Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar Lansia

1. Pengertian

Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun

ke atas. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses

yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan kumulatif,

merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam

menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh, seperti didalam

Undang-Undang No 13 tahun 1998 yang isinya menyatakan bahwa

pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan

masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan

UndangUndang Dasar 1945, telah menghasilkan kondisi sosial

masyarakat yang makin membaik dan usia harapan hidup makin

meningkat, sehingga jumlah lanjut usia makin bertambah. Banyak

diantara lanjut usia yang masih produktif dan mampu berperan aktif

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Upaya

peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia pada hakikatnya

merupakan pelestarian nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa.

Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaaan yang terjadi di

dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses

sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu,


tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan

proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap

kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua (Nugroho, dalam Khalifa,

2016).

2. Batasan Lansia

a. WHO (1999) dalam Khalifah, 2016, menjelaskan batasan lansia

adalah sebagai berikut :

1) Usia lanjut (elderly) antara usia 60-74 tahun,

2) Usia tua (old) :75-90 tahun, dan

3) Usia sangat tua (very old) adalah usia > 90 tahun.

b. Depkes RI (2005) menjelaskan bahwa batasan lansia dibagi

menjadi tiga katagori, yaitu:

1) Usia lanjut presenilis yaitu antara usia 45-59 tahun,

2) Usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas.

3) Usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60

tahun ke atas dengan masalah kesehatan.


3. Ciri-ciri Lansia

Ciri-ciri lansia adalah sebagai berikut :

a. Lansia merupakan periode kemunduran. Kemunduran

pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor

psikologis. Motivasi memiliki peran yang penting dalam

kemunduran pada lansia. Misalnya lansia yang memiliki

motivasi yang rendah dalam melakukan kegiatan, maka akan

mempercepat proses kemunduran fisik, akan tetapi ada juga

lansia yang memiliki motivasi yang tinggi, maka kemunduran

fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.

b. Lansia memiliki status kelompok minoritas. Kondisi ini

sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan

terhadap lansia dan diperkuat oleh pendapat yang kurang baik,

misalnya lansia yang lebih senang mempertahankan

pendapatnya maka sikap sosial di masyarakat menjadi negatif,

tetapi ada juga lansia yang mempunyai tenggang rasa kepada

orang lain sehingga sikap sosial masyarakat menjadi positif.

c. Menua membutuhkan perubahan peran. Perubahan

peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami

kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia

sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas

dasar tekanan dari lingkungan. Misalnya lansia menduduki

jabatan sosial di masyarakat sebagai Ketua RW, sebaiknya


masyarakat tidak memberhentikan lansia sebagai ketua RW

karena usianya.

d. Penyesuaian yang buruk pada lansia. Perlakuan yang

buruk terhadap lansia membuat mereka cenderung

mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga dapat

memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Akibat dari

perlakuan yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia

menjadi buruk pula.

Contoh : lansia yang tinggal bersama keluarga sering tidak

dilibatkan untuk pengambilan keputusan karena dianggap pola

pikirnya kuno, kondisi inilah yang menyebabkan lansia menarik diri

dari lingkungan, cepat tersinggung dan bahkan memiliki harga diri

yang rendah.

4. Perkembangan Lansia

Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus

kehidupan manusia di dunia. Tahap ini dimulai dari 60 tahun

sampai akhir kehidupan. Lansia merupakan istilah tahap akhir dari

proses penuaan. Semua orang akan mengalami proses menjadi

tua (tahap penuaan).

Masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir,

dimana pada masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik,


mental dan sosial sedikit demi sedikit sehingga tidak dapat

melakukan tugasnya sehari-hari lagi (tahap penurunan).

Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk

hidup, termasuk tubuh, jaringan dan sel, yang mengalami

penurunan kapasitas fungsional. Pada manusia, penuaan

dihubungkan dengan perubahan degeneratif pada kulit, tulang,

jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh

lainnya. Dengan kemampuan regeneratif yang terbatas, mereka

lebih rentan terhadap berbagai penyakit, sindroma dan kesakitan

dibandingkan dengan orang dewasa lain. Untuk menjelaskan

penurunan pada tahap ini, terdapat berbagai perbedaan teori,

namun para ahli pada umumnya sepakat bahwa proses ini lebih

banyak ditemukan pada faktor genetik.

5. Permasalahan Lansia Di Indonesia

Jumlah lansia di Indonesia tahun 2014 mencapai 18 juta jiwa

dan diperkirakan akan meningkat menjadi 41 juta jiwa di tahun 2035

serta lebih dari 80 juta jiwa di tahun 2050. Tahun 2050, satu dari empat

penduduk Indonesia adalah penduduk lansia dan lebih mudah

menemukan penduduk lansia dibandingkan bayi atau balita.

Sedangkan sebaran penduduk lansia pada tahun 2010, Lansia

yang tinggal di perkotaan sebesar 12.380.321 (9,58%) dan yang tinggal

di perdesaan sebesar 15.612.232 (9,97%). Terdapat perbedaan yang


cukup besar antara lansia yang tinggal di perkotaan dan di perdesaan.

Perkiraan tahun 2020 jumlah lansia tetap mengalami kenaikan yaitu

sebesar 28.822.879 (11,34%), dengan sebaran lansia yang tinggal di

perkotaan lebih besar yaitu sebanyak 15.714.952 (11,20%)

dibandingkan dengan yang tinggal di perdesaan yaitu sebesar

13.107.927 (11,51%). Kecenderungan meningkatnya lansia yang

tinggal di perkotaan ini dapat disebabkan bahwa tidak banyak

perbedaan antara rural dan urbang wajar.

Lanjut usia mengalami masalah kesehatan. Masalah ini berawal

dari kemunduran selsel tubuh, sehingga fungsi dan daya tahan tubuh

menurun serta faktor resiko terhadap penyakit pun meningkat. Masalah

kesehatan yang sering dialami lanjut usia adalah malnutrisi, gangguan

keseimbangan, kebingungan mendadak, dan lain-lain. Selain itu,

beberapa penyakit yang sering terjadi pada lanjut usia antara lain

hipertensi, gangguan pendengaran dan penglihatan, demensia,

osteoporosis, dsb. Data Susenas tahun 2012 menjelaskan bahwa

angka kesakitan pada lansia tahun 2012 di perkotaan adalah 24,77%

artinya dari setiap 100 orang lansia di daerah perkotaan 24 orang

mengalami sakit. Di pedesaan didapatkan 28,62% artinya setiap 100

orang lansia di pedesaan, 28 orang mengalami sakit.

Pendapat lain menjelaskan bahwa lansia mengalami perubahan

dalam kehidupannya sehingga menimbulkan beberapa masalah.

Permasalahan tersebut diantaranya yaitu :


a. Masalah fisik Masalahyang hadapi oleh lansia adalah fisik

yang mulai melemah, sering terjadi radang persendian ketika

melakukan aktivitas yang cukup berat, indra pengelihatan yang

mulai kabur, indra pendengaran yang mulai berkurang serta daya

tahan tubuh yang menurun, sehingga seringsakit.

b. Masalah kognitif ( intelektual ) Masalah yang hadapi lansia

terkait dengan perkembangan kognitif, adalah melemahnya daya

ingat terhadap sesuatu hal (pikun), dan sulit untuk bersosialisasi

dengan masyarakat di sekitar.

c. Masalah emosional Masalah yang hadapi terkait dengan

perkembangan emosional, adalah rasa ingin berkumpul dengan

keluarga sangat kuat, sehingga tingkat perhatian lansia kepada

keluarga menjadi sangat besar. Selain itu, lansia sering marah

apabila ada sesuatu yang kurang sesuai dengan kehendak

pribadi dan sering stres akibat masalah ekonomi yang kurang

terpenuhi.

d. Masalah spiritual Masalah yang dihadapi terkait dengan

perkembangan spiritual, adalah kesulitan untuk menghafal kitab

suci karena daya ingat yang mulai menurun, merasa kurang

tenang ketika mengetahui anggota keluarganya belum

mengerjakan ibadah, dan merasa gelisah ketika menemui

permasalahan hidup yang cukup serius.


6. Pendekatan Perawatan Lansia

a. Pendekatan Fisik Perawatan pada lansia juga dapat

dilakukan dengan pendekatan fisik melalui perhatian terhadap

kesehatan, kebutuhan, kejadian yang dialami klien lansia

semasa hidupnya, perubahan fisik pada organ tubuh, tingkat

kesehatan yang masih dapat dicapai dan dikembangkan, dan

penyakit yang dapat dicegah atau progresifitas penyakitnya.

Pendekatan fisik secara umum bagi klien lanjut usia dapat dibagi

2 bagian:

1) Klien lansia yang masih aktif dan memiliki keadaan fisik yang

masih mampu bergerak tanpa bantuan orang lain sehingga

dalam kebutuhannya sehari-hari ia masih mampu melakukannya

sendiri.

2) Klien lansia yang pasif, keadaan fisiknya mengalami

kelumpuhan atau sakit. Perawat harus mengetahui dasar

perawatan klien lansia ini, terutama yang berkaitan dengan

kebersihan perseorangan untuk mempertahankan kesehatan.

b. Pendekatan Psikologis Perawat mempunyai peranan penting

untuk mengadakan pendekatan edukatif pada klien lansia. Perawat

dapat berperan sebagai pendukung terhadap segala sesuatu yang

asing, penampung rahasia pribadi dan sahabat yang akrab.

Perawat hendaknya memiliki kesabaran dan ketelitian dalam

memberi kesempatan dan waktu yang cukup banyak untuk


menerima berbagai bentuk keluhan agar lansia merasa puas.

Perawat harus selalu memegang prinsip triple S yaitu sabar,

simpatik dan service. Bila ingin mengubah tingkahlaku dan

pandangan mereka terhadap kesehatan, perawat bisa

melakukannya secara perlahan dan bertahap.

c. Pendekatan Sosial Berdiskusi serta bertukar pikiran dan

cerita merupakan salah satu upaya perawat dalam melakukan

pendekatan sosial. Memberi kesempatan untuk berkumpul bersama

dengan sesama klien lansia berarti menciptakan sosialisasi.

Pendekatan sosial ini merupakan pegangan bagi perawat bahwa

lansia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Dalam

pelaksanaannya, perawat dapat menciptakan hubungan sosial, baik

antar lania maupun lansia dengan perawat. Perawat memberi

kesempatan seluas-luasnya kepada lansia untuk mengadakan

komunikasi dan melakukan rekreasi. Lansia perlu dimotivasi untuk

membaca surat kabar dan majalah.

B. Konsep Dasar Stroke

1. Pengertian

Gangguan suplai darah ke otak akan menyebabkan

berkurangnya pasokan oksigen ke otak. Oksigen yang terputus

selama 8-10 detik akan menyebabkan gangguan fungsi otak.

Sedangkan terputusnya aliran oksigen ke otak dalam 6-10 menit


dapat merusak sel–sel otak, dan kemungkinan tidak dapat pulih

kembali (Wiwit, dalam Purnomo, 2014).

Stroke merupakan penyakit serebrovaskular (pembuluh

darah otak) karena kematian jaringan otak (infark serebral)

penyebabnya adalah berkurangnya aliran darah dan oksigen ke

otak dikarenakan adanya sumbatan, penyempitan atau pecahnya

pembulu darah. Stroke merupakan sindrom klinis yang timbul

secara mendadak, progresi cepat, yang berlangsung 24 jam atau

lebih. Bila gangguan peredaran darah otak ini berlangsung

sementara, beberapa detik hingga beberapa jam (kebanyakan 10-

20 menit), tetapi kurang dari 24 jam, disebut serangan iskemia otak

sepintas (Pudiastuti 2011).

2. Penyebab

Menurut Wijaya & Putri, (2013) mengemukakan penyebab

stroke dibagi tiga, yaitu:

a. Trombosis Serebral

Aterosklorosis serebral dan perlambatan sirkulasi

serebral adalah penyebab utama trombosis serebral yang

menjadi penyebab paling utama dari stroke. Trombosis di

temukan pada 40% dari semua kasus stroke yang telah

dibuktikan oleh alih patologi. Biasanya ada kaitanya dengan

kerusakan lokal dinding pembuluh darah akibat aterosklorosis.

b. Emboli Serebri
Embolisme serebri termasuk urutan kedua dari

berbagai penyebab utama stroke. Penderita embolisme

biasanya lebih muda dibandingkan dengan penderita

trombosis. Kebanyakan emboli serebri berasal dari suatu

trombus dalam jantung sehingga masalah yang dihadapi

sesungguhnya merupakan perwujudan penyakit jantung.

c. Hemoragi

Hemoragi dapat terjadi di luar durameter (hemoragi

ekstra dural atau epidura) di bawah durameter (hemoragi

subdural), di ruang subaraknoid (hemorogi subaraknoid) atau

dalam substansial otak (hemoragi intra serebral).

3. Patofisiologi

Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area

tertentu di otak. Luasanya infark bergantung pada faktor-faktor

seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan adekuatnya

sirkulasi korateral terhadap area yang di suplai oleh pembuluh

darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah

(semakin lambat atau semakin cepat) pada gangguan lokal

(trombus, emboli, pendarahan, dan spasme vaskuler) atau karena

gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung).

Ateroklorosis sering sebagai faktor penyebab infark pada otak.

Trombus dapat berasal dari plak, atau darah yang membeku pada
area yang stenosis, tempat aliran darah mengalami perlambatan

atau terjadi turbulensi.

Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa

sebagai emboli dalam aliran darah. Trombus mengakibatkan

iskemia jaringan otak yang di suplai oleh pembuluh darah yang

yang bersangkutan, edema dan kongesti di sekitar area. Area

edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar dari pada area

infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam

atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Oklusi pada

pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan

nekrosis diikuti trombosis.

Pendarahan otak disebabkan oleh ruptur arteriosklorotik dan

hipertensi pembuluh darah. Pendarahan intra serebral yang

sangat luas akan lebih sering menyebabkan kematian

dibandingkan keseluruhan penyakit serebro vaskular, karena

pendarahan yang luas terjadi distruksi masa otak, peningkatan

intrakranial. Kematian dapat disebakan oleh kompresi batang

otak, hemisfer otak, dan pendarahan batang otak. Perembesan

darah ke vrentikel otak terjadi pada seper tiga kasus pendarahan

otak di nekleus kaudatus, thalamus dan pons (Mutaqin, 2008).


4. Pathway

Faktor-faktor resiko stroke

Emboli serebral
Trombosis serebral Pendarahan
intraserebral

dStroke
(cerebro vasculer
accident)

dDefisit neorologis

Infark serebral Kehilangan Disfungsi


Resiko bahasa dan
kontrol peningkatan
volunter komunikasi
TIK

Penurunan Hemiplegia
perfusi dan Disastria,
jaringan hemiparesis disfasia/afasi
serebral a

Kerusakan
mobilitas Kerusakan
fisik komunikasi
verbal

Skema 2.1 Pathway Stroke

(Mutaqin, 2008)
5. Manifestasi Klinis

Pada stroke non hemorogi gejala utamanya adalah

timbulnya defisit neorologis secara mendadak atau akut, di dahului

proabnormal, terjadi waku istirahat atau bangun pagi dan

kesadaran biasanya tak menurun, kecuali bila embolus cukup

besar. Menurut WHO, dalam Internasional Statistic Classification

Of Disease And Related Health Problem 10th Revision, stroke

dapat dibagi atas:

a. Pendarahan Intra Serebral (PIS)

Stroke akibat PIS mempunyai gejala proabnormal yang

tidak jelas, kecuali nyeri kepala karena hipertensi. Serangan

sering kali setiap hari, saat aktivitas, atau emosi/marah. Sifat

nyeri kepalanya hebat sekali. Mual dan muntah seringkali

terjadi sejak pemulaan serangan. Kesadaran biasanya

menurun cepat menjadi koma (65% terjadi turan dari

setengah jam, 23% antara ½ sampai dengan 2 jam dan 12%

terjadi setelah 2 jam, sampai 19 hari).

b. Pendarahan Subaraknoid (PSA)

Pada pasien PSA didapatkan gejala berupa nyeri

kepala hebat dan akut. Kesedaran sering terganggu dan

sangat bervariasi. Ada gejala atau rangsangan meningeal.

Edema pupil terdapat arteri anterior atau arteri karotis

internal. Gejala neorologis yang timbul tergantung pada


berat ringanya gangguan pembuluh darah dan lokasi yang

terkena misalnya:

1) Kelumpuhan wajah dan anggota badan yang timbul

mendadak.

2) Gangguan sensabilitas pada satu atau lebih anggota

badan.

3) Perubahan mendadak status mental.

4) Afasia (bicara tidak lancar, kuranganya ucapan atau

kesulitan memahami ucapan).

5) Ataksia anggota badan.

6) Vertigo, mual muntah atau nyeri kepala

(Putri & Wijaya, 2013)

6. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Baticaca, (2011) mengemukakan pemeriksaan

diagnostik dalam buku “Asuhan Keperawatan pada Klien dengan

Gangguan Sistem Persarafan yaitu:

a. Riwayat penyakit sekarang (kapan timbulnya, lamanya

serangan, gejala yang timbul).

b. Riwayat penyakit dahulu (hipertensi, jantung, DM, disritmia,

ginjal, pernah mengalami trauma kepala).

c. Riwayat penyakit keluarga (hipertensi, jantung, DM).

d. Aktivitas (sulit beraktvitas, kehilangan sensasi penglihatan,

gangguan tonus otot, gangguan tingkat kesadaran).


e. Sirkulasi (hipertensi, jantung, distritmia, gagal jantung kronis).

f. Makanan/cairan (nafsu makan berkurang, mual, muntah pada

fase akut, hilang sensasi pengecapan pada lidah, obesitas

sebagai faktor resiko).

g. Neurosensorik (sinkop atau pingsan, vertigo, sakit kepala,

penglihatan bekurang atau ganda, hilangnya rasa sensorik

kontralateral, afasia motorik, reaksi pupil tidak sama).

h. Kenyamanan (sakit kepala dengan intensitas yang berbeda,

tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketergantungan otot).

i. Pernapasan (merokok sebagai faktor resiko, tidak mampu

menelan karena batuk).

j. Interaksi sosial (masalah bicara, tidak mampu berkomunikasi).

7. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Putri & Wijaya, (2013) mengemukakan

pemeriksaan pemeriksaan penunjang penyakit stroke yaitu:

a. Angiografi Serebral

Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik

seperti pendarahan, obstruksi ateri, oklusi/ruptur.

b. Electro Encefalography

Mengidentifiikasi masalah didasarkan pada gelombang

otak atau mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.


c. Sinar X Tengkorak

Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal

daerah yang berlawanan dari masa yang luas, klasifikasi

karotis intera terdapat pada trobus serebral. Klasifikasi

parsial dinding, anuerisma pada pendarahan subaraknoid.

d. Ultrasonograf Doppler

Mengidentifikasi penyakit ateriovena (masalah sistem

ateri karotis/aliran darah, muncul plak/arterosklerosis).

e. CT-Scan

Memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia

dan adanya infark.

f. MRI

Menunjukan adanya tekan abnormal dan biasanya

ada trombosis, emboli dan TIA, tekanan meningkat dan

cairan mengandung darah menunjukan hemoragi/pendaraan

intrakranial.

g. Pemerikasaan Foto Thorax

Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah

terdapat pembesaran vertikel kiri yang merupakan salah satu

tanda hipertensi kronis pada penderita stroke,

menggambarkan perubahan kelenjar lempeng peneal

daerah berlawan dan masa yang meluas.


h. Pemeriksaan Laboratorium

1) Fungsi lumbal

Tekanan normal biasanya ada trombosisi, emboli dan

TIA, tekanan meningkat dan cairan yang mengandung

darah menunjukan adanya pendarahan intrakranial.

Kadar protein total meningkat pada kasus trombosis

sehubungan dengan proses inflamasi.

2) Pemeriksaan darah rutin.

3) Pemeriksaan kimia darah

Pada stroke akut dapat terjadi hiperglikimia. Gula

darah dapat mencapai 250 mg dalam serum dan

kemudian berangsur-angsur turun kembali.

(Putri & Wijaya, 2013).


5. Asuhan Keperawatan Stroke

1. Pengkajian Keperawatan

Menurut Wijaya & Putri, (2013) mengemukakan pengkajian

keperawatan yaitu:

a. Identitas klien

Umur, jenis kelamin, ras, suku, bangsa dan lain lain.

b. Riwayat kesehatan dahulu

1) Riwayat hipertensi

2) Riwayat penyakit kardiovaskuler

3) Riwayat tinggi kolestrol

4) Obesitas

5) Riwayat DM

6) Riwayat ateroklerosis

7) Merokok

8) Riwayat pemakaian kontrasepsi yang disertai hipertensi

dan meningkatnya kadar estrogen.

9) Riwayat konsumsi alkohol.

c. Riwayat kesehatan sekarang

1) Kehilangan komuniksi

2) Gangguann persepsi

3) Kehilangan motorik

4) Merasa kesulitan untuk melakukan aktifitas karena

kelemahan, kehilangan sensasi atau paralisis


(hemiplagia), merasa mudah lelah, susah beristirahat

(nyeri, kejang otot).

d. Riwayat kesehatan keluarga.

Apakah ada penyakit degeneratif dalam keluarga

e. Pemeriksaan data dasar

1) Aktivitas istirahat

a) Merasa kesuliatan untuk melakukan aktivitas karena

kelemahan, kehilangan sensasi atau paralis

(hemiplegia).

b) Merasa mudah lelah, susah beristirahat (nyeri,

kejang otot).

c) Gangguan tonus otot (flaksid, spastik), paralitik

hemiplegia dan terjadi kelemahan umum.

d) Gangguan penglihatan.

e) Gangguan tingkat kesadaran.

f. Sirkulasi

1) Adanya penyakit jantung (rematik/penyakit jantung

vaskuler, endokarditis, riwayat hipotensi potural).

2) Hipotensi arteri berhubungan dengan

embolisi/malformasi vaskuler.

3) Frekuensi ateri dapat berfariasi karena ketidak efektifan

fungsi/keadaan jantung.
g. Intregitas Ego

1) Perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa.

2) Emosi labil, ketidak siapan untuk makan sendiri dan

gembira.

3) Kesulitan untuk mengekpresikan diri.

h. Eliminasi

1) Perubahan pola perkemihan seperti: inkontinensia urin,

anuria.

2) Distensi abdomen: bising usus kurang.

i. Makanan/cairan

1) Nafsu makan hilang, mual muntah selama fase

akut/peningkatan TIK.

2) Kehilangan sensasi (rasa kecap pada lidah, pipi dan

tengkorak)

3) Disfagia, riwayat DM, peningkatan lemak dalam darah

4) Kesulitan menelan (gangguan pada refleks palatum dan

faringeal), obesitas.

j. Neorosensorik

1) Adanya sinkop/pusing, sakit kepala berat.

2) Kelemahan, kesemutan, kebas pada salah satu sisi

seperti mati rasa/lumpuh.


3) Penglihatan menurun: buta total, kehilangan daya ingat

sebagai (kebutuahan monokuler), penglihatan ganda

(diplopia).

4) Sentuhan: hilangnya rangsangan sensasi krontal layeral

(pada sisi tubuh yang berlawanan/pada ekstremitas dan

kadang pada ispirateral atau sisi) pada wajah.

5) Gangguan rasa pengecapan dan penciuman.

6) Status mental/tingkat kesadaran: koma pada tahap awal

hemoragik, tetap sadar jika trombosis alami.

7) Gangguan fungsi kognitif: penurunan memori.

8) Ekstremitas: kelemahan/paralise (kontra lateral), tidak

dapat menggengam, refleks tendon melah secara

kontralateral.

9) Afasia: gangguan fungsi bahasa, afasia motorik

(kesulitan mengucapkan kata) atau afasia sensorik

(kesulitan memahami kata-kata bermakna).

10) Kehilangan kemampuan mengenali atau menghayati

masuknya sensasi visual, pendengar, tartil, (agnosia

seperti gangguan kesadaran terhadap citra diri,

kewaspadaan kelainan terhadap bagian yang terkena,

gangguan persepsi, kehilangan kemampuan

menggunakan motorik saat klien ingin

menggunakannya), pendarahan atau hernia.


k. Nyeri

1) Sakit kepala intensitas berbeda (karena ateri karotis

terkena).

2) Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketergantungan

pada otot.

l. Pernafasan

1) Ketidak mampuan menelan, batuk/hambatan jalan nafas.

2) Pernafasan sulit, tidak teratur, suara nafas terdengar

ronkhi (aspirasi sekresi).

m. Keamanan

1) Motorik/sensorik: masalah penglihatan, perubahan

persepsi terhadap orientasi tentang tubuh (sroke kanan),

kesulitan melihat obyek pada sisi kiri, hilangnya

kewaspadaan terhadap bagian tubuh yang sakit.

2) Tidak mampu mengenali obyek, warna dan wajah yang

pernah dikenali.

3) Gangguan respon terhadap panas dingin, gangguan

regulasi tubuh.

4) Tidak mandiri, gangguan dalam memutuskan, perhatian

terhadap keamanan sedikit.

5) Tidak sadar/kurang kesadaran diri.

n. Interaksi sosial

1) Masalah bicara, tidak mampu berkomunikasi.


2. Diagnosa Keperawatan Stroke

a. Hambatan mobilitas fiisik berhubungn dengan penurunan

kekuatan otot atau kelumpuahan.

b. Kurang pengetehauan berhubungan dengan kurangnya

informasi.

(Wijaya & Putri, 2013).

Anda mungkin juga menyukai