Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH HIPERTENSI

Ditujukan untuk memenuhi tugas Interaksi Obat

Disusun Oleh :

Irfan Ryan Nur S. 3351161405


Irfayani H. 3351161407
Meiske Yovani Claudia Polii 3351161471
Vicky Iwan Francha 3351161526
Vera Febrianti 3351161565
Muchamad Rizal 3351161402
Sabrila 3351161413
Marleni Margosu 3351161457
Farida Sonya 3351161510
Utami Nindya L D 3351161562

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2017

0
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah


Penyakit darah tinggi yang lebih dikenal sebagai hipertensi merupakan
penyakit tekanan darah arterial tinggi dimana tekanan sistoliknya melebihi 140
mmHg dan lebih dari 90 mmHg untuk diastolik. Mengingat dampak yang
ditimbulkannya baik jangka pendek maupun jangka panjang sehingga
membutuhkan penanggulangan jangka panjang yang menyeluruh dan terpadu.
Penyakit hipertensi menimbulkan angka morbiditas (kesakitan) dan
mortalitasnya (kematian) yang tinggi. Penyakit hipertensi merupakan penyakit
yang timbul akibat adanya interaksi dari berbagai faktor resiko yang dimiliki
seseorang. Berbagai penelitian telah menghubungkan antara berbagai faktor
resiko terhadap timbulnya hipertensi. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan tenyata prevalensi (angka kejadian) hipertensi meningkat dengan
bertambahnya usia. Faktor lainnya antara lain dengan adanya gaya hidup
masyarakat kota yang berhubungan dengan resiko penyakit hipertensi seperti
stress, obesitas (kegemukan), kurangnya olah raga, merokok, alkohol, dan
makan makanan yang tinggi kadar lemaknya. Peran faktor genetik terhadap
timbulnya hipertensi terbukti dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi
lebih banyak pada pada kembar monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot
(berbeda sel telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi
primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi,
bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan
dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala hipertensi
dengan kemungkinan komplikasinya. Secara umum masyarakat sering
menghubungkan antara konsumsi garam dengan hipertensi. Garam merupakan
hal yang sangat penting pada mekanisme timbulnya hipertensi. Pengaruh
asupan garam terhadap hipertensi melalui peningkatan volume plasma (cairan
tubuh) dan tekanan darah. Keadaan ini akan diikuti oleh peningkatan ekskresi
(pengeluaran) kelebihan garam sehingga kembali pada keadaan hemodinamik

1
(sistem pendarahan) yang normal. Pada hipertensi esensial mekanisme ini
terganggu, di samping ada faktor lain yang berpengaruh. Hubungan antara
stress dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis, yang dapat
meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Apabila stress menjadi
berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Hal ini
secara pasti belum terbukti, akan tetapi pada binatang percobaan yang
diberikan pemaparan tehadap stress ternyata membuat binatang tersebut
menjadi hipertensi. Obesitas merupakan ciri dari populasi penderita hipertensi.
Curah jantung dan sirkulasi volume darah penderita hipertensi yang obesitas
lebih tinggi dari penderita hipertensi yang tidak obesitas. Pada obesitas tahanan
perifer berkurang atau normal, sedangkan aktivitas saraf simpatis meninggi
dengan aktivitas renin plasma yang rendah. Olah raga ternyata juga
dihubungkan dengan pengobatan terhadap hipertensi. Melalui olah raga yang
isotonik dan teratur (aktivitas fisik aerobik selama 30-45 menit/hari) dapat
menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah. Selain itu
dengan kurangnya olah raga maka resiko timbulnya obesitas akan bertambah,
dan apabila asupan garam bertambah maka resiko timbulnya hipertensi juga
akan bertambah. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya gangguan
atau kerusakan pada pembuluh darah turut berperan pada penyakit hipertensi.
Faktor tersebut antara lain merokok, asam lemak jenuh dan tingginya
kolesterol dalam darah. Selain faktor-faktor tersebut di atas, faktor lain yang
mempengaruhi terjadinya hipertensi antara lain alkohol, gangguan mekanisme
pompa natrium (yang mengatur jumlah cairan tubuh), angiotensin-aldosteron
(hormon-hormon yang mempengaruhi tekanan darah). Penyakit hipertensi
timbul akibat adanya interaksi dari berbagai faktor sehingga dari seluruh faktor
yang telah disebutkan diatas, faktor mana yang lebih berperan terhadap
timbulnya hipertensi tidak dapat diketahui dengan pasti. Oleh karena itulah
maka pencegahan penyakit hipertensi yang antara lain dapat dilakukan dengan
menjalankan gaya hidup sehat menjadi sangat penting.

2
I.2 Tujuan
Diharapkan mahasiswa mampu memahami, menjelaskan, serta
mengaplikasikan definisi, epidemiologi, etiologi, faktor resiko, gejala atau
gambaran klinis, pemeriksaan untuk diagnosis, pemeriksaan penunjang,
terapi, komplikasi, dan prognosis dari penyakit hipertensi.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi dan Prevalensi


Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan
tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg. Menurut Menkes, proporsi angka
kematian akibat PTM meningkat dari 41,7% pada tahun 1995 menjadi 49,9%
pada tahun 2001 dan 59,5% pada tahun 2007. PTM seperti stroke, hipertensi
dan penyakit jantung meliputi lebih dari sepertiga penyebab kematian,
dimana stroke menjadi penyebab kematian terbanyak sebesar 15,4%,
hipertensi 6,8%, penyakit jantung iskemik 5,1%, dan penyakit jantung 4,6%
dari populasi kematian pada semua umur di Indonesia. Prevalensi hipertensi
di Indonesia mencapai 31,7% dari populasi pada usia 18 tahun ke atas. Dari
jumlah itu, 60% penderita hipertensi berakhir pada stroke. Sedangkan sisanya
pada jantung, gagal ginjal, dan kebutaan. Prevalensi hipertensi yang tinggi
terdapat baik pada populasi laki-laki maupun perempuan, di perkotaan
ataupun di pedesaan, dimana semakin tinggi usia semakin tinggi pula
prevalensinya atau bertambahnya usia kemungkinan terkena hipertensi juga
menjadi lebih besar.

II.2 Tekanan Darah


Tekanan darah merupakan faktor yang amat penting pada sistem sirkulasi.
Peningkatan atau penurunan tekanan darah akan mempengaruhi homeostatsis
di dalam tubuh. Dan jika sirkulasi darah menjadi tidak memadai lagi, maka
terjadilah gangguan pada sistem transport oksigen, karbondioksida, dan hasil-
hasil metabolisme lainnya. Di lain pihak fungsi organ-organ tubuh akan
mengalami gangguan seperti gangguan pada proses pembentukan air seni di
dalam ginjal ataupun pembentukan cairan cerebrospinalis dan lainnya.
Sehingga mekanisme pengendalian tekanan darah penting dalam rangka
memeliharanya sesuai dengan batas-batas normalnya, yang dapat
mempertahankan sistem sirkulasi dalam tubuh.

4
Terdapat beberapa pusat yang mengawasi dan mengatur perubahan tekanan
darah, yaitu :
1. Sistem syaraf yang terdiri dari pusat-pusat yang terdapat di batang otak,
misalnya pusat vasomotor dan diluar susunan syaraf pusat, misalnya
baroreseptor dan kemoreseptor.
2. Sistem humoral atau kimia yang dapat berlangsung lokal atau sistemik,
misalnya renin-angiotensin, vasopressin, epinefrin, norepinefrin,
asetilkolin, serotonin, adenosine dan kalsium, magnesium, hydrogen,
kalium, dan sebagainya.
3. Sistem hemodinamik yang lebih banyak dipengaruhi oleh volume darah,
susunan kapiler, serta perubahan tekanan osmotik dan hidrostatik di bagian
dalam dan di luar sistem vaskuler.

II.3 Patogenesis
Patogenesis hipertensi dimulai dari tekanan darah yang dipengaruhi oleh
curah jantung dan tahanan perifer serta dipengaruhi juga oleh tekanan atrium
kanan. Pada stadium awal sebagian besar pasien hipertensi menunjukkan
curah jantung yang meningkat dan kemudian diikuti dengan kenaikan tahanan
perifer yang mengakibatkan kenaikan tekanan darah yang menetap.
Peningkatan tahanan perifer pada hipertensi esensial terjadi secara bertahap
dalam waktu yang lama sedangkan proses autoregulasi terjadi dalam waktu
yang singkat. Peningkatan curah jantung dan tahanan perifer dapat terjadi
akibat dari berbagai faktor seperti genetik, aktivitas saraf simpatis, asupan
garam, dan metabolisme natrium dalam ginjal dan faktor endotel mempunyai
peran dalam peningkatan tekanan darah pada hipertensi esensial.

Peran faktor genetik terhadap hipertensi esensial dapat dibuktikan dengan


kejadian hipertensi lebih banyak dijumpai pada pasien kembar monozigot
dari pada heterozigot, jika salah satu diantaranya menderita hipertensi.
Pengaruh asupan garam terhadap terjadinya hipertensi terjadi melalui
peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah. Faktor lain

5
yang ikut berperan, yaitu sistem reninangiotensin yang berperan penting
dalam pengaturan tekanan darah. Produksi renin dipengaruhi oleh berbagai
faktor antara lain stimulasi saraf simpatis.

Renin berperan pada proses konversi angiotensin I menjadi angiotensin II.


Angiotensin II menyebabkan sekresi aldosteron yang mengakibatkan
menyimpan garam dalam air. Keadaan ini yang berperan pada timbulnya
hipertensi. Faktor lain adalah faktor lingkungan seperti stres psikososial,
obesitas, merokok, dan kurang olah raga juga berpengaruh terhadap
timbulnya hipertensi primer. Penelitian epidemiologi membuktikan bahwa
obesitas merupakan ciri khas pada populasi pasien hipertensi, dibuktikan pula
bahwa faktor ini berkaitan yang erat dengan timbulnya hipertensi dikemudian
hari. Obesitas atau kelebihan berat badan akan meningkatkan kerja jantung
dan dapat mengebabkan hipertropi jantung dalam jangka lama dan tekanan
darah akan cenderung naik. Selain itu fungsi endokrin juga terganggu, sel-sel
beta pancreas akan membesar, insulin plasma meningkat, dan toleransi
glukosa juga meningkat.

Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui saraf simpatis yang
dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Stres yang berlangsung
lama akan dapat mengakibatkan peninggian tekanan darah yang menetap.
Dalam keadaan stres pembuluh darah akan menyempit sehingga menaikkan
tekanan darah. Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida
yang ada dalam rokok yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak
lapisan endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses
arteriosklerosis dan tekan darah tinggi. Selain itu, merokok juga
meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-
otot jantung. Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi, Dimana peminum
alkohol akan cenderung hipertensi. Namun diduga, peningkatan kadar
kortisol, dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah
berperan dalam menaikkan tekanan darah. Alkohol juga diduga mempunyai
efek pressor langsung pada pembuluh darah, karena alkohol menghambat

6
natrium dan kalium, sehingga terjadi peningkatan natrium intrasel dan
menghambat pertukaran natrium dan kalsium seluler yang akan memudahkan
kontraksi sel otot. Otot pembuluh darah akan menjadi lebih sensitive
terhadap zat-zat pressor seperti angiotensin dan katekolamin.

II.4 Klasifikasi Hipertensi


Klasifikiasi hipertensi bertujuan untuk memudahkan penanganan gangguan
hipertensi. Banyak cara mengklasifikasikan hipertensi kedalam beberapa
golongan, seperti klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya,
berdasarkan TDS da TDD-nya ataupun berdasarkan gejala kliniknya.
a. Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Penyebab
Hipertensi Primer (Hipertensi Esensial) adalah suatu peningkatan persisten
tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme kontrol
homeostatik normal tanpa penyebab sekunder yang jelas. Hipertensi
essensial meliputi lebih kurang 95% dari seluruh penderita hipertensi dan
5% sisanya disebabkan oleh hipertensi sekunder. Hipertensi Sekunder
(Hipertensi non Esensial) adalah hipertensi yang dapat diketahui
penyebabnya. Hipertensi sekunder meliputi lebih kurang 5% dari total
penderita hipertensi. Contoh kelainan yang menyebabkan hipertensi
sekunder adalah sebagai hasil dari salah satu atau kombinasi dari akibat
stres yang parah, penyakit atau gangguan ginjal, kehamilan dan pemakaian
hormon pencegah kehamilan, pemakaian obat-obatan seperti heroin,
kokain, dan sebagainya, cedera di kepala atau perdarahan di otak yang
berat, dan tumor atau sebagai reaksi dari pembedahan.

7
b. Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan TDS dan TDD
Klasifikasi Tekanan Darah menurut The Seventh Join National Committee
(JNC VII, 2003) :

TEKANAN DARAH SISTOLE (mmHg) DIASTOLE (mmHg)


Normal < 120 dan < 80
Prahipertensi 120 – 139 atau 80 – 89
Hipertensi tingkat 1 140 – 159 atau 90 – 99
Hipertensi tingkat 2 ≥ 160 atau ≥ 100
Klasifikasi Tekanan Darah Menurut NICE (National Institute for Health
and Clinical Excelence) Clinical Guide 127, Agustus 2011 :

TEKANAN DARAH SISTOLE / DIASTOLE (mmHg)


Hipertensi tingkat 1 ≥ 140/90, average BP ≥135/85
Hipertensi tingkat 2 ≥ 160/100, average BP ≥ 150/95
Hipertensi berat ≥ 180/110

c. Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Gejala-gejala Klinik


 Hipertensi Benigna
Pada hipertensi benigna, tekanan darah sistolik maupun diastolik belum
begitu meningkat, bersifat ringan atau sedang dan belum tampak
kelainan atau kerusakan dari target organ seperti mata, otak, jantung,
dan ginjal. Juga belum nampak kelainan fungsi dari alat-alat tersebut
yang sifatnya berbahaya.
 Hipertensi Maligna
Disebut juga accelerated hypertension, adalah hipertensi berat yang
disertai kelainan khas pada retina, ginjal, dan kelainan serebral. Pada
retina terjadi kerusakan sel endotelial yang akan menimbulkan
obliterasi atau robeknya retina. Apabila diagnosis hipertensi maligna
ditegakkan, pengobatan harus segera dilakukan. Diupayakan tekanan
darah sistolik mencapai 120-139 mmHg. Hal ini perlu dilakukan karena
insidensi terjadinya perdarahan otak atau payah jantung pada hipertensi
maligna sangat besar.
 Hipertensi ensefalopati

8
Merupakan komplikasi hipertensi maligna yang ditandai dengan
gangguan pada otak. Secara klinis bermanifestasi dengan sakit kepala
yang hebat, nausea, dan muntah. Tanda gangguan serebral seperti
kejang ataupun koma, dapat terjadi apabila tekanan darah tidak segera
diturunkan. Keadaan ini biasanya timbul apabila tekanan diastolik
melebihi 140 mmHg. Hipertensi berat yang diikuti tanda-tanda payah
jantung, perdarahan otak, perdarahan pasca operasi merupakan keadaan
kedaruratan hipertensi yang memerlukan penanganan secara seksama.
d. Klasifikasi berdasarkan bentuk hipertensi
Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) yaitu peningkatan tekanan
diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik. Biasanya ditemukan
pada anak-anak dan dewasa muda.Hipertensi campuran (sistol dan diastol
yang meninggi) yaitu peningkatan tekanan darah pada sistol dan diastol.
Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) yaitu peningkatan
tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik. Umumnya
ditemukan pada usia lanjut.

II.5 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II
dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE
memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah.
Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi
angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah
menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci
dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama. Aksi pertama adalah
meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH
diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk
mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat
sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi
pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan
ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian
intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan

9
meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi
aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang
memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan
ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara
mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan
diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler
yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.
Patogenesis dari hipertensi esensial merupakan multifaktorial dan
sangatkomplek. Faktor-faktor tersebut merubah fungsi tekanan darah
terhadap perfusi jaringan yang adekuat meliputi mediator hormon, aktivitas
vaskuler, volume sirkulasi darah, kaliber vaskuler, viskositas darah, curah
jantung, elastisitas pembuluh darah dan stimulasi neural. Patogenesis
hipertensi esensial dapat dipicu oleh beberapa faktor meliputi faktor genetik,
asupan garam dalam diet, tingkat stress dapat berinteraksi untuk
memunculkan gejala hipertensi. Perjalanan penyakit hipertensi esensial
berkembang dari hipertensi yang kadangkadang muncul menjadi hipertensi
yang persisten. Setelah periode asimtomatik yang lama, hipertensi persisten
berkembang menjadi hipertensi dengan komplikasi, dimana kerusakan organ
target di aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan susunan saraf pusat.
Progresifitas hipertensi dimulai dari prehipertensi pada pasien umur 10-30
tahun (dengan meningkatnya curah jantung) kemudian menjadi hipertensi
dini pada pasien umur 20-40 tahun (dimana tahanan perifer meningkat)
kemudian menjadi hipertensi pada umur 30-50 tahun dan akhirnya menjadi
hipertensi dengan komplikasi pada usia 40-60 tahun.

II.6 Faktor Risiko Hipertensi


1. Merokok
Menurut WHO (1999), individu yang terus menerus menggunakan
tembakau cenderung meningkatkan risiko hipertensi, hal ini disebabkan
karena adanya konsumsi komulatif dari penggunaan tembakau. Apapun

10
yang menimbulkan ketegangan pembuluh darah dapat menaikkan tekanan
darah, termasuk nikotin yang ada dalam rokok. Nikotin merangsang
sistem saraf simpatik, sehingga pada ujung saraf tersebut melepaskan
hormon stres norephinephrine dan segera mengikat hormon receptor alpha.
Hormon ini mengalir dalam pembuluh darah ke seluruh tubuh. Oleh
karena itu, jantung akan berdenyut lebih cepat dan pembuluh darah akan
mengkerut. Selanjutnya akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah
dan menghalangi arus darah secara normal, sehingga tekanan darah akan
meningkat. Sumber lain juga mengatakan nikotin akan meningkatkan
tekanan darah dengan merangsang untuk melepaskan sistem humoral
kimia, yaitu norephinephrin melalui syaraf adrenergik dan meningkatkan
katekolamin yang dikeluarkan oleh medula adrenal. Volume darah
merupakan faktor penting yang harus diperhitungkan pada sistem
pengendalian darah. Karena volume darah dan jumlah kapasitas pembuluh
darah harus selalu sama dan seimbang. Dan jika terjadi perubahan
diameter pembuluh darah (penyempitan pembuluh darah), maka akan
terjadi perubahan pada nilai osmotik dan tekanan hidrostatis di dalam
vaskuler dan di ruang-ruang interstisial di luar pembuluh darah. Tekanan
hidrostatis dalam vaskuler akan meningkat, sehingga tekanan darah juga
akan meningkat.
2. Dislipidemia
Kandungan lemak yang berlebih dalam darah, dapat menyebabkan
timbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah. Hal ini dapat membuat
pembuluh darah menyempit dan akibatnya tekanan darah akan meningkat.

3. Diabetes mellitus
Hipertensi merupakan gangguan sirkulasi darah dimana terjadi
peningkatan tekanan aliran darah dari jantung ke seluruh tubuh. Pada
penderita diabetes mellitus atau kencing manis darah mereka menjadi
sedikit lebit lebih pekat dari pada darah normal karena tingginya
kandungan gula di dalamnya , inilah salah satu faktor timbulnya
hipertensi. Darah mejadi berat dipompa sehingga jantung harus

11
mengeluarkan tenaga ekstra untuk mendorong darah ke seleruh tubuh.
Selain darah yang lebih pekat pada diabetes mellitus dinding pembuluh
darahnya menjadi lebih tebah dan keras, hal ini mengganggu aliran darah
karena ruang yang sempit dan keras . Oleh karena itu penderita diabetes
diberikan obat yang bisa menghambat penggumpalan darah dan ini sangat
membantu untuk menghindari hipertensi dan juga stroke pada penderita
diabetes mellitus
4. Usia > 60 tahun
Terdapat kesepakatan dari para peneliti bahwa prevalensi hipertensi akan
meningkat dengan bertambahnya umur. Hal ini disebabkan karena pada
usia tua diperlukan keadaan darah yang meningkat untuk memompakan
sejumlah darah ke otak dan alat vital lainya. Pada usia tua pembuluh darah
sudah mulai melemah dan dinding pembuluh darah sudah menebal.
Disamping itu, semakin bertambah usia, maka keadaan sistem
kardiovaskulerpun semakin berkurang, seperti ditandai dengan terjadinya
arterioskilosis yang dapat meningkatkan tekanan darah.
5. Jenis kelamin
Pada umumnya insiden pada pria lebih tinggi daripda wanita tetapi usia di
atas 65 tahun insiden wanita lebih tinggi. Pada umumnya wanita akan
mempunyai resiko tinggi terhadap hipertensi apabila telah memasuki masa
menopouse, hal ini disebabkan pada kondisi tersebut terjadi penurunan
produksi estrogen karena proses penuaan, dengan menurunnya produksi
estrogen akan berdampak pada kardiovaskular dimana terjadi penurunan
elastisitas pembuluh darah. Karena tekanan darah juga tergantung pada
kelenturan pembuluh darah dan perubahan hormonal maka dengan
terjadinya penurunan elastisitas pembuluh darah mengakibatkan terjadinya
aterosklerosis. Kondisi ini menyebabkan aliran darah terhambat dan
meningkatkan tekanan darah.
6. Riwayat penyakit kardiovaskular dalam keluarga (wanita < 65 tahun atau
pria < 55 tahun)
Peran faktor riwayat keluarga terhadapa hipertensi esensial dapat dengan
berbagai fakta yang dijumpai, seperti adanya bukti bahwa kejadian
hipertensi lebih banyak dijumpai pada pasien kembar monozigot daripada

12
heterozigot, jika salah satunya diantaranya menderita hipertensi.
Hipertensi akibat dari riwayat keluarga juga disebabkan faktor genetik
pada keluarga tersebut. Beberapa peneliti mengatakan terdapat kelainan
pada gen angiotensinogen tetapi mekanismenya mungkin bersifat
poligenik. Gen angiotensinogen berperan penting dalam produksi zat
penekan angiotensin, yang mana zat tersebut dapat meningkatkan tekanan
darah. Terjadinya perubahan bahan angiostensinogen menjadi menjadi
angiotensin I dan di dalam sirkulasi pulmonal angiotensin I diubah
menjadi angiotensin II dan selanjutnya bahan angiostensin II inilah yang
berperan merangsang beberapa pusat yang penting dan mengakibatkan
terjadinya perubahan tekanan darah. Dalam mekanismenya, bahan
angiotensin II mempengaruhi dan merangsang pusat haus dan minum di
bagian hypothalamus di dalam otak, sehingga menyebabkan rangsangan
yang meningkatkan masukan air dan selain itu juga merangsang pusat
vasomotor dengan akibat meningkatkan rangsangan syaraf simpatis
kepada arteriola, myocardium dan pacu jantung yang mengakibatkan
tekanan darah tinggi atau hipertensi.
7. Penyakit jantung : hipertropi ventrikel kiri, angina / riwayat infark
miokard, riwayat revaskularisasi koroner, gagal jantung.
Infark Miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerosis
tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila
terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui pembuluh darah
tersebut. Karena hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka
kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi dan dapat
terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga
hipertropi ventrikel dapat menimbulkan perubahan-perubahan waktu
hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia
jantung, dan peningkatan resiko pembentukan bekuan. Gagal jantung atau
ketidakmampuan jantung dalam memompa darah yang kembalinya ke
jantung dengan cepat mengakibatkan cairan terkumpul di paru,kaki dan
jaringan lain sering disebut edma. Cairan didalam paru – paru

13
menyebabkan sesak napas,timbunan cairan ditungkai menyebabkan kaki
bengkak atau sering dikatakan edema.
8. Penyakit serebrovaskular (stroke atau serangan iskemia selintas)
Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak, atau akibat
embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan
tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang
memperdarahi otak mengalami hipertropi dan menebal, sehingga aliran
darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya berkurang. Arteri-arteri otak
yang mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga meningkatkan
kemungkinan terbentuknya aneurisma.
9. Nefropati
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan
struktur arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi
dinding pembuluh darah. Organ sasaran utama adalah jantung, otak, ginjal,
dan mata. Pada ginjal, arteriosklerosis akibat hipertensi lama
menyebabkan nefrosklerosis. Gangguan ini merupakan akibat langsung
iskemia karena penyempitan lumen pembuluh darah intrarenal.
Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus
dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak. Terjadilah gagal ginjal
kronik.

10. Retinopati
Hipertensi merusak pembuluh darah kecil pada retina, menyebabkan
dinding mereka menebal dan dengan demikian mempersempit pembuluh
darah terbuka dan mengurangi suplai darah menuju retina. Potongan kecil
pada retina bisa menjadi rusak karena suplai darah tidak tercukupi.
11. Penyakit arteri perifer

II.7 Komplikasi Hipertensi


Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak, atau akibat
embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi.
Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang
memperdarahi otak mengalami hipertropi dan menebal, sehingga aliran darah
ke daerah-daerah yang diperdarahinya berkurang. Arteri-arteri otak yang

14
mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga meningkatkan
kemungkinan terbentuknya aneurisma. Infark Miokard dapat terjadi apabila
arteri koroner yang arterosklerosis tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke
miokardium atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah
melalui pembuluh darah tersebut. Karena hipertensi kronik dan hipertensi
ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat
terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark.
Demikian juga hipertropi ventrikel dapat menimbulkan perubahan-perubahan
waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia
jantung, dan peningkatan resiko pembentukan bekuan. Gagal ginjal dapat
terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kepiler
ginjal, glomerolus. Dengan rusaknya glomerolus, darah akan mengalir
keunit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut
menjadi hipoksia dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerolus,
protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma
berkurang, menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi kronik.
Gagal jantung atau ketidakmampuan jantung dalam memompa darah yang
kembalinya kejantung dengan cepat mengakibatkan cairan terkumpul di
paru,kaki dan jaringan lain sering disebut edma. Cairan didalam paru–paru
menyebabkan sesaknapas,timbunan cairan ditungkai menyebabkan kaki
bengkak atau sering dikatakan edema. Ensefalopati dapat terjadi terjadi
terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang cepat). Tekanan yang
tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan
mendorong cairan ke dalam ruang intertisium diseluruh susunan saraf pusat.
Neuron-neuron disekitarnya kolap dan terjadi koma serta kematian.

II.8 Terapi
1. Tujuan Terapi
Secara keseluruhan tujuan penanganan hipertensi adalah mengurangi
morbiditas dan kematian. Target nilai tekanan darahnya adalah kurang dari
140/90 untuk hipertensi tidak komplikasi dan kurang dari 130/80 untuk

15
penderita diabetes melitus serta ginjal kronik. Tekanan sistole merupakan
indikasi yang baik untuk resiko kardiovaskular daripada tekanan diastole dan
seharusnya dijadikan tanda klinik primer dalam mengontrol hipertensi.

2. Terapi Non Farmakologi


Penderita prehipertensi dan hipertensi sebaiknya dianjurkan untuk
memodifikasi gaya hidup, diantaranya:
 Penurunan berat badan jika kelebihan berat badan
 Melakukan diet makanan yang diambil DASH ( Dietary Approaches tu
Stop Hypertension)
 Mengurangi asupan natrium hingga ≤ 2,4 gram/hari (6 gram/hari Nacl)
 Melakukan aktivitas fisik seperti aerobik
 Menghentikan konsumsi alkohol dan merokok.

3. Terapi Farmakologi
Modifikasi gaya hidup

Tidak tercapai <140/90 mmHg


<130/80 mmHg pada Pasien dengan Penyakit Diabetes dan Ginjal Kronis)

Pilihan Obat Awal

Tanpa Penyakit Lain Dengan Penyakit Lain

Hipertensi Tahap I (TDS Hipertensi Tahap II (TDS Obat untuk hipertensi


140-159 mmHg atau ≥160 mmHg atau TTD ≥ dengan kombinasi dengan
TDD 90-99 mmHg) 100 mmHg) obat penyakit lain:
Umumnya diuretik Kombinasi 2 obat atau Diuretik, ACEI, ARB,
Thiazide lebih. Biasanya diuretik BB, atau CCB
ACEI Thiazid dan ACEI atau
ARB ARB atau BB atau CCB
BB
CCB, atau kombinasi
16
Tidak Tercapai

Optimalisasoi dosis/ dengan penambahan obat sampai TD sasaran


tercapai. Konsultasi dengan Spesialis Hipertensi.

4. Obat-obat Anti Hipertensi


Kebanyakan penderita hipertensi tahap 1 sebaiknya terapi diawali dengan
diuretik thiazide. Penderita hipertensi tahap 2 pada umumnya diberikan terapi
kombinasi, salah satu obatnya diuretik thiazide kecuali terdapat
kontraindikasi.
a. Diuretik
 Thiazide adalah golongan yang dipilih untuk menangani hipertensi,
golongan lainnya efektif juga untuk menurunkan tekanan darah. Penderita
dengan fungsi ginjal yang kurang baik (Laju Filtrasi Glomerolus (LFG)
diatas 30 mL/menit), thiazide merupakan agen diuretik yang paling efektif
untuk menurunkan tekanan darah. Dengan menurunnya fungsi ginjal,
natrium, dan cairan akan terakumulasi maka diuretik jerat Henle perlu
digunakan untuk mengatasi efek dari peningkatan volume dan natrium
tersebut. Hal ini akan mempengaruhi tekanan darah arteri. Efek samping
thiazide adalah hipokalemia, hipomagnesemia, hiperkalsemia,
hiperurisemia, hiperglikemia, hiperlipidemia, dan difunhsi seksual.
Hipokalemia dan hipomagnesemia dapat menyebabkan kelelahan otot atau
kejang. Aritmia jantung dapat terjadi terutama pada pendertia denga terapi
digitalis, pederita dengan hipertropi ventricular kiri, dan penyakit jantung
iskemia.
 Diuretik Hemat Kalium merupakan antihipertensi yang lemah jika
digunakan tunggal. Diuretik hemat kalium dapat mengatasi kekurangan
kalium dan natrium yang disebabkan oleh diuretik lainnya. Efek samping
dapat menyebabkan hiperkalemia terutama pada penderita penyakit ginjal
kronik atau diabetes dan penderita yang diberikan inhibitor ACE, ARB,

17
AINS, atau suplemen kalium secara bersamaan. Epleneron dapat
meningkatkan faktor resiko hiperkalemia dan kontraindikasi dengan
penderita gangguan fungsi ginjal dan diabetes tipe2 disertai proteinuria.
Spironolakton menyebabkan ginekomastia pada 10% penderita, efek ini
jarang terjadi pada penggunaan eplerenon.
 Antagonis Aldisteron merupakan diuretik hemat kalium juga tetapi lebih
berpotensi sebagai antihipertensi dengan onset aksi yang lama (hingga 6
minggu denga spironolakton).
 Jika diuretik dikombinasikan dengan antihipertensi lain akan muncul efek
hipotensi yang disebabkan oleh mekanisme aksi. Banyak anti hipertensi
selain diuretik menginduksi retensi garam dan air yang dilawan aksinya
oleh penggunaan bersama diuretik.
 Sediaan beredar: Bendrofuazid (Cordizide); Klortalidon (Hygroton,
Tenoret, Teronetic); Hidroklortiazid (generik); Indapamid (Natrilix);
Metolazon (Zaroxolyn); Xipamid (Diuresan); Furosemid (generik, Lasix,
Uresix, Furosix); Bumetanid (Burinex); Torasemid (Unat); Amilorid HCl
(generik, Puritrid); Spironolakton (generik, Carpiaton, Letonal); Manitol
(generik).
b. Inhibitor Angiotensin-Converting Enzyme (ACE)
 Inhibitor ACE mencegah perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II
(vasokonstriktor potensial dan stimulus aldosteron). Inhibitor ACE juga
mencegah degredasi bradikinin dan menstimulasi sintesis senyawa
vasodilator lainnya termasuk prostaglandin E2 dan prostasiklin.
 Inhibitor ACE menurunkan aldosteron dan dapat meningkatkan
konsentrasi serum kalium. Efek samping serius lain neutropenia dan
agrunolosit, proteinuria, glomerulonefritis, dan gagal ginjal akut (< 1%).
Batuk kering terjadi lebih dari 20% penderita, karena inhibisi pemecahan
btadikinin. Penurunan LFG disebabkan oleh vasokontriksi angiotensin II
di arteriole eferen. Konsentrasi kreatinin umumnya meningkat, tapi tidak
terlalu signifikan. Agiodema (2% penderita), manifestasi berupa bibir dan
lidah membengkak dan kemungkinan menjadi sulit bernafas.
 Kontraindikasi untuk ibu hamil karena menimbulkan masalah neonatal,
termasuk gagal ginjal dan kematian janin. (trimester 2 dan 3).

18
 Sediaan beredar : Kaptopril (generik, Capoten, Metopril, Vapril);
Benazepril (Cibasen); Delapril (Cupressin); Enalapril maleat (generik,
Rebecardon); Fisonopril (Acenor M); Lisonopril (Noperten,
Tensinop);Perindopril (Prexum);Kuinapril (Accupril);Ramipril (Triatec);
Silazapril (Inhibace).
c. Penghambat Reseptor Angiotensin II (ARB)
 Blokade secra langsunh reseptor Angiotensin II. Tidak seperti ACE
inhibitor, ERB tidak mencegah pemecahan bradikinin (tidak menyebabkan
batuk). Efek samping: insufisiensi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi
ortostatik. Tidak boteh digunakan pada ibu hamil.
 Sediaan beredar : Losartan (Acetensa, Cozaar, Insaar); Valsartan (Aprovel,
Blopress, Diovan).
d. β bloker
 Blokade ardenoreseptor β, menurunkan output kardiak dan resistensi
perifer, menghambat pelepasan renin.
 Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol merupakan kardio selektif.
Kurang merangsang bronkhospasmus dan vasokonstriksi serta lebih aman
dari nonselektif β bloker pada penderita asma, penyakit obstruktif
pulmonalis kronis, diabetes dan penyakit arterial perifer.
 Acebutolol, carteolol, penbutolol, dan pindolol memiliki aktifitas intrinsik
simpatimimetik.
 β bloker meningkatkan kadar serum trigliserida dan menurunkan kadar
HDL. Penghambat β yang memiliki sifat menghambat reseptor α
(carvedilol, labetalol) tidak memopengaruhi konsentrasi serum lipid.
 Efek samping: kelelahan insomnia, nightmares, depresi, disfungsi seksual,
gangguan saluran cerna, pemerahan, memperburuk psoriasis, PJK pada
penghentian, bradikardi, bronkospasmus, simptomp hipoglikemia tertutup.
Pada β bloker dengan ISA, bradikardia lebih lemah, dislipidemia,
menginduksi lupus eritematosus.
e. Penghambat Saluran Kalsium (CCB)
 CCB menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan menghambat
saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan, sehingga menghalangi
masuknya saluran kalsium ekstraseluler ke dalam sel. Reaksi otot polos

19
vaskuler menyebabkan vasodilatasi dan berhubungan dengan reduksi
tekanan darah.
 Verapamil menurunkan denyut jantung, memperlambat kontraksi nodus
AV, dan menghasilkan efek inotropik negatif yang dapat memicu gagal
jantung pada penderita lemah jantung yang parah. Diltiazem menurunkan
konduksi AV dan denyut jantung dalam level yang lebih rendah daripada
verapamil. Keduanya menyebabkan anoreksia, mual, edema perifer, dan
hipotensi. Verapamil menyebabkan konstipasi (7%).
 Dihidropiridin pada umumnya tidak menurunkan konduksi nodus AV.
 Nifedipin dapat menyebabkan sakit kepala, kemerahan, pusing, gingival,
hiperplasia, edema perifer, perubahan mood, dan keluhan pada saluran
pencernaan.
f. Penghambat Reseptor α1
 Prazosin, terasozin, doxazosin menginhibisi ketokolamin pada sel otot
polos vaskular perifer yang memberikan efek vasodilatasi.
 Efek samping berat yang mungkin terjadi hipotensi ortostatik. Retensi air
dan natrium dapat terjadi pada dosis yang lebih tinggi dan terkadang
dengan pemberian kronik dosis rendah. Gangguan tidur, mimpi yang jelas
dan depresi.
 Sediaan beredar: Prazosin (Hyperal, Minipres); Doksazosin (Cardura,
Kaltensif).
g. Antagonis α2 pusat
 Clonodine, guanebenz, guanfacine, dan methyldopa menurunkan tekanan
darah pada umumnya dengan cara menstimulasi reseptor α2 adrenergik di
otak, yang mengurangi aliran simptomatik dari pusat vasomotor dan
meningkatkan tonus vagal. Dapat terjadi penurunan denytu jantung, curah
jantung, resistensi perifer total, aktivitas renin plasma, dan reflesk
baroreseptor.
 Pada penggunaan metildopa, penggunaan kronik dapat menyebabkan
retensi air dan natrium. Clonidine transdermal dapat menimbuklan efek
samping yang lebih sedikit dari pada oral. Patch ditempelkan ke kulita dan
diganti satu kali seminggu. Kerugiaannya adalah iritasi kulit lokal (20%),
mahal, terjadinya penundaan onset 2-3 hari.
 Efek samping: Sedasi, mulut kering, depresi,

20
 Penghentian mendadak dapat menyebabkan hipertensi balik (peningkatan
tekanan darah secara tiba-tiba kenilai sebelum penanganan) atau overshoot
hypertension (peningkatan tekanan darah kenilai yang lebih tinggi dari
sebelum pennanganan).
 Sediaan beredar: Klonidin (generik, Catapres); Metildopa (Dopamet,
Medopa).
h. Reserpin
 Reserpin mengosongkan norefinefrin dari saraf akhir simpatik dan
memblok transpor norepinefrin ke dalam granul penyimpanan. Pada saraf
terstimulasi, sejumlah norepinefrin kurang dari jumlah biasanyan,
dilepaskan ke dala sinap. Pengurangan tonus simpatetik menurunkan
resistensi perifer dan tekanan darah.
 Reserpin dapat menyebabkan retensi cairan dan natrium dengan signifikan
sehingga perlu diberikan bersama dengan diuretik thiazide (efektif dan
tidak mahal). Kekuatan inhibisi reserpin terhadap aktifitas simpatetik
membuat aktivitas parasimpatik meningkat, hal tersebut berperan dalam
efek samping hidung tersumbat, meningkatnya sekresi asam lambung,
diare dan bradikardi. Efek samping serius adalaha berhubungan dengan
dosis yaitu depresi. Diminimalkan dengan cara tidak lebih dari 0,25 mg
perhari.
i. Vasodilator arteri
 Hydralazine dan Monoxidil menyebabkan relaksasi langsung otot polos
arteriol. Sebaiknya mendapatkan terapi utama denagan diuretik dan β
bloker adrenergik. Vasodilator langsung dapat menyebabkan angina pada
penderita arteri koroner kecuali mekanisme refleks baroreseptor dihambat
secara sempurna oleh inhibitor sipmatetik
 Hydralazine dapat menyebabkan sydrom yang tergantung dosis sepert
lupus yang bersifat reversibel, yang umum pada pasien asetilator
lambat.Dihindari dengan penggunaan dosis total perhari < 200 mg. Efek
samping lain: dermatitis, demam, neuropati periferal, hepatitis, dan sakit
kepala vaskular.
 Minoxidil lebih poten daripada hydralazine. Dapat meningkatkan denyut
jantung, curah jantung, pelepasan renin, dan retensi natrium, juga

21
menyebabkan hipertrichosis reversibel pada wajah, tangan, punggung dan
dada, efusi perikardial dan perubahan nonspesifik gelombang T pada ECG.
j. Inhibitor Simpatetik Postganglion
 Guanethidin dan guanedrel mengosongkan norepinefrin dari terminal saraf
simpatetik postganglionik dan inhibisi pelepasan norepinefrin terhadap
respon stimulasi saraf simpatetik. Hal ini mngurangi curah jantung dan
resistensi vaskular perifer. Hipotensi ortostatik umumnya terjadi karena
blokade refleks mediasi vasokonstriksi. Efek samping lain: disfungsi
ereksi,diare, dan kegemukan. Peranannya kecil pada pengobatan
hipertensi.
k. Inhibitor Renin
 Aliskiren memblok sistem RAA sehingga renin plasma turun. Digunakan
sehari sekali. Dapat digunakan tunggal atau kombinasi, hanya untuk terapi
alternatif karen efek ke kardiovaskular masih diteliti.

Tebel Obat-obat Anti Hipertensi

Class Drugs Usual Dose Usual Daily


Range in Frequency
mg/Day
Thiazide Diuretik Chlorothiazide 125-500 1-2
Chlortalidone 12.5-25 1
Indopamide 2-4 1

Loop Diuretic Bumetanide 0.5-2 2


Furosemide 20-80 2
Potassium-sparing Amiloride 5-10 1-2
diuretics
Aldosteron Receptor Spironolactone 25-50 1
Blockers
β Blockers Atenolo 25-100 1
Betaxolol 5-20 1
Bisoprolol 2.5-10 1
Metoprolol 50-100 1-2
Metaprolol 50-100 1
extended release
Propanolol 40-160 2
Propanolol long 60-180 1
actin

β Blockers with ISA Acebutolol 200-800 2

22
Penbutolol 10-40 1
Pindolol 10-40 2

Combined alpha-beta Carvedilol 12.5-50 2


blockers
ACEIs Amlodipin 25-100 2
Enalapril 5-40 1-2
Perindopril 4-8 1
Angiotensin II Candesartan 8-32 1
Antagonis Losartan 25-100 1-2
Valsartan 80-320 1-2
CCBs (Non Diltiazem extended 180-240 1
Dihydropyridines) release
Verampamil 80-320 2
immediate release
CCBs Amlodipine 2.5-10 1
(Dihydropyridines) Felodipine 2.5-20 1
Alpha-1 Blockers Doxazosin 1-16 1
Prazosin 2-20 2-3
Terazosin 1-20 1-2
Central Alpha agonis Clonidine 0.1-0.8 2
and other centrally Methyldopa 250-1000 2
acting drugs Reserpine 0.1-0.25 1
Direct Vasodilators Hidralazine 25-100 2
Minoxidil 2.5-80 1-2

5. Compelling Indications

23
Compelling
Indications

Gagal Paska Infark Resiko tinngi Diabetes Gagal Pencegahan


Jantung Miokardial penyakit Melitus ginja serangan
koroner kronik stroke
berulang

Diuretik dan β bloker dan β Bloker Inhibitor Inhibitor


Inhibitor inhibitor ACE atau ACE atau Diuretik dan
ACE ACE ARB ARB Inhibitor
ACE

β Bloker Antagonis Inhibitor Diuretik


Aldosteron ACE, ARB
dan
diuretik

ARB, β Bloker,
Antagonis CCB
Aldosteron

6. Populasi Khusus
a. Hipertensi pada Orang Tua
Sebaiknya diawali dengan dosis kecil diuretik misalnya hidroklorotiazide
12,5 mg dan meningkat secara bertahap. Jika tidak dapat mnurunkan
tekanan sistole, dapat ditambahkan dalam dosis rendah kemudian
ditingkatkan secara bertahap. β bloker merupakanpilihan pertama obat
antihipertensi pada orang tua dengan hipertensi dan angina. Serta inhibitor
ACE sangat baik untuk penderita dengan diabetes atau gagal jantung.
b. Hipertensi pada Anak-anak dan Remaja
Hipertensi sekunder lebih umum terjadi di anak-anak daripada orang
dewasa. Penyakit ginjal merupaka kasus yang umum terjadi pada
hipertensi sekunder anak-anak. Diuretik, β bloker, dan inhibitor ACE
merupakan antihipertensi yang efektif. Inhibitor ACE dan ARBs
kontraindikasi pada wanita hamil, menyebabkan teratogenik dan stenosis
arteri ginjal atau stenosis unilateral pada ginjal soliter.
c. Hipertensi pada Ibu Hamil

24
Digunakan Methyldopa dapat digunakan sebagai pilihan obat. β bloker,
labetalol dan CCBs dapat juga digunakan sebagai alternatif. Inhibitor ACE
dan ARBs sangat kontraindikasi.
d. Hipertensi dengan Penyakit Pulmonari dan Arterial Perifer
β bloker nonselektif sebaiknya dihindari pada penderita hipertensi dengan
asma, COPD, dan penyakit vaskular perifer. α-β bloker, carvedilol dan
labetalol dapat digunakan pada penyakit arterial perifer karena tidak
menyebabkan konstriksi sepert halnya β bloker. Meskipun sebaiknya
dihindari pada penderita asma. Obat β bloker selektif dapat dipilih untuk
pengobatan dengan asma atau COPD.
e. Hipertensi dengan Dislipidemia
Dislipidemia merupakan faktor risiko utama kardiovarkular dan
sebaliknya dikontrol pada penderita hipertensi. Digunakan Diuretik
thiazide dan βbloker tanpa ISA (dapat menyerang lipid serum, α bloker
(menurunkan LDL dan meningkatkan HDL).

II.9 Interaksi Obat

Anti Obat yang Keterangan


hipertensi berinteraksi
Beta bloker Garam aluminium Derajat absorpsi beta-bloker
Atenolol turun, ketersediaan hayati turun
Metoprolol akibat derajat pengosongan
Propanolol lambung berkurang, gunakan
Sotalol antasida setelah beta-bloker 2
jam
Metoprolol Amiodaron Penurunan metabolism hepatic
Propanolol beta bloker, karena inhibisi
enzim oleh amiodaron.
Monitor status kardiovaskular
Propanolol Vit C Efek farmakologi popanolol
turun akibat turunnya absorpsi.
Atur dosis propranolol
Metoprolol Barbiturat Efek beta bloker turun akibat
Propanolol peningkatan metabolism oleh
enzim hepatic yang diinduksi
oleh barbiturate.
Diperlukan dosis beta bloker
yang lebih tinggi
ACEI Antacid Absorpsi captropil turun
Katropil Efek antihipertensi turun
Diberikan dengan interval 1-2
jam
Kaptopril, NSAID Efek antihipertensi turun akibat

25
Enalapril Indometasin hambatan sintesis
Quinapril Salisilat prostaglandin
Ramipril Dll Monitor tekanan darah atau
Dll ganti antihipertensi
Enalapril Rifampisin Efek enapril turun
Ganti obat antihipertensi
ACEI Sulfonil urea Efek hipogliemik naik. ACEI
insulin meningkatkan kepekaan
reseptor insulin, dosis anti DM
di turunkan
ARB ; Litium Ekskresi renal litium turun oleh
Cande-, ARB, toksistas litium naik,
Epro-, Irbe-, ataksia, delirium, linglung
Telmi-,
valsartan
ARB ACEI Falsartan-captropil,
peningkatan kerusakan ginjal
(keduanya mempunyai ES ke
ginjal) dan hiperkalasemia,
monitor fungsi ginjal dan kadar
kalium darah
AINS, Aspirin Efek antihipertensi menurun
akibat hambatan sintesis
prostaglandin, kerusakan
ginjal, dan hiperkalesemia
Azol Flukonazol mereduksi
penguraian losartan dan
irbersartan menjadi metabolit
aktif. Azol menginhibisi
CYP2C9 yang beperan dalam
metabolism ARB. Dosis
diturunkan
HCT Cilazapril Cilazapril mengurangi
penurunan kalium oleh HCT
Candesartan AUC candesartan naik, AUC
HCT turun
Furosemid Ranitidine Ketersediaan hayati furosemid
Ranitidin naik. Efek diuretic naik. H2
bloker menginhibisi enzim
hepatic
Aliskiren Kadar plasma furosemid turun
50%, tetapi terjadi aditif
hipotensif
Furosemid Aspirin Peningkatan gagal ginjal akut
Bumetamid dan toksisitas salisilat.
Piretanid Ototoksis. Penggunaan

26
besamaan dihindarkan
Felodipin Antifungi Efek felodipin naik, penurunan
golongan azo metabolism. Inhibisi CYP3A4
(itro-vori-posa-, oleh azol
ketokonazol)
Eritromisin Efek farmakologi dan toksisitas
felodipin naik. Eritromisin
menginhibisi CYP4503A
Diltiazem Karbamazepin Karbamazepin serum naik,
diltiazem menginhibisi
degradasi karbamazepin.
Monitor kadar serum
karbamazepin
Quinidin Karbamazepin menginhibisi
metabolit hepatic quinidin.
Kadar serum kuinidin naik.
Monitor kadar serum kuinidin,
atur dosis
Verapamil Muscle relaxant Efek muscle relaxant naik,
non depolarisasi depresi respirasi diperpanjang.
(atracurium, Hindari kombinasi
tubocurarin,
vecuronium)
Acebutolol Orange juice Efek beta bloker turun, tidak
Atenolol digunakan bersamaan atau
dosis dinaikkan
Propanolol Furosemid Efek kardiovaskular propanolol
naik akibat penurunan cairan
ekstraseluler terjadi perubahan
farmakokinetik. Atur dosis
propranolol
Beta-bloker Nifedipin Terjadi efek aditif atau sinergis,
kedua obat efeknya meningkat.
Monitor fungsi kardiak.
Beta-bloker Ibuprofen Efek antihipertensi beta
Indometasin blocker menurun.
Piroksikam AINS menginhibisi sintesis
Naproksen prostaglandin renal, terjadi
vasokontriksi.
Monitor tekanan darah dan atur
dosis beta blocker.
Sulfinpirazon Efek antihipertensi turun.
Metabolisme beta blocker
dipercepat dan inhibisi sintesis
prostaglandin
Tizanidin ACEI Efek ACEI meningkat,

27
hipotensi berat.
Mekanisme belum diketahui.
Hati-hati jika dikombinasi.
Nifedipin Diltiazem Kadar plasma kedua obat naik.
Efek farmakologi dan toksisitas
kedua obat naik.
Atur dosis.
Diltiazem Digoksin Konsentrasi dan toksisitas
digoksin naik.
Diltiazem menurunkan
clearance renal digoksin.
Atenolol Garam kalsium Absorbsi atenolol turun, efek
turun.
Propanolol Kolesteramin Konsentrasi plasma dan efek
propanolol turun akibat absorbs
menurun.
Atur dosis dan waktu
pemberian propanolol.
Beta- Ranitidin Efek beta blocker naik.
blocker Ranitidin menginhibisi enzim
CYP2D6 yang berperan dalam
metabolism beta blocker.
Monitor efek pada saat mulai
atau menghentikan ranitidin.
Atenolol Diltiazem Efek beta blocker naik dan
Metoprolol terjadi bradikardia.
Pindolol Metabolism oksidatif beta
Propanolol blocker menurun oleh
diltiazem.

BAB III
STUDI KASUS

III.1 Kasus

Bapak JK berumur 35 tahun. Ia selama ini umumnya, tidak banyak


beraktivitas fisik, minum berapa sloki cocktail setiap hari dan tidak merokok. Ia

28
memiliki riwayat hipertensi dalam keluarganya, dan ayahnya meninggal karena
infark miokardium ketika berusia 55 tahun. Pemeriksaan fisik hanya
memperlihatkan obesitas sedang. Foto sinar-X besaran ventrikel kiri. Pasien juga
mengeluh nyeri perut kiri atas dan disertai mual muntah. Setelah dilakukan
pemeriksaan di dapatkan hasilnya sebagai berikut:

TD 155/99 mmHg

Cholesterol 250 mg/dl, normalnya (<200 mg/dl)

HDL 40 mg/dl, normalnya (>35 mg/dl)

Creatinin 0,9 mg/dl, normalnya (0,5-1 mg/dl)

Glukosa Puasa105 mg/dl,normalnya (<100 mg/dl)

Diagnose Hipertensi Grade I

Nama pasien : pak jiko


Umur : 35 thun
Jenis kelamin : laki –laki
R/ Amlodipin 10 mg XX
2x1
Ranitidin 150 mg X
2x1
Simvastatin 10 mg XXX
1x1
III.2 Analisa obat:
A. Amlodipin
Mekanisme Kerja:
Merupakan inhibitor influks kalsium (antagonis ion kalsium) yang
menghambat influks ion2 kalsium transmembran kedalam jantung dan otot
polos. Menimbulkan dilatasi arteriola perifer sehingga memperkecil
tahanan perifer total (afterload) terhadap kerja jantung. Karena tidak

29
menimbulkan refleks takikardia, maka konsumsi energi dan kebutuhan
oksigen miokard menurun. Menimbulkan dilatasi arteri koroner utama dan
arteriolakoroner, baik pada keadaan normal maupun iskemia.Dilatasi ini
meningkatkan penyampaian oksigen miokardial pada penderita dengan
spasmearteri koroner

Bentuk Sediaan:
Amlodipin dalam bentuk sedian tablet. Produk amlodipin yang yang
beredar antara lain Norvask (Pfizer) , Tensivask (Dexa Medica)..

Cara Penggunaan:
Hipertensi: Dosis awal dapat dimulai dengan 2,5mg. Dosis Lazim adalah
5mg sekali sehari, dapat ditingkatkan sampai maksimum 7,Smg/hari
tergantung respons penderita secara individual.

Cara Penyimpanan:
Simpan ditempat sejuk dan kering, terlindung dari cahaya.

Farmakokinetik Obat:
Konsentrasi plasma puncak amlodipine mencapai 6-12 jam setelah penggunaan
oral. Absolute bioavailabilitas berkisar 64-90% .Efek antihipertensi amlodipine
bertahan selama setidaknya 24 jam setelah penggunaan. Amlodipine secara
ekstensif dimetabolisme menjadi metabolit aktif di liver (Hati). Amlodipine
diekskresikan dalam urin sebagai metabolit (60%) dan obat tidak berubah
(10%). Eliminasi Terminal paruh amlodipine adalah 30-50 jam.
Interaksi Obat:
Pemberian bersama simvastatin mengubah farmakokinetika siomvastatin.
Informasi Obat:
Monitor tekanan darah pasien untuk mengamati jika terjadinya hipertensi.

B. Ranitidin
Mekanisme kerja:

30
Ranitidin dapat menghambat sekresi cairan lembung akibat rangsangan
obat muskarinik atau gastrin. Ranitidin mengurangi volume dan kadar ion
hydrogen cairan lambung. Penurunan sekresi asam lambung
mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi pepsin menurun.

Bentuk Sediaan:
Ranitidin tersedia dalam bentuk sediaan oral dan parenteral . Produk
Rantidin yang beredar antara lain Biotidin, Curadin, Ranihexal, Ulceral,
Zantifar.

Cara Penggunaan:
Tukak lambung : 400 mg
Dosis yang biasa digunakan adalah 150mg, 2 kali sehari
Dosis penunjang dapat diberikan 150mg pada malam hari
Untuk sindrom Zollinger-Ellison : 150mg, 3 kali sehari, dosis dapat
bertambah menjadi 900mg.
Dosis pada gangguan fungsi ginjal:
Bila bersihan kreatinin (50ml/menit): 150mg tiap 24 jam, bila perlu tiap 12
jam.
Karena Ranitidine ikut terdialisis, maka waktu pemberian harus
disesuaikan sehingga bertepatan dengan akhir hemodialisis.

Cara Penyimpanan:
Simpan ditempat sejuk dan kering, terlindung dari cahaya (pada suhu
kamar).

Farmakokinetik Obat:
Bioavailabilitas ranitidin sekitar 70 % sama dengan pemberian IV atau Im
ikatan protein plasma hanya 20 %.Absorbsi ranitidin diperlambat oleh
makanan sehingga ranitidin diberikan bersama atau segera setelah makan
dengan maksud untuk memperpanjang efek pada periode paska makan.
Absorpsi terutama terjadi pada menit ke 60 -90. Ranitidin masuk kedalam

31
SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20% dari kadar serum. Sekitar
50-80% dari dosis IV dan 40% dari dosis oral diekskresi dalam bentuk asal
dalam urin. Masa paruh eliminasi sekitar 2 jam.

Interaksi Obat :
Ranitidine mengurangi metabolisme obat-obat seperti antikoagulan
warfarin dan kumarin, fenitoin, propanolol, nifedipin, diazepam, tramadol
dan metadon yang mengakibatkan peningkatan kadar obat-obat tersebut
dalam plasma darah sehingga meningkatkan potensi terjadinya efek
samping yang merugikan.

Informasi :
- Hindari kegiatan seperti berkemudi atau mengoperasikan mesin ketika
mengonsumsi obat ini, karena ranitidine dapat menyebabkan kantuk,
pusing, dan gangguan keseimbangan.
- Memberikan informasi terapi non farmakologi seperti makan teratur,
tidak merokok dan minum alkohol.

C. Simvastatin.
Mekanisme kerja:
Menghambat sintesis kolesterol dalam hat, dengan menghambat enzim
HMG CoA reduktase (3-hidroksi-3-metilglutaril koenzim A reduktase),
dimana enzim ini mengkatalisis perubahan HMG Co-A menjadi asam
mevalonat yang merupakan langkah awal dari sintesis kolesterol.

Bentuk Sediaan:
Simvastatin tersedia dalam bentuk tablet salut selaput. Produk simvastatin
yang beredar antara lain Cholestat® (Kalbe Farma), Detrovel®
(Fahrenheit) dan Esvat® (Dexa Medica).

Cara Penggunaan:
Awal 5-10 mg/hari dosis tunggal pada malam hari.

Cara Penyimpanan:

32
Simpan ditempat sejuk dan kering, terlindung dari cahaya (pada suhu
kamar).

Farmakokinetik Obat:
Simvastatin diabsobsi sekitar 40-75%, mengalami metabolisme lintas
pertama di hati. Waktu paruhnya berkisar 1-3 jam. Obat ini sebagian besar
terikat oleh protein plasma. Dieksresi oleh hati kedalam cairan empedu
dan sebagian kecil lewat ginjal.

Informasi :
- Obat diminum pada malam hari pada saat menjelang tidur, karena
produksi kolesterol dihati paling tinggi terjadi pada malam hari.
- Monitor kadar KT (Kolesterol Total) pasien.
- Memberikan informasi terapi non farmakologi seperti olahraga teratur,
diet makan, tidak merokok dan minum alkohol.

III.3 Penyelesaian Kasus


Dalam kasus ini pasien menerima tiga item obat yaitu
1. Amlodipin yang merupakan antihipertensi golongan inhibitor enzim
penkonversi angiotensin (ACEI)
2. Ranitidin yang merupakan obat golongan H2 Bloker
3. Simvastatin yang merupakan obat antihiperlipidemia golongan statin.

Pasien mengidap hipertensi stadium I berdasarkan JNC 8. Pertanyaan


pertama dalam penatalaksanaan adalah seberapa urgen terapi hipertensinya
perlu diberikan. Factor resiko kardiovaskular pada pria ini mencakup riwayat
penyakit arteri koronaria dini dan peningkatan kolesterol dalam keluarga.
Bukti dampak pada end-organ mencakup pembesaran verikel kiri pada EKG.
Riwayat yang kuat dalam keluarga menunjukkan bahwa pasien ini mengidap
hipertensi esensial. Namun, pasien perlu menjalani tes-tes penyaring rutin
yang mencakup fungsi ginjal, fungsi tiroid, dan pengkuran elektrolit serum.
Ekokardiogram juga perlu dipertimbangkan untuk menetukan apakah pasien
mengidap hipertrofi ventrikel kiri akibat kelainan katup atau penyakit
structural jantung lainnya dan bukan hipertensi.

33
Penanganan awal pada pasien ini dapat berupa perubahan perilaku, termasuk
diet, dan olah raga aerobic. Namun sebagian besar pasien seperti ini akan
memerlukan pengobatan. Diuretic tiazid dalam dosis rendah merupakan obat
murah, memiliki efek samping relative sedikit dan efektif pada banyak
pasien dengan hipertensi ringan. Obat lini-pertama lainnya mencakup
inhibitor angiotensin-converting enzyme daan penghambat saluran kalsium.
Penghambat beta dapat dipertimbangkan jika pasien mengidap penyakit
arteri koronaria atau hipertensi yang labil. Pasien perlu diresepkan satu jenis
obat dan diperiksa kembali setelah satu bulan. Jika diperlukan obat kedua
amaka salah satu dari kedua obat itu seyogianya adalah diuretik tiazid. Jika
tekana darah telah teratasi maka pasien diperiksa secara berksls untuk
memperkuat pentingnnya kepatuhan dalam perubahan gaya hidup dan
mengonsumsi obat.
Pada peresepan obat terdapat interaksi antara obat amlodipin dan simvastatin
yang interkasinya bersifat mayor. Dimana, amlodipine dapat meningkatkan
kadar simvastatin sehingga meningkatkan resiko terjadinya myopati atau
rhabdomyolisis. Maka sebaiknya kedua obat ini tidak kombinasi. Untuk
pasien tuan JK dengan diagnose penyakit hipertensi dan koleterol sebaiknya
untuk obat antihipertensinya diganti dengan golongan ACEI yaitu kaptopril
12,5 mg sehari dua kali. Dimana obat golongan ini tidak berinteraksi dengan
simvastatin, disamping itu juga pasien tuan JK juga masih berusia dibawah
<50 thn dan menurut algoritma pengobatan hipertensi obat golongan ACEI
sebagai lini pertama.

34
35
BAB IV
KESIMPULAN

1. Hipertensi atau tekanan darah tinggi, adalah meningkatnya tekanan darah


atau kekuatan menekan darah pada dinding rongga di mana darah itu
berada. Dimana tekanan sistoliknya melebihi 140 mmHg dan lebih dari 90
mmHg untuk diastolic
2. Penanganan non farmakologi dengan memodifikasi gaya hidup,
diantaranya: Penurunan berat badan jika kelebihan berat badan, melakukan
diet makanan yang diambil DASH ( Dietary Approaches tu Stop
Hypertension), mengurangi asupan natrium hingga ≤ 2,4 gram/hari (6
gram/hari Nacl), melakukan aktivitas fisik seperti aerobic menghentikan
konsumsi alkohol dan merokok, jika dengan modifikasi hidup tekanan
darah sasaran yang diinginkan tida tercapai, maka dilakukan penanganan
farmakologi/dengan obat-obatan.
3. Adapun obat-obat antihipertensi yaitu diuretik, β-bloker, ACE Inhibitor,
Ca Antagonis, Antagonis Angiotensin II, α bloker, Anti adrenergik sentral,
Vasodilator dan Inhibitor Renin

36
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)


2007. Jakarta: Badan Litbangkes, 2008.

World Health Organization. The WHO STEPwise Approach to Surveillance


(STEPS) of NCD Risk Factors. Geneva: WHO, 2001.

International Classification Of Functioning, Disability And Health (ICF).


Geneva: World Health Organization, 2001.

Ibnu M. Dasar-dasar fisiologi kardiovaskuler. Jakarta : EGC, 1996.

Budiyanto, K.A.M. Gizi dan kesehatan. Edisi I. Malang : Universitas


Muhammadiyah Malang Press ; 2002.

Kaplan. Non Drug Treatment of Hypertension. Ann Intern Med 1985; 102: 359-
73.

Susalit E, Kapojos JE & Lubis HR. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam II. Jakarta :
Balai penerbit FKUI; 2001.

37

Anda mungkin juga menyukai