlubang besar
b) Present illness : Sebelumnya gigi tersebut pernah
ditambal 2x namun selalu lepas sehingga pasien ingin
mencabutkan saja gigi geraham tersebut
c) Past medical history : , pasien memiliki riwayat hipertensi
dan mengkonsumsi obat nifedipin 30 mg secara rutin, sehingga
tekanan darah pasien konstan 130/90 mmHg
b. Pemeriksaan objektif
1) Keadaan umum pasien : compos mentis
2) Vital sign : tekanan darah pasien 130/90 mmHg
(normal)
3) Pemeriksaan ekstraoral : tidak ada keterangan
4) Pemeriksaan intraoral : Berdasarkan pemeriksaan intraoral
terdapat kavitas yang sudah menembus kamar pulpa gigi 26
dan menyisakan sedikit mahkota klinis yang tidak dapat
direstorasi, perkusi (-), palpasi (-) dan tes vitalitas dengan CE
(-).
5) Diagnosa
Nekrosis gigi 26
c. Rencana perawatan
1) Melakukan anestesi lokal dengan teknik infiltrasi
supraperiosteal.
2) Ekstraksi gigi 26
3) Medikamentosa berupa analgesik (paracetamol), antibiotik
(clindamycin) dan antiseptic (povidone iodine kumur).
2. Alat dan bahan anestesi yang digunakan
a. Alat : diagnostic set, disposable injection syringe, APD.
b. Bahan :
1) Povidone iodine 10% (larutan antiseptik)
2) Lignokain spray 10% (larutan anestesi lokal)
3) Lignokain 2% dengan adrenalin 1:80.000 dalam ampul 2 cc
(larutan anestesi lokal)
3. Teknik dan prosedur anestesi sesuai kasus
a. Teknik
Anestesi dilakukan dengan teknik infiltrasi supraperiosteal
pada kedua cabang persarafan, yaitu nervus alveolaris superior
media dan nervus palatinus mayor.
b. Prosedur
1) Persiapan pasien terlebih dahulu pada posisi semisupine.
2) Mengeringkan daerah yang akan dianestesi dan dilanjutkan
dengan melakukan tindakan asepsis pada rongga mulut pasien
dengan povidone iodine 10% bila perlu.
3) Melakukan anestesi topikal dengan lidokain 10% sediaan
spray. Larutan anestesi disemprotkan pada gulungan kecil
kapas, kemudian kapas tersebut diletakkan pada daerah yang
akan disuntikkan selama kurang lebih 1 menit.
4) Anestesi nervus alveolaris media dengan titik suntikan berada
pada lipatan mukobukal diatas gigi premolar pertama. Sebelum
injeksi, lakukan aspirasi, apabila negatif deponirkan cairan
anestetikum secara perlahan sebanyak 1-2 cc.
5) Anestesi nervus palatinus mayor. Nervus palatinus mayor
menginervasi 2/3 mukoperiosteum palatum sampai ke daerah
kaninus. Titik suntikan terletak pada sekitar 1 cm ke media dari
bagian distal gigi molar kedua maksila. Injeksikan anestetikum
sedikit ke mesial dari titik tersebut dari sisi kontralateral
sebanyak 0,5 cc.
6) Ekstraksi gigi 26.
DAFTAR PUSTAKA

Harty, F. J.dan Ogston, R., 1995, Kamus Kedokteran Gigi, EGC, Jakarta.

Rahardjo, R., 2009, Kumpulan Kuliah Farmakologi, Ed. 2, EGC, Jakarta.

Reader , A., Nusstein, J., Hargreaves, K.M., 2006, Local Anesthesia in


Endodontics. In: Cohen S, Hargreaves KM, editors. Pathway of the pulp, 9th Ed.
Elsevier; St Louis: Mosby

Howe, G. L., Whitehead, F.I.H., 2013, Anastesi Lokal, EGC, Jakarta

Yagiela, J. A., 2011, Pharmacology and Therapeutics for Dentistry, Ed. 6, Mosby
Elsevier, USA.

Irmaleny, 2012, Anestesia Lokal dalam Prosedur Endodontik, Jurnal Bagian


Konservasi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran Bandung.

Katzung, B. G., Masters S. B., Trevor A. J., Farmakologi Dasar dan Klinik Vol. 1,
Ed. 12, EGC, Jakarta.

Meechan, J. G., 2001, Local Anaesthesia for Children, Oxford, Toronto.

Norton, N. S., 2012, Netter’s Head and Neck Anatomy for Dentistry, Elsevier
Saunders, Philadelphia.

Purwanto, 2013, Petunjuk Praktik Anestesi Lokal, EGC, Jakarta.

Rao, R.N., 2009, Advanced Endodontics, Jaypee Brothers Medical Publishers (P)
Ltd, Malaysia. .

Walton,R.E., Reader, A,. Nusstein, J.M., 2009, Local anesthesia. In: Torabinejad
M, Walton RE, editors. Endodontics principles and practice 4th edition,
Saunders Elsevier, St. Louis, Missouri.

Wilder , A.D., 2011, Preliminary Considerations for Operative Dentistry. In:


Roberson TM, Heymann HO, Swift EJ, editors. Sturdevant’s art and
Science of Operative Dentistry. 5th ed., Mosby Elsevier; St. Louis,
Missouri.

Wray, D., Stenhouse, D., Lee, D., Clark, A. J. E., 2003, Textbook of General and
Oral Surgery, Elsevier, China.

Anda mungkin juga menyukai