Anda di halaman 1dari 31

“Paper Asuhan Keperawatan Sistem Pernafasan Pada Lansia”

Disusun oleh :

1. Dwi Kusumaningayu (16017)


2. Esti Septiani (16020)
3. Ira Safira (16025)
4. Rima Sudrajat (16042)
5. Rizki Kurniawati (16044)
6. Salmawati (16046)
7. Windi (16060)
8. Yuly Yaneu Jayanti (16061)

AKADEMI KEPERAWATAN HARUM

JAKARTA 2018
A. Konsep Dasar Lansia
1. Pengertian
Usia lanjut adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh
semua orang yang dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak bisa di
hindari siapapun. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang
hidup seseorang, yaitu periode dimana seseorang telah “beranjak jauh”
dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau beranjak dari
waktu yang penuh dengan manfaat (Hurlock, 2000).
Menurut Undang-Undang RI nomor 13 tahun 1998, Depkes
(2001) yang dimaksud dengan usia lanjut adalah seorang laki – laki
atau perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih, baik yang secara
fisik masih berkemampuan ( potensial) maupun karena sesuatu hal
yang tidak mampu berperan aktif dalam pembangunan (tidak
potensial).
Wheeler, mengungkapkan usia tua tidak hanya dilihat
dari perhitungan kronologis atau berdasarkakan kalender saja, tetapi
juga menurut kondisi kesehatan seseorang ( health age ). Sehingga
umur sesungguh nya dari seseorang merupakan gabungan dari ketiga -
tiganya (Nugroho, 2008).
Jadi dapat disimpulkan bahwa lansia adalah suatu periode
penutup dalam hidup seseorang baik laki-laki maupun perempuan
yang berusia 60 tahun atau lebih yang secara fisik masih potensial
maupun tidak potensial.
2. Batasan Lansia
Menurut Setyonegoro, dalam Nugroho ( 2008), pengelompokkan
usia lanjut adalah sebagai berikut :
a. Usia dewasa muda ( Elderly adulhood), 18 atau 20 – 25 tahun
b. Usia dewasa penuh ( middle years ) atau maturitas, 25 – 60 atau
65 tahun
c. Lanjut usia ( geriatric age ), lebih dari 65 atau70 tahun. Terbagi
untuk umur 70 – 75 tahun ( young old), 75– 80 tahun (old), dan
lebih dari 80 tahun ( very old ).
Sedangkan menurut WHO tahun 2005, Lanjut usia meliputi usia
pertengahan yakni kelompok usia 45-59 tahun, Lanjut usia (Elderly)
yakni 60-74 tahun, usia lanjut tua (Old) yakni 75-90 tahun, dan usia
sangat tua (very old) yakni lebih dari 90 tahun.
3. Tipe Lansia
Beberapa tipe lansia tergantung dari karakter, pengalaman hidup,
lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial dan ekonomi (Nugroho, 2008).
Tipe tersebut antara lain :
a. Tipe arif bijaksana kaya dengan hikmah, pengalaman,
menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai
kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan,
memenuhi undangan, dan menjadi panutan
b. Tipe mandiri mengganti kegiatan yang hilang dengan yang
baru, selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman,
dan memenuhi undangan
c. Tipe tidak puas konflik lahir batin menentang proses penuaan
sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung,
sulit dilayani, pengkritik dan banyak menuntut
d. Tipe pasrah menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti
kegiatan agama, dan melakukan pekerjaan apa saja
e. Tipe bingung kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri,
minder, menyesal, pasif, dan acuh yak acuh
4. Proses penuaan
Penuaan merupakan konsekuensi yang tidak bisa dihindari oleh
setiap manusia. Walaupun proses penuaan merupakan suatu proses
yang normal, akan tetapi keadaan ini lebih menjadi beban. Hal ini
secara keseluruhan tidak dapat dipungkiri oleh beberapa orang yang
lebih merasa menderita karena pengaruh penuaan. Proses penuaan
mempunyai konsekuensi terhadap aspek biologis, psikologis dan sosial
(Watson, 2003).
B. Perubahan-perubahan yang terjadi pada usia lanjut
1. Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai
dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda
( multiple pathology ), misalnya tenaga berkurang, energi menurun,
kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh dan
sebagainya. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah
memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda.
Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi
fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat
menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain.
Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi
fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan
fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak
mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat
memforsir fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara
hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja
secara seimbang (Nugroho, 2008).
2. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering
kali berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti :
Gangguan jantung, gangguan metabolisme, misal diabetes millitus,
vaginitis, baru selesai operasi : misalnya prostatektomi, kekurangan
gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat
kurang, penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi,
golongan steroid, tranquilizer.
Factor psikologis yang menyertai lansia adalah :
a. Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual
pada lansia.
b. Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta
diperkuat oleh tradisi dan budaya.
c. Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam
kehidupannya.
d. Pasangan hidup telah meninggal.
e. Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah
kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dan
sebagainya.(Nugroho, 2008)
3. Perubahan Aspek Sosial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia
mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi
kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian,
perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku
lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik
(konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan
kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat
bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia
juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan
dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut
dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia sebagai
berikut :
a. Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy),
biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan
mantap sampai sangat tua.
b. Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada
tipe ini ada kecenderungan mengalami post power sindrome,
apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan
yang dapat memberikan otonomi pada dirinya.
c. Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada
tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga,
apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa
lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal
maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana,
apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
d. Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada
tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas
dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-
kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga
menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-marit.
e. Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada
lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya
sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat
susah dirinya.(Nugroho, 2008)
4. Perubahan yang Berkaitan dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun.
Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat
menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam
kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering
diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan,
peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang
memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model
kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point tiga di atas.
Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut kehilangan,
ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua dan ada juga
yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing
sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing
individu, baik positif maupun negatif. Dampak positif lebih
menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan mengganggu
kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif
sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang benar-benar diisi
dengan kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan hanya
diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji
penuh.
Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi
dan terarah bagi masing-masing orang yang akan pensiun. Jika
perlu dilakukan assessment untuk menentukan arah minatnya agar
tetap memiliki kegiatan yang jelas dan positif. Untuk
merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki masa lansia
dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah
minatnya masing-masing. Misalnya cara berwiraswasta, cara
membuka usaha sendiri yang sangat banyak jenis dan macamnya.
Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung
terlihat hasilnya sehingga menumbuhkan keyakinan pada lansia
bahwa disamping pekerjaan yang selama ini ditekuninya, masih
ada alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam menghadapi
masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan bahwa setelah
pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan
berkurang dan sebagainya (Nugroho, 2008).
5. Perubahan dalam Peran Sosial Dimasyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan,
gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau
bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya menjadi
bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan
sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu
sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan
aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak
merasa terasing atau diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi
akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan
kdang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah
menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak
berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang
lain sehingga perilakunya seperti anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada
umumnya lansia yang memiliki keluarga bagi orang-orang kita
(budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota
keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat
umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh
kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya
keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya
pasangan hidup namun tidak punya anak dan pasangannya sudah
meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seringkali
menjadi terlantar (Nugroho, 2008).
C. Perubahan anatomi fisiologi sistem pernapasan pada lansia
Berikut adalah penjelasan tentang penyakit pernapasan pada lansia
yang dimulai dengan penjelasan tentang perubahan anatomic dan
fisiologik jantung:
1. Perubahan anatomik pada respirasi
Efek penuaan tersebut dapat terlihat dari perubahan-perubahan
yang terjadi baik dari segi anatomi maupun fisiologinya. Perubahan-
perubahan anatomi pada lansia mengenai hampir seluruh susunan
anatomik tubuh, dan perubahan fungsi sel, jaringan atau organ.
Perubahan anatomi yang terjadi turut berperan terhadap perubahan
fisiologis sistem pernafasan dan kemampuan untuk mempertahankan
homeostasis. Penuaan terjadi secara bertahap sehingga saat seseorang
memasuki masa lansia, ia dapat beradaptasi dengan perubahan yang
terjadi. Perubahan anatomik sistem respirastory akibat penuaan adalah
sebagai berikut :
a. Paru-paru kecil dan kendur.
b. Pembesaran alveoli.
c. Penurunan kapasitas vital ; penurunan PaO2 dan residu
d. Kelenjar mucus kurang produktif
e. Pengerasan bronkus dengan peningkatan resistensi
f. Penurunan sensivitas sfingter esophagush.
g. Klasifikasi kartilago kosta, kekakuan tulang iga pada kondisi
pengembangani.
h. Hilangnya tonus otot toraks, kelemahan kenaikan dasar paru.
Penurunan sensivitas kemoreseptor.

(Stanley, 2006).

2. Perubahan Fisiologik pada pernapasan


Menurut Stanley, 2006 perubahan anatomi dan fisiologi yang
terjadi pada lansia, yaitu:
Hilangnya silia serta terjadinya penurunan reflex batuk dan
muntah pada lansia menyebabkan terjadinya penurunan perlindungan
pada sistem respiratory. Hal ini terjadi karena saluran pernafasan tidak
akan segera merespon atau bereaksi apabila terdapat benda asing
didalam saluran pernafasan karena reflex batuk dan muntah pada
lansia telah mengalami penurunan.
Penurunan kompliants paru dan dinding dada. Hal
ini menyebabkan jumlah udara (O2) yang dapat masuk ke
dalam saluran pernafasan menurun dan menyebabkan terjadinya
peningkatan kerja pernafasan guna memenuhi kebutuhan tubuh.
Atrofi otot pernafasan dan penurunan kekuatan otot
pernafasan. Kedua hal ini menyebabkan pengembangan paru tidak
terjadi sebagai mestinya sehingga klien mengalami kekurangan suplay
O2 dan hal ini dapat menyebabkan kompensasi penigkatan RR yang
dapat menyebabkan kelelahan otot-otot pernafasan pada lansia.
Perubahan interstisium parenkim dan penurunan daerah
permukaan
alveolar menyebabkan menurunnya tempat difusi oksigen yang menye
babkan klien kekurangan suplay O2.
Penurunan mortilitas esophagus dang aster serta hilangnya
tonus sfringter kardiak.Hal ini menyebabkan lansia mudah mengalami
aspirasi yang apabila terjadi dapat mengganggu fisiologis pernafasan.
Paru-paru kecil dan mengendur. Paru-paru yang mengecil
menyebabkan ruangatau permukaan difusi gas berkurang bila
dibandingkan dengan dewasa.
3. Faktor-Faktor Yang Memperburuk Fungsi Paru
Selain penurunan fungsi paru akibat proses penuaan,
terdapat beberapa faktor yang dapat memperburuk fungsi paru, Faktor-
faktor yang memperburuk fungsi paru antara lain :
a. Faktor merokok
Merokok akan memperburuk fungsi paru, yaitu terjadi
penyempitan saluran nafas. Pada tingkat awal, saluran nafas akan
mengalami obstruksi clan terjadi penurunan nilai VEP1 yang
besarnya tergantung pada beratnya penyakit paru.
(Dharmojo dan Martono, 2006)
b. Obesitas
Kelebihan berat badan dapat memperburuk fungsi paru
seseorang. Pada obesitas, biasanya terjadi penimbunan lemak
pada leher, dada dan (finding perut, akan dapat
mengganggu compliance dinding dada, berakibat penurunan volume
paru atau terjadi keterbatasan gerakan pernafasan (restriksi) dan
timbul gangguan fungsi paru tipe restriktif.
(Dharmojo dan Martono, 2006)
c. Imobilitas
Imobilitas akan menimbulkan kekakuan atau keterbatasan
gerak saat otot-otot berkontraksi, sehingga kapasitas vital paksa
atau volume paru akan relatif' berkurang. Imobilitas karena
kelelahan otot-otot pernafasan pada usia lanjut dapat memperburuk
fungsi paru (ventilasi paru). Faktor-faktor lain yang menimbulkan
imobilitas (paru), misalnya efusi pleura, pneumotoraks, tumor paru
dan sebagainya. Perbaikan fungsi paru dapat dilakukan
dengan menjalankan olah raga secara intensif.
(Dharmojo dan Martono, 2006)
d. Operasi
Tidak semua operasi (pembedahan) mempengaruhi faal paru.
Dari pengalaman para ahli diketahui bahwa yang pasti
memberikan pengaruh faal paru adalah:
1) Pembedahan toraks (jantung dan paru)
2) Pembedahan abdomen bagian atas.
3) Anestesi atau jenis obat anastesi tertentu
Peruhahan fungsi paru yang timbul, meliputi perubahan
proses ventilasi, distribusi gas, difusi gas serta perfusi darah
kapiler paru. Adanya perubahan patofisiologik paru pasca
bedah mudah menimbulkan komplikasi paru : atelektasis,
infeksi atau sepsis dan selanjutnya mudah terjadi kematian,
karena timbulnya gagal nafas.
(Dharmojo dan Martono, 2006)
4. Penyakit pernapasan pada Usia Lanjut
Pada proses menua terjadi penurunan compliance dinding dada,
tekanan maksimalinspirasi dan ekspirasi menurun dan elastisistas
jaringan paru juga menurun. Pada pengukuranterlihat FEV1, FVC
menurun, PaO2 menurun, V/Q naik. Penurunan ventilasi alveolar,
merupakanrisiko untuk terjadinya gagal napas. Selain itu terjadi
perubahan berupa (Lukman, 2009):
a. Otot pernafasan kaku dan kehilangan kekuatan, sehingga
volume udara inspirasiberkurang, sehingga pernafasan cepat dan
dangkal.
b. Penurunan aktivitas silia menyebabkan penurunan reaksi batuk
sehingga potensialterjadi penumpukan sekret.
c. Penurunan aktivitas paru ( inspirasi & ekspirasi ) sehingga
jumlah udara pernafasan yangmasuk keparu mengalami
penurunan, kalau pada pernafasan yang tenang kira kira 500 ml.
d. Alveoli semakin melebar dan jumlahnya berkurang (luas
permukaan normal 50m²), menyebabkan terganggunya prose
difusi.
e. Penurunan oksigen (O2) Arteri menjadi 75 mmHg menggangu
proses oksigenasi darihemoglobin, sehingga O2 tidak terangkut
semua kejaringan.
f. CO2 pada arteri tidak berganti sehingga komposisi O2 dalam
arteri juga menurun yang lama kelamaan menjadi racun pada
tubuh sendiri.
g. Kemampuan batuk berkurang, sehingga pengeluaran sekret &
corpus alium dari salurannafas berkurang sehingga potensial
terjadinya obstruksi.
Penyebab kegawatan napas pada lansia meliputi
obstruksi jalan napas atas, hipoksi karenapenyakit paru
obstruktif kronik (PPOK), pneumotoraks, pneumonia aspirasi,
rasa nyeri, bronkopneumonia, emboli paru, dan asidosis
metabolik. Akan tetapi penyakit respirasi yang sering terjadi
pada lansia adalah pneumonia, tuberkulosis paru, sesak napas,
nyeri dada.
D. Gangguan-gangguan pada sistem pernafasan lansia
1. Pneumonia
a. Pengertian
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim
paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup
bronkiolus respiratorius, alveoli, serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan menimbulkan gangguan
pertukaran gas setempat. Pneumonia memiliki tanda klasik
berupa demam, batuk, sesak. Tetapi pada usia lanjut usia,
gejalanya menjadi atipikal, yaitu suhu normal, takada batuk,
status mental terganggu, nafsu makan menurun, aktivitas
berkurang. Pemeriksaan fisik didapatkan ronki, bronkofoni,
suara napas menurun. Leukosit naik, dan pada rontgen thoraks
terlihat infiltrat (Lukman, 2009).
Perubahan sistem respirasi yang berhubungan dengan
usia yang mempengaruhi kapasitasdan fungsi paru meliputi:
1) Peningkatan diameter anteroposterior dada
2) Kalsifikasi kartilago kosta dan penurunan mobilitas kosta
3) Penurunan efisiensi otot pernapasanPeningkatan rigiditas
paru
4) Penurunan luas permukaan alveoli.
b. Etiologi
1) Bakteri
Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut.
Organisme gram positif seperti streptococcus pnemonia, S.
Aureus dan S. Pyogenesis. Bakteri gram negatif seperti
Haemophilus influenza, klabsiella pneumonia dan P.
Aeruginosa.
2) Virus
Disebabkan oleh virus influensa yang menyebar melalui
transmisi droplet. Cytomegalovirus dalam hal ini di kenal
sebagai penyebab utama pnemonia virus.
3) Jamur
Infeksi yang disebabkan jamur seperti histoplasmosis
menyebar melalui penghirupan udara yang mengandung
spora dan biasanya ditemukan pada kotoran burung, tanah
serta kompos.
4) Protozoa
Menimbulkan terjadinya pneumocystis sarini pneumonia
(CPC). Biasanya menjangkiti pasien yang mengalami
imunosupresi.
c. Manifestasi klinis
1) Kesulitan dan sakit pada saat bernapas
2) Nyeri pleurutik, nafas dangkal dan mendengkur, takipnea
3) Bunyi napas diatas area yang mengalami konsulidasi
4) Mengecil, kemudian menjadi hilang, krekels, ronkhi,
egofoni
5) Gerakan dada tidak simetris
6) Menggigil dan demam 38,8-41,10C, delirium
7) Batuk kental, produktif
8) Sputum kuning kehijauan kemudian berubah menjadi
kemerahan/berkarat.
d. Pemeriksaan penunjang
1) Sinar X: mengidentifikasi distribusi struktural, dapat juga
menyatakan abses luas/infiltrat, emfiema (staphyococcus),
infiltrat menyebar atau terlokalisasi (bakterial), atau
penyebaran/perluasan infiltrat nodul (virus). Pneumonia
mikoplasma sinar X dada mungkin bersih
2) GDA: tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas
paru yang terlibat dan penyakit paru yang ada.
3) Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah: diambil
dengan biopsi jarum, aspirasi transtrakheal, bronkoskopi
fiberotik atau biopsi pembukaan paru untuk mengatasi
organisme penyebab.
4) JDL: leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih
rendah terjadi pada infeksi virus, kondisi tekanan imun
memungkinkan berkembangnya pnemonia bakterial.
5) Pemeriksaan serologi: titer virus atau legionella, aglutinin
dingin.
e. Penatalaksanaan
1) Kemoterapi
Pemberian kemoterapi harus berdasarkan petunjuk
penemuan kuman penyebab infeksi (hasil kultur sputum
dan tes sensitivitas kuman terhadap antibodi). Bila
penyakitnya ringan antibiotik diberikan secara oral,
sedangkan bila berat deberikan secara parenteral. Apabila
terdapat penurunan fungsi ginjal akibat proses penuaan,
maka harus diingat kemungkinan penggunaan antibiotik
tertentu perlu penyusaian dosis.
a) Pengobatan umum
b) Terapi oksigen
c) Hidrasi, bila ringan hidrasi oral, tetapi jika berat
dehidrasi dilakukan secara parenteral
d) Fisioterapi
e) Penderita perlu tirah baring dan posisi penderita
perlu diubah-ubah untuk menghindari pneumonia
hipografik, kelemahan dan dekubitus.
2. TB paru
a. Pengertian
Paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
basilmikobakterium tuberkulosa tipe humanus (jarang oleh
tipe M. Bovinus). TB Paru merupakan penyakit infeksi
penting saluran napas bagian bawah. Basil mikobakterium
tuberculosa tersebut masuk kedalam jaringan paru melalui
saluran napas (droplet infeksion) sampai alveoli, terjadilah
infeksi primer (ghon). Selanjutnya menyebar ke kelenjar
getah bening setempat dan terbentuklah primer kompleks
(ranke). Tb paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang sangat
bervariasi (harrison, 2002).
b. Etiologi
Penyebabnya adalah kuman mycobacterium teberculosa.
Sejenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang
1-4/mm dan tebal 0,3-0,6/mm. Sebagian besar kuman terdiri
dari asam lemak (lipid). Lipid ini adalah yang membuat
kuman lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik.
Kuman ini tahan hidup pada udara kering maupun dalam
keadaan dingin (dapat bertahan-tahan dalam lemari es).
c. Tanda dan gejala
1) Berkeringat
2) Batuk disetai dahak lebih dari 3 minggu
3) Sesak napas dan nyeri dada
4) Badan lemah, kurang enak badan pada malam hari walau
tanpa kegiatan
5) Berat badan menurun (penyakit infeksi TB paru dan
ekstra paru, misnadiary).
d. Pemeriksaan diagnostik
1) Kultur sputum adalah mikobakterium tuberkolosis positif
pada tahap akhir penyakit
2) Tes tuberkalin adalah mantolix test reaksi positif (area
indurasi 10-15 mm terjadi 48-72 jam)
3) Foto toraks adalah infiltrasi lesi awal pada area paru atas:
pada tahap dini tampak gambaran bercak-bercak seperti
awan dengan batas tidak jelas: pada aktivitas bayangan,
berupa cincin: pada klasifikasi tampak bayangan bercak-
bercak padat dengan densitas tinggi
4) Bronchografi adalah untuk melihat kerusakan bronkus
atau kerusakan paru karen Tb paru
5) Darah adalah peningkatan leukosit dan laju endapan
darah (LED)
6) Spirometriadalah penurunan fungsi paru dengan
kapasitas vital menurun.
e. Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkolosis terbagi menjadi 2 fase yaitu: fase
intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan
obat yang digunakan terdiri dari obat utama dan obat
tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan
rekomendasi WHO adalah rifampisin, INH, pirasinamid,
streptomisin dan etambutol. Sedangkan jenis obat tambahan
adalah kanamisin, kulnolon, makvolide, dan amoksilin
ditambah dengan asam klavulanat, derivat rifampisin/INH.
3. Asma
a. Pengertian
Asma adalah penyakit pernapasan obstruktif yang ditandai
oleh spasme otot polos bronkiolus.
Asma adalah obstruksi akut pada bronkus yang disebabkan
oleh penyempitan yang intermiten pada saluran napas di
banyak tingkat mengakibatkan terhalangnya aliran udara.
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik jalan napas
yang mengakibatkan berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit
ini adalah hiperaktivitas bronkus dalam berbagai tingkat,
obstruksi jalan nafas dan gejala pernafasan (mengi atau
sesak).
Asma adalah gangguan pernapasan pada bronkus yang
menyebabkan penyempitan intermiten pada saluran
pernafasan.
b. Etiologi
Secara etiologis asma dibagi dalam 3 tipe :
1) Asma tipe non atopik (intrinsik)
Pada golongan ini, keluhan tidak adanya hubungan
dengan paparan (exposure) terhadap alergen dan sifat-
sifatnya adalah :
a) Serangan timbul setelah dewasa.
b) Pada keluarga tidak ada yang menderita asma.
c) Penyakit infeksi sering menimbulkan serangan.
d) Ada hubungan dengan pekerjaan dan beban fisik.
e) Rangsangan / stimuli psikis mempunyai peran untuk
menimbulkan serangan reaksi asma.
f) Perubahan-perubahan cuaca atau lingkungan yang
non spesifik merupakan keadaan yang peka bagi
penderita.
2) Asma tipe atopik (ekstrinsik)
Pada golongan ini, keluhan ada hubungannya
dengan paparan (exposure) terhadap alergen yang spesifik.
Kepekaan ini biasaanya ditimbulkan dengan uji kulit atau
provokasi bronkial. Pada tipe ini mempunyai sifat-sifat :
a) Timbul sejak kanak-kanak
b) Pada famili ada yang mengidap asma
c) Ada eksim waktu bayi
d) Sering menderita rinitis
e) Di Inggris penyebabnya house dust mite, di USA
tepung sari bunga rumput
3) Asma Campuran (mixed)
Pada golongan ini, keluhan diperberat oleh faktor-
faktor intrinsik maupun ekstrinsik.
c. Tanda dan Gejala
1) Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan/tanpa
stetoskop
2) Batuk produktif, sering pada malam hari
3) Nafas atau dada seperti tertekan, ekspirasi memanjang
d. Pemeriksaan diagnostic
1) Pemeriksaan test kulit → untuk menunjukkan adanya
alergi dan adanya antibodi kadar Ig E yang spesifik dalam
tubuh.
2) Pemeriksaan kadar Ig E total dan Ig E serum → untuk
menyokong adanya penyakit atopi
3) Pemeriksaan analisa gas darah → dilakukan dengan
pasien asma berat
4) Pemeriksaan eosinofil damal darah → jumlah eosinofil
total dalam darah sering meningkat
5) Pemeriksaan sputum → untuk menilai adanya misellium
aspergius fumigatus
6) Radiologi → dilakukan apabila dan kecurigaan terhadap
proses patologik dipar
e. Penatalaksanaan
1) Pegobatan Medika Mentosa
a) Waktu serangan
1) Bronkodilator
2) Korkhosteroid
3) Ekspektoransia
4) Antihistamin
5) Antibiotika
b) Diluar serangan
1) disodium chomoglycate (DSCG)
2) ketotijen
2) Pengobatan non Medika Mentosa
a) Waktu serangan
1) Pemberian O2
2) Pastural drainase
3) Pemberian cairan
4) Menghindari paparan alergen

Tujuan pelaksanaan terapi asma

1) Menyembuhkan dan menendalikan gejala asma


2) Mencegah kekambuhan
3) Mengupayakan fungsi paru senormal mungkin serta
mempertahankan
4) Mengupayakan aktivitas harian pada tingkat normal
5) Menghindari efek samping obat asma
6) Mencegah obstruksif jalan nafas yang irreversible

Terapi awal :

1) O2 4-6 liter/menit
2) Agonis B2
3) Amnofium bolus IV 5 – 6 mg
4) Kortikosteroid hidrokortison 100 – 200 mg IV

Terapi asmak kronik

1) Asma ringan : agnosis B2 inhalasi


2) Asma sedang : anti inflamsi / hr dan agonis B2 inhalasi
bila perlu
3) asmaAberat : steroid inhalasi / hr B2 long acting, steroid
sedang sehari/dosis tunggal harian dan agnosis B2 inhalasi
sesuai kebutuhan

Respon terapi awal baik didapatkan keadaan :

1) Respon menetap selama 60 menit setelah pengobatan


2) Pemeriksaan fisik normal
3) Arus puncak ekspirasi > 70 %
4. Bromkiektasis
a. Pengertian
Bronkiektasis merupakan kelainan morfologis yang terdiri
dari pelebaran bronkus yang abnormal dan menetap disebabkan
kerusakan komponen elastis dan muscular dinding bronkus.
Bronkiektasis berarti suatu dilatasi yang tak dapat pulih
lagi dari bronchial yang disebabkan oleh episode pnemonitis
berulang dan memanjang,aspirasi benda asing, atau massa ( mis.
Neoplasma) yang menghambat lumen bronchial dengan
obstruksi.
Bronkiektasis adalah dilatasi permanen abnormal dari salah
satu atau lebih cabang-vabang bronkus yang besar.
b. Etiologi
1) Infeksi
2) Kelainan heriditer atau kelainan konginetal
3) Faktor mekanis yang mempermudah timbulnya infeksi
4) Sering penderita mempunyai riwayat pneumoni sebagai
komplikasi campak, batuk rejan, atau penyakit menular
lainnya semasa kanak-kanak.
c. Tanda dan Gejala
1) Batuk yang menahun dengan sputum yang banyak terutama
pada pagi hari,setelah tiduran dan berbaring.
2) Batuk dengan sputum menyertai batuk pilek selama 1-2
minggu atau tidak ada gejala sama sekali ( Bronkiektasis
ringan )
3) Batuk yang terus menerus dengan sputum yang banyak
kurang lebih 200 - 300 cc, disertai demam, tidak ada
nafsu makan, penurunan berat badan, anemia, nyeri pleura,
dan lemah badan kadang-kadang sesak nafas dan sianosis,
sputum sering mengandung bercak darah,dan batuk darah.
4) Ditemukan jari-jari tabuh pada 30-50 % kasus.
d. Pemeriksaan diagnostic
1) Pemerisaan Laboratorium.
a) Pemeriksaan sputum meliputi Volume sputum, warna
sputum, sel-sel dan bakteri dalam sputum.
Bila terdapat infeksi volume sputum akan meningkat,
dan menjadi purulen dan mengandung lebih banyak
leukosit dan bakteri. Biakan sputum dapat
menghasilkan flora normal dari nasofaring,
streptokokus pneumoniae, hemofilus influenza,
stapilokokus aereus,klebsiela, aerobakter,proteus,
pseudomonas aeroginosa. Apabila ditemukan sputum
berbau busuk menunjukkan adanya infeksi kuman
anaerob.
b) Pemeriksaan darah tepi.
Biasanya ditemukan dalam batas normal. Kadang
ditemukan adanya leukositosis menunjukkan adanya
supurasi yang aktif dan anemia menunjukkan adanya
infeksi yang menahun.
c) Pemeriksaan urina
Ditemukan dalam batas normal, kadang ditemukan
adanya proteinuria yang bermakna yang disebabkan
oleh amiloidosis, Namun Imunoglobulin serum
biasanya dalam batas normal Kadan bisa meningkat
atau menurun.
d) Pemeriksaan EKG
EKG biasa dalam batas normal kecuali pada kasus
lanjut yang sudah ada komplikasi korpulmonal atau
tanda pendorongan jantung. Spirometri pada kasus
ringan mungkin normal tetapi pada kasus berat ada
kelainan obstruksi dengan penurunan volume ekspirasi
paksa 1 menit atau penurunan kapasitas vital, biasanya
disertai insufisiensi pernafasan yang dapat
mengakibatkan :
1) Ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi
2) Kenaikan perbedaan tekanan PO2 alveoli-arteri
3) Hipoksemia
4) Hiperkapnia
e) Pemeriksaan tambahan untuk mengetahui faktor
predisposisi dilakukan pemerisaan :
1) Pemeriksaan imunologi
2) Pemeriksaan spermatozoa
3) Biopsi bronkus dan mukosa
nasal( bronkopulmonal berulang).
2) Pemeriksaan Radiologi.
a) Foto dada PA dan Lateral
Biasanya ditemukan corakan paru menjadi lebih kasar
dan batas-batas corakan menjadi kabur,
mengelompok,kadang-kadang ada gambaran sarang
tawon serta gambaran kistik dan batas-batas
permukaan udara cairan. Paling banyak mengenai lobus
paru kiri, karena mempunyai diameter yang lebih kecil
kanan dan letaknya menyilang mediastinum,segmen
lingual lobus atas kiri dan lobus medius paru kanan.
b) Pemeriksaan bronkografi
Bronkografi tidak rutin dikerjakan namun bila ada
indikasi dimana untuk mengevaluasi penderita yang
akan dioperasi yaitu pendereita dengan pneumoni yang
terbatas pada suatu tempat dan berulang yang tidak
menunjukkan perbaikan klinis setelah mendapat
pengobatan konservatif atau penderita dengan
hemoptisis yang masif.
Bronkografi dilakukan sertalah keadaan stabil,setalah
pemberian antibiotik dan postural drainage yang
adekuat sehingga bronkus bersih dari sekret.
e. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah memperbaiki drainage sekret dan
mengobati infeksi.
Penatalaksanaan meliputi :
1) Pemberian antibiotik dengan spekrum luas
( Ampisillin,Kotrimoksasol, atau amoksisilin ) selama 5- 7
hari pemberian
2) Drainage postural dan latihan fisioterapi untuk pernafasan
serta batuk yang efektif untuk mengeluarkan sekret secara
maksimal

Pada saat dilakukan drainage perlu diberikan bronkodilator


untuk mencegah bronkospasme dan memperbaiki drainage
sekret. Serta dilakukan hidrasi yang adekuat untuk mencegah
sekret menjadi kental dan dilengkapi dengan alat pelembab
serta nebulizer untuk melembabkan sekret.

5. Efusi pleura
a. Pengertian
Efusi pleural adalah penumpukan cairan di dalam ruang
pleural, proses penyakit primer jarang terjadi namun biasanya
terjadi sekunder akibat penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan
jernih, yang mungkin merupakan transudat, eksudat, atau dapat
berupa darah atau pus.
Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang
pleura yang terletak diantara permukaan visceral dan parietal,
proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya
merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara
normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5
sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan
permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi.
Efusi pleura adalah istilah yang digunakan bagi
penimbunan cairan dalam rongga pleura.
b. Etiologi
1) Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya
bendungan seperti pada dekompensasi kordis, penyakit
ginjal, tumor mediatinum, sindroma meig (tumor ovarium)
dan sindroma vena kava superior.
2) Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang
(tuberculosis, pneumonia, virus), bronkiektasis, abses
amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura, karena
tumor dimana masuk cairan berdarah dan karena trauma. Di
Indonesia 80% karena tuberculosis.

Kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada proses


penyakit neoplastik, tromboembolik, kardiovaskuler, dan
infeksi. Ini disebabkan oleh sedikitnya satu dari empat
mekanisme dasar :

1) Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik


2) Penurunan tekanan osmotic koloid darah
3) Peningkatan tekanan negative intrapleural
4) Adanya inflamasi atau neoplastik pleura
c. Tanda dan gejala
1) Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit
karena pergesekan, setelah cairan cukup banyak rasa sakit
hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas.
2) Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam,
menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas
tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat,
batuk, banyak riak.
3) Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi
jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan.
4) Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan
berlainan, karena cairan akan berpindah tempat. Bagian
yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan,
fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati
daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan
membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
5) Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi
redup timpani dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga
Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan
mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah
ini didapati vesikuler melemah dengan ronki.
6) Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi
pleura.
d. Pemeriksaan diagnostic
1) Pemeriksaan radiologik (Rontgen dada), pada permulaan
didapati menghilangnya sudut kostofrenik. Bila cairan lebih
300ml, akan tampak cairan dengan permukaan melengkung.
Mungkin terdapat pergeseran di mediatinum.
2) Ultrasonografi
3) Torakosentesis / pungsi pleura untuk mengetahui
kejernihan, warna, biakan tampilan, sitologi, berat jenis.
Pungsi pleura diantara linea aksilaris anterior dan posterior,
pada sela iga ke-8. Didapati cairan yang mungkin serosa
(serotorak), berdarah (hemotoraks), pus (piotoraks) atau
kilus (kilotoraks). Bila cairan serosa mungkin berupa
transudat (hasil bendungan) atau eksudat (hasil radang).
4) Cairan pleural dianalisis dengan kultur bakteri, pewarnaan
gram, basil tahan asam (untuk TBC), hitung sel darah
merah dan putih, pemeriksaan kimiawi (glukosa, amylase,
laktat dehidrogenase (LDH), protein), analisis sitologi
untuk sel-sel malignan, dan pH.
5) Biopsi pleura mungkin juga dilakukan
e. Penatalaksanaan
1) Tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyebab
dasar, untuk mencegah penumpukan kembali cairan, dan
untuk menghilangkan ketidaknyamanan serta dispneu.
Pengobatan spesifik ditujukan pada penyebab dasar (co;
gagal jantung kongestif, pneumonia, sirosis).
2) Torasentesis dilakukan untuk membuang cairan, untuk
mendapatkan specimen guna keperluan analisis dan untuk
menghilangkan disneu.
3) Bila penyebab dasar malignansi, efusi dapat terjadi kembali
dalam beberapa hari tatau minggu, torasentesis berulang
mengakibatkan nyeri, penipisan protein dan elektrolit, dan
kadang pneumothoraks. Dalam keadaan ini kadang diatasi
dengan pemasangan selang dada dengan drainase yang
dihubungkan ke system drainase water-seal atau
pengisapan untuk mengevaluasiruang pleura dan
pengembangan paru.
4) Agen yang secara kimiawi mengiritasi, seperti tetrasiklin
dimasukkan kedalam ruang pleura untuk mengobliterasi
ruang pleural dan mencegah akumulasi cairan lebih lanjut.
5) Pengobatan lainnya untuk efusi pleura malignan termasuk
radiasi dinding dada, bedah plerektomi, dan terapi diuretic.

E. Asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan system


pernafasan
1. Pengkajian
a. Chest X-Ray : dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened
diafragma, peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda
vaskular/bulla (emfisema), peningkatan bentuk bronchovaskular
(bronchitis), normal ditemukan saat periode remisi (asthma)
b. Pemeriksaan Fungsi Paru : dilakukan untuk menentukan penyebab
dari dyspnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah
akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi
dan untuk mengevaluasi efek dari terapi, misal : bronchodilator
c. TLC : meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma,
menurun pada emfisema
d. Kapasitas Inspirasi : menurun pada emfisema
e. FEV1/FVC : ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap
tekanan kapasitas vital (FVC) menurun pada bronchitis dan asthma
f. ABGs : menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2
menurun dan PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan
emfisema) tetapi seringkali menurun pada asthma, pH normal atau
asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap
hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma)
g. Bronchogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat
inspirasi, kollaps bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema),
pembesaran kelenjar mukus (bronchitis)
h. Darah Komplit : peningkatan hemoglobin (emfisema berat),
peningkatan eosinofil (asthma)
i. Kimia Darah : alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan
kurang pada emfisema primer
j. Sputum Kultur : untuk menentukan adanya infeksi,
mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitologi untuk menentukan
penyakit keganasan atau allergi
k. ECG : deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat),
atrial disritmia (bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang,
tinggi (bronchitis, emfisema), axis QRS vertikal (emfisema)
l. Exercise ECG, Stress Test : menolong mengkaji tingkat disfungsi
pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator,
merencanakan/evaluasi program.
2. Rencana asuhan keperawatan pada klien COPD
Intervensi dan rasional pada penyakit ini didasarkan pada konsep
Nursing Intervention Classification (NIC) dan Nursing Outcome
Classification (NOC).
Diagnoa Keperawatan Perencanaan
No
(NANDA) Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) &
Rasional
1 Bersihan jalan nafas Status Respirasi : a. Manajemen jalan
tak efektif yang Kepatenan Jalan nafas
berhubungan dengan nafasdengan skala Rasional : untuk
Peningkatan produksi diberikan perawatan menghindari terjadi
sekret (sekret yang selama nya obtruktif jalan
tertahan, dengan kriteria : nafas yang
kental),Menurunnya  Tidak ada demam disebabkan oleh
energi/fatique  Tidak ada cemas peningkatan sekret
 RR dalam batas b. Latih batuk efektif
normal Rasional :
 Irama nafas dalam bertujuan untuk
batas normal mengeluarkan
 Pergerakan sputum sekrek
keluar dari jalan nafas c. Terapi oksigen
 Bebas dari suara Rasional : untuk
nafas tambahan
memenuhi
kebutuhan oksigen
d. Pemberian posisi
Rasional :
mengatur posisi
dapat
meningkatkan
sirkulasi
e. Monitoring tanda
vital
Rasional : untuk
mengetahui
keadaan umum
pasien menghindari
komplikasi
2 Kerusakan Pertukaran Status Respirasi : a. Manajemen asam
gas yang berhubungan Pertukaran gas # dengan dan basa tubuh
dengan : Kurangnya skala ……. (1 – 5) Rasional :
suplai oksigen setelah diberikan mencegah
(obstruksi jalan nafas perawatan selama……. komplikasi akibat
oleh sekret, Hari dengan kriteria : penurunan atau
bronchospasme, air  Status mental dalam peningkatan PCO2
trapping) batas normal b. Manajemen jalan
 Bernafas dengan nafas
mudah Rasional : untuk
 Tidak ada cyanosis memfasilitasi

 PaO2 dan PaCO2 kepatenan jalan

dalam batas normal nafas

 Saturasi O2 dalam c. Terapi oksigen

rentang normal Rasional :


memberikan
oksigen dan
memantau aktivitas
d. Monitoring tanda
vital
Rasional : untuk
mengetahui
keadaan umum
pasien menghindari
komplikasi
3 Ketidakseimbangan Status Nutrisi : Intake a. Manajemen cairan
nutrisi Kurang dari cairan dan makanan gas Rasional :
kebutuhan tubuh yang # dengan skala ……. (1 – membantu
berhubungan dengan 5) setelah diberikan kebutuhan cairan
Dyspnea, fatique, perawatan selama……. tubuh
Efek samping Hari dengan kriteria : b. Monitoring cairan
pengobatan  Asupan makanan Rasional :
 Intake cairan menghindari
peroral kelebihan atau
 Intake cairan kekurangan cairan
 Status Nutrisi : c. Manajemen
Intake Nutrien gangguan makan
gas)setelah Rasional : untuk
diberikan perawatan mencari alternatif
selama……. Hari untuk memenuhi
dengan kriteria : kebutuhan nutrisi
d. Terapi nutrisi
Rasional :
memenuhi
kebutuhan nutrisi
e. Kontroling nutrisi
Rasional :
mempertahankan
intake dan output
f. Manajemen berat
badan.
Rasional : untuk
apakah terapi diet
yang diberikan
berhasil
DAFTAR PUSTAKA

Darmojo B, Martono H. 2006. Buku ajar geriatri edisi ke-3. Jakarta: balai penerbit
fakultas kedokteran universitas indonesia.

Herdman, T. Heather.2012. diagnosis keperawatan: definisi danklasifikasi 2012-


2014. Jakarta: EGC

Lukman HM. 2009. Kegawat darutanan pada pasien geriatri. In: buku ajar ilmu
penyakit dalam. Interna publishing: jakarta. Ed V jilid 1.
Stanley, Mickey, and Patricia Gauntlett Beare.2006.Buku Ajar Keperawatan
Gerontik, ed 2.Jakarta:EGC

Suddarth dan Brunner. 2002. Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta : EGC.
Wood, Under J.C.E. 1996. Patologi Umum dan Sistemik. Jakarta : EGC

Nanda. 2012. Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan NANDA Nort American

Anda mungkin juga menyukai