Anda di halaman 1dari 23

Apa daan siapa tuhan

Tuhan Maha Kuasa adalah Wujud mutlak dan Kesempurnaan mutlak yang sama
sekali tidak memiliki aib dan cela. Wujud-Nya tiada duanya. Dia memiliki
kemampuan untuk melakukan setiap perbuatan dan mengetahui segala sesuatu
kapan pun dan apa pun kondisinya, Maha Mendengar dan Maha Melihat, memiliki
kehendak dan ikhtiar, Hidup dan Pencipta segala sesuatu, Sumber segala kebaikan,
Mencintai dan Pengasih kepada seluruh makhluk.

Konsep Tuhan merupakan konsep yang paling umum dan sederhana. Demikian
sedernahanya sehingga dapat dipahami oleh seluruh manusia, bahkan oleh
mereka yang menafikan wujud Tuhan. Kendati pengenalan esensi dan hakikat Zat
Tuhan mustahil bagi manusia namun masih banyak jalan untuk memperoleh
keyakinan terhadap wujud Tuhan. Jalan-jalan untuk mengenal Tuhan dalam sebuah
klasifikasi umum dapat dibagi menjadi beberapa bagian:

1. Jalan rasional (Burhan Imkan dan Wujub)

2. Jalan empirik (Argumen Keteraturan)

3. Jalan hati (Argumen Fitrah)

Jalan terbaik dan termudah adalah melalui argumen fitrah (mengenal Tuhan
melalui hati). Melalui argumen fitrah ini, manusia kembali kepada dirinya, ia tidak
lagi memerlukan argumentasi rasional atau observasi empirik untuk dapat
menemukan Tuhannya dan dengan melalui jalan hati ini ia sampai kepada Tuhan.

Bagaimana manusia mengenal tuhan

Untuk mengenal Allah ada empat cara yaitu mengenal wujud Allah, mengenal
Rububiyah Allah, mengenal Uluhiyah Allah, dan mengenal Nama-nama dan Sifat-
sifat Allah.
1. Mengenal Wujud Allah
Yaitu beriman bahwa Allah itu ada. Dan adanya Allah telah diakui oleh fitrah,
akal, panca indera manusia, dan ditetapkan pula oleh syariat.
Ketika seseorang melihat makhluk ciptaan Allah yang berbeda-beda bentuk, warna,
jenis dan sebagainya, akal akan menyimpulkan adanya semuanya itu tentu ada yang
mengadakannya dan tidak mungkin ada dengan sendirinya. Dan panca indera kita
mengakui adanya Allah di mana kita melihat ada orang yang berdoa, menyeru Allah
dan meminta sesuatu, lalu Allah mengabulkannya. Adapun tentang pengakuan fitrah
telah disebutkan oleh Allah di dalam Al-Qur`an:
“Dan ingatlah ketika Rabbmu menurunkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): ‘Bukankah Aku ini Rabbmu?’ Mereka menjawab: ‘(Betul Engkau Rabb
kami) kami mempersaksikannya (Kami lakukan yang demikian itu) agar kalian pada
hari kiamat tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang
yang lengah terhadap ini (keesaan-Mu) atau agar kamu tidak mengatakan:
‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu
sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang setelah mereka.’.” (Al-
A’raf: 172-173).
Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa fitrah seseorang mengakui adanya
Allah dan juga menunjukkan, bahwa manusia dengan fitrahnya mengenal Rabbnya.
2. Mengenal Rububiyah Allah
Rububiyah Allah adalah meng-esakan Allah dalam tiga perkara yaitu
penciptaan, kekuasaan, dan pengaturan-Nya.
Dalam masalah rububiyah Allah, sebagian orang kafir jahiliyah tidak
mengingkarinya sedikitpun dan mereka meyakini bahwa yang mampu melakukan
demikian hanyalah Allah semata. Mereka tidak menyakini bahwa apa yang selama
ini mereka sembah dan agungkan mampu melakukan hal yang demikian itu. Lalu
apa tujuan mereka menyembah ’tuhan’ yang banyak itu? Apakah mereka tidak
mengetahui jikalau ‘tuhan-tuhan’ mereka itu tidak bisa berbuat apa-apa? Dan apa
yang mereka inginkan dari sesembahan itu?
Keyakinan sebagian orang kafir terhadap tauhid rububiyah Allah telah
dijelaskan Allah dalam firman-Nya:
“Kalau kamu bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan mereka?
Mereka akan menjawab Allah. Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari
menyembah Allah)?” (Az-Zukhruf: 87).
Demikianlah Allah menjelaskan tentang keyakinan mereka terhadap tauhid
rububiyah Allah. Sekedar keyakinan mereka yang demikian itu tidak menyebabkan
mereka masuk ke dalam Islam dan menyebabkan halalnya darah dan harta mereka
sehingga Rasulullah SAW mengumumkan peperangan melawan mereka.
Jika kita melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, kita
sadari betapa besar kerusakan akidah yang melanda saudara-saudara kita. Banyak
yang masih menyakini bahwa selain Allah, ada yang mampu menolak mudharat dan
mendatangkan manfaat, meluluskan dalam ujian, memberikan keberhasilan dalam
usaha, dan menyembuhkan penyakit. Sehingga mereka harus berbondong-bondong
meminta-minta di kuburan orang-orang shalih, kuburan para wali, atau di tempat-
tempat keramat. Mereka harus pula mendatangi para dukun, tukang ramal, dan
tukang tenung atau dengan istilah sekarang paranormal. Semua perbuatan dan
keyakinan ini, merupakan keyakinan yang rusak dan bentuk kesyirikan kepada
Allah. Ringkasnya, tidak ada yang bisa memberi rizki, menyembuhkan segala
macam penyakit, menolak segala macam marabahaya, memberikan segala macam
manfaat, membahagiakan, menyengsarakan, menjadikan seseorang miskin dan
kaya, yang menghidupkan, yang mematikan, yang meluluskan seseorang dari segala
macam ujian, yang menaikkan dan menurunkan pangkat dan jabatan seseorang,
kecuali Allah. Semuanya ini menuntut kita agar hanya meminta kepada Allah semata
dan tidak kepada selain Nya.
3. Mengenal Uluhiyah Allah
Uluhiyah Allah adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allah,
seperti berdoa, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernadzar, cinta,
dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan Allah dan Rasulullah
SAW. Memperuntukkan satu jenis ibadah kepada selain Allah termasuk perbuatan
dzalim yang besar di sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allah.
4. Mengenal Nama-nama & Sifat-sifat Allah
Maksudnya, kita beriman bahwa Allah memiliki nama-nama yang Dia telah
menamakan diri-Nya dan yang telah dinamakan oleh Rasul-Nya. Dan beriman
bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang tinggi yang telah Dia sifati diri-Nya dan yang
telah disifati oleh Rasul-Nya. Allah memiliki nama-nama yang mulia dan sifat yang
tinggi berdasarkan firman Allah :
“Dan Allah memiliki nama-nama yang baik.” (Al-A’raf: 180)
“Dan Allah memiliki permisalan yang tinggi.” (An-Nahl: 60)
Dalam hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai
dengan apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya dan tidak menyelewengkannya
sedikitpun.
Ketika berbicara tentang sifat dan nama-nama Allah yang menyimpang dari
yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya, maka kita telah berbicara tentang Allah tanpa
dasar ilmu. Tentu yang demikian itu diharamkan dan dibenci dalam agama.
Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak memiliki ilmu
padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta
pertanggungjawaban.” (Al-Isra`: 36).
. Keempat cara ini telah disebutkan Allah di dalam Al-Qur`an dan di dalam As-
Sunnah baik secara global maupun terperinci. Semoga dengan mengamalkan cara
tersebut kita lebih dalam mengenal Tuhan kita, sehingga terwujud jati diri Islam
yang utuh dalam diri kita.
A. Pengantar
Topik ini berisi pembahasan tentang masalah keimanan dan pengkajian kembali
dalam masalah tersebut. Sebagian aspek keimanan mendapat perhatian dan
pengkajian yang begitu intensif, sehingga mudah didapat di tengah masyarakat.
Aspek yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah aspek kejiwaan dan nilai. Aspek
ini belum mendapat perhatian seperti perhatian terhadap aspek lainnya. Kecintaan
kepada Allah, ikhlas beramal hanya karena Allah, serta mengabdikan diri dan
tawakal sepenuhnya kepada-Nya, merupakan nilai keutamaan yang perlu
diperhatikan dan harus diutamakan dalam menyempurnakan cabang-cabang
keimanan.

Sesungguhnya amalan lahiriah berupa ibadah mahdhah dan muamalah tidak


akan mencapai kesempurnaan, kecuali jika didasari dan diramu dengan nilai
keutamaan tersebut. Sebab nilai-nilai tersebut senantiasa mengalir dalam hati dan
tertuang dalam setiap gerak serta perilaku keseharian.

Pendidikan modern telah mempengaruhi peserta didik dari berbagai arah dan
pengaruhnya telah sedemikian rupa merasuki jiwa generasi penerus. Jika tidak
pandai membina jiwa generasi mendatang, “dengan menanamkan nilai-nilai
keimanan dalam nalar pikir dan akal budi mereka”, maka mereka tidak akan selamat
dari pengaruh negatif pendidikan modern. Mungkin mereka merasa ada yang
kurang dalam sisi spiritualitasnya dan berusaha menyempurnakan dari sumber-
sumber lain. Bila ini terjadi, maka perlu segera diambil tindakan, agar pintu
spiritualitas yang terbuka tidak diisi oleh ajaran lain yang bukan berasal dari ajaran
spiritualitas Islam.

Seorang muslim yang paripurna adalah yang nalar dan hatinya bersinar,
pandangan akal dan hatinya tajam, akal pikir dan nuraninya berpadu dalam
berinteraksi dengan Allah dan dengan sesama manusia, sehingga sulit diterka mana
yang lebih dahulu berperan kejujuran jiwanya atau kebenaran akalnya. Sifat
kesempurnaan ini merupakan karakter Islam, yaitu agama yang membangun
kemurnian akidah atas dasar kejernihan akal dan membentuk pola pikir teologis
yang menyerupai bidang-bidang ilmu eksakta, karena dalam segi akidah, Islam
hanya menerima hal-hal yang menurut ukuran akal sehat dapat diterima sebagai
ajaran akidah yang benar dan lurus.

Pilar akal dan rasionalitas dalam akidah Islam tercermin dalam aturan
muamalat dan dalam memberikan solusi serta terapi bagi persoalan yang dihadapi.
Selain itu Islam adalah agama ibadah. Ajaran tentang ibadah didasarkan atas
kesucian hati yang dipenuhi dengan keikhlasan, cinta, serta dibersihkan dari
dorongan hawa nafsu, egoisme, dan sikap ingin menang sendiri. Agama seseorang
tidak sempurna, jika kehangatan spiritualitas yang dimiliki tidak disertai dengan
pengalaman ilmiah dan ketajaman nalar. Pentingnya akal bagi iman ibarat
pentingnya mata bagi orang yang sedang berjalan.

B. Siapakah Tuhan itu?

Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-Qur’an dipakai


untuk menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia,
misalnya dalam surat al-Furqan ayat 43.

Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai


Tuhannya ?

Dalam surat al-Qashash ayat 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk
dirinya sendiri:

Dan Fir’aun berkata: ‘Wahai para pembesar hambaku, aku tidak mengetahui
Tuhan bagimu selain aku’.

Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa


mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi
maupun benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan
ilah dalam al-Qur’an juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda
(mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme
tidak mungkin. Untuk dapat mengerti tentang definisi Tuhan atau Ilah yang tepat,
berdasarkan logika al-Qur’an adalah sebagai berikut:

Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai olehnya.

Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya


yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan
kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan
mendatangkan bahaya atau kerugian.

Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:

Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya,
merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat
berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdo’a, dan bertawakkal kepadanya
untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan
ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya. (M. Imaduddin,
1989: 56).

Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Tuhan itu bisa
berbentuk apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia tidak
mungkin atheis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika al-Qur’an
setiap manusia pasti mempunyai sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan demikian,
orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah
ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.

Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “Laa illaha illaa Allah”. Susunan kalimat
tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti
dengan suatu penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim
harus membersihkan dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, yang ada dalam
hatinya hanya satu Tuhan yang bernama Allah.

C. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan

1. Pemikiran Barat

Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep


yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun
batiniah, baik yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam
literatur sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan
adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat
menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller,
kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock, dan Jevens.
Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah
sebagai berikut:

a. Dinamisme

Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya
kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang
berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh
pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif.
Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti
mana (Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib
yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap
sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun mana tidak dapat diindera, tetapi ia dapat
dirasakan pengaruhnya.

b. Animisme

Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai


adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik,
mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang
aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu
yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang, serta mempunyai
kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut
kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut,
manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan advis
dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.

c. Politeisme

Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan,


karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang
lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai
dengan bidangnya. Ada Dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang
membidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.

d. Henoteisme

Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan.


Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin
mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat
menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang
disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain.
kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan
tingkat Nasional).

e. Monoteisme

Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme.


Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat
internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam
tiga paham yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan
oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang
menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan
bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan
orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan
sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada
wujud yang lain.

Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan


evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di
Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk
memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak
datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut
diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang
dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan
bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme
dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan. (Zaglul Yusuf, 1993: 26-
37).

2. Pemikiran Umat Islam

Dikalangan umat Islam terdapat polemik dalam masalah ketuhanan. Satu


kelompok berpegang teguh dengan Jabariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa
Tuhan mempunyai kekuatan mutlah yang menjadi penentu segalanya. Di lain pihak
ada yang berpegang pada doktrin Qodariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa
manusialah yang menentukan nasibnya. Polemik dalam masalah ketuhanan di
kalangan umat Islam pernah menimbulkan suatu dis-integrasi (perpecahan) umat
Islam, yang cukup menyedihkan. Peristiwa al-mihnah yaitu pembantaian terhadap
para tokoh Jabariah oleh penguasa Qadariah pada zaman khalifah al-Makmun
(Dinasti Abbasiah). Munculnya faham Jabariah dan Qadariah berkaitan erat dengan
masalah politik umat Islam setelah Rasulullah Muhammad meninggal. Sebagai
kepala pemerintahaan, Abu Bakar Siddiq secara aklamasi formal diangkat sebagai
pelanjut Rasulullah. Berikutnya digantikan oleh Umar Ibnu Al-Khattab, Usman dan
Ali.

Embrio ketegangan politik sebenarnya sudah ada sejak khalifah Abu Bakar, yaitu
persaingan segitiga antara sekompok orang Anshar (pribumi Madinah), sekelompok
orang Muhajirin yang fanatik dengan garis keturunan Abdul Muthalib (fanatisme
Ali), dan kelompok mayoritas yang mendukung kepemimpinan Abu Bakar. Pada
periode kepemimpinan Abu Bakar dan Umar gejolak politik tidak muncul, karena
sikap khalifah yang tegas, sehingga kelompok oposisi tidak diberikan kesempatan
melakukan gerakannya.

Ketika khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifa ke 3), ketegangan politik
menjadi terbuka. Sistem nepotisme yang diterapkan oleh penguasa (wazir) pada
masa khalifah Usman menjadi penyebab adanya reaksi negatif dari kalangan warga
Abdul Muthalib. Akibatnya terjadi ketegangan,yang menyebabkan Usman sebagai
khalifah terbunuh. Ketegangan semakin bergejolak pada khalifah berikutnya, yaitu
Ali Ibn Abi Thalib. Dendam yang dikumandangkan dalam bentuk slogan bahwa
darah harus dibalas dengan darah, menjadi motto bagi kalangan oposisi di bawah
kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pertempuran antara dua kubu tidak
terhindarkan. Untuk menghindari perpecahan, antara dua kubu yang berselisih
mengadakan perjanjian damai. Nampaknya bagi kelompok Muawiyah, perjanjian
damai hanyalah merupakan strategi untuk memenangkan pertempuran. Amru bin
Ash sebagai diplomat Muawiyah mengungkapkan penilaian sepihak. Pihak Ali
yang paling bersalah, sementara pihaknya tidak bersalah. Akibat perjanjian itu
pihak Ali (sebagai penguasa resmi) tersudut. Setelah dirasakan oleh pihak Ali
bahwa perjanjian itu merugikan pihaknya, di kalangan pendukung Ali terbelah
menjadi dua kelompok, yaitu : kelompok yang tetap setia kepada Ali, dan kelompok
yang menyatakan keluar, namun tidak mau bergabung dengan Muawiyah.
Kelompok pertama disebut dengan kelompok SYIAH, dan kelompok kedua disebut
dengan KHAWARIJ. Dengan demikian umat Islam terpecah menjadi tiga
kelompok politik, yaitu: 1) Kelompok Muawiyah (Sunni), 2) Kelompok Syi’ah, dan
3) Kelompok Khawarij.

Untuk memenangkan kelompok dalam menghadapi oposisinya, mereka tidak


segan-segan menggunakan konsep asasi. Kelompok yang satu sampai mengkafirkan
kelompok lainnya. Menurut Khawarij semua pihak yang terlibat perjanjian damai
baik pihak Muawiyah maupun pihak Ali dinyatakan kafir. Pihak Muawiyah
dikatakan kafir karena menentang pemerintah, sedangkan pihak Ali dikatakan kafir
karena tidak bersikap tegas terhadap para pemberontak, berarti tidak menetapkan
hukum berdasarkan ketentuan Allah. Mereka mengkafirkan Ali dan para
pendukungknya, berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah (5) : 44

َ‫َّللاُ فَأُولَئِكَ ُه ُم ْال َكافِ ُرون‬


‫َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما أ َ ْنزَ َل ه‬
Siapa yang tidak menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-
Quran), maka mereka dalah orang-orang kafir.

Munculnya doktrin saling mengkafirkan antara satu kelompok dengan kelompok


lain membuat pertanyaan besar bagi kalangan cendikiawan. Pada suatu mimbar
akademik (pengajian) muncul pertanyaan dari peserta pengajian kepada gurunya
yaitu Hasan Al-Bashry. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan adanya
perbedaan pendapat tentang orang yang berbuat dosa besar. Sebagian pendapat
mengatakan bahwa mereka itu adalah mukmin, sedangkan pendapat lain
mengatakan kafir. Para pelaku politik yang terlibat tahkim perjanjian antara pihak
Ali dan pihak Muawiyah, mereka dinilai sebagai pelaku dosa besar. Alasan yang
mengatakan mereka itu mukmin beralasan bahwa iman itu letaknya di hati,
sedangkan orang lain tidak ada yang mengetahui hati seseorang kecuali Allah.
Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa iman itu bukan hanya di hati
melainkan berwujud dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Berarti orang yang
melakukan dosa besar dia adalah bukan mukmin. Kalau mereka bukan mukmin
berarti mereka kafir.

Sebelum guru besarnya memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang dimajukan


tentang dosa besar tersebut, seorang peserta pengajian yang bernama Wasil ibnu
Atha mengajukan jawaban, bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan
kafir melainkan diantara keduanya. Hasan Al-Bashry sebagai pembina pengajian
tersebut memeberikan komentar, terhadap jawaban Wasil. Komentarnya bahwa
pelaku dosa besar termasuk yang terlibat dalam perjanjian damai termasuk
kelompok fasik. Wasil membantah komentar gurunya itu, karena orang yang fasik
lebih hina dimata Allah ketimbang orang yang kafir. Akibat polemik tersebut Wasil
bersama beberapa orang yang sependapat dengannya memisahkan diri dari
kelompok pengajian Hasal Al-Bashry. Peserta pengajian yang tetap bergabung
bersama Hasan Al-Bashry mengatakan, “I’tazala Wasil ‘anna.” (Wasil telah
memisahkan diri dari kelompok kita.) Dari kata-kata inilah Wasil dan
pendukungnya disebut kelompok MUKTAZILAH. (Lebih jelasnya lihat Harun
Nasution dalam Teologi Islam).

Kelompok Muktazilah mengajukan konsep-konsep yang bertentangan dengan


konsep yang diajukan golongan Murjiah (aliran teologi yang diakui oleh penguasa
politik pada waktu itu, yaitu Sunni. Berarti Muktazilah sebagai kelompok penentang
arus). Doktrin Muktazilah terkenal dengan lima azas (ushul al-khamsah) yaitu:
1. meniadakan (menafikan) sifat-sifat Tuhan dan menetapkan zat-Nya
2. Janji dan ancaman Tuhan (al-wa’ad dan al-wa’id)
3. Keadilan Tuhan (al-‘adalah)
4. Al-Manzilah baina al-manzilatain (posisi diatara dua posisi)
5. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.

Dari lima azas tersebut – menurut Muktazilah – Tuhan terikat dengan kewajiban-
kewajiban. Tuhan wajib memenuhi janjinya. Ia berkewajiban memasukkan orang
yang baik ke surga dan wajib memasukkan orang yang jahat ke neraka, dan
kewajiban-kewajiban lain. Pandangan-pandangan kelompok ini menempatkan akal
manusia dalam posisi yang kuat. Sebab itu kelompok ini dimasukkan ke dalam
kelompok teologi rasional dengan sebutan Qadariah.

Sebaliknya, aliran teologi tradisional (Jabariah) berpendapat bahwa Tuhan


mempunyai sifat (sifat 20, sifat 13, dan maha sifat). Ia maha kuasa, memiliki
kehendak mutlak. Kehendak Tuhan tidak terikat dengan apapun. Karena itu ia
mungkin saja menempatkan orang yang baik ke dalam neraka dan sebaliknya
mungkin pula ia menempatkan orang jahat ke dalam surga, kalau Ia menghendaki.
Dari faham Jabariah inilah ilmu-ilmu kebatinan berkembang di sebagaian umat
Islam.

3. Konsep Ketuhanan dalam Islam

Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang
menjadi penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia.
Orang yang mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-
Quran konotasinya ada dua kemungkinan, yaitu Allah, dan selain Allah. Subjektif
(hawa nafsu) dapat menjadi ilah (tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon,
binatang, dan lain-lain dapat pula berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti
dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165, sebagai berikut:

‫ب ه‬
ِ‫َّللا‬ ِ ‫َّللاِ أ َ ْندَادًا ي ُِحبُّونَ ُه ْم َك ُح‬
‫ُون ه‬ِ ‫اس َم ْن يَت ه ِخذُ ِم ْن د‬
ِ ‫َو ِمنَ النه‬
Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan
terhadap Allah. Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah.

Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah menganut konsep


tauhid (monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari ungkapan-
ungkapan yang mereka cetuskan, baik dalam do’a maupun acara-acara ritual. Abu
Thalib, ketika memberikan khutbah nikah Nabi Muhammad dengan Khadijah
(sekitar 15 tahun sebelum turunya Al-Quran) ia mengungkapkan kata-kata
Alhamdulillah. (Lihat Al-Wasith,hal 29). Adanya nama Abdullah (hamba Allah)
telah lazim dipakai di kalangan masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Quran.
Keyakinan akan adanya Allah, kemaha besaran Allah, kekuasaan Allah dan lain-
lain, telah mantap. Dari kenyataan tersebut timbul pertanyaan apakah konsep
ketuhanan yang dibawakan Nabi Muhammad? Pertanyaan ini muncul karena Nabi
Muhammad dalam mendakwahkan konsep ilahiyah mendapat tantangan keras dari
kalangan masyarakat. Jika konsep ketuhanan yang dibawa Muhammad sama
dengan konsep ketuhanan yang mereka yakini tentu tidak demikian kejadiannya.

Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam dikemukakan dalam
Al-Quran surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai berikut;

‫س َو ْالقَ َم َر لَيَقُولُ هن ه‬
َ‫َّللاُ فَأَنهى يُؤْ فَ ُكون‬ ‫س هخ َر ال ه‬
َ ‫ش ْم‬ َ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬
َ ‫ض َو‬ ‫سأ َ ْلت َ ُه ْم َم ْن َخلَقَ ال ه‬
ِ ‫س َم َوا‬ َ ‫َولَئِ ْن‬

Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan bumi, dan
menundukkan matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah.

Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu berarti
orang itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang baru laik dinyatakan
bertuhan kepada Allah jika ia telah memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas
dasar itu inti konsep ketuhanan Yang Maha Esa dalam Islam adalah memerankan
ajaran Allah yaitu Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan bukan
sekedar Pencipta, melainkan juga pengatur alam semesta.
Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah sebagaimana
dinyatakan dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah pernyataan lain sebagai
jawaban atas perintah yang dijaukan pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika
Allah yang harus terbayang dalam kesadaran manusia yang bertuhan Allah adalah
disamping Allah sebagai Zat, juga Al-Quran sebagai ajaran serta Rasullullah
sebagai Uswah hasanah.

March 04, 2016


Makalah KEIMANAN dan KETAQWAAN (Matkul Agama Islam)

Keimanan dan Ketaqwaan

Disusun Oleh:

NAMA : Fita Choiyanti


NIM : 201553023
PROGDI : SISTEM INFORMASI
FAKULTAS : TEKNIK
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MURIA KUDUS
2015

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kita dan tak lupa pula kita mengirim
salam dan salawat kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang telah
membawakan kita suatu ajaran yang benar yaitu agama Islam, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Keimanan dan Ketaqwaan” ini
dengan lancar.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis
peroleh dari berbagai sumber yang berkaitan dengan agama islam serta infomasi
dari media massa yang berhubungan dengan agama islam, tak lupa penulis ucapkan
terima kasih kepada pengajar matakuliah Pendidikan Agama Islam atas bimbingan
dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada pihak-pihak yang telah
mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita
semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai implementasi iman
dan takwa dalam kehidupan modern, khususnya bagi penulis. Memang makalah ini
masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Kudus, 29
Oktober 2015

Penulis

Fita
Choiyanti

Daftar isi

KATA PENGANTAR
Daftar isi
ABSTRAK
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Masalah
1.4 Manfaat
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Iman
2. Tanda-tanda Orang yang Beriman
3. Pengertian Taqwa
4. Korelasi antara Keimanan dan Ketaqwaan
BAB III KESIMPULAN
BAB IV
SARAN
DAFTAR PUSTAKA

ABSTRAK

Pada setiap agama, keimanan merupakan unsur pokok yang harus dimiliki
oleh setiap penganutnya. Jika kita ibaratkan dengan sebuah bangunan, keimanan
adalah pondasi yang menopang segala sesuatu yang berada diatasnya, kokoh
tidaknya bangunan itu sangat tergantung pada kuat tidaknya pondasi tersebut..
Meskipun demikian, keimanan saja tidak cukup. Keimanan harus diwujudkan
dengan amal perbuatan yang baik, yang sesuai dengan ajaran agama yang kita anut.
Keimanan baru sempurna, jika diyakini oleh hati, diikrarkan oleh lisan, dan
dibuktikan dalam segala perilaku kehidupan sehari – hari.Iman adalah percaya atau
yakin, keimanan berarti kepercayaan atau keyakinan. Dengan demikian, rukun iman
adalah dasar, inti, atau pokok – pokok kepercayaan yang harus diyakini oleh setiap
pemeluk agama Islam yakni percaya allah, percaya pada para Rasul, percaya pada
malaikakt dan kitab allah, percaya pada risalah hari bangkit , pokok agama serta rela
pada ketentuan allah. Sedangkan Taqwa berasal dari kata waqa, yaqi , wiqayah,
yang berarti takut, menjaga, memelihara dan melindungi.Sesuai dengan makna
etimologis tersebut, maka taqwa dapat diartikan sikap memelihara keimanan yang
diwujudkan dalam pengamalan ajaran agama Islam secara utuh dan konsisten (
istiqomah ). Keimanan dan Ketakwaan sangat berperan dan berpengaruh penting
buat manusia dalam menjalani kehidupan hal ini dikarenakan keimanan dan
ketakwaan sebenarnya telah melekat pada manusia serta keimanan dan ketakwaan
jugalah yang membentuk kerakteristik dan sifat kebaikan manusia.
4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia dalam menjalani kehidupan selalu berinteraksi dengan manusia lain


atau dengan kata lain melakukan interaksi sosial. Dalam melakukan interaksi sosial
manusia harus memiliki akhlak yang baik agar dalam proses interaksi tersebut tidak
mengalami hambatan atau masalah dengan manusia lain. Proses pembentuk akhlak
sangat berperan dengan masalah keimanan dan ketakwaan seseorang. Keimanan
dan Ketakwaan seseorang berbanding lurus dengan akhlak seseorang atau dengan
kata lain semakin baik keimanan dan ketakwaan seseorang maka semakin baik pula
akhlak seseorang hal ini karena keimanan dan ketakwaan adalah modal utama untuk
membentuk pribadi seseorang. Keimanan dan ketakwaan sebenarnya potensi yang
ada pada manusia sejak ia lahir dan melekat pada dirinya hanya saja sejalan dengan
pertumbuhan dan perkembangan seseorang yang telah terjamah oleh lingkungan
sekitarnya maka potensi tersebut akan semakin muncul atau sebaliknya potensi itu
akan hilang secara perlahan.
Saat ini keimanan dan ketakwaan telah dianggap sebagai hal yang biasa, oleh
masyarakat umum, bahkan ada yang tidak mengetahui sama sekali arti yang
sebenarnya dari keimanan dan ketakwaan itu, hal ini dikarenakan manusia selalu
menganggap remeh tentang hal itu dan mengartikan keimanan itu hanya sebagai arti
bahasa, tidak mencari makna yang sebenarnya dari arti bahasa itu dan membiarkan
hal tersebut berjalan begitu saja. Oleh karena itu dari persoalan dan masalah-
masalah yang terpapar diataslah yang melatar belakangi kelompok kami untuk
membahas dan mendiskusikan tentang keimanan dan ketakwaan yang kami
bukukan menjadi sebuah makalah kelompok.
5

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian iman?


2. Bagaimana tanda-tanda orang yang beriman?
3. Apa pengertian takwa?
4. Bagaimana korelasi antara keimanan dan ketakwaan?

1.3 Tujuan Masalah

1. Mendeskripsikan pengertian iman


2. Memaparkan tanda-tanda orang yang beriman
3. Mendeskripsikan pengertian takwa
4. Menjelaskan korelasi antara keimanan dan ketakwaan

1.4 Manfaat

1. Bagi penulis : melatih potensi penulis dalam menyusun makalah


2. Bagi pembaca : dapat menambah pengetahuan tentang keimanan dan
ketawaan serta mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari

6
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Iman

Iman menurut bahasa adalah yakin, keimanan berarti keyakinan. Dengan


demikian, rukun iman adalah dasar, inti, atau pokok – pokok kepercayaan yang
harus diyakini oleh setiap pemeluk agama Islam. Kata iman juga berasal dari kata
kerja amina-yu’manu – amanan yang berarti percaya. Oleh karena itu iman berarti
percaya menunjuk sikap batin yang terletak dalam hati. Akibatnya, orang yang
percaya kepada Allah dan selainnya seperti yang ada dalam rukun iman, walaupun
dalam sikap kesehariannya tidak mencerminkan ketaatan atau kepatuhan (taqwa)
kepada yang telah dipercayainya, masih disebut orang yang beriman. Hal itu
disebabkan karena adanya keyakinan mereka bahwa yang tahu tentang urusan hati
manusia adalah Allah dan dengan membaca dua kalimah syahadat telah menjadi
Islam.
Dalam surah al-Baqarah ayat 165 :
َ‫اس َو ِمن‬ِ َّ‫ون ِمن َيت َّ ِخذ َمن الن‬ ِ ‫َللاِ د‬ َّ ‫ب ي ِحبُّونَهم أَندَادًا‬ َّ ۖ َ‫شدُّ آ َمنوا َوالَّذِين‬
ِ ‫َللاِ َكح‬ َ َ ‫ظلَموا الَّذِينَ َي َرى َولَو ۗ ِ َّلِلِ حبًّا أ‬
َ
‫اب َي َرونَ ِإذ‬َ َ‫َللاَ َوأ َ َّن َج ِميعًا ِ َّلِلِ الق َّوة َ أ َ َّن ال َعذ‬
َّ ‫شدِيد‬
َ ‫ب‬ِ ‫ال َعذَا‬
Artinya :
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan
selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-
orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya
orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada
hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah
amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”
Dalam hadits diriwayatkan Ibnu Majah Atthabrani, iman didefinisikan dengan
keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan amal
perbuatan (Al-Immaanu ‘aqdun bil qalbi waigraarun billisaani wa’amalun bil
arkaan). Dengan demikian, iman merupakan kesatuan atau keselarasan antara hati,
ucapan, dan laku perbuatan, serta dapat juga dikatakan sebagai pandangan dan sikap
hidup atau gaya hidup.
3. Pengertian Taqwa

Taqwa berasal dari kata waqa, yaqi , wiqayah, yang berarti takut, menjaga,
memelihara dan melindungi.Sesuai dengan makna etimologis tersebut, maka taqwa
dapat diartikan sikap memelihara keimanan yang diwujudkan dalam pengamalan
ajaran agama Islam secara utuh dan konsisten ( istiqomah ).
Seorang muslim yang bertaqwa pasti selalu berusaha melaksanakan perintah
Tuhannya dan menjauhi segala laranganNya dalam kehidupan ini.
Karakteristik orang – orang yang bertaqwa, secara umum dapat dikelompokkan
kedalam lima kategori atau indicator ketaqwaan.
A. Iman kepada Allah, para malaikat, kitab – kitab dan para nabi. Dengan kata
lain, instrument ketaqwaan yang pertama ini dapat dikatakan dengan memelihara
fitrah iman.
B. Mengeluarkan harta yang dikasihnya kepada kerabat, anak yatim, orang –
orang miskin, orang – orang yang terputus di perjalanan, orang – orang yang
meminta – minta dana, orang – orang yang tidak memiliki kemampuan untuk
memenuhi kewajiban memerdekakan hamba sahaya. Indikator taqwa yang kedua
ini, dapat disingkat dengan mencintai sesama umat manusia yang diwujudkan
melalui kesanggupan mengorbankan harta.
C. Mendirikan solat dan menunaikan zakat, atau dengan kata lain, memelihara
ibadah formal.
D. Menepati janji, yang dalam pengertian lain adalah memelihara kehormatan
diri.
E. Sabar disaat kepayahan, kesusahan dan diwaktu perang, atau dengan kata lain
memiliki semangat perjuangan.

2.5

Implementasi Iman Ditengah Problematika Tantangan Dan Resiko Dalam


Kehidupan Modern
Problem-problem manusia dalam kehidupan modern adalah munculnya
dampak negatif (residu), mulai dari berbagai penemuan teknologi yang
berdampak terjadinya pencemaran lingkungan, rusaknya habitat hewan maupun
tumbuhan, munculnya beberapa penyakit, sehingga belum lagi dalam peningkatan
yang makro yaitu berlobangnya lapisan ozon dan penasan global akibat akibat
rumah kaca.
Aktualisasi taqwa adalah bagian dari sikap bertaqwa seseorang. Karena
begitu pentingnya taqwa yang harus dimiliki oleh setiap mukmin dalam
kehidupan dunia ini sehingga beberapa syariat islam yang diantaranya puasa
adalah sebagai wujud pembentukan diri seorang muslim supaya menjadi orang
yang bertaqwa, dan lebih sering lagi setiap khatib pada hari jum’at atau shalat hari
raya selalu menganjurkan jamaah untuk selalu bertaqwa. Begitu seringnya
sosialisasi taqwa dalam kehidupan beragama membuktikan bahwa taqwa adalah
hasil utama yang diharapkan dari tujuan hidup manusia (ibadah).
Seorang muslim yang beriman tidak ubahnya seperti binatang, jin dan iblis
jika tidak mangimplementasikan keimanannya dengan sikap taqwa, karena
binatang, jin dan iblis mereka semuanya dalam arti sederhana beriman kepada
Allah yang menciptakannya, karena arti iman itu sendiri secara sederhana adalah
“percaya”, maka taqwa adalah satu-satunya sikap pembeda antara manusia dengan
makhluk lainnya. Seorang muslim yang beriman dan sudah mengucapkan dua
kalimat syahadat akan tetapi tidak merealisasikan keimanannya dengan bertaqwa.
Taqwa adalah sikap abstrak yang tertanam dalam hati setiap muslim, yang
aplikasinya berhubungan dengan syariat agama dan kehidupan sosial. Seorang
muslim yang bertaqwa pasti selalu berusaha melaksanakan perintah Tuhannya dan
menjauhi segala laranganNya dalam kehidupan ini. Yang menjadi permasalahan
adalah umat islam berada dalam kehidupan modern yang serba mudah, serba bisa
bahkan cenderung serba boleh. Setiap detik dalam kehidupan umat islam selalu
berhadapan dengan hal-hal yang dilarang agamanya akan tetapi sangat menarik
naluri kemanusiaanya, ditambah lagi kondisi religius yang kurang mendukung.
Keadaan seperti ini sangat berbeda dengan kondisi umat islam terdahulu yang
kental dalam kehidupan beragama dan situasi zaman pada waktu itu yang cukup
mendukung kualitas iman seseorang.
Adanya kematian sebagai sesuatu yang pasti dan tidak dapat dikira-kirakan
serta adanya kehidupan setelah kematian menjadikan taqwa sebagai obyek vital
yang harus digapai dalam kehidupan manusia yang sangat singkat ini. Memulai
untuk bertaqwa adalah dengan mulai melakukan hal-hal yang terkecil seperti
menjaga pandangan. Karena arti taqwa itu sendiri sebagaimana dikatakan oleh
Imam Jalaluddin Al-Mahally dalam tafsirnya bahwa arti taqwa adalah “imtitsalu
awamrillahi wajtinabinnawahih”, menjalankan segala perintah Allah dan
menjauhi segala laranganya.
Beberapa problem yang sering dihadapi dalam kehidupan sehari-hari,
misalnya:
Problem dalam Hal Ekonomi
Semakin lama manusia semakin menganggap bahwa dirinya merupakan
homo economicus, yaitu merupakan makhluk yang memenuhi kebutuhan
hidupnya dan melupakan dirinya sebagai homo religious yang erat dengan kaidah
– kaidah moral. Ekonomi kapitalisme materialisme yang menyatakan bahwa
berkorban sekecil – kecilnya dengan menghasilkan keuntungan yang sebesar –
besarnya telah membuat manusia menjadi makhluk konsumtif yang egois dan
serakah.
Problem dalam Bidang Moral
Pada hakikatnya Globalisasi adalah sama halnya dengan Westernisasi. Ini
tidak lain hanyalah kata lain dari penanaman nilai – nilai Barat yang
menginginkan lepasnya ikatan – ikatan nilai moralitas agama yang menyebabkan
manusia Indonesia pada khususnya selalu “berkiblat” kepada dunia Barat dan
menjadikannya sebagai suatu symbol dan tolok ukur suatu kemajuan.
Problem dalam Bidang Agama
Tantangan agama dalam kehidupan modern ini lebih dihadapkan kepada
faham Sekulerisme yang menyatakan bahwa urusan dunia hendaknya dipisahkan
dari urusan agama. Hal yang demikian akan menimbulkan apa yang disebut
dengan split personality di mana seseorang bisa berkepribadian ganda. Misal pada
saat yang sama seorang yang rajin beribadah juga bisa menjadi seorang koruptor.
Problem dalam Bidang Keilmuan
Masalah yang paling kritis dalam bidang keilmuan adalah pada corak
kepemikirannya yang pada kehidupan modern ini adalah menganut faham
positivisme dimana tolok ukur kebenaran yang rasional, empiris, eksperimental,
dan terukur lebih ditekankan. Dengan kata lain sesuatu dikatakan benar apabila
telah memenuhi criteria ini. Tentu apabila direnungkan kembali hal ini tidak
seluruhnya dapat digunakan untuk menguji kebenaran agama yang kadang kala
kita harus menerima kebenarannya dengan menggunakan keimanan yang tidak
begitu poluler di kalangan ilmuwan – ilmuwan karena keterbatasan rasio manusia
dalam memahaminya.
Perbedaan metodologi yang lain bahwa dalam keilmuan dikenal istilah
falsifikasi. Artinya setiap saat kebenaran yang sudah diterima dapat gugur ketika
ada penemuan baru yang lebih akurat. Sangat jauh dan bertolak belakang dengan
bidang keagamaan.Jika anda tidak salah lihat, maka akan banyak anda temukan
banyak ilmuwan yang telah menganut faham atheis (tidak percaya adanya tuhan)
akibat dari masalah – masalah dalam bidang keilmuan yang telah tersebut di atas.

Anda mungkin juga menyukai