Anda di halaman 1dari 7

Pendahuluan

Banyak pihak berpendapat bahwa menjadi pemimpin di zaman reformasi ini sungguh sangat berat. Di
satu pihak kondisi ekonomi sosial masyarakat terpuruk, tuntutan masyarakat sangat banyak, di pihak
lain sumber daya yang ada memenuhi tuntutan tersebut sangat terbatas. Namun anehnya, dalam
bayang-bayang beratnya tugas dan kewajiban yang di emban oleh pemimpin, justru pemilihan pimpinan
nasional baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif di Era Reformasi ini menampakkan gairah yang luar
biasa.

Demokrasi menegaskan prinsip-prinsip bahwa setiap manusia diperlakukan sama serta memiliki hak dan
kewajiban yang sama pula di bawah hukum. Dengan sendirinya individu memainkan peranan yang
sangat penting dalam sistem demokrasi sehingga konsep hak asasi manusia sangat erat kaitannya
dengan prinsip-prinsip demokrasi. Bergesernya dasar legitimasi kepemimpinan dari “atas” ke “bawah”
dengan sendirinya mengubah hubungan antara negara dengan masyarakat. Apabila dalam
kepemimpinan tradisional masyarakatlah yang mengabdi pada penguasa , maka dalam sistem
demokrasi justru pemerintah yang mengabdi pada kepentingan rakyat dan harus
mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada rakyat yang memilih. Fungsi negara berubah dari
“dilayani” menjadi “melayani”. Artinya pemimpin dituntut untuk tanggap terhadap aspirasi yang
berkembang dalam masyarakat serta harus mampu menyediakan barang dan jasa bagi kepentingan
rakyat banyak. Keabsahan dan keagungan seorang pemimpin tidak dapat lagi ditunjukkan melalui
upacara-upacara kebesaran atau pembangunan monumen-monumen yang spektakuler seperti yang
dilakukan raja-raja di masa lampau. Dukungan terhadap pimpinan dalam sistem pemerintahan modern
sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk memberikan rasa aman serta meningkatkan
kesejahteraannya.

Sejalan dengan paradigma pemerintahan yang baru menuntut kegiatan nyata pemimpin yang diarahkan
kepada kegiatan-kegiatan yang kreatif, inovatif, orientasi kepentingan masyarakat, orientasi pelayanan
dan pemberdayaan masyarakat. Seorang pemimpin tidak hanya cukup mengandalkan intuisi semata,
tetapi harus didukung oleh kemampuan intelektual dan keahlian yang memadai, ketajaman visi serta
kemampuan etika dan moral yang beradab.

Profil pemimpin pemerintahan yang benar-benar efektif pada masa yang akan datang, memiliki
kepribadian yang ditentukan oleh nilai dan keyakinan kuat dalam kemampuan individu untuk tumbuh.
Mereka akan mempunyai citra masyarakat yang diinginkan sebagai tempat diri dan organisasi mereka
hidup. Mereka akan menjadi visional, memiliki kepercayaan yang kuat bahwa mereka mampu dan harus
membentuk masa depan, serta dapat bertindak atas dasar keyakinan dan pribadi yang tangguh.

II. Kepemimpinan Indonesia Masa Kini

Hingga saat ini belum muncul nama-nama baru yang bisa menggeser dominasi elite lama dalam benak
masyarakat. Peran parpol yang kurang mendominasi kaderisasi pemimpin tampak menjadi salah satu
penyebab mandeknya kepemimpinan pemerintahan. Lingkungan parpol sebagai tempat ideal untuk
kaderisasi pemimpin tidak banyak memberikan kesempatan bagi kader muda untuk menggantikan elite
mapan. Selain itu juga hampir semua parpol mengalami krisis perpecahan pada saat menyelesaikan
tuntutan alih generasi kepemimpinannya. Parpol cenderung menjadi komoditas bagi kepentingan
pribadi elite penguasanya. Selain itu pula terdapat gejala-gejala sebagai berikut:

1. Terjadi degradasi perilaku kepemimpinan nasional, yang ditandai dengan maraknya: saling hujat,
saling fitnah, provokasi, agitasi para pengikutnya, pengingkaran kebenaran, saling jegal, menjadi
pengadu domba, menjadikan massa pengikutnya setia sampai mati tanpa peduli kebenaran, keadilan
dan budaya, pokoknya membalas lawan tanpa etika, menjadi pemimpin kharismatik yang memiliki
pengikut fanatik.

2. Para pemimpin sebagian besar tidak mencegah pengikutnya melakukan pelanggaran : konstitusi,
norma agama, adat, sosial dan etika profesi. Bahkan norma dan tata pergaulan dunia/keprotokolan
diterjang tanpa malu.

3. Tidak peka ( sensitive ) terhadap aspirasi masyarakat, bahwa rakyat memerlukan ketenteraman,
kenyamanan dan keadilan bukan wacana politik yang terus meruncing.

4. Tidak melakukan pendidikan politik bagi para pengikutnya, dibuktikan dengan pemahaman yang
sempit terhadap keputusan politik.

5. Keteladanan berperilaku ; ucapan, pernyataan, diplomasi dan penyelesaian masalah mendasar yang
dihadapi bangsa kurang. Sense-of crisis hampir-hampir punah karena dominasi kepentingan ( interest)
pribadi, kelompok, partai dan golongan, bisnis dan rasis.

6. Para pemimpin partai-partai, orsospol, LSM dan OKP, membungkus aktifitas politik dengan nuansa
keagamaan yang cenderung memicu pertikaian antar etnik, antar sesama warga masyarakat, bahkan
sesama penganut agama namun berbeda aliran politik.

Dengan demikian rakyat awam sulit membedakan dengan akal rasionya mana kegiatan agama atau
politik.

Kepemimpinan pemerintahan mengalami penurunan kualitas. Hal ini terlihat dari berbagai kasus
penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat publik telah merata di seluruh lembaga negara, baik di
legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.

Adanya kecenderungan kepemimpinan pemerintahan mengalami disfungsi dikhawatirkan akan


meruntuhkan seluruh sistem penegakan hukum, tidak berfungsinya sistem ketatanegaraan dan
hilangnya kepercayaan publik kepada para pemimpinnya. Meskipun tampak di permukaan, mayoritas
masyarakat cenderung apatis, bukan berarti tidak ada keresahan sosial yang berpotensi memicu ledakan
sosial. Kesenjangan yang makin lebar antara rakyat kebanyakan yang sangat menderita akibat krisis
ekonomi yang belum pulih, dengan perilaku kepemimpinan yang korup dan bermewah-mewah secara
tidak sah, dapat memicu munculnya keresahan dan anarki sosial.

III. Merasionalkan Kepemimpinan Indonesia Masa Depan


Kelahiran kepemimpinan pemerintahan di pentas nasional bukan tanpa kendala. Setidaknya masih ada
katup budaya yang perlu ditembus. Masyarakat kita masih berpola pikir tradisional, masih menganggap
pemimpin itu seperti manusia setengah dewa. Bahkan, di masa raja-raja Hindu dahulu, pemimpin adalah
titisan dewa. Mitos Ratu Adil pun masih menjadi pengalaman yang mengendap di alam bawah sadar
kebanyakan masyarakat kita.

Karenanya, memunculkan kepemimpinan pemerintahan baru harus dilakukan dengan


merasionalisasikan pikiran masyarakat. Masyarakat harus diyakinkan bahwa pemimpin itu adalah
manusia biasa yang punya titik lemah disamping keintimewaan-keistimewaan individual yang
dimilikinya. Sehingga dengan begitu, tidak akan ada pengagungan terlalu berlebihan kepada seorang
pemimpin dan ketika ada “cacat” dalam kepemimpinannya tidak terjadi tragedi yang mencoreng sejarah
kepemimpinan bangsa ini.

Jika rasionalitas masyarakat telah tercipta, maka kepemimpinan pemerintahan akan terbentuk dari
sebuah sistem demokrasi yang kuat. Ada rule of the game yang jelas. Di era transisi seperti sekarang ini,
kita membutuhkan elite-elite kepemimpinan pemerintahan yang sehat. Pemimpin-pemimpin yang
visioner dan transformatif. Setidaknya untuk mendidik dan menyiapkan masyarakat menjadi rasional.
Tentu saja cara yang paling efektif adalah dengan keteladanan. Pemimpin-pemimpin di masa transisi ini
harus bisa

menjadi suri teladan masyarakat. Jika para elitenya rasional, maka pengikutnya juga rasional. Bukan
waktunya lagi elite hidup dan eksis dari memanipulasi massa pengikutnya.

Masyarakat membutuhkan tipe kepemimpinan baru, yaitu kepemimpinan dari lapisan generasi muda.
Ada tiga karakter pemimpin yang diharapkan masyarakat: pertama, perencana dan pemikir. Masyarakat
membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki kapasitas intelektual memadai dan menguasai kondisi
makro nasional dari berbagai aspek, sehingga dapat menjaga visi perubahan yang dicitakan bersama.

Kedua, pelayanan dan menguasai permasalahan. Masyarakat rindu figur pemimpin yang seorang pekerja
tekun dan taat pada proses perencanaan yang sudah disepakati sebagai konsensus nasional, menguasai
detil masalah kunci kebangsaan dan mampu melibatkan semua elemen yang kompeten dalam tim kerja
yang solid.

Ketiga, teladan. Masyarakat berharap pemimpin menjadi tonggak pemikiran yang kokoh dan menjadi
rujukan semua pihak dalam pemecahan masalah bangsa, yang setia dengan nilai-nilai dasar bangsa dan
menjadi teladan bagi kehidupan masyarakat secara konprehensif.

Terdapat pula beberapa falsafah pemimpin yang harus dipegang teguh pemimpin masa depan
Indonesia. Pertama, pemimpin pemerintahan harus punya integritas. Bukanya kita selalu selalu
mengatakan, paling enak berhubungan dengan orang yang memiliki integritas. Kedua, pemimpin harus
mengakui akan adanya perbedaan dan keanekaragaman bangsa kita. Dengan demikian, pemimpin
pemerintahan masa depan negeri ini mampu mengelola segala perbedaan budaya, latar belakang suku
dan agama, serta kepentingan seluruh elemen bangsa ini lalu mengubahnya menjadi peluang dan
kelebihan. Jadi pemimpin pemerintahan masa depan adalah pemimpin yang berpikiran terbuka (open
minded), sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, pemimpin pemerintahan masa depan adalah pemimpin yang sadar betul bahwa segala
tindakan dan keputusannya akan berpengaruh terhadap orang lain atau sekelompok masyarakat.
Kepemimpinannya menjadi begitu empati dengan nasib dan derita rakyatnya. Dalam sejarah mungkin
kepedulian Umar bin Khaththab seperti dongeng yang mustahil bagi pemimpin masa sekarang. Umar
memanggul sendiri sekarung gandum saat ia mendapati seorang ibu memasak batu untuk mendiamkan
anaknya yang lapar.

IV. Seleksi Kepemimpinan Nasional Masa Depan

Sudah saatnya panggung suksesi kepemimpinan pemerintahan sekarang ini diisi dengan isu
memunculkan kepemimpinan yang kuat, yang mempunyai kemampuan membangun solidaritas
masyarakat untuk berpartisipasi dalam seluruh dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara;
pemimpin yang memiliki keunggulan moral, kepribadian, dan intelektual. Sudah waktunya
kepemimpinan

pemerintahan dipegang oleh pribadi yang bersih, peduli, dan profesional. Jangan serahkan tongkat
kepemimpinan bangsa ini kepada pemimpin dengan kepribadian yang tidak konsisten dan dikelilingi
lingkungan yang tidak kondusif.

Bangsa ini harus membuka kesempatan untuk munculnya pemimpin-pemimpin baru bukan hanya
berdasarkan level struktural lembaga pemerintahan, tapi juga per segmen sektor kehidupan masyarakat.
Bukan masanya lagi kepemimpinan menjadi monopoli segelintir elite.

Sudah bukan masanya lagi suksesi kepemimpinan diseleksi oleh para elite sendiri. Apalagi jika
berdasarkan keturunan. Seorang ibu dan ayah menyerahkan tongkat kepemimpinan partainya kepada
anak kandungnya, atau seorang paman kepada keponakkannya. Seharusnya pemimpin adalah seorang
petani yang membuka ladang seluas-luasnya agar bibit-bibit pemimpin baru tumbuh di sekelilingnya.
Adalah fakta bahwa bangsa Indonesia punya potensi yang luar biasa.

Pemimpin pemerintahan masa depan adalah orang yang membuka kesempatan untuk bagi siapa pun
untuk muncul ke pentas nasional. Ia menghapus kendala budaya yang ada seperti paternalistik,
feodalisme, dan mental abdi dalam dari setiap individu anak bangsa. Sebagai pemimpin, pemimpin
pemerintahan masa depan harus menjadi sosok yang berani memberi tantangan dan resiko kepada
kader-kadernya. Sebab, pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang menjadi sekolah bagi pemimpin
generasi selanjutnya.

V. Kepemimpinan Nasional Demokratis

Bagi kita yang telah mampu menerima dan menerapkan pemikiran liberal, barangkali tidak terlalu
relevan untuk mempersoalkan esensi dan posisi kepemimpinan dalam kepolitikan Indonesia
kontemporer. Sejauh pemilihannya telah memenuhi prinsip-prinsip demokratis, siapa pun harus dapat
diterima sebagai pemimpin. Seandainya ada keberatan atau kekecewaan terhadap cara
kepemimpinannya, serahkan kembali kepada mekanisme yang berlaku. Bila, sang pemimpin melakukan
pelanggaran hukum, maka lembaga peradilanlah yang paling tepat untuk memprosesnya. Atau, jika yang
dilanggar adalah politik, maka keputusan politik yang akan menentukan, yakni jangan pilih dia kembali
dalam pemilihan berikutnya.

Sebetulnya pemilu merupakan ajang yang paling paripurna untuk memilih seorang pemimpin. Apalagi
pemilu sekarang sudah jauh lebih demokratis dibanding Pemilu Orde Baru. Dengan demikian, kita tidak
boleh berpikir lain untuk mencari pemimpin. Siapa pun yang menang, harus diakui dan legitimate untuk
menjalankan perannya. Partai apa pun yang mengusungnya, harus diterima dengan tangan terbuka oleh
semua pihak. Karena hakekat pemilu adalah seleksi yang terbaik, maka pemenang

pemilu, kita asumsikan sebagai partai terbaik pula. Pada gilirannya, partai pemenang harus berprinsip
kepentingan partai berakhir.

Idealnya, harus muncul pemimpin yang muda dan berkualitas sebagaimana terdapat di negara-negara
yang sudah maju. Namun praktiknya sangat sulit diwujudkan.

Jawaban atas sejumlah permasalahan di atas, rupanya terletak pada beberapa pandangan berikut.
Pertama, bahwa politik masih merupakan variabel penentu perubahan yang utama. Politik yang berarti
kekuasaan, masih dipandang sebagai sumberdaya utama dalam menentukan arah kecenderungan
bangsa ini. Tak ubahnya dengan system kerajaan di masa lalu, hanya mereka yang berkuasalah yang
menentukan, system yang kita warisi sekarang juga tidak terlalu jauh dari budaya politik istana semacam
itu. Bila di masa lalu, ujung dari kekuasaan politik adalah wilayah dan kesetiaan rakyat terhadap raja,
sekarang kekuasaan dimanifestasikan ke dalam otoritas dan uang.

Kedua, hanya mereka yang memiliki posisi lebih dibanding sesama itulah yang layak dan berani untuk
ikut bersaing dalam kontes kepemimpinan nasional. Akibatnya, basis massa dan pendukung menjadi
lebih penting ketimbang ukuran- ukuran yang lain, termasuk profesionalitas sekalipun. Meski banyak
sekali di antara tokoh bangsa yang memiliki kapasitas sebagai CEO, mereka tidak memiliki keberanian
untuk mengajukan diri dan bersaing dalam panggung politik nasional.

Ketiga, lemahnya pengkaderan dalam partai politik, menjadi faktor penentu lainnya. Sejauh ini, tidak
banyak partai politik yang melakukan agenda regenerasi secara terbuka dan adil. Karena budaya politik
seperti digambarkan pada pikiran pertama tadi, oposisi dalam partai politik ditabukan. Siapa pun yang
dipandang sebagai lawan oleh pimpinan partai, akan diusahakan untuk digeser. Akibatnya, yang muncul
dalam kepengurusan partai adalah sekedar pemimpin denganpengikutnya. Padahal, bila kaderisasi
dilakukan secara baik, persaingan dalam partai, harus disikapi sebagai sebuah dinamika dan
kemajemukan partai.

Keempat, politik merupakan the only game in town; (satu satunya lahan permainan) buat para politisi.
Di luar itu, tak ada lagi. Dengan demikian, para politisi akan sekuat tenaga mempertahankan apa yang
sekarang dimiliki. Soalnya, keluar dari lingkaran kepemimpinan partai dan politik, berarti akan habis
sudah. Ia seolah-olah telah kehilangan semuanya. Jangan heran apa bila kaderisasi bukan agenda
terpenting dalam sebuah partai politik.
VI. Kepemimpinan Nasional Ideal Masa Depan

Kebutuhan pada tipe kepemimpinan tertentu berubah dari waktu ke waktu. Ketika negara dalam
bahaya, misalnya dalam situasi perang atau ancaman disintegrasi, seorang pemimpin yang mampu
memberikan semangat juang dan menumbuhkan rasa persatuan dan solidaritas sangat dibutuhkan.

Apabila prioritas utama adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka kemampuan manajemen
seorang pemimpin jauh lebih penting daripada kemahirannya berpidato. Untuk mendapatkan seorang
pemimpin yang mampu sekaligus menjadi "leader" dan "manajer" bukanlah suatu perkara yang mudah.
Namun dalam kondisi sekarang ini, di mana Indonesia perlu mengatasi berbagai krisis yang bersifat
multidimensional, sangatlah diharapkan bahwa kepemimpinan pemerintahan dimasa mendatang
sekaligus memiliki kemampuan "leadership" dan "managerial".Dalam masyarakat yang sangat majemuk
seperti di Indonesia tidaklah mudah bagi seorang pemimpin untuk mendapatkan dukungan dari semua
pihak. Sistem demokrasi juga mengharuskan adanya pilihan dan persaingan dalam seleksi pemimpin.
Seorang pemimpin yang dinyatakan mendapat dukungan dari seluruh anggota masyarakat biasanya
hanya ditemukan dalam sistem pemerintahan otoriter sehingga rakyat tidak dapat bebas menyuarakan
pilihan dan perbedaan pendapat dengan penguasa. Pemilihan pemimpin nasional dalam sistem
demokrasi lebih banyak ditentukan oleh kalkulasi dan kompetisi politik, perbedaan kepentingan dan
besarnya dukungan publik yang tidak selalu berkaitan dengan kriteria-kriteria rasional. Namun demikian
peluang bagi seseorang untuk terpilih sebagaipemimpin tidak dapat dilepaskan dari kondisi nyata
maupun harapan yang ingin direalisasikan oleh masyarakat yang bersangkutan.

Pemimpin pemerintahan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dituntut untuk tidak saja mahir
mengubar janji, tetapi juga harus memiliki pengetahuan yang memadai dan kompetensi untuk
merancang dan melaksanakan program-program pembangunan. Globalisasi serta interdependensi
regional dan internasional telah menjadi kenyataan yang tidak dapat dihindari. Pemimpin pemerintahan
masa depan tidak hanya dituntut untuk berperan secara efektif di dalamnegeri, tetapi juga harus
mampu berkiprah di forum-forum regional dan internasional, suatu hal yang juga diamanatkan oleh
Mukaddimah UUD '45. Demokrasi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia telah diterima sebagai
nilai-nilai universal yang akan dikembangkan secara konsisten di Indonesia. Seorang calon pemimpin
yang dinilai tidak mewakili semangat demokrasi akan sulit diterima di masa-masa mendatang. Pemimpin
pemerintahan masa depan harus betul-betul mampu membangun komunikasi dengan rakyat.
Masyarakat Indonesia telah menempatkan masalah kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) sebagai musuh
utama bangsa yang harus diperangi. Pemimpin nasional masa depan dituntut untuk memiliki integritas
dan moralitas yang tinggi, di samping menjunjung tinggi "rule of law" demi tegaknya "good governance"
dan "clean government".

Setiap pemimpin yang muncul hendaklah berdasarkan kemampuan dan prestasi yang ia raih sendiri,
sedangkan kekuasaan yang dimiliki berasal dari rakyat sehingga harus dipersembahkan untuk, dan
dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Namun sebaik-baiknya seorang pemimpin, ia tetap akan tergoda
untuk menyalahgunakan kekuasaannya apabila kekuasaan tersebut tidak dibatasi, sesuai dengan
ungkapan "power corrupts, and absolut power corrupts absolutely". Kepemimpinan hanyalah satu
bagian
saja dari sistem pemerintahan nasional secara keseluruhannya. Yang sangat diperlukan ialah suatu
sistem politik yang memiliki ketahanan dan kekenyalan terhadap goncangan-goncangan, antara lain
dengan mempunyai kemampuan untuk melakukan koreksi dan pembaharuan terhadap dirinya sendiri
secara terus menerus. Hal ini hanya mungkin diperoleh apabila suatu sistem politik memiliki basis
dukungan dan legitimasi yang luas, yang senantiasi terbuka dan tanggap terhadap aspirasi dan kritik,
serta dibatasikekuasaannya.

VII. Simpulan

Bergesernya dasar legitimasi kepemimpinan dari “atas” ke “bawah” dengan sendirinya mengubah
hubungan antara negara dan masyarakat. Dalam sistem pemerintahan tradisional masyarakatlah yang
mengabdi kepada penguasa sedangkan dalam sistem demokrasi pemerintah yang mengabdi pada
kepentingan rakyat dan harus mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada rakyat yang memilih.
Fungsi negara berubah dari “dilayani” menjadi “melayani”. Dukungan terhadap pemimpin dalam sistem
pemerintahan modern sangat ditentukan oleh kemampuan untuk memberikan rasa aman serta
meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Idealnya, seorang pemimpin pemerintahan merupakan kombinasi dari “leader” dan “manager”. Seorang
leader dapat mempersatukan pengikutnya serta memberikan visi, misi dan semangat. Sedangkan
manajer mampu mengatur dan melaksanakan tugas yang diembannya secara efisien dan efektif.

Pemilihan kepemimpinan pemerintahan dalam sistem demokrasi lebih banyak ditentukan oleh kalkulasi
dan kompetisi politik, perbedaan kepentingan dan besarnya dukungan publik yang tidak selalu berkaitan
dengan kriteria-kriteria rasional, hal ini terjadi karena tingkat kemajemukan masyarakat yang sangat
tinggi.

Sistem Pemilu Legislatif, Pilpres, maupun Pilkada yang sekarang ini dilakukan belum dapat mewujudkan
kepemimpinan pemerintahan Indonesia yang ideal. Hal ini karena tidak memunculkan tokoh-tokoh yang
membawa terjadinya perubahan dan selalu berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

Anda mungkin juga menyukai