Disusun oleh :
Semester/Kelas: IV/ B
FAKULTAS SYARIAH
PEKALONGAN
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat,
karunia serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang
“Penerapan dan Penemuan Hukum” ini dengan tepat waktu. Kami juga berterima
kasih kepada Ibu Dr. Hj. Siti Qomariyah, M.A., selaku Dosen mata kuliah Logika
dan Penalaran Hukum yang telah membimbing dan mengajarkan serta
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai penjelasan dan bagian-bagian dalam
“Penerapan dan Penemuan Hukum”. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, kami berharap kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang akan
kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ..................................................................................... 18
B. Saran ............................................................................................... 18
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam praktek Pengadilan, ada 3 (tiga) istilah yang sering dipergunakan
oleh Hakim yaitu penemuan hukum, pembentukan hukum atau menciptakan
hukum dan penerapan hukum. Hakim dalam memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara, pertama kali harus menggunakan hukum tertulis
sebagai dasar putusannya. Seorang hakim harus bisa menerapkan hukum
sesuai dengan tempatnya dan sesuai dengan peraturan yang ada. Dengan
begitu penerapan hukum di suatu negara akan dianggap sudah baik dan
sesuai, sehingga masyarakat akan merasakan kebahagiaan, kedamaian,
kesejahteraan dan juga keadilan. Namun, jika dalam hukum tertulis tidak
cukup, tidak tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka yang
harus dilakukan hakim adalah mencari dan menemukan sendiri hukumnya
dari sumber-sumber hukum yang lain. Yang kemudian penjelasan mengenai
penerapan dan penemuan hukum ini akan dibahas dalam makalah berikut ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan tentang penerapan hukum itu ?
2. Bagaimana penjelasan tentang penafsiran hukum di dalam penerapan
hukum itu ?
3. Bagaimana penjelasan tentang penemuan hukum itu ?
4. Apa saja sumber penemuan hukum itu ?
5. Apa saja sistem penemuan hukum itu ?
6. apa saja metode penemuan hukum itu ? dan bagaimana penjelasannya ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penerapan Hukum
1. Pengertian Penerapan Hukum
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penerapan berarti
perbuatan menerapkan. Sedangkan pengertian yang lainnya, penerapan itu
berarti suatu perbuatan mempraktekkan suatu teori, metode, dan hal lain
untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu kepentingan yang
diinginkan oleh suatu kelompok atau golongan yang telah terencana dan
tersusun sebelumnya. Kemudian berbicara tentang hukum, hukum itu
memiliki arti umum tata aturan sebagai suatu sistem aturan-aturan tentang
perilaku manusia. Sedangkan pengertian lainnya, hukum adalah suatu
sistem peraturan yang di dalamnya terdapat norma-norma dan sanksi-
sanksi yang bertujuan untuk mengendalikan perilaku manusia, menjaga
ketertiban dan keadilan, serta mencegah terjadinya kekacauan.
Dari definisi-definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan
hukum adalah suatu perbuatan mempraktekkan atau menerapkan suatu
hukum (peraturan). Singkatnya penerapan hukum itu berarti menerapkan
Undang-Undang atau peraturan hukum pada suatu peristiwa yang terjadi.
2. Bentuk Penerapan Hukum
Perlu diketahui bahwa di dalam prakteknya penerapan hukum itu bisa
berbentuk penafsiran hukum (peraturan) atau Undang-Undang. Penafsiran
atau interpretasi peraturan Undang-Undang ialah mencari dan menetapkan
pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam Undang-Undang sesuai
dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat Undang-
Undang. Sumber penafsiran dapat diperoleh dari Undang-Undang, buku,
karya ilmiah dari para ahli, ataupun dari hakim.
3
Dilihat dari sumbernya penafsiran dapat bersifat :
Otentik ialah penafsiran seperti yang diberikan oleh pembuat
Undang-Undang seperti yang dilampirkan pada Undang-Undang
sebagai penjelasan. Penafsiran otentik ini mengikat secara umum.
Doktrinair atau ilmiah, ialah penafsiran yang didapat dalam buku-
buku dan lain-lain hasil karya para ahli. Hakim tidak terikat karena
penafsiran ini hanya mempunyai nilai teoretis.
Hakim, penafsiran yang bersumber dan hakim (peradilan) hanya
mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan berlaku bagi kasus-
kasus tertentu (Pasal 1917 ayat (1) KUH Perdata).
Macam-macam Metode Penafsiran
Tidak semua kata, istilah dan kalimat yang menunjukkan suatu
kaidah hukum, baik yang dikemukakan dengan lisan atau dinyatakan
dengan tertulis dalam bentuk perundangan itu sudah jelas dan mudah
dipahami. Oleh karenanya, di dalam ilmu pengetahuan hukum dikenal
beberapa cara penafsiran hukum (interpretative methoden) yang dapat
digunakan oleh hakim, yaitu antara lain sebagai barikut :1
a. Penafsiran secara tata bahasa (Grammaticale Interpretatie)
Penafsiran secara tata bahasa, yaitu suatu cara penafsiran Undang-
Undang menurut arti perkataan (istilah) yang terdapat dalam
Undang-Undang yang bertitik tolak pada arti perkataan–perkataan
dalam hubunganya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang yang
dipakai dalam Undang-Undang. Dalam hal ini hakim wajib mencari
arti kata-kata yang lazim di pakai dalam bahasa sehari-hari yang
umum, oleh karena itu dipergunakan kamus bahasa atau meminta
bantuan padapara ahli bahasa. Misalnya, suatu peraturan perundang-
undangan melarang orang untuk memparkir kendaraanya di suatu
tampat tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah yang
1
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung : PT. Alumni, 2013), hlm. 21-26.
4
dimaksud dengan istilah “kendaraan“ itu. Apakah yang di maksud
kendaraan hanyalah kendaraan bermotor atau termasuk juga sepeda
dan becak. Dalam hal ini, sering penjelasan kamus bahasa atau
menurut keterangan para ahli bahasa belum dapat memberikan
kejelasan tantang pengertian kata yang di maksud dalam Undang-
Undang tersebut. Oleh karena itu, hakim harus pula mempelajari
kata yang bersangkutan dengan peraturan yang lain.
b. Penafsiran Sistematis/Dogmatis (Sistematische/Dogmatisehe
Interpretatie)
Dalam penafsiran ini hakim menggantungkan penjelasan suatu
ketentuan pada sistem peraturan-peraturan dalam mana peraturan
bersangkutan terhisap.
Penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi
pasal-pasal lainnya baik dalam Undang-Undang itu maupun dengan
Undang-Undang yang lainnya misalnya ”ketentuan paling
menguntungkan” dalam rumusan ayat 2 dari Pasal 1 KUHP apabila
dihubungkan dengan rumusan ayat 1 pasal 1 KUHP yang
merumuskan ”suatu perbuatan dapat dipidana keculai bedasarkan
kekuatan ketentuan peundang-undangan pidana yang telah ada,
pengetiannya adalah suatu ketentuan tentang tidak dapat dipidanya
perbuatan. Artinya semula perbuatan tetentu dipidana, kemudian
menurut ketentuan yang baru menjadi tidak dapat dipidana. Misalnya
sebulan yang lalu A melakukan perbuatan pidana yang dapat
dihukum, kemudian hari ini muncul UU yang mengatur perbuatan
poidana tesebut tidak dapat dihukum. Dengan demikian yang
dibelakukan adalah UU pidana baru yang menguntungkan.
c. Penafsiran Historis (Historische Interpretatie)
Penafsiran historis adalah menafsirkan Undang-Undang dengan
cara melihat sejarah terjadinya suatu Undang-Undang itu dibuat.
Penafsiran ini ada 2 macam :
5
Penafsiran sejarah hukumnya (rechtshistorische interpretatie) ,
yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum
tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori
penjelasan, laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat
menyurat antara menteri dengan komisi DPR yang bersangkutan.
Penafsiran sejarah Undang-Undangnya (wetshistorische
interpretatie), yang diselidiki maksunya Pembentuk Undang-
undang pada waktu membuat Undang-Undang itu misalnya di
denda f 25,-. Sekarang ditafsirkan dengan uang RI, sebab harga
barang lebih mendekati pada waktu KUHP itu di buat.
d. Penafsiran Sosiologis (Teleologis) (Sosiologische/Teleologische
Interpretatie)
Pada hakikatnya suatu penafsiran Undang-Undang yang di mulai
dengan cara gramatikal selalu harus di akhiri dengan penafsiran
sosiologis. Mengapa? karena kalau tidak demikian maka tidak
mungkin hakim dapat membuat suatu keputusan yang benar-benar
sesuai dengan kenyataan hukum di dalam masyarakat. Penafsiran
sosiologis adalah penafsiran yang disesuaikan dalam keadaan
masyarakat.
e. Penafsiran Otentik (resmi) (Authentieke Interpretatie)
Penafsiran auentik adalah penafsiran resmi yang diberikan oleh
pembuat Undang-Undang. Misalnya, Pada pasal 98 KUHP ;”malam”
berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit, dan
pasal 97 KUHP : Hari adalah waktu selama 24 jam dan yang di
maksud dengan bulan adalah waktu selama 30 hari. Dikatakan
penafsiran otentik karena tertulis secara resmi dalam Undang-
Undang artinya berasal dari pembentuk Undang-Undang itu sendiri,
bukan dari sudut pelaksana hukum yakni hakim. Dalam penafsiran
bermakna hakim kebebasannya dibatasi. Hakim tidak boleh
memberikan arti diluar dari pengertian autentik. Sedangkan diluar
6
KUHP penafsiran resmi dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan
umum dan penejelasan pasal demi pasal.
f. Penafsiran Analogis
Penafsiran analogis berarti memberikan tafsiran pada suatu
peraturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata
tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa
yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai
dengan bunyi peraturan tersebut (ada rasio persamannya kejadian
konkretnya terhadap noma-noma tesebut). Misalnya pasal 388 ayat
(1) yang melarang orang melakukan pebuatan curang pada waktu
menyerahkan keperluan angkatan laut atau angkatan darat yang
dapat membahayakan keselamatan negaa dalam keadaan perang.
Jadi tidak ada diatur keperluan angkatan udara.
Tetapi dengan menggunakan penafsirang analogis, maka jika
terjadinya menyerahkan pada angkatan udara maka pasal ini juga
dapat dikenakan karena pada dasar fungsi, peranan dan tugas
angkatan laut dan darat juga sama dengan tugas angkatan udara yaitu
dalam usaha perlindungan keselamatan dan keamanan negara.2
Cara Penerapan Metode Penafsiran
Pembuat Undang-Undang tidak menetapkan suatu sistem tertentu
yang harus dijadikan pedoman bagi hakim dalam menafsirkan undang-
undang. Oleh karenanya hakim bebas dalam melakukan penafsiran.
Dalam melaksanakan penafsiran peraturan Perundang-undangan,
pertama selalu dilakukan penafsiran gramatikal karena pada hakikatnya
untuk memahami teks peraturan perundang undangan yang harus
dimengerti terlebih dahulu arti dan kata-katanya. Apabila perlu
dilanjutkan dengan penafsiran otentik atau penafsiran resmi yang
ditafsirkan oleh pembuat undang-undang itu sendiri kemudian
dilanjutkan dengan penafsiran historis dan Sosiologis.
2
Reza Rizky Farza, “Penafsiran Hukum” (http://rezarizkyfarza.blogspot.com/2013/05/penafsiran-
hukum.html, Diakses pada 9 Maret, 2019).
7
Sedapat mungkin semua metode penafsiran supaya dilakukan, agar
didapatkan makna-makna yang tepat. Apabila semua metode tersebut
tidak menghasilkan makna yang sama, maka wajib diambil metode
penafsiran yang membawa keadilan setinggi-tingginya karena memang
keadilan itulah yang dijadikan sasaran pembuat undang-undang pada
waktu mewujudkan undang-undang yang bersangkutan.3
B. Penemuan Hukum
1. Pengertian Penemuan Hukum
Menurut Sudikno Mertokusumo, pengertian penemuan hukum atau
rechtsviding adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat
lainnya dalam menerapkan peraturan umum terhadap peristiwa hukum
yang konkret dan hasil penemuan hukum menjadi dasar untuk mengambil
keputusan. Dengan kata lain penemuan hukum adalah proses konkretisasi
atau individualisme peraturan perundang-undangan yang bersifat umum
atau das sollen dengan mengaitkannya kepada peristiwa konkret atau des
sein.
Pada dasarnya setiap orang melakukan penemuan hukum. Oleh karena
setiap orang selalu berhubungan dengan orang lain (melakukan interaksi),
hubungan tersebut diatur oleh hukum dan setiap orang akan berusaha
menemukan hukumnya untuk dirinya sendiri, yaitu kewajiban dan
wewenang apakah yang dibebaskan oleh hukum padanya.
Penemuan hukum terutama dilakukan oieh hakim dalam memeriksa dan
memutus suatu perkara, penemuan hukum oleh hakim ini dianggap yang
mempunyai wibawa. Ilmuan hukumpun dapat mengadakan penemuan
hukum, namun hasil dari penemuan hukum oleh ilmuan tersebut bukanlah
hukum melainkan ilmu atau doktrin. Walau demikian, sekalipun yang
dihasilkan tersebut bukan hukum, akan tetapi dalam hal ini tetap
digunakan istilah penemuan hukum juga, oleh karena doktrin tersebut
3
Ardiansyah, “Macam-macam Cara Penafsiran Undang-Undang”
(https://customslawyer.wordpress.com/2014/08/28/macam-macam-cara-penafsiran-undang-
undang/#more-287, Diakses pada 9 Maret, 2019).
8
apabila diikuti atau diambil alih oleh hakim dalam putusannya, maka
secara otomatis hal itu (ilmu or doktrin) menjadi hukum. Dan selanjutnya
uraian tentang penemuan hukum dalam kajian iiv dibatasi pada (metode)
penemuan hukum oleh hakim.
Ada dua aliran yang dikenal dalam penemuan hukum, yaitu aliran
progresif dan aliran konservatif. Aliran progresif berpendapat bahwa
hukum dan peradilan merupakan alat untuk perubahan-perubahan sosial,
sedangkan aliran komservatif berpendapat bahwa hukum dan peradilan ini
hanyalah untuk mencegah kemerosotan moral dan nilai-nilai lain.4
2. Sumber-sumber Penemuan Hukum
Dalam proses menemukan hukum, hakim tidak bisa lepas dari sumber-
sumber hukum yang ada, artinya proses penemuan hukum tidak bisa
berdiri sendiri, diantara sumber-sumber penemuan hukum tersebut antara
lain :
a. Peraturan Perundang-undangan
Sebagai hukum tertulis, peraturan perundang-undangan merupakan
sumber utama. Peraturan perundang-undangan dibuat oleh badan legislatif
atau lembaga lainnya yang diberikan kewenangan yang secara substansi
tidak dapat diragukan lagi keabsahannya demi hukum (ipso jure). Dalam
ajaran penemuan hukum peraturan perundang-undangan diprioritaskan
dari sumber-sumber hukum lainnya. Jika hendak mencari hukum suatu
masalah, maka yang terlebih dahulu dijadikan rujukan adalah undang-
undang karena undang-undang bersifat autentik dan lebih menjamin
kepastian hukum.
Satjipto Raharjo mengatakan kepastian hukum yang dimaksud karena
dijamin adanya pembuatan hukum yang dilakukan secara sistematik oleh
badan-badan yang khusus untuk itu dan teknik-teknik perumusannya yang
terpelihara dan dikembangkan secara baik.5
b. Hukum Kebiasaan
4
Suadi Amran, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah : Penemuan dan Kaidah Hukum, (Jakarta
: Prenadamedia Group, 2018) hlm. 53.
5
Ibid., hlm 61.
9
Sumber kedua dalam penemuan hukum adalah hukum kebiasaan.
Apabila dalam penemuan hukum tidak ditemukan dalam peraturan
perundang-undangan maka hakim selanjutnya merujuk kepada hukum
kebiasaan. Hukum kebiasaan adalah hukum yang tidak tertulis dan sumber
hukum yang paling tertua. Kebiasaan merupakan tindakan menurut pola
perilaku yang tetap, ajeg, lazim normal atau adat dalam masyarakat atau
pergaulan hidup tertentu. Hukum kebiasaan dapat dijadikan hukum apabila
kebiasaan tersebut harus diulang dalam waktu yang cukup lama, berulang-
ulang, dan harus menimbulkan keyakinan umum bahwa perilaku yang
diulang itu memang patut secara objektif dilakukan.
Hukum kebiasaan pada umumnya melengkapi undang-undang dan tidak
dapat mengesampingkan undang-undang, akan tetapi kebiasaan dapat
mengalahkan undang-undang yang bersikap pelengkap saja. Untuk
menemukan hukum kebiasaan dapat dilakukan dengan cara menanyakan
kepada tokoh masyarakat atau warganya yang dianggap mengetahui
tentang kebiasaan masyarakat setempat.
c. Yurisprudensi
Sumber hukum yang ketiga dalam penemuan hukum adalah
yurisprudesi. Yurisprudensi digunakan apabila ternyata dalam hukum
kebiasaaan tidak ditemukan hukum dan ketentuannya dalam
menyelesaikan suatu masalah, maka hakim barulah mencari ketentuan
dalam yurisprudensi. Indonesia sebagai negara yang menganut civil law,
memosisikan seorang hakim dalam menemukan hukum tidak terikat
dengan yurisprudensi yang sudah ada. Bagir Manan berpendapat bahwa
hakim tidak perlu mengikuti putusan-putusan terdahulu mengenai perkara
sejenis. Meskipun faktanya banyak hakim yang merujuk dan berpegang
kepada beberapa yurisprudensi dalam menyelesaikan masalah hukum yang
ditanganinya.
d. Traktat atau Perjanjian Internasional
Traktat adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih
bilateral atau multirateral mengenai suatu hal. Traktat mengikat negara-
10
negara yang mengadakannya yang disebut pacta sun servanda yang artinya
setiap perjanjian harus ditaati dan ditepati. Traktat juga mengakui primat
hukum internasional, artinya mengakui hukim internasional lebih tinggi
derajatnya daripada derajat hukum nasional.
Di Indonesia, traktat dibuat presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat sehingga kekuatan hukum traktat sama dengan undang-
undang. Namun traktat di dalam UUD 1945 pasal 11 tidak ditetapkan
dengan tegas adanya keharusan DPR RI membuatnya dengan bentuk
undang-undang.
e. Dokrin
Doktrin merupakan sumber penemuan hukum apabila didalam undang-
undang tidak ditemukan hukumnya, begitu pula dalam yurisprudensi tidak
ditemukan, maka hakim dapat menemukan hukumnya dengan mencari
pendapat pacar yuris. Misalkan mengenai definisi definisi perjanjian yang
terdapat pada KUH Perdata yang terlalu umum dan tidak jelas sehingga
untuk memperjelas maksud dan batasan perjanjian tersebut, maka doktrin
sangat membantu memberi batasan.
Doktrin merupakan pendapat para ahli hukum yang mempunyai
pengaruh dalam perkembangan dan praktik hukum yang dijadikan acuan
atau rujukan bagi praktisi dan para pemangku kepentingan tak terkecuali
para hakim dalam mengambil keputusannya. Sifat doktrin tidak lain untuk
membantu memperjelas suatu yang masih abstrak dalam sebuah teks
peraturan perundang-undang, baik memperjelas batas, maksud, dan
tujuannya.6
6
Ibid., hlm. 62-63.
11
Sebagai prototype penemuan hukum heteronom terdapat dalam
sistem peradilan negara-negara Kontinental termasuk di dalamnya
Indonesia. Di sini hakim behas, tidak terikat pada putusan hakim lain
yang pernah dijatuhkan mengenai perkara sejenis. Hakim berfikir
deduktif dari bunyi Undang-undang (umum) menuju ke peristiwa
khusus dan akhirnya sampai pada putusan. Dalam penemuan yang
typis logistic atau heteronom hakim dalam memeriksa dan mengadili
perkara berdasarkan pada faktor-faktor di luar dirinya.
12
diri hakim). Hukum di Indonesia mengenal penemuan hukum
heteronom sepanjang hakim terikat pada undangundang, tetapi
penemuan hukum ini juga mempunyai unsur-unsur otonom yang kuat,
karena hakim seringkali harus menjelaskan atau melengkapi undang-
undang menurut pandangannya sendiri. Kalau asas peradilan yang
berlaku di Indonesia itu ialah bahwa hakim tidak terikat pada putusan
hakim terdahulu mengenai perkara yang sejenis, maka ini tidak sedikit
hakim yang dalam menjatuhkan putusannya berkiblat pada putusan
pengadilan yang lebih tinggi mengenai perkara serupa dengan yang
dihadapinya.7
7
Muliadi Nur, “RECHTSVINDING : PENEMUAN HUKUM”, Jurnal Ilmiah Al-Syirah Vol. 2,
No.1, 2004, hlm. 06.
13
perkara tersebut. Oleh karena itu, Majelis Hakim sebelum menjatuhkan
putusannya terlebih dahulu harus menemukan fakta dan peristiwa yang
terungkap dari Penggugat dan Tergugat, serta alat-alat bukti yang
diajukan oleh para pihak dalam persidangan.
14
- Dan sebagainya
Argumen peranalogian
15
undang yang mengetahui adanya kekosongan hukum, akan melengkapi
kekosongan itu dengan peraturan-peraturan yang serupa dengan
mencari unsur-unsur.
Argumentum a’contrario
Fiksi hukum
16
c. Metode hermeneutika hukum
8
Abdul Manan, “PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM PRAKTEK HUKUM ACARA DI
PERADILAN AGAMA” Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 2, No. 1, 2013, hlm. 192-197.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demikianlah materi tentang Penerapan dan Penemuan Hukum yang telah
kami jelaskan diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa penerapan hukum
merupakan penerapan suatu peraturan hukum pada sutau peristiwa yang
terjadi. Dan terdapat metode dalam menerapkan suatu hukum dalam
melaksanakan suatu penafsiran peraturan, maka perlu dilakukan penafsiran
gramatikal karena pada hakikatnya untuk memahami teks peraturan yang
harus dimengerti terlebih dahulu.
Sedangkan Penemuan Hukum itu sendiri merupakan proses pembentukan
hukum yang di putuskan oleh hakim dalam menerapkan suatu peratuaran
umum terhadap peristiwa hukum yang konkret. Metode dalam penemuan
hukum merupakan suatu penafsiran, dan kehakiman harus memiliki karakter
yang logikal.
18
DAFTAR PUSTAKA
19