Anda di halaman 1dari 17

1.

1 Klasifikasi

1.1.1 Sepsis

Tabel 1. Kriteria untuk SIRS, Sepsis, Sepsis Berat, Syok septik berdasar kan Konsensus
Konfrensi ACCP/SCCM 1991.5
Istilah Kriteria
2 dari 4 kriteria:

Temperatur > 38 0C atau < 36 0C

Laju Nadi > 90x/ menit


SIRS
Hiperventilasi dengan laju nafas > 20x/ menit atau CO2 arterial
kurang dari 32 mmHg
Sel darah putih > 12.000 sel/uL atau < 4000 sel/ uL

Sepsis SIRS dengan adanya infeksi (diduga atau sudah terbukti)


Sepsis Berat Sepsis dengan disfungsi organ

Syok septik Sepsis dengan hipotensi walaupun sudah diberikan resusitasi yang
adekuat

1.1.2 Pnemonia

2 Tabel 2 Klasifikasi Pneumonia


Klasifikasi Keterangan

Pneumonia Komunitas (PK) Sporadis, muda atau tua, didapat sebelum


adanya perawatan dari rumah sakit

Pneumonia nosokomial (PN) Didapat dengan didahului perawatan di


rumah sakit
Pneumonia pada gangguan imun Pada pasien keganasan, HIV/AIDS

Pneumonia aspirasi Sering pada pasien alkoholik dan lanjut


usia
Pneumonia dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, klasifikasi paling sering
ialah menggunakan klasifikasi berdasarkan tempat didapatkannya pneumonia
(pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial), tetapi pneumonia juga dapat
diklasifikasikan berdasarkan area paru yang terinfeksi (lobar pneumonia, multilobar
pneumonia, bronchial pneumonia, dan intertisial pneumonia) atau agen kausatif.
Pneumonia juga sering diklasifikasikan berdasarkan kondisi yang mendasari pasien,
seperti pneumonia rekurens (pneumonia yang terjadi berulang kali, berdasarkan
penyakit paru kronik), pneumonia aspirasi (alkoholik, usia tua), dan pneumonia pada
gangguan imun (pneumonia pada pasien tranplantasi organ, onkologi, dan AIDS).3,9

1.1.3 Disseminated Intravascular Coagulation

DIC dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

1. DIC akut (overt DIC), adalah kondisi dimana pembuluh darah dan darah serta
komponennya tidak dapat mengkompensasi atau mengembalikan homeostasis dalam
merespon injury. Ditandai dengan abnormalitas dari parameter koagulasi. Akibatnya
terjadi trombosis dan/atau perdarahan yang berujung kegagalan organ multipel.

2. DIC kronik (non-overt DIC), adalah kondisi klinik dari kerusakan pembuluh darah
yang memperberat sistem koagulasi. Namun respon tubuh masih dapat menjaga
agar tidak terjadi pengaktifan lebih lanjut dari sistem hemostasis dan inflamasi.6

2.1 Penatalaksanaan
2.1.1 Sepsis

Tata laksana dari sepsis menggunakan protokol yang dikeluarkan oleh SCCM dan ESICM yaitu
“Surviving Sepsis Guidelines”. Surviving Sepsis Guidelines pertama kali dipublikasi pada tahun 2004,
dengan revisi pada tahun 2008 dan 2012. Pada bulan Januari 2017, revisi keempat dari Surviving Sepsis
Guidelines dipresentasikan pada pertemuan tahunan SCCM dan dipublikasikan di Critical Care
Medicine dan Intensive Care Medicine dimana didapatkan banyak perkembangan baru pada revisi yang
terbaru.13 Komponen dasar dari penanganan sepsis dan syok septik adalah resusitasi awal, vasopressor/
inotropik, dukungan hemodinamik, pemberian antibiotik awal, kontrol sumber infeksi, diagnosis (kultur
dan pemeriksaan radiologi), tata laksana suportif (ventilasi, dialisis, transfusi) dan pencegahan infeksi.2

Early Goal-Directed Therapy (EGDT) yang dikembangkan oleh Rivers et al pada tahun 2001 merupakan
komponen penting dalam protokol sebelumnya.13 Rivers et al mengevaluasi efikasi dari EGDT pada 263
pasien dengan infeksi dan hipotensi atau kadar serum laktat ≥ 4 mmol/L yang dilakukan randomisasi dan
diberikan resusitasi standar atau EGDT (133 kontrol dengan
130 EGDT) di ruang IGD sebelum dipindahkan ke ruang ICU. Selama 6 jam di ruang IGD, pasien dengan
terapi EGDT mendapatkan terapi cairan, transfusi darah, dan inotropik lebih banyak dibandingkan grup
kontrol. Kemudian, selama 6 – 72 jam di ruang ICU setelah mendapatkan terapi EGDT, kelompok
pasien ini memiliki tingkat ScvO2 dan pH yang lebih tinggi dengan kadar laktat dan defisit basa yang
lebih rendah. Skor disfungsi organ lebih baik secara signifikan pada kelompok pasien EGDT. Hal ini juga
berhubungan dengan masa inap rumah sakit yang lebih singkat dan penurunan komplikasi kardiovaskular
seperti henti jantung, hipotensi, dan gagal nafas akut.9

Pada tahun 2014, protokol EGDT ini dibandingkan dengan 3 protokol lain seperti ARISE
(Australasian Resuscitation in Sepsis Evaluation), ProMISe (Protocolized Management in Sepsis),
dan ProCESS (Protocolized Care for Early Septic Shock) dan hal ini mengubah rangkaian 6 jam dalam
Surviving Sepsis Guideline dimana pengukuran tekanan vena sentral dan saturasi oksigen vena sentral
tidak dilakukan lagi.2 Dalam protokol yang dikeluarkan pada tahun 2016, target resusitasi EGDT telah
dihilangkan, dan merekomendasikan keadaan sepsis diberikan terapi cairan kristaloid minimal sebesar
30 ml/kgBB dalam 3 jam atau kurang. Dengan dihilangkannya target EGDT yang statik (tekanan vena
sentral), protokol ini menekankan pemeriksaan ulang klinis sesering mungkin dan pemeriksaan
kecukupan cairan secara dinamis (variasi tekanan nadi arterial).14

Hal ini merupakan perubahan yang signifikan, karena pada protokol sebelumnya merekomendasikan
bahwa klinisi harus menentukan angka tekanan vena sentral secara spesifik dan ternyata tekanan vena
sentral memiliki manfaat terbatas untuk menentukan respon tubuh terhadap pemberian cairan.
Protokol ini menekankan bahwa klinisi harus melakukan teknik “fluid challenge” untuk mengevaluasi
efektivitas dan keamanan dari pemberian cairan. Ketika status hemodinamik membaik dengan
pemberian cairan, pemberian cairan lebih lanjut dapat dipertimbangkan. Namun pemberian carian
harus dihentikan apabila respon terhadap pemberian cairan tidak memberikan efek lebih lanjut. Maka
dari itu, protokol ini telah berubah dari strategi resusitasi kuantitatif ke arah terapi resusitasi yang fokus
terhadap kondisi pasien tersebut dengan dipandu pemeriksaan dinamis untuk mengevaluasi respon dari
terapi tersebut.13 Pemeriksaan lain yang dapat digunakan seperti carotid doppler peak velocity, passive
leg raising, ekokardiografi.2

Karena infeksi menyebabkan sepsis, penanganan infeksi merupakan komponen penting dalam
penanganan sepsis. Tingkat kematian akan meningkat dengan adanya penundaan penggunaan
antimikroba. Untuk meningkatkan keefektifitas penggunaan antibiotik, penggunaan antibiotik
berspektrum luas sebaiknya disertai dengan kultur dan identifikasi sumber penularan kuman.14 Dan hal
ini dilakukan sesegera mungkin. Protokol terbaru merekomendasikan bahwa penggunaan antibiotik harus
diberikan maksimal dalam waktu 1 jam. Rekomendasi ini berdasarkan berbagai penelitian yang
meunjukkan bahwa penundaan dalam penggunaan antibiotik berhubungan dengan peningkatan resiko
kematian.13 Penggunaan vasopressor yang direkomendasikan adalah norepinefrin untuk mencapai target
MAP
≥ 65 mmHg. Penggunaan cairan yang direkomendasikan adalah cairan kristaloid dengan dosis 30
ml/kgBB dan diberikan dengan melakukan fluid challenge selama didapatkan peningkatan status
hemodinamik berdasarkan variabel dinamis (perubahan tekanan nadi, variasi volum sekuncup) atau statik
(tekanan nadi, laju nadi).7 Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Bernard et al , penggunaan
drotrecogin α (Human Activated Protein C) menurunkan tingkat kematian pada pasien dengan sepsis.
Protein C yang teraktivasi akan menghambat pembentukan thrombin dengan menginaktifasi factor Va,
VIIIa dan akan menurunkan respon inflamasi.8

2.1.2 Pneumoni

Terapi Farmakologis

Antibiotik merupakan pilihan utama untuk terapi farmakologis pneumonia komunitas.


Hal ini dikarenakan data epidemiologis pada penelitian - penelitian sebelumnya menyatakan
bahwa bakteri merupakan patogen yang sering ditemukan, dan menjadi penyebab utama
pneumonia komunitas. Terapi antibiotik pada pneumonia komunitas dapat diberikan secara
empiris maupun menyesuaikan berdasarkan patogen penyebabnya. Pada salah satu studi
prospektif, tidak ada perbedaan signifikan antara inisiasi pemberian terapi empirik dengan
pemberian terapi sesuai dengan patogen penyebabnya.37
Tabel 8 Rekomendasi Terapi Empiris

Infectious Disease Society Association / Pedoman Diagnosis dan Penatalaksaan


American Thoracic Society (IDSA/ATS) Pneumonia Komunitas
Rawat Jalan
 Kondisi sehat dan tidak  Tanpa faktor modifikasi : Beta laktam
menggunakan antibiotik selama 3 atau beta laktam + anti beta
bulan : laktamase
A. Makrolide  Dengan faktor modifikasi : beta
B. Doxycycline laktam + anti beta laktamase atau
 Adanya komorbiditas atau florokuinolon respirasi
penggunaan antibiotik 3 bulan  Curiga pneumonia atipikal : makrolid
sebelumnya : baru (roksitromisin, klaritromisin)
A. Florokuinolon respirasi
B. Beta laktam + makrolide atau
doxycyline sebagai pengganti
makrolide apabila ditemukan
adanya resistensi

Rawat Inap non Intensive Care Unit (ICU)


A. Floroquinolone respirasi  Tanpa faktor modifikasi : beta laktam
B. Beta laktam + makrolide dengan + anti betalaktamase IV, atau
doxycyline sebagai alternatif dari Sefalosporin G2, G3 IV, atau
makrolide florokuinolon respirasi IV
 Dengan faktor modifikasi :
Sefalosporin G2, G3 IV, atau
florokuinolon respirasi IV
 Curiga infeksi atipikal ditambah
makrolid baru
Rawat Inap ICU
 Beta laktam ditambah antara  Tidak ada faktor resiko pseudomonas
azithromycin atau florokuinolone : Sefalosporin G3 IV non
 Curiga infeksi Pseudomonas : pseudomonas + makrolid baru atau
A. Antipneumococcus antipseudomonal florokuinolon respirasi IV
beta laktam (piperaciliin –  Ada faktor resiko pseudomonas :
tazobactam, cefepime, imipenem, Sefalosporin anti pseudomonas IV
atau meropenem) ditambah antara atau karbapenem IV + florokuinolon
ciprofloxacin atau levofloxacin, atau anti pseudomonas (siprofloksasin) IV
B. Beta laktam + aminoglikosida dan atau aminoglikosida IV
azithromycin, atau  Curiga infeksi atipikal : sefalosporin
C. Beta laktam + aminoglikosida dan anti pseudomonas IV atau
antipneumococcus florokuinolone karbapenem IV + aminoglikosida IV
+ makrolid baru atau florokuinolon
respirasi IV

Panduan IDSA/ATS merekomendasikan pemberian Drotrecogin alfa yang teraktivasi


dari golongan imunomodulator pada pasien pneumonia komunitas dengan komplikasi sepsis
berat dan memiliki resiko mortalitas yang tinggi. Pemberian steroid tidak direkomendasikan
pada pasien pneumonia komunitas, dan di sebuah penelitan menunjukkan bahwa pemberian
prednisolone selama satu minggu tidak mempengaruhi hasil terapi secara signifikan. Pada
pasien yang sudah membaik dapat dilakukan alih terapi dari terapi secara intravena ke
oral.7,38,39
Lama Rawat Inap

Durasi perawatan pada pasien non ICU minimal 5 hari, dan sudah melewati kondisi
afebrile (tanpa demam) selama 48 – 72 jam, disertai tekanan darah yang stabil, asupan oral
yang adekuat, saturasi oksigen >90%. Sementara pada pasien ICU mimimal perawatan 10 –
14 hari, dengan dapat diberikan terapi tambahan apabila ada dugaan multiinfeksi.7,36 Salah
satu penelitian yang dilakukan di 10 negara Eropa menemukan bahwa rerata lama rawat inap,
kecuali yang mengalami rekuren adalah sebesar 12,1 hari atau dengan nilai median yaitu 9
hari. Sedangkan apabila pneumonia rekuren dilibatkan, maka rerata lama rawat inap menjadi
sebesar 12,6 hari dengan nilai median yaitu 10 hari.39

Penggantian jalur memasukkan obat dari intravena ke oral setelah 3 hari perawatan
pada pasien pneumonia komunitas berat menunjukkan hasil positif dan dapat mengurangi
lama rawat inap di rumah sakit.40 Mobilisasi pasien lebih awal dan penggunaan kriteria
khusus untuk menentukan kapan pasien keluar rumah sakit merupakan tahap selanjutnya
untuk dapat menurunkan lama rawat inap di rumah sakit. Mobilisasi pasien lebih awal
didefinisikan sebagai suatu pergantian posisi dari horizontal menjadi vertikal selama kurang
lebih 20 menit pada 24 jam pertama masuk rumah sakit, disertai perkembangan pergerakan
tiap harinya selama perawatan, sedangkan kriteria khusus untuk menentukan kapan pasien
keluar rumah sakit yaitu dengan menggunakan status kondisi mental dan oksigenasi pasien
pada suhu ruangan. Pada penelitian yang menggunakan ketiga tahap ini, lama rawat inap
dapat ditekan hingga mencapai rerata 3,9 hari dibandingkan 6 hari pada pasien perlakuan
biasa.41

2.1.3 DIC
Pengelolaan DIC bergantung pada penyakit yang mencetuskan terjadinya DIC dan
juga derajat dari DIC. Maka pengobatan kasus demi kasus berbeda satu dengan
lainnya. Kadang pemberian heparin pada kasus yang satu sangat diperlukan,
sebaliknya pada kasus yang lain sama sekali tidak. Jadi setiap individu harus dilihat
keuntungan dan kerugian dari pengobatan10.
Meskipun pengelolaan DIC berbeda tiap kasusnya, fokus utama dari pengobatan
ialah untuk menterapi penyebab utama terjadinya koagulasi yang berlebihan. Pada
beberapa kasus, penyebab DIC tidak dapat ditangani secara langsung (contoh: kasus
malignasi). Oleh karenanya diperlukan penanganann khusus untuk mencegah
terjadinya thrombosis dan juga perdarahan. Terapi DIC dibagi menjadi terapi
substitusi, antikoagulasi, pemulihan anticoagulation pathway, dan pemberian agen
lainnya (dapat dilihat pada tabel)2.

Tranfusi komponen darah


Pemberian komponen darah perlu dilakukan pada pasien yang kekurangan
komponen darah akibat konsumsi yang berkelanjutan. Secara khusus, terapi
penggantian hanya digunakan pada pasien yang memiliki gejala klinis perdarahan
dan tidak digunakan untuk mengobati pasien dengan kelainan laboratorium tanpa
adanya klinis perdarahan2,4. Fresh frozen plasma (FFP) merupakan pilihan utama
karena memiliki faktor- faktor koagulasi yang lebih lengkap5. Dosis untuk setiap
komponen darah dirangkum dalam tabel dibawah.
Terapi substitusi komponen darah direkomendasikan pada pasien DIC akut
maupun kronis dengan perdarahan aktif. Pasien tanpa adanya perdarahan tidak
anjurkan untuk dilakukan substitusi11.
Tabel 2. Terapi substitusi komponen darah2
Antikoagulasi
Terapi antikoagulan telah direkomendasikan sebagai untuk mengatasi
koagulasi yang berlebihan pada DIC. Tapi dalam prakteknya manfaat
ini jarang terlihat. Untuk pasien yang secara aktif perdarahan, heparin
akan memperburuk pendarahan sebelum manfaat potensial. Dalam
sebagian besar situasi khas DIC akut (yang mencakup 95% atau lebih
pasien) terapi heparin belum terbukti berguna dan mungkin
berbahaya. Heparin telah terbukti memiliki efek yang menguntungkan
dalam kecil, studi terkontrol pasien dengan koagulasi intravaskular
diseminata, tetapi tidak dalam uji klinis terkontrol12.
Meskipun kontroversi, heparin dapat digunakan dalam kasus DIC
kronis, di mana trombosis mendominasi (contoh: purpura fulminans,
tumor padat, hemangioma, sindrom janin mati). Heparin biasanya
diberikan pada dosis yang relatif rendah (5-10 unit / kg berat badan /
jam) dengan infus intravena kontinu atau injeksi subkutan untuk
terapi rawat jalan jangka panjang. Dosis rendah heparin subkutan
tampaknya seefektif atau mungkin lebih efektif daripada dosis yang
lebih besar dari heparin intravena di DIC. Namun demikian, harus
dilakukan dengan sangat hati-hati bila menggunakan heparin, dan itu
harus dihentikan pada sedikit sedikit memburuk pendarahan2.
Sebuah penelitian kecil menunjukkan bahwa low molecular weight
heparin (LMWH) pada dosis 1 mg/kg/12 jam lebih unggul dari
unfractionated heparin (UFH) dalam mengobati DIC, menunjukkan
bahwa penggunaan LMWH lebih disukai dibandingkan UFH pada
DIC13.
a. Antifibrinolotik

Penggunaan obat antifibrinolisis seperti asam traneksamat dapat


mencegah degradasi fibrin oleh plasmin sehingga dapat mengurangi
pendarahan pada pasien DIC dan yang mengalami hiperfibrinolisis
(gambar 4). Akan tetapi, obat ini dapat meningkatkan risiko terjadinya
trombosis sehingga penggunaan heparin diindikasikan. Terapi ini
sangat berguna pada beberapa pasien DIC akut dimana resiko
perdarahan lebih besar dibandingkan terjadinya tombosis12.

Gambar 4. Tahap-tahap hemostasis. (1), (2) Hemostasis primer. (3) Hemostasis


sekunder.
dan (4), (5) Hemostasis tersier
Natural protease inhibitor
Pada pasien DIC terdapat defisiensi inhibitor koagulasi (gambar 1).
Pemberian protease inhibitor dapat memulihkan jalur antikoagulan
fisiologis sehingga jumlah trombin yang berlebihan dapat dicegah.
Natural protease inhibitor yang dapat diberikan pada pasien DIC
berupa anti thrombin dan protein C.
Antitrombin (AT) adalah inhibitor utama trombin, penggunaannya
dalam DIC tentu sangat rasional. Antitrombin juga memiliki sifat
anti-inflamasi (mengurangi protein C-reaktif dan IL-6) yang sangat
bermanfaat pada DIC. Beberapa uji klinis
kecil pada manusia telah menunjukkan efek menguntungkan dari segi
peningkatan

parameter koagulasi dan fungsi organ. Dosis yang digunakan


biasanya antara 1500-3000 unit/hari14.
Pada pasien DIC biasanya terjadi defisiensi protein C. Pemberian
konsentrat activated protein C (APC) dari 12μg / Kg / jam sampai 30
ug / Kg / jam pada pasien dengan sepsis berat yang dapat
meningkatkan kelangsungan hidup pasien15
Pemulihan jalur antikoagulasi sangat direkomendasikan pada DIC
kronik dimana biasanya terjadi kegagalan fungsi organ akibat
thrombosis yang berlebihan. Sedangkan pada DIC akut biasanya tidak
memiliki manfaat yang terlihat.
Agen anti-Xa
Agen anti-Xa seperti Fondaparinux® dan Danaparoid sodium® masih
tergolong baru. Agen anti-Xa mengaktifkan AT khusus untuk
menghambat Xa (gambar 5). Pengobatan dengan Fondaparinux®
dianjurkan untuk profilaksis DVT setelah operasi; Namun, ada sedikit
bukti untuk mendukung penggunaannya pada pasien DIC. Ada sedikit
bukti yang menunjukkan manfaat penggunaan agen ini pada pasien
dengan DIC, dan tidak dianjurkan pada kondisi akut dengan

perdarahan. Obat ini juga tidak dianjurkan pada pasien dengan gagal
ginjal12.

Gambar 5. Regulasi dari system koagulasi


Secara singkat, terapi-terapi yang direkomendasikan untuk DIC akut ataupun
kronis dapat dilihat pada table di bawah ini.

Tabel 3. Terapi pada DIC

Terapi DIC akut DIC kronis


Pengobatan penyakit Direkomendasikan Direkomendasikan

penyebab DIC
Transfusi komponen darah Pada pasien dengan Pada pasien dengan

perdarahan perdarahan
Heparin Tidak direkomendasikan Direkomendasikan
Antifibrinolitik Direkomendasikan Tidak direkomendasikan
Protease inhibitor Tidak direkomendasikan Direkomendasikan
Anti-Xa Tidak direkomendasikan direkomendasikan
Daftar pustaka
2. Mehta Y, Kochar G. Sepsis and septic shock. Journal of Cardiac Critical Care TSS. 2017;
1(1): 3-5.
3. Dahlan Z. 2009. Pneumonia, dalam Sudoyo AW, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas
Indonesia
4. Levi, M. and H. Ten Cate, Disseminated intravascular coagulation. New England Journal
of Medicine, 1999. 341(8): p. 586-592.
5. Franchini, M., G. Lippi, and F. Manzato, Recent acquisitions in the pathophysiology,
diagnosis and treatment of disseminated intravascular coagulation. Thromb J, 2006.
4(4): p. 1-9.
6. Suharti C. Penyakit Perdarahan. Semarang. Badan Penerbit Universitas Diponegoro;
2010
8. Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, LaRosa S, Dhainaut JP, Rodriguez AL, et al.
Efficacy and safety of recombinant human activated protein c for severe sepsis. N Eng J
Med. 2001; 344 (10): 699-709.
9. Nguyen BH, Rivers EP, Abrahamian FM, Moran GJ, Abraham E, Trzeciak S, et al.
Severe sepsis and septic shock: review of the literature and emergeny department
management guidelines. Annals of Emergency Medicine. 2006; 48(1): 28-50.
10. Levi, M., E. de Jonge, and T. van der Poll, New treatment strategies for disseminated
intravascular coagulation based on current understanding of the pathophysiology. Annals
of medicine, 2004. 36(1): p. 41-49.
11. Labelle, C.A. and C.S. Kitchens, Disseminated intravascular coagulation: treat the
cause, not the lab values. Cleve Clin J Med, 2005. 72(5): p. 377-8.
12. Wada, H., T. Matsumoto, and Y. Yamashita, Diagnosis and treatment of disseminated
intravascular coagulation (DIC) according to four DIC guidelines. Journal of Intensive
Care, 2014. 2(1): p. 15
13. Backer D, Dorman T. Surviving sepsis guidelines: a continuous move toward better care
of patients with sepsis. JAMA. 2017; 317(8): 807-8.
14. Howell MD, Davis AM. Management of sepsis and septic shock. JAMA. 2017; 317(8): 847-
8.
15. Bernard, G., et al., Recombinant human activated protein C (rhAPC) produces a trend
toward improvement in morbidity and 28 day survival in patients with severe sepsis.
Critical Care Medicine, 1999. 27(1): p. 33A.
36. Schmitt, Steven. Cleveland : Community Acquired Pneumonia(Internet); c2014 (cited
2014 Januari 5).Available from
:www.clevelandclinicmed.com/medicalpubs/diseasemanagement/infectious-
disease/community-acquired-pneumonia/#bib10
37. Van der Eerden M, Vlaspolder F, De Graaff C, Groot T, Bronsveld W, Jansen H, et al.
Comparison between pathogen directed antibiotic treatment and empirical broad
spectrum antibiotic treatment in patients with community acquired pneumonia: a
prospective randomised study. Thorax. 2005;60(8):672-8.
38. Snijders D, Daniels JM, de Graaff CS, van der Werf TS, Boersma WG. Efficacy of
corticosteroids in community-acquired pneumonia: a randomized double-blinded clinical
trial. Am J Respir Crit Care Med. 2010;181(9):975– 982.
39. Blasi F, Garau J, Medina J, Ávila M, McBride K, Ostermann H. Current management of
patients hospitalized with community-acquired pneumonia across Europe: outcomes from
REACH. Respir Res. 2013;14:44
40. Oosterheert JJ, Bonten MJ, Schneider MM, et al. Effectiveness of early switch from
intravenous to oral antibiotics in severe community acquired pneumonia: multicentre
randomised trial. BMJ. 2006;333(7580):1193.
41. Carratalà J, Garcia-Vidal C, Ortega L, Fernández-Sabé N, Clemente M, Albero G, et al.
Effect of a 3-step critical pathway to reduce duration of intravenous antibiotic therapy
and length of stay in community-acquired pneumonia: a randomized controlled trial.
Archives of internal medicine. 2012;172(12):922-8.

Anda mungkin juga menyukai