Apa Daan Siapa Tuhan
Apa Daan Siapa Tuhan
Tuhan Maha Kuasa adalah Wujud mutlak dan Kesempurnaan mutlak yang sama
sekali tidak memiliki aib dan cela. Wujud-Nya tiada duanya. Dia memiliki
kemampuan untuk melakukan setiap perbuatan dan mengetahui segala sesuatu
kapan pun dan apa pun kondisinya, Maha Mendengar dan Maha Melihat, memiliki
kehendak dan ikhtiar, Hidup dan Pencipta segala sesuatu, Sumber segala kebaikan,
Mencintai dan Pengasih kepada seluruh makhluk.
Konsep Tuhan merupakan konsep yang paling umum dan sederhana. Demikian
sedernahanya sehingga dapat dipahami oleh seluruh manusia, bahkan oleh
mereka yang menafikan wujud Tuhan. Kendati pengenalan esensi dan hakikat Zat
Tuhan mustahil bagi manusia namun masih banyak jalan untuk memperoleh
keyakinan terhadap wujud Tuhan. Jalan-jalan untuk mengenal Tuhan dalam sebuah
klasifikasi umum dapat dibagi menjadi beberapa bagian:
Jalan terbaik dan termudah adalah melalui argumen fitrah (mengenal Tuhan
melalui hati). Melalui argumen fitrah ini, manusia kembali kepada dirinya, ia tidak
lagi memerlukan argumentasi rasional atau observasi empirik untuk dapat
menemukan Tuhannya dan dengan melalui jalan hati ini ia sampai kepada Tuhan.
Untuk mengenal Allah ada empat cara yaitu mengenal wujud Allah, mengenal
Rububiyah Allah, mengenal Uluhiyah Allah, dan mengenal Nama-nama dan Sifat-
sifat Allah.
1. Mengenal Wujud Allah
Yaitu beriman bahwa Allah itu ada. Dan adanya Allah telah diakui oleh fitrah,
akal, panca indera manusia, dan ditetapkan pula oleh syariat.
Ketika seseorang melihat makhluk ciptaan Allah yang berbeda-beda bentuk, warna,
jenis dan sebagainya, akal akan menyimpulkan adanya semuanya itu tentu ada yang
mengadakannya dan tidak mungkin ada dengan sendirinya. Dan panca indera kita
mengakui adanya Allah di mana kita melihat ada orang yang berdoa, menyeru Allah
dan meminta sesuatu, lalu Allah mengabulkannya. Adapun tentang pengakuan fitrah
telah disebutkan oleh Allah di dalam Al-Qur`an:
“Dan ingatlah ketika Rabbmu menurunkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): ‘Bukankah Aku ini Rabbmu?’ Mereka menjawab: ‘(Betul Engkau Rabb
kami) kami mempersaksikannya (Kami lakukan yang demikian itu) agar kalian pada
hari kiamat tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang
yang lengah terhadap ini (keesaan-Mu) atau agar kamu tidak mengatakan:
‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu
sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang setelah mereka.’.” (Al-
A’raf: 172-173).
Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa fitrah seseorang mengakui adanya
Allah dan juga menunjukkan, bahwa manusia dengan fitrahnya mengenal Rabbnya.
2. Mengenal Rububiyah Allah
Rububiyah Allah adalah meng-esakan Allah dalam tiga perkara yaitu
penciptaan, kekuasaan, dan pengaturan-Nya.
Dalam masalah rububiyah Allah, sebagian orang kafir jahiliyah tidak
mengingkarinya sedikitpun dan mereka meyakini bahwa yang mampu melakukan
demikian hanyalah Allah semata. Mereka tidak menyakini bahwa apa yang selama
ini mereka sembah dan agungkan mampu melakukan hal yang demikian itu. Lalu
apa tujuan mereka menyembah ’tuhan’ yang banyak itu? Apakah mereka tidak
mengetahui jikalau ‘tuhan-tuhan’ mereka itu tidak bisa berbuat apa-apa? Dan apa
yang mereka inginkan dari sesembahan itu?
Keyakinan sebagian orang kafir terhadap tauhid rububiyah Allah telah
dijelaskan Allah dalam firman-Nya:
“Kalau kamu bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan mereka?
Mereka akan menjawab Allah. Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari
menyembah Allah)?” (Az-Zukhruf: 87).
Demikianlah Allah menjelaskan tentang keyakinan mereka terhadap tauhid
rububiyah Allah. Sekedar keyakinan mereka yang demikian itu tidak menyebabkan
mereka masuk ke dalam Islam dan menyebabkan halalnya darah dan harta mereka
sehingga Rasulullah SAW mengumumkan peperangan melawan mereka.
Jika kita melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, kita
sadari betapa besar kerusakan akidah yang melanda saudara-saudara kita. Banyak
yang masih menyakini bahwa selain Allah, ada yang mampu menolak mudharat dan
mendatangkan manfaat, meluluskan dalam ujian, memberikan keberhasilan dalam
usaha, dan menyembuhkan penyakit. Sehingga mereka harus berbondong-bondong
meminta-minta di kuburan orang-orang shalih, kuburan para wali, atau di tempat-
tempat keramat. Mereka harus pula mendatangi para dukun, tukang ramal, dan
tukang tenung atau dengan istilah sekarang paranormal. Semua perbuatan dan
keyakinan ini, merupakan keyakinan yang rusak dan bentuk kesyirikan kepada
Allah. Ringkasnya, tidak ada yang bisa memberi rizki, menyembuhkan segala
macam penyakit, menolak segala macam marabahaya, memberikan segala macam
manfaat, membahagiakan, menyengsarakan, menjadikan seseorang miskin dan
kaya, yang menghidupkan, yang mematikan, yang meluluskan seseorang dari segala
macam ujian, yang menaikkan dan menurunkan pangkat dan jabatan seseorang,
kecuali Allah. Semuanya ini menuntut kita agar hanya meminta kepada Allah semata
dan tidak kepada selain Nya.
3. Mengenal Uluhiyah Allah
Uluhiyah Allah adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allah,
seperti berdoa, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernadzar, cinta,
dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan Allah dan Rasulullah
SAW. Memperuntukkan satu jenis ibadah kepada selain Allah termasuk perbuatan
dzalim yang besar di sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allah.
4. Mengenal Nama-nama & Sifat-sifat Allah
Maksudnya, kita beriman bahwa Allah memiliki nama-nama yang Dia telah
menamakan diri-Nya dan yang telah dinamakan oleh Rasul-Nya. Dan beriman
bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang tinggi yang telah Dia sifati diri-Nya dan yang
telah disifati oleh Rasul-Nya. Allah memiliki nama-nama yang mulia dan sifat yang
tinggi berdasarkan firman Allah :
“Dan Allah memiliki nama-nama yang baik.” (Al-A’raf: 180)
“Dan Allah memiliki permisalan yang tinggi.” (An-Nahl: 60)
Dalam hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai
dengan apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya dan tidak menyelewengkannya
sedikitpun.
Ketika berbicara tentang sifat dan nama-nama Allah yang menyimpang dari
yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya, maka kita telah berbicara tentang Allah tanpa
dasar ilmu. Tentu yang demikian itu diharamkan dan dibenci dalam agama.
Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak memiliki ilmu
padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta
pertanggungjawaban.” (Al-Isra`: 36).
. Keempat cara ini telah disebutkan Allah di dalam Al-Qur`an dan di dalam As-
Sunnah baik secara global maupun terperinci. Semoga dengan mengamalkan cara
tersebut kita lebih dalam mengenal Tuhan kita, sehingga terwujud jati diri Islam
yang utuh dalam diri kita.
A. Pengantar
Topik ini berisi pembahasan tentang masalah keimanan dan pengkajian kembali
dalam masalah tersebut. Sebagian aspek keimanan mendapat perhatian dan
pengkajian yang begitu intensif, sehingga mudah didapat di tengah masyarakat.
Aspek yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah aspek kejiwaan dan nilai. Aspek
ini belum mendapat perhatian seperti perhatian terhadap aspek lainnya. Kecintaan
kepada Allah, ikhlas beramal hanya karena Allah, serta mengabdikan diri dan
tawakal sepenuhnya kepada-Nya, merupakan nilai keutamaan yang perlu
diperhatikan dan harus diutamakan dalam menyempurnakan cabang-cabang
keimanan.
Pendidikan modern telah mempengaruhi peserta didik dari berbagai arah dan
pengaruhnya telah sedemikian rupa merasuki jiwa generasi penerus. Jika tidak
pandai membina jiwa generasi mendatang, “dengan menanamkan nilai-nilai
keimanan dalam nalar pikir dan akal budi mereka”, maka mereka tidak akan selamat
dari pengaruh negatif pendidikan modern. Mungkin mereka merasa ada yang
kurang dalam sisi spiritualitasnya dan berusaha menyempurnakan dari sumber-
sumber lain. Bila ini terjadi, maka perlu segera diambil tindakan, agar pintu
spiritualitas yang terbuka tidak diisi oleh ajaran lain yang bukan berasal dari ajaran
spiritualitas Islam.
Seorang muslim yang paripurna adalah yang nalar dan hatinya bersinar,
pandangan akal dan hatinya tajam, akal pikir dan nuraninya berpadu dalam
berinteraksi dengan Allah dan dengan sesama manusia, sehingga sulit diterka mana
yang lebih dahulu berperan kejujuran jiwanya atau kebenaran akalnya. Sifat
kesempurnaan ini merupakan karakter Islam, yaitu agama yang membangun
kemurnian akidah atas dasar kejernihan akal dan membentuk pola pikir teologis
yang menyerupai bidang-bidang ilmu eksakta, karena dalam segi akidah, Islam
hanya menerima hal-hal yang menurut ukuran akal sehat dapat diterima sebagai
ajaran akidah yang benar dan lurus.
Pilar akal dan rasionalitas dalam akidah Islam tercermin dalam aturan
muamalat dan dalam memberikan solusi serta terapi bagi persoalan yang dihadapi.
Selain itu Islam adalah agama ibadah. Ajaran tentang ibadah didasarkan atas
kesucian hati yang dipenuhi dengan keikhlasan, cinta, serta dibersihkan dari
dorongan hawa nafsu, egoisme, dan sikap ingin menang sendiri. Agama seseorang
tidak sempurna, jika kehangatan spiritualitas yang dimiliki tidak disertai dengan
pengalaman ilmiah dan ketajaman nalar. Pentingnya akal bagi iman ibarat
pentingnya mata bagi orang yang sedang berjalan.
Dalam surat al-Qashash ayat 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk
dirinya sendiri:
Dan Fir’aun berkata: ‘Wahai para pembesar hambaku, aku tidak mengetahui
Tuhan bagimu selain aku’.
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai olehnya.
Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya,
merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat
berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdo’a, dan bertawakkal kepadanya
untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan
ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya. (M. Imaduddin,
1989: 56).
Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Tuhan itu bisa
berbentuk apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia tidak
mungkin atheis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika al-Qur’an
setiap manusia pasti mempunyai sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan demikian,
orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah
ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “Laa illaha illaa Allah”. Susunan kalimat
tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti
dengan suatu penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim
harus membersihkan dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, yang ada dalam
hatinya hanya satu Tuhan yang bernama Allah.
1. Pemikiran Barat
a. Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya
kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang
berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh
pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif.
Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti
mana (Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib
yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap
sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun mana tidak dapat diindera, tetapi ia dapat
dirasakan pengaruhnya.
b. Animisme
c. Politeisme
d. Henoteisme
e. Monoteisme
Embrio ketegangan politik sebenarnya sudah ada sejak khalifah Abu Bakar, yaitu
persaingan segitiga antara sekompok orang Anshar (pribumi Madinah), sekelompok
orang Muhajirin yang fanatik dengan garis keturunan Abdul Muthalib (fanatisme
Ali), dan kelompok mayoritas yang mendukung kepemimpinan Abu Bakar. Pada
periode kepemimpinan Abu Bakar dan Umar gejolak politik tidak muncul, karena
sikap khalifah yang tegas, sehingga kelompok oposisi tidak diberikan kesempatan
melakukan gerakannya.
Ketika khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifa ke 3), ketegangan politik
menjadi terbuka. Sistem nepotisme yang diterapkan oleh penguasa (wazir) pada
masa khalifah Usman menjadi penyebab adanya reaksi negatif dari kalangan warga
Abdul Muthalib. Akibatnya terjadi ketegangan,yang menyebabkan Usman sebagai
khalifah terbunuh. Ketegangan semakin bergejolak pada khalifah berikutnya, yaitu
Ali Ibn Abi Thalib. Dendam yang dikumandangkan dalam bentuk slogan bahwa
darah harus dibalas dengan darah, menjadi motto bagi kalangan oposisi di bawah
kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pertempuran antara dua kubu tidak
terhindarkan. Untuk menghindari perpecahan, antara dua kubu yang berselisih
mengadakan perjanjian damai. Nampaknya bagi kelompok Muawiyah, perjanjian
damai hanyalah merupakan strategi untuk memenangkan pertempuran. Amru bin
Ash sebagai diplomat Muawiyah mengungkapkan penilaian sepihak. Pihak Ali
yang paling bersalah, sementara pihaknya tidak bersalah. Akibat perjanjian itu
pihak Ali (sebagai penguasa resmi) tersudut. Setelah dirasakan oleh pihak Ali
bahwa perjanjian itu merugikan pihaknya, di kalangan pendukung Ali terbelah
menjadi dua kelompok, yaitu : kelompok yang tetap setia kepada Ali, dan kelompok
yang menyatakan keluar, namun tidak mau bergabung dengan Muawiyah.
Kelompok pertama disebut dengan kelompok SYIAH, dan kelompok kedua disebut
dengan KHAWARIJ. Dengan demikian umat Islam terpecah menjadi tiga
kelompok politik, yaitu: 1) Kelompok Muawiyah (Sunni), 2) Kelompok Syi’ah, dan
3) Kelompok Khawarij.
Dari lima azas tersebut – menurut Muktazilah – Tuhan terikat dengan kewajiban-
kewajiban. Tuhan wajib memenuhi janjinya. Ia berkewajiban memasukkan orang
yang baik ke surga dan wajib memasukkan orang yang jahat ke neraka, dan
kewajiban-kewajiban lain. Pandangan-pandangan kelompok ini menempatkan akal
manusia dalam posisi yang kuat. Sebab itu kelompok ini dimasukkan ke dalam
kelompok teologi rasional dengan sebutan Qadariah.
Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang
menjadi penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia.
Orang yang mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-
Quran konotasinya ada dua kemungkinan, yaitu Allah, dan selain Allah. Subjektif
(hawa nafsu) dapat menjadi ilah (tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon,
binatang, dan lain-lain dapat pula berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti
dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165, sebagai berikut:
ب ه
َِّللا ِ َّللاِ أ َ ْندَادًا ي ُِحبُّونَ ُه ْم َك ُح
ُون هِ اس َم ْن يَت ه ِخذُ ِم ْن د
ِ َو ِمنَ النه
Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan
terhadap Allah. Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah.
Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam dikemukakan dalam
Al-Quran surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai berikut;
س َو ْالقَ َم َر لَيَقُولُ هن ه
ََّللاُ فَأَنهى يُؤْ فَ ُكون س هخ َر ال ه
َ ش ْم َ ت َو ْاْل َ ْر
َ ض َو سأ َ ْلت َ ُه ْم َم ْن َخلَقَ ال ه
ِ س َم َوا َ َولَئِ ْن
Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan bumi, dan
menundukkan matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah.
Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu berarti
orang itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang baru laik dinyatakan
bertuhan kepada Allah jika ia telah memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas
dasar itu inti konsep ketuhanan Yang Maha Esa dalam Islam adalah memerankan
ajaran Allah yaitu Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan bukan
sekedar Pencipta, melainkan juga pengatur alam semesta.
Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah sebagaimana
dinyatakan dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah pernyataan lain sebagai
jawaban atas perintah yang dijaukan pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika
Allah yang harus terbayang dalam kesadaran manusia yang bertuhan Allah adalah
disamping Allah sebagai Zat, juga Al-Quran sebagai ajaran serta Rasullullah
sebagai Uswah hasanah.
Disusun Oleh:
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kita dan tak lupa pula kita mengirim
salam dan salawat kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang telah
membawakan kita suatu ajaran yang benar yaitu agama Islam, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Keimanan dan Ketaqwaan” ini
dengan lancar.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis
peroleh dari berbagai sumber yang berkaitan dengan agama islam serta infomasi
dari media massa yang berhubungan dengan agama islam, tak lupa penulis ucapkan
terima kasih kepada pengajar matakuliah Pendidikan Agama Islam atas bimbingan
dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada pihak-pihak yang telah
mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita
semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai implementasi iman
dan takwa dalam kehidupan modern, khususnya bagi penulis. Memang makalah ini
masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Kudus, 29
Oktober 2015
Penulis
Fita
Choiyanti
Daftar isi
KATA PENGANTAR
Daftar isi
ABSTRAK
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Masalah
1.4 Manfaat
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Iman
2. Tanda-tanda Orang yang Beriman
3. Pengertian Taqwa
4. Korelasi antara Keimanan dan Ketaqwaan
BAB III KESIMPULAN
BAB IV
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Pada setiap agama, keimanan merupakan unsur pokok yang harus dimiliki
oleh setiap penganutnya. Jika kita ibaratkan dengan sebuah bangunan, keimanan
adalah pondasi yang menopang segala sesuatu yang berada diatasnya, kokoh
tidaknya bangunan itu sangat tergantung pada kuat tidaknya pondasi tersebut..
Meskipun demikian, keimanan saja tidak cukup. Keimanan harus diwujudkan
dengan amal perbuatan yang baik, yang sesuai dengan ajaran agama yang kita anut.
Keimanan baru sempurna, jika diyakini oleh hati, diikrarkan oleh lisan, dan
dibuktikan dalam segala perilaku kehidupan sehari – hari.Iman adalah percaya atau
yakin, keimanan berarti kepercayaan atau keyakinan. Dengan demikian, rukun iman
adalah dasar, inti, atau pokok – pokok kepercayaan yang harus diyakini oleh setiap
pemeluk agama Islam yakni percaya allah, percaya pada para Rasul, percaya pada
malaikakt dan kitab allah, percaya pada risalah hari bangkit , pokok agama serta rela
pada ketentuan allah. Sedangkan Taqwa berasal dari kata waqa, yaqi , wiqayah,
yang berarti takut, menjaga, memelihara dan melindungi.Sesuai dengan makna
etimologis tersebut, maka taqwa dapat diartikan sikap memelihara keimanan yang
diwujudkan dalam pengamalan ajaran agama Islam secara utuh dan konsisten (
istiqomah ). Keimanan dan Ketakwaan sangat berperan dan berpengaruh penting
buat manusia dalam menjalani kehidupan hal ini dikarenakan keimanan dan
ketakwaan sebenarnya telah melekat pada manusia serta keimanan dan ketakwaan
jugalah yang membentuk kerakteristik dan sifat kebaikan manusia.
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.4 Manfaat
6
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Iman
Taqwa berasal dari kata waqa, yaqi , wiqayah, yang berarti takut, menjaga,
memelihara dan melindungi.Sesuai dengan makna etimologis tersebut, maka taqwa
dapat diartikan sikap memelihara keimanan yang diwujudkan dalam pengamalan
ajaran agama Islam secara utuh dan konsisten ( istiqomah ).
Seorang muslim yang bertaqwa pasti selalu berusaha melaksanakan perintah
Tuhannya dan menjauhi segala laranganNya dalam kehidupan ini.
Karakteristik orang – orang yang bertaqwa, secara umum dapat dikelompokkan
kedalam lima kategori atau indicator ketaqwaan.
A. Iman kepada Allah, para malaikat, kitab – kitab dan para nabi. Dengan kata
lain, instrument ketaqwaan yang pertama ini dapat dikatakan dengan memelihara
fitrah iman.
B. Mengeluarkan harta yang dikasihnya kepada kerabat, anak yatim, orang –
orang miskin, orang – orang yang terputus di perjalanan, orang – orang yang
meminta – minta dana, orang – orang yang tidak memiliki kemampuan untuk
memenuhi kewajiban memerdekakan hamba sahaya. Indikator taqwa yang kedua
ini, dapat disingkat dengan mencintai sesama umat manusia yang diwujudkan
melalui kesanggupan mengorbankan harta.
C. Mendirikan solat dan menunaikan zakat, atau dengan kata lain, memelihara
ibadah formal.
D. Menepati janji, yang dalam pengertian lain adalah memelihara kehormatan
diri.
E. Sabar disaat kepayahan, kesusahan dan diwaktu perang, atau dengan kata lain
memiliki semangat perjuangan.
2.5