Anda di halaman 1dari 24

KASUS PRITA DAN RS OMNI INTERNASIONAL

Posted on December 16, 2013 by rayhansh

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Munculnya berbagai perkembangan media massa pada masa sekarang ini tidak
dapat lagi gampang untuk ditolak kehadirannya. Berbagai perkembangan media
massa pada masyarakat memunculkan berbagai konsekuensi dalam kehidupan
bermasyarakat yang membawa perubahan-perubahan yang berarti dalam
masyarakat. Ketika suatu kasus atau peristiwa muncul dimedia massa televisi
dalam sebuah pemberitaan ,disaat itulah media dengan informasi yang diberikan
mempengaruhi pola pikir, sikap dan perilaku masyarakat dimana mereka akan
menanggapinya secara positif atau negatif pada masalah tersebut tergantung pada
pemahaman setiap individu.

Salah satu peristiwa yang cukup menyita perhatian masyarakat baik dari golongan
ekonomi menengah kebawah hingga ekonomi menengah keatas yaitu kasus yang
terjadi pada seorang ibu yang bernama PRITA MULYASARI. Peristiwa yang
terjadi pada 3 juni 2009 hingga akhir desember 2009 lalu mengenai keluhan Prita
sebagai pasien pada RS.OMNI INTERNASIONAL melalui surat elektronik(email)
kepada sahabatnya pada bulan agustus 2008 ini ternyata mendapat tuntutan baik
perdata maupun pidana dari pihak RS.OMNI INTERNASIONAL ke pengadilan
negeri tangerang,banten. Email inilah yang kemudian dijadikan tuntutan oleh Jaksa
Penuntut Umum kepada Pengadilan Negeri Tangerang untuk menuntut Prita
dengan delik pencemaran nama baik (penghinaan). Disisi lain ia hanya berusaha
mengekspresikan (membagi) pengalaman pahit hidupnya kepada para temannya.
Jika ekspresi berkumpul dan berpendapat Prita ini dianggap sebagai sebuah
penghinaan, maka hal ini jelas merupakan sebuah pelanggaran terhdap ketentuan
Pasal 28 Undang-UndangDasar 1945 yang menyatakan :

”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan


tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan undang-undang”. (SoetantoSoepiadhy ,
2004, hal.68).

Kebebasan berpendapat juga dilegitimasi oleh Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang


No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menentukan :
”Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat
sesuai hati nuraninya secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun
elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban,
kepentingan umum dan keutuhan bangsa”. (Indonesia Legal Center Publishing,
2006, hal.10)

Rumah Sakit Omni Internasional menjadi terkenal di Indonesia utamanya terkait


dengan kasus pencemaran nama baik yang dituduhkan oleh pihak rumah sakit
kepada salah seorang mantan pasiennya, Prita Mulyasari, karena menulis keluhan
atas pelayanan rumah sakit yang tidak memuaskan melalui milis, surat pembaca
serta media publikasi internet. Peristiwa ini akan berdampak pada kepercayaan
masyarakat sebagai pasien terhadap rumah sakit, kepercayaan yang sebelumnya
positif terhadap rumah sakit dengan pemberitaan seperti ini pasti akan
mempengaruhi nilai kepercayaan mereka bukan hanya terhadap RS.OMNI
INTERNASIONAL tetapi juga terhadap rumah sakit yang jauh dibawa standar
rumah sakit bertaraf internasional.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan pemaparan latar belakang yang telah diberikan, didapatkan


permasalahan sebagai berikut :

1. Apa saja pasal UU ITE yang menjerat Prita dalam kasus tersebut?
2. Bagaimana kronologi kejadian kasus Prita?
3. Bagaimana proses hukum dan penyidikan yang telah dilalui Prita?

1.3 Tujuan

Berdasarkan pemaparan latar belakang dan permasalahan yang ada, didapatkan


tujuan yaitu untuk mengetahui UU ITE yang telah dilanggar dalam kasus Prita,
paparan atau kronologi kejadian kasus tersebut dan proses hukum atau penyidikan
dalam kasus Prita

BAB II

2.1 Kronologi Kasus

Prita diputus bersalah dan dipenjara setelah menyampaikan keluhan lewat


email dan surat pembaca. Inilah kronologi lengkap kasus yang menimpa Prita
Mulyasari mulai dari awal dia berobat ke RS Omni International sampai kemudian
digugat secara perdata dan pidana lalu dipenjara selama tiga minggu lamanya.

7 Agustus 2008, 20:30


Prita Mulyasari datang ke RS Omni Internasional dengan keluhan panas tinggi dan
pusing kepala. Hasil pemeriksaan laboratorium: Thrombosit 27.000 (normal
200.000), suhu badan 39 derajat. Malam itu langsung dirawat inap, diinfus dan
diberi suntikan dengan diagnosa positif demam berdarah.

8 Agustus 2008
Ada revisi hasil lab semalam, thrombosit bukan 27.000 tapi 181.000. Mulai
mendapat banyak suntikan obat, tangan kiri tetap diinfus. Tangan kiri mulai
membangkak, Prita minta dihentikan infus dan suntikan. Suhu badan naik lagi ke
39 derajat.

9 Agustus 2008
Kembali mendapatkan suntikan obat. Dokter menjelaskan dia terkena virus udara.
Infus dipindahkan ke tangan kanan dan suntikan obat tetap dilakukan. Malamnya
Prita terserang sesak nafas selama 15 menit dan diberi oksigen. Karena tangan
kanan juga bengkak, dia memaksa agar infus diberhentikan dan menolak disuntik
lagi.

10 Agustus 2008
Terjadi dialog antara keluarga Prita dengan dokter. Dokter menyalahkan bagian lab
terkait revisi thrombosit. Prita mengalami pembengkakan pada leher kiri dan mata
kiri.

11 Agustus 2008
Terjadi pembengkakan pada leher kanan, panas kembali 39 derajat. Prita
memutuskan untuk keluar dari rumah sakit dan mendapatkan data-data medis yang
menurutnya tidak sesuai fakta. Prita meminta hasil lab yang berisi thrombosit
27.000, tapi yang didapat hanya informasi thrombosit 181.000. Pasalnya, dengan
adanya hasil lab thrombosit 27.000 itulah dia akhirnya dirawat inap. Pihak OMNI
berdalih hal tersebut tidak diperkenankan karena hasilnya memang tidak valid.

Di rumah sakit yang baru, Prita dimasukkan ke dalam ruang isolasi karena dia
terserang virus yang menular.

15 Agustus 2008
Prita mengirimkan email yang berisi keluhan atas pelayanan diberikan pihak
rumah sakit ke customer_care@banksinarmas.com dan ke kerabatnya yang lain
dengan judul “Penipuan RS Omni Internasional Alam Sutra”. Emailnya menyebar
ke beberapa milis dan forum online.

30 Agustus 2008
Prita mengirimkan isi emailnya ke Surat Pembaca Detik.com.

5 September 2008
RS Omni mengajukan gugatan pidana ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus.

22 September 2008
Pihak RS Omni International mengirimkan email klarifikasi ke seluruh
costumernya.

8 September 2008
Kuasa Hukum RS Omni Internasional menayangkan iklan berisi bantahan atas isi
email Prita yang dimuat di harian Kompas dan Media Indonesia.

24 September 2008
Gugatan perdata masuk.

11 Mei 2009
Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan Gugatan Perdata RS Omni. Prita
terbukti melakukan perbuatan hukum yang merugikan RS Omni. Prita divonis
membayar kerugian materil sebesar 161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di
koran nasional dan 100 juta untuk kerugian imateril. Prita langsung mengajukan
banding.

13 Mei 2009
Mulai ditahan di Lapas Wanita Tangerang terkait kasus pidana yang juga
dilaporkan oleh Omni.

2 Juni 2009
Penahanan Prita diperpanjang hingga 23 Juni 2009. Informasi itu diterima keluarga
Prita dari Kepala Lapas Wanita Tangerang.

3 Juni 2009
Megawati dan Jusuf Ka;;a mengunjungi Prita di Lapas. Komisi III DPR RI
meminta Mahkamah Agung membatalkan tuntutan hukum atas Prita. Prita
dibebaskan dan bisa berkumpul kembali dengan keluarganya. Statusnya diubah
menjadi tahanan kota.
4 Juni 2009
Sidang pertama kasus pidana yang menimpa Prita mulai disidangkan di PN
Tangerang.

Kejadian di RS Omni International berdasarkan email/surat pembaca yang dibuat


Prita.

Isi bantahan yang dimuat di Harian Kompas dan Media Indonesia

PENGUMUMAN & BANTAHAN

Kami, RISMA SITUMORANG, HERIBERTUS & PARTNERS, Advokat dan


Konsultan HKI, berkantor di Jalan Antara No. 45A Pasar Baru, Jakarta Pusat,
dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama OMNI INTERNATIONAL
HOSPITAL ALAM SUTERA, Dr. HENGKY GOSAL, SpPD dan Dr. GRACE
HILZA YARLEN. N;

Sehubungan dengan adanya surat elektronik (e-mail) terbuka dari SAUDARI


PRITA MULYASARI beralamat di Villa Melati Mas Residence Blok C 3/13
Serpong Tangerang (mail from: prita.mulyasari@yahoo.com) kepada
customer_care @banksinarmas.com, dan telah disebar-luaskan ke berbagai alamat
email lainnya, dengan judul ‘PENIPUAN OMNI INTERNATIONAL HOSPITAL
ALAM SUTERA TANGERANG’;

Dengan ini kami mengumumkan dan memberitahukan kepada khalayak


umum/masyarakat dan pihak ketiga, ‘BANTAHAN kami’ atas surat terbuka
tersebut sebagai berikut :

1. BAHWA ISI SURAT ELEKTRONIK (E-MAIL) TERBUKA TERSEBUT


TIDAK BENAR SERTA TIDAK SESUAI DENGAN FAKTA YANG
SEBENARNYA TERJADI (TIDAK ADA PENYIMPANGAN DALAM SOP
DAN ETIK), SEHINGGA ISI SURAT TERSEBUT TELAH MENYESATKAN
KEPADA PARA PEMBACA KHUSUSNYA PASIEN, DOKTER, RELASI
OMNI INTERNATIONAL HOSPITAL ALAM SUTERA, RELASI Dr.
HENGKY GOSAL, SpPD, DAN RELASI Dr. GRACE HILZA YARLEN. N,
SERTA MASYARAKAT LUAS BAIK DI DALAM MAUPUN DI LUAR
NEGERI.

2. BAHWA TINDAKAN SAUDARI PRITA MULYASARI YANG TIDAK


BERTANGGUNG-JAWAB TERSEBUT TELAH MENCEMARKAN NAMA
BAIK OMNI INTERNATIONAL HOSPITAL ALAM SUTERA, Dr. HENGKY
GOSAL, SpPD, dan Dr. GRACE HILZA YARLEN. N, SERTA
MENIMBULKAN KERUGIAN BAIK MATERIL MAUPUN IMMATERIL
BAGI KLIEN KAMI.

3. BAHWA ATAS TUDUHAN YANG TIDAK BERTANGGUNG JAWAB DAN


TIDAK BERDASAR HUKUM TERSEBUT, KLIEN KAMI SAAT INI AKAN
MELAKUKAN UPAYA HUKUM TERHADAP SAUDARI PRITA
MULYASARI BAIK SECARA HUKUM PIDANA MAUPUN SECARA
HUKUM PERDATA.

Demikian PENGUMUMAN & BANTAHAN ini disampaikan kepada khalayak


ramai untuk tidak terkecoh dan tidak terpengaruh dengan berita yang tidak
berdasar fakta/tidak benar dan berisi kebohongan tersebut.

Jakarta, 8 September 2008.


Kuasa Hukum
OMNI INTERNATIONAL HOSPITAL ALAM SUTERA,
Dr. HENGKY GOSAL, SpPD, dan Dr. GRACE HILZA YARLEN. N

RISMA SITUMORANG, HERIBERTUS & PARTNERS.

Ttd. Ttd.
Dra. Risma Situmorang, S.H., M.H. Heribertus S. Hartojo, S.H., M.H.
Advokat & Konsultan HKI. Advokat.

Ttd. Ttd.
Moh. Bastian, S.H. Christine Souisa, S.H.
Advokat. Advokat.

2.2 Pasal ITE yang Dilanggar

Kasus Prita ini merupakan kasus mengenai pelanggaran Undang-Undang Nomor


11 pasal 27 ayat 3 tahun 2008 tentang UU ITE. Dalam pasal tersebut tertuliskan
bahwa:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau
mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan
/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau
pencemaran nama baik.”
Hukumannya yaitu berupa ancaman penjara selama 6 tahun dan denda sebesar Rp.
1 Miliyar

2.3 Proses Hukum

Pada tanggal 11 Mei 2009 Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan gugatan


perdata pihak rumah sakit dengan menyatakan Prita terbukti melakukan perbuatan
yang merugikan pihak rumah sakit sehingga harus membayar kerugian materiil
sebesar Rp 161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di koran nasional dan Rp
100 juta untuk kerugian imateriil.

Pada tanggal 13 Mei 2009 oleh Kejaksaan Negeri Tangerang Prita dijerat dengan
pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 Ayat 3
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) serta dinyatakan harus ditahan karena dikhawatirkan akan
melarikan diri serta menghilangkan barang bukti.

Pada tanggal 3 Juni 2009 Prita dibebaskan dari LP Wanita Tangerang, dan status
tahanan diubah menjadi tahanan kota. Kemudian pada tanggal 11 Juni 2009
Pengadilan Negeri Tangerang mencabut status tahanan kota.

Melalui persidangan yang dilakukan di Pengadilan Negeri Tanggerang tanggal 25


Juni 2009, Majelis hakim menilai bahwa dakwaan jaksa penuntut umum atas kasus
Prita Mulyasari tidak jelas, keliru dalam penerapan hukum, dan tidak memenuhi
syarat sesuai dengan ketentuan Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHP, oleh karenanya
melalui persidangan tersebut kasus Prita akhirnya dibatalkan demi hukum. Majelis
hakim Pengadilan Negeri Tangerang memutuskan Prita Mulyasari (32) tidak
terbukti secara sah melakukan pencemaran nama baik terhadap RS Omni
International Alam Sutera Serpong Tangerang Selatan, Selasa (29/12/2009).
Keputusan itu dibacakan majelis hakim yang diketuai Arthur Hangewa. Telah jelas
dalam persidangan yang telah dilakukan bahwa Prita telah dibebaskan atas tuntutan
rumah sakit Omni Internasional,

Dalam hal ini ini pokok bahasan yang disorot dalam pertimbangan pertimbangan
hakim mulai dari Pengadilan Negeri Tangerang, Pengadilan Tinggi Banten, sampai
ke tingkat Pengadilan Mahkamah Agung adalah:
1. Pertimbangan-pertimbangan hakim terhadap kasus Prita Mulyasari
kaitannya dengan informasi elektronik. Adapun pertimbangan-pertimbangan
hakim mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan sampai
Mahkamah Agung memiliki kaitan yang jelas dengan informasi elektronik
yaitu e-mail milik Prita Mulyasari yang berisi tentang keluhan Prita
Mulyasari terhadap pelayanan RS OMNI INTERNASIONAL yang tersebar
ke berbagai mailing list sehingga pihak RS OMNI INTERNATIONAL
merasa dirugikan atas perbuatan Prita Mulayasari tersebut yang kemudian
pihak RS mengajukan gugatan perdata terhadap pihak Prita Mulyasari
dengan dasar gugatan yang menyatakan bahwa Prita melakukan perbuatan
melawan hukum sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 1365
KUHPer atas tindakanya tersebut yang tercantum jelas dalam gugatan
Penggugat di Pengadilan Negeri Tangerang. Untuk lebih jelasnya mengenai
kaitan pertimbangan hakim terhadap kasus Prita Mulyasari dengan informasi
elektronik akan membahas pertimbangan hakim terhadap kasus Prita
Mulyasari mulai dari Pengadilan Negeri Tangerang, Pengadilan Tinggi
Banten, sampai Mahkamah Agung.

Pertama pertimbangan-pertimbangan pada tingkat peradilan pertama atau


Pengadilan Negeri yaitu Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Tangerang Atas
Kasus Prita Mulyasari Kaitanya Dengan Informasi Elektronik sebagai berikut;

Pertimbangan-pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Hakim


mempertimbangkan surat-surat yang bersangkutan yaitu Gugatan Penggugat dan
eksepsi tergugat. Di dalam Gugatan Penggugat memuat dalil-dalil yang erat
kaitanya dengan informasi elektronik yaitu berupa surat elektronik atau e-mail
Prita Mulyasari yang berisi tentang keluhan Prita Mulyasari akan pelayanan RS
OMNI INTERNATIONAL yang mana surat elektronik atau e-mail tersebut
tersebar ke berbagai mailing list sehingga membuat pihak RS OMNI
INTERNATIONAL merasa dirugikan akan perbuatan Prita Mulyasari. Dengan
demikian, pihak RS OMNI INTERNATIONAL melakukan gugatan perdata ke PN
Tangerang atas perbuatan Prita tersebut, dengan inti dalil gugatan yaitu Prita
melakukan perbuatan melawan hukum atas isi dari surat elektronik atau e-mail
Prita Mulyasari tersebut sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 1365
KUHPer. Hal itu jelas dapat dilihat di poin-poin dalil gugatan pihak RS OMNI
INTERNATIONAL yang tertulis di poin 13, 14, 15, 16, 17, dan 18 adalah
merupakan informasi elektronik yaitu surat elektronik atau e-mail Prita Mulyasari
yang menurut RS OMNI INTERNATIONAL adalah dapat dikualifisir sebagai
perbuatan melawan hukum. Sedangkan pertimbangan hakim akan dalil-dalil 11
eksepsi dari tergugat dimana beberapa pokok-pokok penting dari dalil tersebut
adalah:

1. Gugatan penggugat premature.


2. Gugatan kurang pihak/tidak lengkap (Exception Plurium Litis Consortium)
serta lengkap dengan poin-poin nya, namun hakim kurang memperhatikan
eksepsi dari tergugat tersebut dan lebih mempertimbangkan dalil gugatan
dari penggugat dan membenarkan dasar gugatan penggugat yang
menyatakan Prita Mulyasari telah melakukan perbuatan melawan hukum
berdasarkan Pasal 1365 KUHPer.

Dengan demikian, dalam pertimbangan hakim di PN Tangerang dapat disimpulkan


hakim lebih dominan mempertimbangkan gugatan penggugat dan cenderung
mengabaikan eksepsi tergugat, hal itu dapat kita lihat dari putusan hakim yang
mengabulkan sebagian dari gugatan penggugat dan membenarkan dasar gugatan
penggugat yankni Pasal 1365 KUHPer yaitu perbuatan melawan hukum. Sehingga
hakim PN Tangerang memutuskan memenangkan pihak penggugat yaitu pihak RS
OMNI INTERNATIONAL dan menjatuhkan sanksi ganti rugi kepada Prita
Mulyasari sebesar Rp 314.286.360,- (tiga ratus empat belas juta dua ratus delapan
puluh enam ribu tiga ratus enam puluh rupiah). Jadi dapat disimpulkan
pertimbangan-pertimbangan hakim di PN Tangerang atas kasus Prita Mulyasari
terkait dengan informasi elektronik memiliki kaitan yang jelas.

Kemudian pertimbangan-pertimbangan pada tahap tingkat Pengadilan Tinggi yaitu


Pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi Negeri Banten Atas Kasus Prita Mulyasari
terkait Dengan Informasi Elektronik adalah Pertimbangan pertimbangan hakim
Pengadilan Tinggi Banten dengan Nomor Perkara 71/PDT/2009/PT.BTN tanggal 8
September 2009 mengambil alih pertimbangan Pengadilan Tinggi Tangerang
dengan Nomor Perkara 300/PDT.G/2008/PN.TNG untuk dijadikan
pertimbangannya sendiri, dimana Pengadilan Tinggi Banten sama sekali tidak
memberikan dasar dan alasan untuk melakukan pengambilalihan pertimbangan
tersebut, sebagaimana pertimbangan pada halaman 14 Putusan Pengadilan Tinggi
Banten Aqua yang menyatakan: “Menimbang, bahwa setelah meneliti dan
mempelajari secara cermat dan seksama berkas perkara, berita acara persidangan
dan turunan resmi Pengadilan Negeri Tangerang tanggal 11 Mei 2009,
Nomor:300/PDT.G/2008/PN.TNG serta Memori Banding dan Kontra Memori
Banding yang diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara dan seluruh
pertimbangan hukum Pengadilan Tingkat Pertama, maka Pengadilan Tingkat
Banding sependapat dengan pertimbangan hukum Pengadilan Tingkat Pertama
tersebut diambil alih dan dijadikan sebagai pertimbangan hukum Pengadilan
Tingkat Banding sendiri dalam mengadili perkara ini”. Dengan pertimbangan di
atas Pengadilan Tinggi Banten Nomor 71/PDT/2009/PTBTN menguatkan putusan
Pengadilan Negeri Tangerang tanggal 11 2009 Nomor 300/PDT.G/2008/PN.TNG
dengan isi putusan memenangkan pihak penggugat yaitu RS OMNI
INTERNATIONAL dan menjatuhkan sanksi ganti rugi dengan perbaikan sebesar
Rp 164.284.360,- (seratus enam puluh empat juta dua ratus delapan puluh empat
ribu tiga ratus enam puluh rupiah).

Dengan demikian, dapat dilihat jelas pertimbangan hakim di Pengadilan Tinggi


Tangerang dengan pertimbangan hakim Pengadilan Tinggi Banten tidaklah
memiliki perbedaan yang berarti. Jadi, dapat disimpulkan pertimbangan hakim
Pengadilan Tinggi Banten atas kasus Prita Mulyasari memiliki kaitan erat dengan
informasi elektronik karena pertimbangan hakim Pengadilan Tinggi Banten
mengambil alih pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang mana
disebut dan dijelaskan di atas sebelumnya bahwa pertimbangan hakim Pengadilan
Negeri Tangerang memiliki kaitan dengan informasi elektronik.

Terakhir pertimbangan-pertimbangan pada tingkat Mahkamah Agung yaitu


Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Atas Kasus Prita Mulyasari Kaitanya
Dengan Informasi Elektronik sebagai berikut. Adapun yang menjadi
pertimbangan-pertimbangan hakim Mahkama Agung dalam putusan kasasi No.
300 K/Pdt/2010 adalah seluruh pertimbangan pertimbangan dan isi putusan
Pengadilan Negeri Tangerang dengan Nomor

Perkara. 300/PDT.G/2008/PN.TNG dan seluruh pertimbangan-pertimbangan dan


isi putusan Pengadilan Tinggi Banten dengan Nomor
Perkara.71/PDT/2009/PT.BTN, beserta alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon
Kasasi/ Tergugat/ Pembanding/ Terbanding mengenai alasan-alasan Dalam
Eksepsi 1,2,3, Dalam Pokok Perkara 1 s/d 23 dan Dalam Rekonpensi adalah
berkaitan erat dengan informasi elektronik karena seluruh pertimbangan tersebut
adalah pertimbangan yang berisi dan membahas tentang informasi elektronik
tersebut yaitu surat elektronik atau email Prita Mulyasari, seperti yang sudah
disebutkan dan dijelaskan sebelumnya di pertimbangan hakim di Pengadilan
Negeri Tangerang dan pertimbangan hakim Pengadilan Tinggi Banten.

Pertimbangan-pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam putusan Nomor 300


K/PDT/2010 yang termuat mulai dari halaman 1 sampai dengan halaman 9,
Mahkamah Agung berpendapat terdapat cukup alasan untuk mengabulkan
permohonan Kasasi dari pemohon Kasasi: Prita Mulyasari dan membatalkan
keputusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor 71/PDT/2009/PT.BTN tanggal 8
September 2009 yang memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi Tangerang Nomor
300/PDT.G/2008/PN.TNG tanggal 11 Mei 2009. Oleh karena itu di tingkat Kasasi
Mahkamah Agung memenangkan pemohon Kasasi dahulu tergugat/ pembanding/
terbanding yaitu Prita Mulyasari. Jadi, seluruh pertimbangan-pertimbangan hakim
Mahkamah Agung membahas informasi elektronik yaitu surat elektronik atau e-
mail Prita Mulyasari yang tersebar ke berbagai mailing list sehingga membuat
penggugat melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri Tangerang dengan dalil
pokok bahwa perbuatan Prita Mulyasari tersebut dapat dikualifisir sebagai
perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 1365
KUHPer, namun di tingkat Kasasi gugatan tersebut tidak terbukti sesuai dengan
ketentuan pasal 1365 KUHPer. Dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa
seluruh pertimbangan pertimbangan hakim mulai dari Pengadilan Negeri
Tangerang, Pengadilan Tinggi Banten sampai dengan Mahkamah Agung atas
kasus Prita Mulyasari memiliki kaitan yang jelas dengan informasi elektronik

2.3.1 Digital Forensics bukti Email pada Kasus Prita Mulyasari

Penuntut umum mendakwa Prita Mulyasari dengan Pasal 310 ayat 1 atau Pasal 311
ayat 2 KUHP tentang pencemaran nama baik atau pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang
pencemaran nama baik.

Kasus Prita Mulyasari kasus pertama era rezim cyberlaw Indonesia yang cukup
membuat rakyat Indonesia tersontak akan penegakan keadilan di negeri ini.
Penahanan yang dilakukan pun dianggap memberangus keadilan karena Prita
mempunyai 2 bayi, sehingga menurut masyarakat itu melanggar hati nurani
seorang manusia. Jika kita mengacu kepada Berita Acara Pemeriksaan (selanjutnya
disebut BAP) dan fakta persidangan, dilampirkan beberapa barang bukti, yaitu
diantaranya print out artikel internet yang dikirim oleh Prita Mulyasari tanggal 15
Agustus 2008 dengan subject:

Penipuan OMNI Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang dan print out
email berjudul Selamat Pagi…SEMOGA TIDAK TERJADI DI RSIB !!! Selamat
Bekerja…Salam, Juni tertanggal 22 Agustus 2008.

Email yang tersebar di dalam milis atau blog, dapat dikatakan sebagai dokumen
elektronik karena ruang geraknya adalah media internet (dalam kasus ini
penekanannya adalah dalam ranah internet, meski dokumen elektronik tidak harus
dari internet). Di dalam Pasal 1 ayat 4 UU ITE, dijabarkan mengenai apa yang
dimaksud dengan dokumen elektronik:
Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik,
optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar
melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makan atau arti atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Dalam kaitannya dengan kasus Prita tersebut, ada sebuah pasal yang dijadikan dalil
atas delik yang dilakukan Prita, yaitu Pasal 27 ayat 3:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau


mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.

Dari email atau dokumen elektronik tersebutlah yang dijadikan bukti oleh pelapor
dengan tuduhan pencemaran nama baik terhadap Prita. Informasi elektronik
tersebut dianggap oleh pelapor (dalam hal ini 2 dokter dari Rumah Sakit OMNI)
dianggap merendahkan kredibilitas dirinya, sehingga harus dilakukan proses
hukum terkait hal tersebut. Perlu diingat, bahwasannya terhadap informasi
elektronik, di dalam UU ITE terdapat aturan yang mengatur perihal sumber dari
informasi elektronik tersebut, dalam bahasa Dalam Pasal 1 ayat 5 UU ITE disebut
dengan sistem elektronik:

Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang


berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan,
menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi
Elektronik.

Dalam kaitannya dengan sistem elektronik, di dalam UU ITE ini disebutkan pula
tentang aturan pelaksanaan dari sistem elektronik tersebut, yaitu mengacu pada
pasal 16 ayat 1 dan 2 UU ITE:
Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap
Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengoperasikan Sistem Elektronik yang
memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:

1. a. dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen


Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan
Peraturan Perundang-undangan;
2. b. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan,
dan keteraksesan Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem
Elektronik tersebut
3. c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam
Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
4. d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan
bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang
bersangkutan dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan
5. e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan,
kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

Ketentuan lebih lanjut tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dari uraian pasal tersebut, kita dapatkan gambaran bahwa suatu sistem elektronik
haruslah memiliki kriteria seperti menjaga keotentikan berdasarkan prosedur
prosedur yang ketat, pada pasal 16 ayat 2 bahwasannya sistem elektronik tersebut
haruslah terdapat Peraturan Pemerintah tersendiri. Dalam kasus Prita ini, Peraturan
Pemerintah yang mengatur sistem elektronik sebagai media dari informasi
elektronik belum dibuat. Di dalam pasal 54 ayat 2 UU ITE disebutkan
bahwasannya Peraturan Pemerintah tersebut haruslah sudah ditetapkan dalam
jangka waktu dua tahun setelah pengundangan UU ITE ini.

Dalam kasus Prita Mulyasari, Penuntut Umum (selanjutnya disebut JPU)


menggunakan print out email untuk membuktikan delik yang dilakukan Prita
Mulyasari. Untuk menguji keaslian email tersebut sehingga layak untuk dijadikan
bukti maka haruslah mengggunakan metode dalam digital forensics. Digital
forensics sendiri digunakan untuk memeriksa apakah email tersebut benar
dikeluarkan oleh suatu sistem elektronik yang sah dimata hukum atau mengandung
kepalsuan atau bahkan editing sekalipun.

Pada kasus Prita Mulyasari, email yang dijadikan bukti oleh penyidik merupakan
email hasil print out dari akun seseorang yang tidak jelas siapa pemiliknya. Selain
itu print out lainnya yang dilampirkan merupakan terusan/forward yang ditandai
dengan akronim “Fwd” yang menandakan email tersebut merupakan email terusan
atau bisa dikatakan tidak asli atau murni dari email Prita meskipun di dalamnya
tertera “mailto: prita.mulyasari@yahoo.com”. Print out email yang tidak dapat
ditampilkan sebagaimana aslinya tidak dapat dijadikan bukti yang sah karena print
out email sangat rentan dihasilkan dari proses pemalsuan atau bahkan editing, jika
demikian JPU haruslah dapat membuktikan bahwasannya email tersebut
merupakan original atau asli adanya tanpa editing. Salah email berbunyi “Selamat
Pagi…SEMOGA TIDAK TERJADI DI RSIB !!! Selamat Bekerja…Salam, Juni”
tertanggal 22 Agustus 2008 seperti diakui di dalam BAP dan dipersidangan oleh
dr. Juniwati Gunawan merupakan hasil editing dirinya dari pengirim awal yang
sampai saat ini belum ditemukan siapa orangnya. Mengacu pada aturan
internasional yang dikeluarkan Internet Engineering Task Force (IETF) yang
dikenal dengan Request For Comments (RFC) bernomor 3227 tentang prosedur
digital forensics yang berisi bahwa sebuah bukti elektronik haruslah dapat
dibuktikan keaslian dari sumber awal bukti tersebut. Selain itu, sebagai referensi
lain tentang penanganan bukti elektronik, pada Police and Criminal Evidence Act
tahun 1984 section 23 dan 24 yang dipakai standar oleh Polisi Inggris dalam
mengolah data elektronik, bahwasannya data tersebut tidak selalu harus di print
untuk dapat dibuktikan keorisinalitasnya.

Dengan demikian berdasarkan pada dua aturan internasional tersebut, maka print
out email tersebut diragukan keabsahannya. Selain email mudah di tampering
(untuk email terusan), pembuktian bahwa email tersebut adalah Prita Mulyasari
yang kirim mengirimnya harus dapat ditampilkan dengan menampilkan full header
email dan juga pelacakan IP address pengirim email yang terdapat di full header
email tersebut, selain itu dengan dukungan tambahan data IP address dari Internet
Service Provider, dapat memenuhi unsur otentik yang di sebutkan UU ITE pasal
16 ayat 1 butir B.

2.4 Penyidikan Putusan yang Terkait

Berdasarkan putusan-putusan yang termuat di atas yaitu putusan Pengadilan Negeri


Tangerang, Pengadilan Tinggi Banten, sampai dengan Mahkamah Agung tidak
terdapat secara jelas kesesuaian putusan dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Secara jelas, hal itu dapat kita
lihat pada putusan-putusan hakim tidak sedikitpun menyinggung mengenai
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Untuk lebih jelasnya akan dibahas secara berurutan mulai dari tingkat
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, sampai Mahkamah Agung.
Pertama, Putusan Pengadilan Negeri Tangerang yang memutuskan dan
menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap para
penggugat sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan pasal 1365 KUHPer yang
berbunyi “tiap perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yang membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut”. Sehingga, pada tahap tingkat
pertama di Pengadilan Negeri Tangerang gugatan penggugat yaitu pihak RS OMNI
INTERNATIONAL dikabulkan untuk sebagian gugatannya dan tergugat yaitu
Prita Mulyasari dijatuhi sanksi ganti rugi sebesar Rp 314.286.360,- (tiga ratus
empat belas juta dua ratus delapan puluh enam ribu tiga ratus enam puluh rupiah).
Jadi, berdasarkan uraian putusan Pengadilan Negeri Tangerang tersebut Penulis
menyimpulkan bahwa pada Putusan tingkat Pengadilan Negeri Tangerang dengan
Nomor Perkara: 300/PDT.G/2008/PN.TNG dapat dikatakan tidak sesuai dengan
UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, karena hal itu dapat kita lihat secara jelas
dalam putusan tersebut tidak ada menyebut ataupun menyinggung sedikitpun
tentang UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE melainkan pada tahap Pengadilan
Negeri Tangerang hakim memutuskan dan mengabulkan dasar gugatan Penggugat
bahwa isi surat elektronik Prita Mulyasari tersebut adalah perbuatan melawan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPer.

Kedua, dalam putusan Pengadilan Tinggi Banten Perkara Nomor


71/PDT/2009/PT.BTN tertanggal 8 September 2009 yang telah mengambil alih
pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Tangerang untuk dijadikan
pertimbangannya sendiri, namun Pengadilan Tinggi Banten sama sekali tidak
memberikan dasar dan alasan untuk melakukan pengambil-alihan pertimbangan
tersebut, sebagaimana pertimbangan pada halaman 14 Putusan Pengadilan Tinggi
Banten aquo yang menyatakan:

“Menimbang, bahwa setelah meneliti dan mempelajari secara cermat dan saksama
berkas perkara, berita acara persidangan dan turunan resmi Pengadilan Negeri
Tangerang tanggal 11 Mei 2009, Nomor: 300/PDT.G/2008/PN.TNG serta Memori
Banding dan Kontra Memori Banding yang diajukan oleh pihak-pihak yang
berperkara dan seluruh pertimbangan hukum Pengadilan Tingkat Pertama, maka
Pengadilan Tingkat Banding sependapat dengan pertimbangan hukum Pengadilan
Tingkat Pertama tersebut diambil alih dan dijadikan sebagai pertimbangan hukum
Pengadilan Tingkat Banding sendiri dalam mengadili perkara ini.”

Sehingga pada tahap tingkat banding di Pengadilan Tinggi Banten ini para
terbanding/para pembanding dahulu para peggugat I, II, III yaitu RS. OMNI
INTERNATIONAL dikabulkan dan tergugat/ pembanding/ terbanding yaitu Prita
Mulyasari dijatuhi ganti rugi sebesar Rp 164.286.360,- (seratus enam puluh empat
juta dua ratus delapan puluh enam ribu tiga ratus enam puluh rupiah). Di dalam
putusan hakim Pengadilan Tinggi Banten ini juga hakim lebih dominan
mempertimbangkan dalil pokok gugatan penggugat yang menyatakan perbuatan
Prita Mulyasari tersebut adalah perbuatan melawan hukum sebagaimana
dimaksudkan dalam pasal 1365 KUHPer. Oleh karena Pengadilan Tinggi Banten
Nomor Perkara 71/PDT/2009/PT.BTN tertanggal 8 September 2009 yang telah
mengambil alih pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor
Perkara 300/PDT/2009/PT.BTN untuk dijadikan pertimbangannya sendiri,
sedangkan Pengadilan Tinggi Banten sama sekali tidak memberikan dasar dan
alasan untuk melakukan pengambil-alihan pertimbangan tersebut, sebagaimana
pertimbangan pada halaman 11 putusan Pengadilan Tinggi Banten sehingga
putusan hakim Pengadilan Negeri Tangerang Nomor Perkara
71/PDT/2009/PT.BTN menguatkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor
Perkara 300/PDT.G/2008/PN.TNG. Jadi, dari analisa di atas juga tidak
menemukan putusan yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik melainkan dapat dikatakan tidak sesuai
dengan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, karena hal itu dapat kita lihat secara
jelas dalam putusan tersebut tidak ada menyebut ataupun menyinggung sedikitpun
tentang UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE melainkan pada tahap Pengadilan
Tinggi Banten hakim memutuskan dan mengabulkan dasar gugatan Penggugat
bahwa isi surat elektronik Prita Mulyasari tersebut adalah perbuatan melawan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPer, hal itu dipertegas
karena pada tingkat Pengadilan Tinggi Banten, hakim mengambil alipertimbangan
hukum Pengadilan Negeri Tangerang tanpa adanya dasar dan alasan yang jelas.
Tetapi penulis menyimpulkan hakim menggunakan pasal 5 ayat (1), (2). (3), (4),
Pasal 6 dan Pasal 44 UU ITE terhadap Informasi Elektronik, Dokumen Elektronik
atau pun hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik diakui alat
bukti yang sah sebagai makna perluasan alat bukti berdasarkan KUHPer.

Pada tingkat Kasasi di Mahkamah Agung memutuskan membatalkan putusan


Pengadilan Tinggi Banten Nomor Perkara 71/PDT/2009/PT.BTN, tanggal 8
September 2009 yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor
Perkara 300/PDT.G/2008/PN.TNG tanggal 11 Mei 2009 yaitu memenangkan
pihak pemohon Kasasi dahulu tergugat/ pembanding/ terbanding yakni Prita
Mulyasari. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung berpendapat mengenai
alasan-alasan dalam eksepsi 1, 2, dan 3 dalam pokok perkara sampai dengan 23
dan dalam rekonpensi bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh
Pengadilan Tinggi/ Judex Facti telah salah menerapkan hukum. Penulis
berpendapat sama dengan keputusan Mahkamah Agung tersebut. Jadi, penulis
tidak menemukan kesesuaian putusan pengadilan dengan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, ataupun hakim tidak
memutuskan perkara tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tetapi hakim memutuskan berdasarkan
penafsiran.

2.5 Kasus Sejenis yang Terkait

Terdapat banyak kasus sejenis yang terkait seperti kasus Prita dan RS. Omni
Internasional diantaranya yaitu :

1. Kasus yang terjadi pada tabloid Warta Republik yang menulis laporan
Utama berjudul “Cinta Segitiga Dua Orang Jendral: Try Sutrisno dan Edi
Sudradjat Berebut Janda”. Laporan yang dimuat pada edisi pertama,
November 1998, itu ditulis tanpa ada wawancara atau konfirmasi dari
sumber berita, melainkan hanya bersumber dari desas-desus.
2. Pemerhati sejarah dan budaya asal Surabaya, Deddy Endarto, dilaporkan ke
polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik Direktur PT Manunggal
Sentral Baja Sundoro Sasongko, investor pabrik baja di kawasan cagar
budaya Trowulan, Mojokerto,JawaTimur. Sundoro melaporkan Deddy
dengan tuduhan pencemaran nama baik melalui informasi elektronik dalam
jejaring sosial Facebook. Deddy terancam pidana sesuai Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian dalam bab-bab sebelumnya, maka didapatkan kesimpulan


sebagai berikut:

1. Kedudukan dari suatu informasi elektronik sebagai alat bukti yang sah
dalam kasus Prita Mulyasari terpapar jelas dalam UU ITE No.11 tahun 2008
yaitu terdapat pada pasal 5 ayat (1), (2). (3), (4), Pasal 6 dan Pasal 44 UU
ITE terhadap Informasi Elektronik, Dokumen Elektronik atau pun hasil
cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik diakui alat bukti
yang sah. Sedangkan kekuatan pembuktian formil dan materiil tergantung
dokumen tersebut menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam undang-undang dan informasi yang tecantum didalamnya
dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhan, keotentikan dan
kerahasiaannya, serta dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan
suatu keadaan. Perkara perdata Prita Mulyasari melawan RS. Omni
Internasional tentang email yang berisi keluhan sebagai pasien, dalam
putusannya Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi (Judex Factie)
menyatakan Prita bersalah dan melakukan perbuatan melawan hukum.
Putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak tepat atau telah
salah dalam menerapkan hukumnya karena perbuatan tersebut tidak
memenuhi unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum dan merupakan hal
yang wajar.
2. Kronologi kasus Prita yaitu bermula saat Prita Mulyasari memeriksakan
kesehatannya di RS Internasional Omni pada tanggal 7 Agustus 2008 atas
keluhan demam, sakit kepala, mual disertai muntah, kesulitan BAB, sakit
tenggorokan, hingga hilangnya nafsu makan. Oleh dokter rumah sakit, dr.
Hengky Gosal, Sp.PD dan dr. Grace Herza Yarlen Nela, Prita didiagnosis
menderita Demam berdarah, atau Tifus. Setelah dirawat selama empat hari
disertai serangkaian pemeriksaan serta perawatan, gejala awal yang
dikeluhkan berkurang namun ditemukan sejenis virus yang menyebabkan
pembengkakan pada leher. Selama masa perawatan Prita mengeluhkan
minimnya penjelasan yang diberikan oleh dokter atas jenis-jenis terapi medis
yang diberikan, di samping kondisi kesehatan yang semakin memburuk yang
diduga akibat kesalahan dalam pemeriksaan hasil laboratorium awal
menyebabkan kekeliruan diagnosis oleh dokter pemeriksa. Disebabkan
karena pengaduan serta permintaan tertulis untuk mendapatkan rekam medis
serta hasil laboratorium awal yang tidak dapat dipenuhi oleh pihak rumah
sakit Prita kemudian menulis surat elektronik atau email tentang tanggapan
serta keluhan atas perlakuan yang diterimanya ke sebuah milis. Surat
tersebut kemudian menyebar luas sehingga membuat pihak rumah sakit
merasa harus membuat bantahan atas tuduhan yang dilontarkan oleh Prita ke
media cetak serta mengajukan gugatan hukum baik secara perdata maupun
pidana dengan tuduhan pencemaran nama baik.
3. Proses hukum dan penyidikan yang dilalui Prita, Prita dijerat Undang-
Undang Nomor 11 pasal 27 ayat 3 tahun 2008 tentang UU ITE. Prita sempat
dipenjara selama kurang lebih 3 minggu lamanya dan harus membayar
kerugian materiil sebesar Rp 161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di
koran nasional dan Rp 100 juta untuk kerugian imateriil. Di dalam
persidangan yang dilalui Prita, tidak ada sedikitpun keputusan pengadilan
yang menyinggung tentang UU nomor 11 pasal 27 ayat 3 tahun 2008 tentang
UU ITE. Karena yang dipedulikan pengadilan hanya memutuskan dan
mengabulkan dasar gugatan Penggugat bahwa isi surat elektronik Prita
Mulyasari tersebut adalah perbuatan melawan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPer dan memutuskan berdasarkan
penafsiran

3.2 Saran

Saran yang diperoleh yaitu

1. Perlu usaha yang sungguh-sungguh untuk mempersiapkan penegak hukum


yang peka terhadap kemajuan teknologi dan dapat mengaplikasikan
teknologi dalam menjalankan tugas
2. Hakim harus berani menilai, memeriksa, menimbang, mengadili, maupun
memutus suatu perkara yang nota bene merupakan sengketa dalam proses
pembuktian dalam bentuk e-mail. Pengadilan Tinggi harus mempunyai
pertimbangan hukum sendiri
3. Kita sebagai masyarakat pengguna perkembangan teknologi di jaman
modern ini, perlu berhati-hati dalam meng-sharekan sesuatu melalui media
sosial.

Daftar Pustaka
http://hukum.kompasiana.com/2009/06/03/kronologi-kasus-prita-mulyasari-
13940.html

http://cyber04bsi.blogspot.com/2013/05/kronologi-kasus-prita-mulyasari.html

http://samardi.files.wordpress.com/2013/05/digital-foreniscs-prita.pdf

http://repository.unri.ac.id/bitstream/123456789/908/1/Jurnal%20Repositori.pdf

http://dispaku.blogspot.com/2010/04/delik-pers-pencemaran-nama-baik.html

http://www.tempo.co/read/news/2013/12/10/058536240/Sejarawan-Dituntut-Gara-
gara-Tulisan-di-Facebook

LAMPIRAN

Isi E-mail Prita

Jangan sampai kejadian saya ini menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama
anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan
rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin
pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.
Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami
kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30
WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI
Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandar International, yang
tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus.
Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39
derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah trombosit
saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan
ditangani oleh dr I (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I melakukan
pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya
dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000.
dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya
meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu
referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan
saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.
Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin
pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit
saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000
tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus
memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam
suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.
Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan
jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir
karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih memilih
berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya
percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.
Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik
tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya meminta
keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan suster
hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu boks
lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.
Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan suntikan
dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai saya
dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke
39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa.
Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.
Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk
memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya
sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti
bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam
berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan
kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.
Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak
napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya
berkata menunggu dr H saja.
Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya pun
mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa
untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.
Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun,
janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya
menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang
27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat
hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan
membengkaknya leher kiri dan mata kiri.
dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah
mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan
menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya
dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama
yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan
tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.
Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai
membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau
dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan data
medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis
yang fiktif.
Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya
lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow
up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya
yang 181.000 bukan 27.000.
Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan
bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000.
Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain dan marah-marah
dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di
Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen
yang memegang hasil lab tersebut.
Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh
Og(Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda
terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar
dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak ada service-nya
sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta
tanda terima pengajuan komplain tertulis.
Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan manajemen. Atas nama
Og (Customer Service Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan
diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan
saya.
Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari
lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000. Makanya
saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya
masih bisa rawat jalan.
Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya
ini tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia
mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M informasikan
ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan dr H. Namun, tidak
bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan
berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.
Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya
dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular. Menurut analisa
ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena
sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten dan
perempuan ke pankreas dan kista.
Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah
membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan
suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas.
Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya
tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.
Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000 tersebut
namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan
waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu
kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni
memberikan surat tersebut.
Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan keterangan
bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore saya
tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya. Kembali saya
telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima atas
nama Rukiah.
Ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya tidak ada
nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit
sekali dan membutuhkan waktu yang lama. LOgkanya dalam tanda terima
tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? Makanya saya sebut
Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan permainan mereka
yang mempermainkan nyawa orang.
Terutama dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan
customer, tidak sesuai dengan standard international yang RS ini cantum.
Saya bilang ke dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan
ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas
dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami.
Pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami
dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan
dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi
kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni.
Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya ingin
tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS
Omni mendapatkan pasien rawat inap.
Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil
lab saya 27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan
tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak makin parah
karena bisa langsung tertangani dengan baik.
Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan
asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal
mungkin. Tapi, RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.
Sdr Og menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr B).
Namun, saya dan suami saya sudah terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan
mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.
Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang
selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan
apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup
untuk menyembuhkan.
Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing.
Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang
dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.
Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya
diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang
tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan tidak
terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.
Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah
karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H,
dr M, dan Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi
perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak
mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter
ini.

Salam,
Prita Mulyasari

Anda mungkin juga menyukai