Anda di halaman 1dari 46

BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

2.1. KONSEP DASAR SEPSIS

2.1.1. Definisi

Sepsis merupakan respon sistemik terhadap infeksi dimana

patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga

terjadi aktivasi proses inflamasi. Berbagai definisi sepsis telah

diajukan, namun definisi yang saat ini digunakan di klinik adalah

definisi yang ditetapkan dalam consensus American College of

Chest Physician dan Society of Critical Care Medicine pada yang

mendefinisikan sepsis, sindroma respon inflamasi sistemik

(systemic inflammatory response syndrome / SIRS) apabila sepsis

telah menyebabkan beberapa kegagalan pada organ seperti ginjal,

jantung, atau hepar maka bias dikatagorikan dalam MODS

(Multiple Organ Dysfungtion Syndrome). (Pierce A. Grace & Neil

R. Brokly, 2013).

Sepsis adalah infeksi disertai dengan respons sistemik;

respons sistemik tersebut ditandai dengan 2 atau lebih tanda:

temperatur > 38° atau kurang dari 36 °C; denyut jantung >

90/menit; respirasi > 20 /menit atau PaCO2 < 32 mmHg (< 4.3

kPa), sel darah putih > 12.000/mm3, < 4.000/mm3; atau > 10%

bentuk immature/band. Sepsis syndrome adalah gejala klinis


infeksi disertai dengan respons sistemik yang menyebabkan

gangguan organ berupa: insufisiensi respirasi, disfungsi renal,

asidosis atau gejala mental. Sedangkan Septic shock adalah sepsis

syndrome disertai dengan hipotensi dan adanya gangguan perfusi.

Refractory septic shock adalah syok septik yang berlangsung lebih

dari satu jam tanpa respons terhadap intervensi cairan atau obat

farmakologis. (Herwanto & Amin, 2009).

Tabel 1 Perbedaan Sindroma Sepsis dan Syok Sepsis

Sindroma sepsis Syok Sepsis

Takipneu, respirasi 20x/m Sindroma sepsis ditambah dengan

Takikardi 90x/m gejala:

Hipertermi 38 C Hipotensi 90 mmHg

Hipotermi 35,6 C Tensi menurun sampai 40 mmHg dari

Hipoksemia baseline dalam waktu 1 jam

Peningkatan laktat plasma Membaik dengan pemberian cairan

Oliguria, Urine 0,5 cc/kgBB dalam 1 danpenyakit shock hipovolemik, infark

jam miokard dan emboli pulmonal sudah

disingkirkan

(Herwanto & Amin, 2009, dikutip dari

Glauser, 1991).
Sepsis adalah suatu keadaan ketika mikroorganisme menginvasi

tubuh dan menyebabkan respon inflamasi sitemik. Respon yang

ditimbulkan sering menyebabkan penurunan perfusi organ dan disfungsi

organ. Jika disertai dengan hipotensi maka dinamakan Syok sepsis. ( Linda

D.U, 2013).

2.1.2. Anatomi Fisiologi

1. Anatomi Darah

Darah adalah jaringan cair dan terdiri atas dua bagian,

bagian cair yang disebut plasma dan bagian padat yang disebut

sel-sel darah. (Pearce Evelyn, 2008 : 133).Sel-sel darah, ada

tiga macam yaitu :

a. Eritrosit (sel darah merah)

Eritrosit merupakan cakram bikonkaf yang tidak

berhenti, ukurannya kira-kira 8 m, tidak dapat bergerak,

banyaknya kira-kira 5 juta dalam mm3.Fungsi dari

eritrosit adalah mengikat CO2 dari jaringan tubuh untuk

dikeluarkan melalui paru-paru. Eristrosit di buat dalam


sumsum tulang, limpa dan hati, yang kemudian akan

beredar keseluruh tubuh selama 14-15 hari, setelah itu

akan mati. Eritrosit berwarna kuning kemerahan karena

didalamnya mengandung suatu zat yang disebut

hemoglobin. (Pearce Evelyn, 2008 : 133)

Hemoglobin adalah protein yang terdapat pada sel

darah merah yag berfungsi sebagai pengangkut oksigen

dari paru-paru dan dalam peredaran darah untuk dibawa

ke jaringan dan membawa karbon dioksida dari jaringan

tubuh ke Paru-Paru. Hemoglobin mengandung kira-kira

95% Besi ( Fe ) dan berfungsi membawa oksigen dengan

cara mengikat oksigen menjadi Oksihemoglobin dan

diedarkan keseluruh tubuh untuk kebutuhan

metabolisme. (Pearce Evelyn, 2008 : 133).

Disamping Oksigen, hemoglobin juga membawa

Karbondioksida dan dengan Karbon monooksida

membentuk ikatan Karbon Monoksihemoglobin (HbCO),

juga berperan dalam keseimbangan ph darah. Proses

pembentukan sel darah merah ( Eritropoeisis) pada orang

dewasa terjadi di sumsum tulang seperti pada tulang

tengkorak, vertebra, pelvis, sternum, iga, dan epifis

tulang-tulang panjang. Dalam proses pembentukan sel

darah merah membutuhkan bahan zat besi, vitamin B12,

asam folat, vitamin B6. (Pearce Evelyn, 2008 : 133)


b. Leukosit (sel darah putih)

Sel darah yang bentuknya dapat berubah-ubah dan

dapat bergerak dengan perantara kaki palsu

(pseudopodia) mempunyai bermacam-macam inti sel

sehingga dapat dibedakan berdasar inti sel. Leukosit

berwarna bening (tidak berwarna), banyaknya kira-kira

4.000-11.000/mm3. Leukosit berfungsi sebagai serdadu

tubuh, yaitu membunuh dan memakan bibit penyakit

atau bakteri yang masuk ke dalam tubuh jaringan RES

(Retikulo Endotel Sistem). Fungsi yang lain yaitu

sebagai pengangkut, dimana leukosit mengangkut dan

membawa zat lemak dari dinding usus melalui limpa ke

pembuluh darah. Pada kebanyakan penyakit disebabkan

karena kemasukan kuman atau infeksi maka jumlah

leukosit yang ada dalam darah akan meningkat. (Pearce

Evelyn, 2008 : 133)

c. Plasma darah

Bagian darah encer tanpa sel-sel darah warna bening

kekuningan hampir 90% plasma darah terdiri dari :

1) Fibrinogen yang berguna dalam proses

pembekuan darah.
2) Garam-garam mineral (garam kalsium, kalium,

natrium, dan lain-lain yang berguna dalam

metabolisme dan juga mengadakan osmotik).

3) Protein darah (albumin dan globulin)

meningkatkan viskositas darah dan juga

menimbulkn tekanan osmotik untuk memelihara

keseimbangan cairan dalam tubuh.

4) Zat makanan (zat amino, glukosa lemak, mineral,

dan vitamin). (Pearce Evelyn, 2008 : 121-167)

2. Fisiologi Darah

Menurut Syaifuddin (2011) fungsi darah terdiri atas :

1. Sebagai alat pengangkut, yaitu :

a. Mengambil O2/zat pembakar dari paru-paru untuk

diedarkan keseluruh jaringan tubuh.

b. Mengangkut CO2 dari jaringan untuk dikeluarkan

melalui paru-paru.

c. Mengambil zat-zat makanan dari usus halus untuk

diedarkan dan dibagikan ke seluruh jaringan/alat tubuh.

2. Sebagai pertahanan tubuh terhadap serangan bibit penyakit

dan racun yang akan membinasakan tubuh dengan

perantaraan leukosit, antibodi/zat-zat anti racun.

3. Menyebarkan panas ke seluruh tubuh.

(Syaifuddin, 2011).
2.1.3. Etiologi

Sepsis merupakan respon terhadap setiap kelas

mikroorganisme. Dari hasil kultur darah ditemukan bakteri dan

jamur 20-40% kasus dari sepsis. Bakteri gram negatif dan gram

positif merupakan 70% dari penyebab infeksi sepsis berat dan

sisanya jamur atau gabungan beberapa mikroorganisme. Pada

pasien yang kultur darahnya negatif, penyebab infeksi tersebut

biasanya diperiksa dengan menggunakan kultur lainnya atau

pemeriksaan mikroskopis (Munford, 2011). Penelitian terbaru

mengkonfirmasi bahwa infeksi dengan sumber lokasi saluran

pernapasan dan urogenital adalah penyebab paling umum dari

sepsis (Shapiro, 2014)

Tabel 2. Penyebab Umum Sepsis pada Orang Sehat

Sumber lokasi Mikroorganisme


Kulit Staphylococcus aureus dan gram
positif bentuk cocci lainnya
Saluran kemih Eschericia coli dan gram negatif
bentuk batang lainnya
Saluran pernafasan Streptococcus pneumonia
Usus dan kantung Enterococcus faecalis, E.coli dan
empedu gram negative bentuk batang lainnya,
Bacteroides fragilis
Organ pelvis Neissseria gonorrhea,anaerob
Sumber: Moss et.al,2012

Tabel 3. Penyebab Umum Sepsis pada Pasien yang Dirawat


Masalah klinis Mikroorganisme
Pemasanagan kateter Escherichia coli, Klebsiella
spp., Proteus spp., Serratia spp.,
Pseudomonas spp.
Penggunaan iv kateter Staphylococcus aureus,
Staph.epidermidis, Klebsiella
spp., Pseudomonas spp.,
Candida albicans
Setelah operasi: Staph. aureus, E. coli, anaerobes
Wound infection (tergantung lokasinya)
Deep infection Tergantung lokasi anatominya

Luka bakar (tergantung lokasinya)

Pasien immunocompromised Pasien immunocompromised

Sumber: Moss et.al,2012

Penyebab sepsis terbesar adalah bakteri gram-negatif (60%

sampai 70% kasus), yang berbagai produknya dapat menstimulasi sel-

sel imun yang kemudian akan terpacu untuk melepaskan mediator-

mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis

adalah lipopolisakarida (LPS), yang merupakan struktur dominan pada

membran luar bakteri gram-negatif. LPS merangsang peradangan

jaringan, demam dan syok pada hospes yang terinfeksi. Struktur lipid

A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam hospes.

(Syaifuddin, 2011).
2.1.4. Faktor Resiko

1. Umur

a) Pasien yang berusia kurang dari 1 tahun dan lebih dari 65

tahun

2. Pemasangan alat invasive

a) Venous catheter

b) Arterial lines

c) Pulmonary artery catheters

d) Endotracheal tube

e) Tracheostomy tubes

f) Intracranial monitoring catheters

g) Urinary catheter

3. Prosedur invasive

a) Cystoscopic

b) Pembedahan

4. Medikasi/Therapeutic Regimens

a) Terapi radiasi

b) Corticosteroids

c) Oncologic chemotherapy

d) Immunosuppressive drugs

e) Extensive antibiotic use

5. Underlying Conditions

a) Poor state of health

b) Malnutrition
c) Chronic Alcoholism

d) Pregnancy

e) Diabetes Melitus

f) Cancer

g) Major organ disease – cardiac, hepatic, or renal dysfunction

2.1.5. Patofisiologi

Terjadinya infeksi dan sepsis erat kaitannya dengan faktor

host dan faktor mikrobiologi.

1. Faktor host

Infeksi terjadi bila mikroorganisme dapat melewati lapisan-

lapisan pertahanan tubuh/barrier. Barrier pertama berupa

pertahanan mekanis/kimiawi; misalnya kulit atau mukosa yang

utuh, sekresi tubuh yang bersifat bakterisidal atau bakteristatik,

pergerakan silia, refleks batuk dan sebagainya. Lapisan kedua

pertahanan tubuh adalah sel-sel fagosit yang umumnya bersifat

nonspesifik; yang akan memusnahkan setiap invasi. (Pierce A.

Grace & Neil R. Brokly, 2013).

Lapisan pertahanan tubuh ketiga adalah yang bersifat spesifik

terhadap antigen-bahan asing tertentu. Gangguan pada barrier

pertama, kedua atau ketiga atau kombinasi memudahkan terjadinya

infeksi. Secara umum faktor host yang berperan dalam

memudahkan timbulnya sepsis pada infeksi adalah: penyakit dasar,


status gizi, status metabolik pasien; adanya infeksi fokal

sebelumnya, pemakaian peralatan invasif pada lingkungan rumah

sakit (kateter urine, vena sentral), penekanan imunitas tubuh akibat

pemberian steroid, kemoterapi, radiasi (Pierce A. Grace & Neil R.

Brokly, 2013).

2. Faktor mikrobiologi

Faktor mikrobiologi penting perannya sebagai pencetus

segala perubahan patogenesis dan patofisiologi yang terjadi, dan

juga terkait dengan pemilihan obat antibiotika yang sesuai. Telah

diketahui bahwa kemungkinan terjadinya syok septik pada infeksi

oleh mikroorganisme-mikroorganisme tidak sama. Pada era pra-

antibiotik, syok septik tersering karena: Streptococcus pneumonia;

Streptococcus grup A, Staphylococcus aureus, Haemophylus

influenza, Neisseria meningitidis, Salmonella spp. Namun akhir-

akhir ini organisme gram-negatif merupakan patogen utama

penyebab bakteremia (Pierce A. Grace & Neil R. Brokly, 2013).

Organisme gram positif dan jamur sama kemungkinannya

dengan organisme gram-negatif yang mengandung endotoksin

dalam menyebabkan sepsis, di mana mereka dapat memulai

rangkaian patogenesis sepsis. Proses dimulai dengan proliferasi

organisme pada tempat masuknya infeksi. Organisme dapat

menginvasi pembuluh darah secara langsung (menyebabkan biakan

darah positif) atau berproliferasi secara lokal dan melepaskan


berbagai macam substansi (produk) ke dalam aliran darah. (Pierce

A. Grace & Neil R. Brokly, 2013).

Berbagai proses terjadi setelah tubuh mendeteksi adanya

invasi mikroorganisme. Bagian dari mikroorganisme yang memberi

isyarat tubuh bahwa mikroorganisme telah menyerang adalah

LPS/endotoksin kuman gram-negatif. Peptidoglycan dan

lipotechoic acid bakteri gram positif, bahan-bahan polisakarida

tertentu. serta enzim ekstraseluler dan toksin tertentu juga dapat

memicu respons yang sama baik yang berada pada permukaan sel

atau pun yang bebas. (Pierce A. Grace & Neil R. Brokly, 2013).

Respon tubuh setelah invasi mikroba merupakan hasil

interaksi yang kompleks antara microbial signal, leukosit, mediator

humoral dan endotel vaskuler. Cytokine pada reaksi inflamasi

mengamplifikasi dan mendiversifikasi respons. Infeksi diharapkan

dapat terlokalisasi di tempat tersebut dengan terbentuknya trombus

lokal; sehingga invasi kuman dapat dicegah. Dan dengan mobilisasi

sel darah putih, makrofag, maka infeksi dapat diatasi.

Prostaglandin dan prostacyclin dapat menyebabkan vasodilatasi

perifer, sedangkan thromboxane menyebabkan vasokonstriksi dan

memacu agregasi trombosit. Leukotriene juga merupakan mediator

yang kuat pada iskemia dan syok. (Pierce A. Grace & Neil R.

Brokly, 2013).
Banyak alat tubuh mengalami kerusakan akibat sepsis.

Mekanisme yang mendasari sangat mungkin adalah terjadinya

vascular endothelial injury yang sangat luas, di samping

ekstravasasi cairan dan mikrotrombi yang akan menurunkan

utilisasi oksigen dan bahan lain oleh jaringan yang bersangkutan.

Mediator-mediator yang dibebaskan oleh leukosit, platelet-

leukocyte-fibrin trombus berperan pada peristiwa ini, tetapi endotel

vaskuler sendiri tampaknya juga berperan aktif. Stimulus oleh

TNF-a pada sel endotel vaskuler akan menyebabkan diproduksi dan

dilepaskannya bahan cytokine. Respon tersebut, selain akan lebih

menarik banyak fagosit ke tempat radang dan mengaktifkan

berbagai bahan, aktivasi endotel juga akan menyebabkan

peningkatan permeabilitas vaskuler, trombosis mikrovaskuler, dan

hipotensi. (Pierce A. Grace & Neil R. Brokly, 2013).

Pada kebanyakan pasien sepsis, fibrinolisis mengalami

supresi meskipun adanya aktivasi sistem koagulasi terus

berlangsung. Dua inhibitor utama fibrinolisis, plasminogen

activator inhibitor (PAI-1) dan thrombin activateable fibrinolysis

nhibitor (TAFI) terpengaruh oleh adanya proses inflamasi dan

koagulasi pada sepsis. Endotoksin kuman gram-negatif

meningkatkan aktivitas PAI-1, yang berakibat penurunan tissue

plasminogen activator (tPA) activity. Demikian juga kadar protein

C, Protein S dan AT menurun. (Pierce A. Grace & Neil R. Brokly,

2013).
Protein C sudah turun 18 jam sebelum diagnosis klinis

sepsis ditegakkan. Berkurangnya AT dan Protein C berkorelasi

dengan beratnya sakit, sering dipakai sebagai petanda prognosis

buruk. Dengan berlanjutnya sepsis, maka gejala koagulopati

menjadi muncul. Hampir 100% pasien sepsis berat dijumpai

peningkatan kadar D-dimer; mengisyaratkan terjadinya aktivasi

sistem koagulasi meski parameter koagulasi lain dalam batas

normal. (Pierce A. Grace & Neil R. Brokly, 2013).

Mikroorganisme penyebab yang paling umum dari syok

septik adalah bakteri gram-negatif. Namun demikian, agen

infeksius lain seperti bakteri gram positif dan virus juga dapat

menyebabkan syok septik. Ketika mikroorganisme menyerang

jaringan tubuh, pasien akan menunjukkan respon imun. Respons

imun ini membangkitkan aktivasi berbagai mediator kimiawi yang

mempunyai berbagai efek yang mengarah pada syok. Peningkatan

permeabilitas kapiler, yang mengarah pada perembesan cairan dari

kapiler, dan vasodilatasi adalah dua efek tersebut. Bakteri gram

negatif menyebabkan infeksi sistemik yang mengakibatkan kolaps

kardiovaskuler. (Pierce A. Grace & Neil R. Brokly, 2013).

Endotoksin basil gram negatif ini menyebabkan vasodilatasi

kapiler dan terbukanya hubungan pintas arteriovena perifer.

Peningkatan kapasitas vaskuler karena vasodilatasi perifer

menyebabkan terjadinya hipovolemia relatif, sedangkan

peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan cairan


intravaskuler ke intertisial yang terlihat sebagai udem. Pada syok

septik hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan

perfusi jaringan melainkan karena ketidakmampuan sel untuk

menggunakan oksigen karena toksin kuman. (Pierce A. Grace &

Neil R. Brokly, 2013).

Syok septik terjadi dalam dua fase yang berbeda. Fase

pertama, disebut sebagai fase “hangat” atau hiperdinamik, ditandai

oleh tingginya curah jantung dan vasodilatasi. Pasien menjadi

sangat panas atau hipertermik dengan kulit hangat kemerahan.

Frekuensi jantung dan pernafasan meningkat. Haluaran urine dapat

meningkat atau tetap dalam kadar normal. Status gastrointestinal

mungkin terganggu seperti yang dibuktikan oleh mual, muntah,

atau diare. (Pierce A. Grace & Neil R. Brokly, 2013).

Fase lanjut, disebut sebagai fase “dingin”atau hipodinamik,

yang ditandai oleh curah jantung yang rendah dengan

vasokonstriksi yang mencerminkan upaya tubuh untuk

mengkompensasi hipovolemia yang disebabkan oleh kehilangan

volume intravaskular melalui kapiler. Pada fase ini tekanan darah

pasien turun, dan kulit dingin serta pucat. Frekuensi jantung dan

pernapasan tetap cepat. Pasien tidak lagi membentuk urin dan dapat

terjadi kegagalan organ multipel. (Pierce A. Grace & Neil R.

Brokly, 2013).
2.1.6. Manifestasi Klinis

Menurut Dasenbrook & Merlo 2015, Pasien dalam fase

awal sepsis sering mengalami cemas, demam, takikardi, dan

takipnea. Tanda-tanda dari sepsis sangat bervariasi.

Berdasarkan studi, demam (70%), syok (40%), hipotermia

(4%), ruam makulopapular, petekie, nodular, vesikular dengan

nekrosis sentral (70% dengan meningococcemia), dan artritis (8%).

Demam terjadi pada <60% dari bayi dibawah 3 bulan dan pada

orang dewasa diatas 65 tahun. Infeksi menjadi keluhan utama pada

pasien. Perubahan status mental yang tidak dapat dijelaskan juga

merupakan tanda dan gejala pada sepsis. Adanya tanda dan gejala

disseminated intravascular coagulation (DIC) meningkatkankan

angka mortalitas. (Dasenbrook & Merlo, 2015).

Pada sepsis berat muncul dampak dari penurunan perfusi

mempengaruhi setidaknya satu organ dengan gangguan kesadaran,

hipoksemia (PO2 <75 mmHg), peningkatan laktat plasma, atau

oliguria (≤30 ml / jam meskipun sudah diberikan cairan). Sekitar

satu perempat dari pasien mengalami sindrom gangguan

pernapasan akut (ARDS) dengan infiltrat paru bilateral, hipoksemia

(PO2 <70 mmHg, FiO2 >0,4), dan kapiler paru tekanan <18 mmHg

.Pada syok septik terjadi hipoperfusi organ. (Dasenbrook & Merlo,

2015).
Menurut Mansjoer (2000 : 509) manifestasi klinisnya adalah

sebagai berikut :

1. Umum: panas, hipotermia, tampak tidak sehat, malas minum,

letargi, sklerema.

2. Saluran cerna: distensi abdomen, anoreksia, muntah, diare,

hepatogemali

3. Saluran napas: apnu, dispnu, takipnu,retraksi, napas cuping hidung,

merintih, sianosis

4. Sistem kardiovaskular: pucat, sianosis, kutis marmorata, kulit

lembab, hipotensi, takikardia, bradikardia

5. System saraf pusat: iritabilitas, tremor, kejang, hiporefleksi, malas

minum, pernapasan tidak teratur, ubun-ubun membonjol, high

pitched cry

6. Hematology: ikterus, splenomegali, pucat, petekie, purpura,

perdarahan

Gejala klinis sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya

didahului oleh tanda-tanda sepsis non spesifik, meliputi demam,

menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, kebingungan, dan

gelisah. Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat

dijumpai pada banyak macam kondisi. Gejala sepsis akan menjadi

lebih berat saat memasuki usia lanjut, penderita diabetes, kanker,

gagal organ utama, dan pasien dengan granulosiopenia, yang sering

diikuti gejala MODS sampai terjadinya syok sepsis. (Dasenbrook

& Merlo, 2015).


Tanda MODS:

a. Sindrom distress pernafasan pada dewasa

b. Koagulasi intravaskuler

c. Gagal ginjal akut

d. Perdarahan usus

e. Gagal hati

f. Disfungsi system saraf pusat

g. Gagal jantung

h. Kematian

Gejala klinis sepsis (De La Rosa et al, 2008)

a. Variabel Umum

1) Suhu badan inti > 380 C atau <360 C

2) Heart Rate >90 denyut/menit

3) Takipnea

4) Penurunan status mental

5) Edema atau balance cairan yang positif >

20ml/kg/24 jam

6) Hiperglikemia > 120 mg/dl pada pasien yang tidak

diabetes.

b. Variable Inflamasi

1) WBC > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3 atau 10%

bentuk immature

2) Peningkatan plasma C-reactive protein


3) Peningkatan plasma procalcitonin

c. Variabel Hemodinamik

1) Sistolik < 90 mmHg atau penurunan sistolik > 40

mmHg dari sebelumnya.

2) MAP < 70 mmHg

3) SpO2 > 70%

4) Cardiak Indeks > 3,5 L/m/m3

d. Variable Perfusi Jaringan

1) Serum laktat > 1 mmol/L

2) Penurunan kapiler refil

e. Variable Disfungsi Organ

a. PaO2 / Fi O2 < 300

b. Urine output < 0,5 ml/kg/jam

c. Peningkatan creatinin > 0,5 mg/dl

d. INR >1,5 atau APTT > 60 detik

e. Trombosit < 100.000mm3

f. Hiperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 4mg/dl)


2.1.7. WOC

protozoa (malaria
infeksi jamur Bakteri gram negatif (pseudomonas Bakteri gram positif (stafilokokus
falciparum)
dan virus (dengue, auriginosa, klebsiella, enterobakter, echoli, aureus, stretokokus, pneumokokus)
herpes viruses) proteus)

Invasi ke dalam tubuh

infeksi Risiko
Curah jantung
Hipovolemia
Respon sistemik
Stoke volume
Penurunan
Pelepasan TD (<90
SEPSIS Dilatasi arteriol/venula
endotoksik mmHg)

Syok Sepsis
Produksi IL-1
Pengaktifan sistem Merangsang sintesa
Muskuluskeletal Vasokonstriksi
Produksi sitokin komplemen dan pelepasan zat
pembuluh darah
pirogen oleh leukosit
malaise Frekuensi BAB Saluran cerna
Vasodilatasi vaskuler Aktivasi
Aliran darah meningkat
Ketidakefekt Zat pirogen beredar prostaglan
kapiler paru ifan perfusi Mual muntah
Kebocoran kapiler sistemik dalam darah din
keletihan terganggu jaringan Diare
perifer Ketidakseimbangan
Perubahan Ekstravasasi nutrisi kurang dari Peningkatan suhu
Intoleransi
membran kapiler komponen darah kebutuhan tubuh
aktivitas aliran darah ke
paru
perifer menurun Risiko Syok
Alkalosis Penurunan Kehilangan Kekurangan Hipertermi
respiratorik Hiperventilasi / volume darah cairan volume
Hipotensi
dispnea intravaskuler Hipoperfusi jaringan cairan
Gangguan pertukaran gas

Metabolisme anaerob Asidosis metabolik

Otot pernafasan sesak Ketidak efektifan Pola


lelah Napas

Jaringan Otak Jaringan ginjal

Risiko Ketidakefektifan Kekurangan Autoregulasi


Output urine
Perfusi Otak volume ginjal
menurun
cairan terganggu

Penurunan fungsi ginjal


MODS (Multiple
Organ Dysfungtion Gagal Ginjal
Syndrome)
2.1.8. Pemeriksaan Penunjang

Bila sindrom klinis mengarah ke sepsis, perlu dilakukan

evaluasi sepsis secara menyeluruh. Hal ini termasuk biakan darah,

pungsi lumbal, analisis dan kultur urin, serta foto dada. Diagnosis

sepsis ditegakkan dengan ditemukannya kuman pada biakan darah.

Selain itu dapat dijumpai pula trombositopenia. Adanya

peningkatan reaktans fase akut seperti C-reactive protein (CPR)

memperkuat dugaan sepsis. Diagnosis sebelum terapi diberikan

(sebelum hasil kultur positif) adalah tersangka sepsis (Pierce A.

Grace & Neil R. Brokly, 2013).

1. Pemeriksaan Laboratorium

Hasil laboratorium sering ditemukan asidosis metabolik,

trombositopenia, pemanjangan waktu prothrombin dan

tromboplastin parsial, penurunan kadar fibrinogen serum dan

peningkatan produk fibrin split, anemia, penurunan PaO2 dan

peningkatan PaCO2, serta perubahan morfologi dan jumlah

neutrofil. Peningkatan neutrofil serta peningkatan leukosit imatur,

vakuolasi neutrofil, granular toksik, dan badan Dohle cenderung

menandakan infeksi bakteri. Neutropenia merupakan tanda kurang

baik yang menandakan perburukan sepsis. Pemeriksaan cairan

serebrospinal dapat menunjukkan neutrofil dan bakteri (Pierce A.

Grace & Neil R. Brokly, 2013).

a. Peningkatan protein akut (C-reactive protein), peningkatan

IgM.
b. Ditemukan kuman pada pemeriksaan kultur dan pengecatan

Gram pada sampel darah, urin, dan cairan serebrospinal serta

dilakukan uji kepekaan kuman.

c. Analisa gas darah: hipoksia, asidosis metabolic, asidosis laktat.

d. Pada pemeriksaan serebrospinal ditemukan peningkatan

jumlah leukosit terutama PMN, jumlah leukosit > 20/ml.

e. Gangguan metabolic hipoglikemi atau hiperglikemi, asidosis

metabolic.

f. Peningkatan kadar bilirubin.

(Pierce A. Grace & Neil R. Brokly, 2013).

Tabel 4 Indikator Laboratorium Penderita Sepsis

Pemeriksaan Temuan Uraian


Laboratorium
Hitung leukosit Leukositosis atau Endotoxemia
leukopenia menyebabkan
leukopenia
Hitung trombosit Trombositosis atau Peningkatan jumlahnya
trombositopenia diawal menunjukkan
respon fase akut;
penurunan jumlah
trombosit menunjukkan
DIC
Kaskade koagulasi Defisiensi protein C; Abnormalitas dapat
defisiensi antitrombin; diamati sebelum
peningkatan D-dimer; kegagalan organ dan
pemanjangan PT dan tanpa pendarahan
PTT
Kreatinin Peningkatan kreatinin Indikasi gagal ginjal
akut
Asam laktat As.laktat>4mmol/L(36m Hipoksia jaringan
g/dl)
Enzim hati Peningkatan alkaline Gagal hepatoselular
phosphatase, AST, ALT, akut disebabkan
bilirubin hipoperfusi
Serum fosfat Hipofosfatemia Berhubungan dengan
level cytokin
proinflammatory
C-reaktif protein (CRP) Meningkat Respon fase akut
Procalcitonin Meningkat Membedakan SIRS
dengan atau tanpa
infeksi

2. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang digunakan foto toraks, pemeriksaan

dengan prosedur radiografi dan radioisotop lain sesuai dengan

dugaan sumber infeksi primer (Pierce A. Grace & Neil R. Brokly,

2013).

2.1.9. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan

tindakan resusitasi yang perlu dilakukan sesegera mungkin.

Resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6 jam pertama, dimulai

sejak pasien tiba di unit gawat darurat. Tindakan mencakup airway,

breathing, circulation, oksigenasi, terapi cairan,

vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan. Pemantauan

dengan kateter vena sentral sebaiknya dilakukan untuk mencapai

tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg, tekanan arteri rata-rata

(MAP)>65 mmHg dan produksi urin >0,5 ml/kgBB/jam. (Pierce A.

Grace & Neil R. Brokly, 2013).

1. Oksigenasi

Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai

akibat disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan

ventilasi maupun perfusi. Transpor oksigen ke jaringan juga dapat


terganggu akibat keadaan hipovolemik dan disfungsi miokard

menyebabkan penurunan curah jantung. Kadar hemoglobin yang

rendah akibat perdarahan menyebabkan daya angkut oleh eritrosit

menurun. Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya

meningkatkan saturasi oksigen di darah, meningkatkan transpor

oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di jaringan. (Pierce A.

Grace & Neil R. Brokly, 2013).

2. Terapi cairan

Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan

pemberian cairan baik kristaloid maupun koloid. Volume cairan

yang diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar tidak kurang

ataupun berlebih. Secara klinis respon terhadap pemberian cairan

dapat terlihat dari peningkatan tekanan darah, penurunan ferkuensi

jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan ekstremitas,

produksi urin, dan membaiknya penurunan kesadaran. Perlu

diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan

vena jugular, ronki, gallo, dan penurunan saturasi oksigen. (Pierce

A. Grace & Neil R. Brokly, 2013).

Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai

tekanan hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi

albumin perlu diberikan. Transfusi eritrosit (PRC) perlu diberikan

pada keadaan perdarahan aktif, atau bila kadar Hb rendah pada

keadaan tertentu misalnya iskemia miokardial dan renjatan septik.


Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis dipertahankan pada 8-10

g/dl. (Pierce A. Grace & Neil R. Brokly, 2013).

3. Vasopresor dan inotropik

Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan

hipovolemik teratasi dengan pemberian cairan secara adekuat,

tetapi pasien masih mengalami hipotensi. Terapi vasopresor

diberikan mulai dosis rendah secara titrasi untuk mencapai MAP 60

mmHg, atau tekanan sistolik 90 mmHg. Untuk vasopresor dapat

digunakan dopamin dengan dosis >8 mcg/kg/menit, norepinefrin

0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8 mcg/kg/menit atau

epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Inotropik yang dapat digunakan

adalah dobutamin dosis 2-28 mcg/kg/menit, dopamin 3-8

mc/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau inhibitor

fosfodiesterase (amrinon dan milrinon). (Pierce A. Grace & Neil R.

Brokly, 2013).

4. Bikarbonat

Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2

atau serum bikarbonat <9 meq/l, dengan disertai upaya untuk

memperbaiki keadaan hemodinamik. (Pierce A. Grace & Neil R.

Brokly, 2013).

5. Disfungsi renal

Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan

hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu (continuous

hemofiltration). Pada hemodialisis digunakan gradien tekanan


osmotik dalam filtrasi substansi plasma, sedangkan pada

hemofiltrasi digunakan gradien tekanan hidrostatik. Hemofiltrasi

dilakukan kontinu selama perawatan, sedangkan bila kondisi telah

stabil dapat dilakukan hemodialisis. (Pierce A. Grace & Neil R.

Brokly, 2013).

6. Nutrisi

Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam

lemak, cairan, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin,

diutamakan pemberian secara enteral dan bila tidak memungkinkan

baru diberikan secara parenteral. (Pierce A. Grace & Neil R.

Brokly, 2013).

7. Kortikosteroid

Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi

insufisiensi adrenal, dan diberikan secara empirik bila terdapat

dugaan keadaan tersebut. Hidrokortison dengan dosis 50mg bolus

intravena 4 kali selama 7 hari pada pasien renjatan septik

menunjukkan penurunan mortalitas dibanding kontrol. (Pierce A.

Grace & Neil R. Brokly, 2013).


2.2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.2.1. Pengkajian

a. Identitas

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,

pekerjaan, alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor register,

tanggal masuk rumah sakit dan diagnosa medis.

b. Keluhan Utama

Pasien biasanya dengan penurunan kesadaran, hiperthermi

,pucat/ cyanosis, pernapasan apneu/tachipneu, hiporefleksia, koma,

sakit kepala, pusing, pingsan.

1) Riwayat kesehatan sekarang

Berisi tentang kapan terjadinya sepsis, penyebab terjadinya sepsis

serta upaya yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.

2) Riwayat kesehatan dahulu

Adanya riwayat penyakit sepsis atau penyakit – penyakit lain yang

ada kaitannya dengan infeksi. Adanya riwayat penyakit jantung,

obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis yang pernah di dapat

maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita.

3) Riwayat kesehatan keluarga

Dari genogram keluarga biasanya tidak terdapat anggota keluarga

yang juga pernah sepsis.


4) Riwayat psikososial

Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang

dialami penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan

keluarga terhadap penyakit penderita.

5) Pemeriksaan Fisik
Kepala dan leher :

Inspeksi : untuk mengetahui ada tidaknya benjolan, ada

tidaknya luka mata (konjungtiva anemis ) mukosa bibir kering,

tampak syanosis

Palpasi : untuk mengetahui ada tidaknya nyeri tekan,

Dada :

Inspeksi : kaji gerakan dada simetris atau tidak, warna kulit sama

dengan warna sekitar dan ada tidaknya benjolan biasanya pada

pasien dengan sepsis akan mengalami perubahan pola nafas

(takipnea/dispnea)

Palpasi : untuk mengetahuai ada tidaknya nyeri, adanya

deformitas ataupun krepitasi

Perkusi : paru kanan dan kiri terdengar sonor jika pasien tidak

memiliki gangguan pada dadanya

Auskultasi : pantau ada tidaknya ronchi/wheezing, s1s2 tunggal,

tidak ada bunyi tambahan

Abdomen :

Inspeksi : ada tidaknya benjolan, luka, warna kulit sama dengan

warna sekitar ada atau tidaknya distensi abdomen


Palpasi : ada tidaknya nyeri tekan

Perkusi : Kuadran kanan atas pekak (hati), kuadran kanan bawah

timpani, kuadran kiri atas timpani (lambung), kuadran kiri bawah

tympani (usus)

Auskultasi : terdengar bising usus

Pelvis :

Inspeksi : pantau ada tidaknya benjolan

Palpasi : pantau ada tidaknya nyeri tekan

Ekstremitas atas / Bawah :

Inspeksi : pantau ada tidaknya luka / odem , perubahan sirkulasi,

penurunan perfusi jaringan perifer, tampak keringat berlebih

Palpasi : ada/tidak ada nyeri tekan akral hangat atau dingin

CRT< 3 detik

Pungung : tidak ada benjolan ataupun kelainan pada tulang

punggung

Pemeriksaan Neurologis :

Tingkat kesadaran: bisa sadar baik sampai terjadi koma. Penilaian

GCS untuk menilai tingkat kesadaran klien

2.2.2 Diagnosa keperawatan

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidak efektifan

ventilasi

2. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan otot

pernafasan
3. Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan

vasodilatasi, penurunan curah jantung, aliran darah ke jaringan

perifer menurun

4. Gangguan termoregulasi (hipotermi / hipertermi) reaksi inflamasi

5. Resiko Syock hipovolemi berhubungan dengan kehilangan cairan,

penurunan cardiac output)

6. Resiko Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan

dengan suplai O2 ke otak menurun

7. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan peningkatan metabolism.

8. Intolerasi aktivitas berhubungan dengan kelelahan


2.2.3 Nursing Care Plan / Intervensi keperawatan

No DIAGNOSA KEPERAWATAN RENCANA KEPERAWATAN


TUJUAN INTERVENSI
(NOC) (NIC)
1 Gangguan pertukaran gas berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Mandiri
dengan perubahan membran kapiler- selama 1x 15 menit status pernapasan : 1. Kaji suara paru; frekuensi napas,
alveolar; ketidakseimbangan perfusi- pertukaran gas tidak akan terganggu kedalaman, dan usaha napas; dan
ventilasi. Kriteria hasil : penggunaan otot bantu nafas
- TTV dalam batas normal 2. Pantau saturasi O2 dengan oksimeter
- GDA dalam batas normal (PaO2. PaCO2, nadi
PH arteri, dan saturasi O2) 3. Pantau hasil gas darah (misalnya,
- Menunjukkan ventilasi yang adekuat kadar PaO2 yang rendah, dan PaCO2
- Oksigenasi adekuat yang tinggi menunjukkan
- Tidak gelisah, sianosis, somnolen pernapasan)
- Frekuensi, irama, bunyi pernapasan 4. Pantau kadar elektrolit
normal. 5. Pantau status mental (misalnya,
tingkat kesadaran, gelisah, dan
konfusi)
6. Manajemen jalan napas (NIC)
- Identifikasi kebutuhan pasien
terhadap pemasangan jalan
napas aktual atau potensial
- Auskultasi suara nafas, tandai
area penurunan atau hilangnya
ventilasi dan adanya bunyi
tambahan
- Pantau status pernapasan dan
oksigenasi sesuai dengan
kebutuhan
7. Pengaturan hemodinamik (NIC)
- Auskultasi bunyi jantung
- Pantau dan dokumentasikan
frekuensi, irama, dan denyut
jantung
- Pantau adanya edema perifer,
distensi vena jungularis, dan
bunyi jantung S3 dan S4
- Pantau fungsi alat pacu jantung,
jika sesuai
8. Ajarkan pada klien teknik
bernapas dan relaksasi

9. Jelaskan pada klien alasan


pemberian oksigen dan tindakan
lainnya
Kolaboratif
10. Konsultasikan dengan dokter
tentang pentingnya pemeriksaan gas
darah arteri (GDA) dan penggunaan
alat bantu yang dianjurkan sesuai
dengan adanya perubahan kondisi
pasien
11. Laporkan perubahan pada data
pengkajian terkait (misalnya
sensorium pasien, suara napas, pola
napas, analisis gas darah arteri,
sputum, dan efek obat)
2 Ketidak efektifan pola nafas NOC 1. Buka jalan nafas
berhubungan dengan kelelahan otot 1) Airway management 2. Posisikan pasien untuk
pernafasan memaksimalkan ventilasi (
Setelah dilakukan tindakan keperawatan fowler/semifowler)
selama 1x 15 menit pasien akan : 3. Auskultasi suara nafas , catat
- TTV dalam rentang normal adanya suara tambahan
- Menunjukkan jalan napas yang paten 4. Identifikasi pasien perlunya
- Mendemostrasikan suara napas yang pemasangan alat jalan nafas
bersih, tidak ada sianosis dan dypsneu. buatan
5. Monitor respirasi dan status O2
6. Monitor TTV.
3 NOC 1. Observasi adanya pucat, sianosis, kuli
1) Circulation status, dingin/lembab, catat kekuatan nadi
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer perifer.
2) Tissue perfusion perifer
berhubungan dengan peurunan 2. Observasi TTV
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
konsentrasi hemoglobin dalam darah; 3. Pertahankan tirah baring
selama 1x 15 menit perfusi jaringan adekuat.
hipovolemia; gangguan pertukaran; 4. Amati warna kilit, kelmbaban, suhu
Kriteria Hasil:
perubahan kemampuan hemoglobin dan CRT
 Membran mukosa merah muda
untuk mengikat oksigen 5. Kolaborasi pemberian obat
 Conjunctiva tidak anemis vasodilator
 Akral hangat
 TTV dalam batas normal.

4 Ketidak efektifan termoregulasi NOC : 1. Observasi tanda-tanda vital tiap 3


1) Fever Treatment jam.
(hipertermi) reaksi inflamasi
2) Temperatur regulatian 2. Beri kompres hangat pada bagian
Setelah dilakukan tindakan keperawatan lipatan tubuh ( Paha dan aksila ).
selama 1 x 15 menit. pasien akan : 3. Monitor intake dan output
- Suhu tubuh dalam rentang normal 4. Monitor warna dan suhu kulit
- Tidak ada perubahan warna kulit dan 5. Berikan obat anti piretik
tidak ada pusing 6. Beri banyak minum ( ± 1-1,5
Nadi dan respirasi dalam rentang normal liter/hari) sedikit tapi sering
Ganti pakaian klien dengan bahan
tipis menyerap keringat.

5 Resiko Syock hipovolemi berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Pantau dan catat kehilangan darah
selama 1x 15 menit Tidak terjadi syok pada pasien (jumlah,warna)
dengan kehilangan cairan, penurunan
hipovolemik 2. Pantau adanya peningkatan denyut
cardiac output)
Kriteria hasil: Klien tampak tenang nadi dan penurunan tekanan darah
3. Pantau jumlah urin.
4. Pantau terjadinya gelisah, penurunan
kesadaran dan haus
5. Pantau pemeriksaan laboratorium,
terutama penutunan HB dan HT.
Segera lapor ke ahli bedah ortopedi
untuk penanganan selanjutnya.

6 Resiko Ketidakefektifan perfusi NOC : 1. Monitor Tanda-tanda vital


jaringan serebral berhubungan dengan 2. Monitor dan catat status neurologis
1) Circulation status,
suplai O2 ke otak menurun 3. Observasi tanda-tanda TIK
2) Tissue perfusion cerebral
4. Memberikan posisi klien
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 5. Kolaborasi pemberian analgetik
selama 1 x 15 menit diharapkan tidak terjadi
ketidakefektifan perfusi jaringan otak dapat
teratasi
Kriteria Hasil :
- Mendemonstrasikan status sirkulasi
yang ditandai dengan:
o Tekanan systole dan diastole
dalam rentang normal 120/80
mmhg
o Tidak ada tanda-tanda
peningkatan TIK
o Tidak ada ortostatik hipertensi
- Mendemonstrasikan kemampuan
kognitif yang ditandai dengan :
o Komunikasi dengan jelas
sesuai kemampuan
- Menunjukkan perhatian, konsentrasi
dan orientas
7 Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari NOC : 1. Kaji adanya alergi makanan
kebutuhan tubuh berhubungan dengan 1) Nutritional Status : food and Fluid 2. Kaji kemampuan pasien untuk
peningkatan metabolism. Intake mendapatkan nutrisi yang
Setelah dilakukan tindakan keperawatan dibutuhkan
selama 1 x 15 menit diharapkan klien mampu 3. BB pasien dalam batas normal
memahami dan memastikan nutrisi terpenuhi 4. Monitor adanya penurunan berat
- Kriteria hasil : badan
- Adanya peningkatan berat badan 5. Jadwalkan pengobatan dan
sesuai dengan tujuan tindakan tidak selama jam makan
- Berat badan ideal sesuai dengan tinggi 6. Monitor kulit kering dan perubahan
badan pigmentasi
- Mampu mengidentifikasi kebutuhan 7. Monitor mual dan muntah
nutrisi 8. Monitor kadar albumin, total
- Tidak ada tanda tanda malnutrisi protein, Hb, dan kadar Ht
- Tidak terjadi penurunan berat badan 9. Monitor pertumbuhan dan
yang berarti perkembangan

8 Intoleransi aktivitas berhubungan NOC 1. Kaji hal-hal yang mampu dilakukan


dengan kelelahan 1) Activity Therapy klien.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2. Bantu klien memenuhi kebutuhan
selama 1x 30 menit . pasien akan : aktivitasnya sesuai dengan tingkat
Ø Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa keterbatasan klien
disertai peningkatan tekanan darah nadi dan 3. Beri penjelasan tentang hal-hal yang
respirasi dapat membantu dan meningkatkan
- Mampu melakukan aktivitas sehari- kekuatan fisik klien.
hari secara mandiri 4. Libatkan keluarga dalam
- TTV dalam rentang normal pemenuhan ADL klien
- Status sirkulasi baik 5. Jelaskan pada keluarga dan klien
tentang pentingnya bedrest ditempat
tidur.

Anda mungkin juga menyukai