Anda di halaman 1dari 11

Demam Tifoid dan Demam Paratifoid

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Sedangkan demam paratifoid secara
patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid namun biasanya lebih
ringan, penyakit ini biasanya disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, B, dan C
yaitu S. Paratyphi A, S. Paratyphi B (Schotmulleri), dan S. Paratyphi C
(Hirschfeldii). Bakteri Salmonella Typhi maupun paratyphi berbentuk batang,
Gram negatif, tidak berspora, motil, berflagel, berkapsul, tumbuh dengan baik
pada suhu optimal 370C, bersifat fakultatif anaerob dan hidup subur pada media
yang mengandung empedu. Manifestasi klinis pada penyakit ini adalah demam
tinggi (>380C) selama 7-14 hari dengan rentang 3-30 hari. Demam disertai
berbagai gejala gastrointestinal seperti nyeri perut, diare, konstipasi, maupun mual
dan muntah. Sebagai salah satu penyakit infeksi yang endemis di negara-negara
berkembang, demam tifoid dan paratifoid berkaitan erat dengan kondisi sanitasi
tempat tinggal maupun hygiene makanan yang dikonsumsi, lingkungan yang
kumuh, kurangnya kebersihan tempat makan umum (rumah makan, restoran),
serta perilaku makan makanan yang dibeli di pinggir jalan.
Demam tifoid dan paratifoid termasuk ke dalam demam enterik. Pada
daerah endemik, sekitar 90% dari demam enterik adalah demam tifoid. Demam
tifoid juga masih menjadi topik yang sering diperbincangkan. Sejak awal abad ke
20, insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa dengan ketersediaan air
bersih dan sistem pembuangan yang baik yang sampai saat ini belum dimiliki oleh

1
sebagian besar negara berkembang. Secara keseluruhan, demam tifoid
diperkirakan menyebabkan 21,6 juta kasus dengan 216.500 kematian pada tahun
2000. Insidens demam tifoid tinggi (>100 kasus per 100.000 populasi per tahun)
dicatat di Asia Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika
Selatan; yang tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun) di
Asia lainnya, Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia
Baru); serta yang termasuk rendah (<10 kasus per 100.000 populasi pert tahun) di
bagian dunia lainnya. Angka rata-rata kesakitan demam tifoid di Indonesia
mencapai 500/100.000 penduduk dengan angka kematian antara 0,6 – 5%.4
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) yang dilakukan oleh
Departemen Kesehatan tahun 2007, prevalensi demam tifoid dan paratifoid di
Indonesia mencapai 1,7%. Distribusi prevalensi tertinggi adalah pada usia 5-14
tahun (1,9%), usia 1-4 tahun (1,6%), usia 15-24 tahun (1,5%) dan usia <1 tahun
(0,8%). Kondisi ini menunjukan bahwa anak-anak (0-18 tahun; WHO) merupakan
populasi penderita demam tifoid maupun paratifoid terbanyak di Indonesia.

2
Masa inkubasi demam tifoid rata-rata adalah 7 – 14 hari, dipengaruhi oleh
dosis infeksi dengan rentang waktu 3 – 30 hari. Manifestasi klinis meliputi tifoid
ringan dengan demam derajat ringan, malaise, sedikit batuk kering hingga
manifestasi klinis yang berat seperti gangguan gastrointestinal, roseola spot dan
berbagai komplikasi. Kondisi ini sangat dipengaruihi oleh virulensi bakteri, usia,
daya tahan tubuh, waktu pengobatan dan drug of choice yang diberikan. Sebuah
penelitian di Karachi, Pakistan menggunakan sampel sebanyak 2000 anak dengan
demam tifoid didapatkan presentase gejala klinis yang dapat dijadikan sebagai
acuan dalam penentuan sindroma klinis.
Diagnosis klinis demam tifoid adalah menemukan sindroma klinis tifoid
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat
demam (>380 C) lebih dari 3 hari, disertai malaise, nyeri abdomen difusm, diare
dan atau konstipasi. Demam muncul di sore hari, terus menetap hingga malam
hari dan menurun di pagi hari. Demam yang muncul mencapai puncaknya 39-400
C. Pada pagi hari anak masih dapat beraktivitas secara normal. Pada minggu
pertama muncul gejala gastrointestinal seperti nyeri perut, mual dan muntah
diakibatkan pendesakan hepatomegali dan peregangan saluran pencernaan.

3
Inflamasi pada Plak Peyeri usus halus menyebabkan obstruksi saluran pencernaan
sehingga terjadi konstipasi. Nyeri kepala, gangguan kesadaran delirium hingga
sopor dapat terjadi akibat demam yang sangat tinggi. Pada akhir minggu pertama
akan muncul makulopapul merah muda di trunkus (roseola spot) yang umumnya
hilang dalam 2 – 5 hari. Papul tersebut berisi emboli bakteri yang terdeposit ke
dermis. Pada minggu kedua masih dijumpai gejala-gejala gastrointestinal, dan
abdomen mengalami distensi akibat hepatomegali/splenomegali. Pada minggu
ketiga penderita dapat mengalami diare tifoid yang berbau, warna kuning
kehijauan (Pea soup diarrhea), kondisi ensefalopati tifoid dapat dialami mulai dari
apatis, delirium hingga psikosis tifoid. Nekrosis Plak Peyer yang terjadi dapat
menyebabkan perdarahan saluran cerna dan peritonitis. Pada minggu keempat
demam dan kondisi delirium bisa membaik, beberapa penderita menjadi karier
kronik bakteri.
Komplikasi yang dapat dialami seseorang yang terinfeksi Salmonella
Typhi secara sistemik meliputi hepatitis, ikterik, kolesistitis, perdarahan intestinal
(<1%), dan perforasi usus (0,5 – 1%). Secara umum kondisi tersebut jarang
ditemukan pada kasus tifoid anak. Perforasi usus dan peritonitis dicurigai bila
didapatkan peningkatan nadi, hipotensi, nyeri perut serta palpasi perut yang rigid
dan keras seperti papan. Pemeriksaan hitung jenis didapatkan shift to the left dan
Foto Polos Abdomen didapatkan free air. Komplikasi lain yang jaran antara lain
miokarditis, delirium/ensefalopati tifoid, psikosis tifoid, dan Sindroma Guillain-
Barre. Kondisi karier kronik juga merupakan salah satu outcome pada pasien
tifoid.
Bakteri Salmonella (termasuk serotipe Typhi maupun Paratyphi)
memasuki tubuh inang melalui rute fekal-oral menuju lokasi infeksi pada usus
halus (ileum). Pada usus halus pars ileum ini didapatkan kumpulan limfonoduli
submukosa yang memperantarai sistem imunologi mukosa dikenal sebagai Plak
Peyeri. Port d’entree bakteri ke dalam tubuh adalah melalui sel Mkifrofold (sel M)
yang merupakan struktur khusus pada permukaan Plak Peyeri, berfungsi
menyaring antigen yang akan memasuki plak payeri. Penelitian pada subjek
sukarelawan didapatkan dosis infeksi (infecting dose) sekitar 105 -106 organisme
dengan Salmonella yang ditangkap oleh sel M akan mentranslokasikannya ke

4
basal sel, lokasi dimana makrofag yang merupakan Sel Penyaji Antigen berada.
Makrofag akan memfagosit Salmonella untuk dihancurkan dan dikelola
antigennya, disajikan pada Sel T helper maupun Sel B spesifik.

Salmonella memiliki mekanisme evasi fagositik yang baik, yaitu dengan


menggagalkan fusi fagosom dengan lisosom. Bakteri yang survive tersebut akan
menggandakan diri dan menginfeksi makrofag-makrofag, dan ikut terbawa ke
nodus limfatik mesenterium, dan keluar ke aliran darah menyebabkan bakteremia
primer. Setelah itu, Salmonella memasuki organ retikuloendotelial seperti
sumsum tulang, hepar dan lien dan bereplikasi kembali di dalam makrofag organ-
organ tersebut sehingga terjadi aktivasi jaringan limfoid maupun makrofag,
menyebabkan hepatomegali dan splenomegali. Manifestasi klinisnya adalah gejala
nyeri perut akibat pendesakan organomegali, mual dan muntah sebagai
manifestasi hepatomegali yang mendesak saluran pencernaan. Pasca
organomegali, bakteri kembali memasuki aliran darah menyebabkan bakteremia
sekunder yang mengawali munculnya gejala demam akibat dilepaskannya
endotoksin ke peredaran darah, menginduksi pirogen endogen yang
mempengaruhi temperature set di hipothalamus sehingga terjadi peningkatan suhu
tubuh. Salmonella yang berada di dalam hepar akan diekskresikan melalui sistem
bilier, dan mengikuti siklus enterohepatik, sehingga terjadi reinfeksi kembali.
Pada Plak Peyer terjadi fokus-fokus infeksi Salmonella di sepanjang ileum,

5
menyebabkan nekrosis. Apabila nekrosis ini menembus tunika serosa maka akan
terjadi perforasi ileum yang dapat berakibat peritonitis
Seseorang dikatakan karier bakteri kronik apabila didapatkan ekskresi
Salmonella Typhi di feses atau urin (atau hasil positif kultur cairan empedu atau
duodenum) selama lebih dari satu tahun setelah onset demam tifoid akut. Karier
kronik merupakan sekuele pasien-pasien yang tidak mendapatkan pengobatan
adekuat, sehingga sisa bakteri masih bertahan di dalam kandung empedu. Dari
penelitian didapatkan gambaran biofilm Salmonella Typhi pada permukaan batu
empedu manusia. Flagel bakteri berinteraksi dengan dinding kolesterol,
menyebabkan perlekatan koloni membentuk lapisan biofil. Mekanisme lain yang
diteliti adalah adanya replikasi bakteri dalam epitel kandung empedu, yang pada
akhir tahapan diakhiri dengan pelepasan bakteri ke cairan empedu yang akan
mengikuti aliran pencernaan
Demam tifoid dan paratifoid menyebabkan manifestasi oral seperti Saat
demam tifoid, lidah menjadi putih seperti terlapisi bulu. Lapisan putih tersebut
merupakan lapisan pucat (bio film) yang menjadi tempat berkumpulnyaribuan
bakteri anaerobik yang memproduksi gas. Gas tersebut menyebabkan nafasyang
tidak sedap .Oleh sebab itu pasien demam thypoid memiliki nafas berbau .Lapisan
tersebut terbentuk karena efek perubahan flora normal di rongga mulut yang
disebabkan oleh bakteri.

6
Penggunaan antibiotik merupakan terapi utama pada demam tifoid, karena
pada dasarnya patogenesis infeksi Salmonella Typhi berhubungan dengan
keadaan bakterimia.Pemberian terapi antibiotik demam tifoid pada anak akan
mengurangi komplikasi dan angka kematian, memperpendek perjalan penyakit
serta memperbaiki gambaran klinis salah satunya terjadi penurunan demam.
Namun demikian pemberian antibiotik dapat menimbulkan drug induce fever,
yaitu demam yang timbul bersamaan dengan pemberian terapi antibiotik dengan
catatan tidak ada penyebab demam yang lain seperti adanya luka, rangsangan
infeksi, trauma dan lainlain.Demam akan hilang ketika terapi antibiotik yang
digunakan tersebut dihentikan. Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama
pada terapi demam tifoid, hal ini dapat dibenarkan apabila sensitivitas Salmonella
Typhi masih tinggi terhadap obat tersebut.Tetapi penelitian-penelitian yang
dilakukan dewasa ini sudah menemukan strain Salmonella Typhi yang
sensitivitasnya berkurang terhadap kloramfenikol,untuk itu antibiotik lain seperti
seftriakson, ampisilin, kotrimoksasol atau sefotaksim dapat digunakan sebagai
pilihan terapi demam tifoid.
1. Kloramfenikol Kloramfenikol merupakan antibiotik lini pertama terapi
demam tifoid yang bersifat bakteriostatik namun pada konsentrasi tinggi
dapat bersifat bakterisid terhadap kuman- kuman tertentu serta
berspektrum luas.Dapat digunakan untuk terapi bakteri gram positif
maupun negatif.Kloramfenikol terikat pada ribosom subunit 50s serta
menghambat sintesa bakteri sehingga ikatan peptida tidak terbentuk pada
proses sintesis protein kuman.Sedangkan mekanisme resistensi antibiotik
ini terjadi melalui inaktivasi obat oleh asetil transferase yang diperantarai
faktor-R.Masa paruh eliminasinya pada bayi berumur kurang dari 2
minggu sekitar 24 jam.Dosis untuk terapi demam tifoid pada anak 50-100
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis.Lama terapi 8-10 hari setelah suhu
tubuh kembali normal atau 5-7 hari setelah suhu turun.Sedangkan dosis
terapi untuk bayi 25-50 mg/kgBB.
2. Seftriakson Seftriakson merupakan terapi lini kedua pada kasus demam
tifoid dimana bakteri Salmonella Typhi sudah resisten terhadap berbagai
obat. Antibiotik ini memiliki sifat bakterisid dan memiliki mekanisme

7
kerja sama seperti antibiotik betalaktam lainnya, yaitu menghambat
sintesis dinding sel mikroba, yang dihambat ialah reaksi transpeptidase
dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel.Dosis terapi intravena
untuk anak 50-100 mg/kg/jam dalam 2 dosis, sedangkan untuk bayi dosis
tunggal 50 mg/kg/jam.
3. Ampisilin Ampisilin memiliki mekanisme kerja menghambat
pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel
mikroba.Pada mikroba yang sensitif, ampisilin akan menghasilkan efek
bakterisid.Dosis ampisilin tergantung dari beratnya penyakit, fungsi ginjal
dan umur pasien.Untuk anak dengan berat badan 7 hari diberi 75
mg/kgBB/hari dalam 3 dosis.
4. Kotrimoksasol Kotrimoksasol merupakan antibiotik kombinasi antara
trimetoprim dan sulfametoksasol, dimana kombinasi ini memberikan efek
sinergis.Trimetoprim dan sulfametoksasol menghambat reaksi enzimatik
obligat pada mikroba.Sulfametoksasol menghambat masuknya molekul
PAmino Benzoic Acid (PABA) ke dalam molekul asam folat, sedangkan
trimetoprim menghambat enzim dihidrofolat reduktase mikroba secara
selektif.Frekuensi terjadinya resistensi terhadap kotrimoksasol lebih
rendah daripada masing-masing obat, karena mikroba yang resisten
terhadap salah satu komponen antibiotik masih peka terhadap komponen
lainnya.Dosis yang dianjurkan untuk anak ialah trimetoprim 8
mg/kgBB/hari dan sulfametoksasol 40 mg/kgBB/hari diberikan dalam 2
dosis.
5. Sefotaksim Sefotaksim merupakan antibiotik yang sangat aktif terhadap
berbagai kuman gram positif maupun gram negatif aerobik.Obat ini
termasuk dalam antibiotik betalaktam, di mana memiliki mekanisme kerja
menghambat sintesis dinding sel mikroba.Mekanisme penghambatannya
melalui reaksi transpeptidase dalam rangkaian reaksi pembentukan
dinding sel.Dosis terapi intravena yang dianjurkan untuk anak ialah 50 –
200 mg/kg/h dalam 4 – 6 dosis.Sedangkan untuk neonatus 100 mg/kg/h
dalam 2 dosis.

8
Pada penelitian – penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,
menyebutkan bahwa pasien dengan deman tifoid menunjukkan respon klinis yang
baik dengan pemberian seftriakson sehari sekali.Lama demam turun berkisar 4
hari, hasil biakan menjadi negatif pada hari ke – 4 dan tidak ditemukan
kekambuhan.Pada kasus MDRST anak, seftriakson merupakan antibiotik pilihan
karena aman.Sedangkan pada penggunaan antibiotik kloramfenikol lama demam
turun berkisar 4,1 hari, efek sampingnya berupa mual dan muntah terjadi pada 5
% pasien.Kekambuhan timbul 9 - 12 hari setelah obat dihentikan pada 6 % dari
kasus, hal ini berhubungan dengan lama terapi yang < 14 hari.24 Antibiotik
terpilih untuk MDRST adalah siprofloksasin dan seftriakson.Pemberian
siprofloksasin pada anak usia < 18 tahun masih diperdebatkan karena adanya
potensi artropati, sehingga seftriakson lebih direkomendasikan. Penelitian lainnya
juga ada yang menyebutkan bahwa terjadi resistensi terhadap antibiotik
kloramfenikol, ampisilin, amoksisilin dan trimetoprim, tetapi penelitian yang
dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSHS sejak tahun 2006 – 2010
menunjukkan Salmonella Typhi masih sensitif terhadap antibiotik kloramfenikol,
ampisilin dan kombinasi trimetoprim- sulfametoksasol (kotrimoksasol).Dengan
antibiotik kotrimoksasol demam turun berkisar 5 hari, sedangkan dengan
ampisilin berkisar 7 hari.

9
Daftar Pustaka

Keputusan Menteri Kesehatan No. 365/Menkes/SK/v/2006 Pedoman


Pengendalian Demam Tifoid

Demam Tifoid Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Depkes 2007

Lestari, K. 2011. Demam tifoid. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas


Sriwijaya.

Demam Tifoid Data Dinas Kesehatan Kota Semarang Tahun 2006 dan 2007
Astuti, O.R. 2013. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Pengendalian Demam


Tifoid.

Alan R, T. 2003. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam


Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta :2-20.

Prasetyo, R,V. 2010. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.


Surabaya : FK UNAIR ;1-10.

Soedarmo, Sumarmo S., dkk. 2008. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ;338-345

Nelwan, R.H.H. 2012. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Divisi Penyakit
Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
FKUI/RSCM. Jakarta.

Pawitro, E. 2000. Ilmu Penyakit Anak Diagnosa dan Penatalaksanaan Buku


Penerbit EGC. Jakarta

Rampengan. Demam tifoid. Dalam: Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak Ed 2.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC 2005. 2008: 46-62.

Widodo, D. 2006. Demam tifoid. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III Ed 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

10
11

Anda mungkin juga menyukai