Anda di halaman 1dari 5

Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi utama sebagai pembuat kebijakan

negara (legislasi) dan fungsi mengawasi pelaksanaan kebijakan yang telah dibuat
(control)1 dan fungsi membuat anggaran negara.2 Berkaitan dengan fungsi-fungsi lembaga
perwakilan inilah maka suatu negara bisa dikatakan negara hukum atau tidak, sebab dengan
tiga fungsi utama tersebut lahir check and balancespemerintahan antara legislatif dan eksekutif
serta badan yudikatif.

Sistem demokrasi yang dianut di Indonesia memberikan posisi yang begitu urgen bagi
Partai Politik, Partai Politik merupakan sarana bagi warga negara untuk dapat berpartisipasi
dalam pengelolaan negara. Lahirnya Partai Politik tidak lepas dari kenyataan bahwa rakyat
harus diikut sertakan dalam setiap proses politik.3 Terkait fungsi seperti ini Partai Politik
mempunyai status sebagai institusi publik semu, karena Partai Politik bukanlah lembaga
pemerintah tapi juga bukan lembaga swasta yang seutuhnya.4

Anggota DPR dipilih melalui mekanisme pemilihan umum, peserta Pemilu DPR
maupun DPRD adalah Partai Politik,5 melalui suatu pemilihan umum. Selanjutnya, dari rahim
partai politik jugalah calon pemimpin eksekutif, atau lebih tepatnya presiden disiapkan, karena
menurut sistem ketatanegaraan Indonesia pasangan presiden dan wakil presiden harus
dicalonkan oleh partai politik atau gabungan Partai politik, dan masih menutup untuk calon
perseorangan.6 Untuk itulah mengapa partai politik sangat urgen dalam menunjang tegaknya
demokrasi.

Perekrutan ini melalui Pemilu karena Pemilihan umum merupakan mekanisme


legitimasi kekuasaan, setiap negara yang demokratis pasti menginginkan kekuasaan
pemerintahannya sah dan berdaulat, untuk itulah dilaksanakannya pemilihan umum.
Setidaknya ada tiga alasan Pemilu dijadikan sebagai legitimasi kekuasaan. Pertama, melalui
Pemilu pemerintah bisa meyakinkan atau setidaknya memperbaharui kesepakatan-kesepakatan
politik dengan rakyat. Kedua, melalui pemilu pemerintah dapat pula mempengaruhi perilaku
rakyat. Ketiga, dalam dunia modern penguasa dituntut untuk mengandalkan kesepakatan
rakyat ketimbang melaksanakan pemaksaan untuk mempertahankan atau mendapatkan
legitimasinya.7
Setiap pelaksanaan Pemilu di era modern, partai politik merupakan instrumen penting
dalam demokrasi, hampir tidak ada negara di dunia yang memakai sistem pemilu tanpa
kehadiran partai politik. Berkaitan dengan itu, partai politik dengan salah satu fungsinya
sebagai sarana rekruitment politik,8 tidak bisa dipisahkan dengan pelaksanaan Pemilu dan
proses demokrasi itu sendiri, karena melalui wadah inilah para sebagian besar calon pemimpin
suatu negara diseleksi atau direkrut, baik di bidang legislatif maupun eksekutif.

Akibat penggunaan teori trias politika pemisahan kekuasaan dengan mekanisme check
and balancesmaka harus ada keterkaitan serta saling kontrol wewenang antara lembaga
legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya agar tidak
terjadi kesewenang-wenangan. Begitupun dalam hal perekrutan orang-orang yang akan
menduduki posisi di lembaga yudikatif, ada juga hubungannya dengan lembaga legislatif dan
eksekutif. Mahkamah Agung misalnya, calon Hakim Agung diusulkan oleh Komisi Yudisial
kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya dilantik oleh Presiden.9

Begitu juga di Mahkamah Konstitusi, sembilan orang Hakim Konstitusi diajukan oleh
Presiden, DPR dan MA masing-masing tiga orang.10 Perekrutan Hakim Konstitusi seperti ini,
menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, bermaksud untuk menjamin agar para hakim konstitusi dapat
benar-benar bekerja secara independen dan tidak memihak.11 Bukan hanya itu, perekrutan
Komisioner Komisi Yudisial, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan lembaga negara
lainnya juga diatur mengenai perekrutannya harus melalui persetujuan DPR.

Melalui persetujuan DPR untuk setiap pengangkatan pejabat negara sebenarnya tidak
menjadi masalah, sebab DPR yang merupakan wakil rakyat dan rakyat adalah pemegang
kedaulatan yang sebenarnya, maka setiap orang yang akan menduduki posisi penting di negara
ini harus mendapat persetujuan rakyat, yaitu melalui wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR.
Dengan demikian, maka lembaga-lembaga tinggi negara menjalankan kekuasaannya bisa
dikatakan berdasarkan amanat rakyat, baik secara langsung melalui pemilihan umum yang
diberikan kepada DPR, DPD maupun Presiden dan wakil presiden ataupun para Hakim Agung
dan Hakim Konstitusi, termasuk pimpinan lembaga negara lainnya, yang secara tidak langsung
mendapat persetujuan rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR.

Persoalan yang muncul selanjutnya adalah jika dilihat dari mekanisme perekrutannya
melalui Pemilu dengan yang harus lewat Partai politik, khususnya hasil Pemilu tahun 2009.
DPR dipilih melalui Partai politik begitupun dengan presiden, sehingga lembaga legislatif dan
eksekutif diisi oleh orang-orang dari partai politik, keadaan ini berpotensi menimbulkan
penggabungan kekuasaan legislatif dan eksekutif ke dalam satu tangan, dalam hal ini bukan
satu tangan personal tapi satu tangan kelompok. Selanjutnya dapat juga berakibat
penggabungan secara “paksa” kekuasaan yudikatif ke dalam satu lingkaran kekuasaan juga,
sebab yang menentukan para Hakim Agung maupun Hakim Konstitusi adalah orang-orang
Partai, yang duduk sebagai anggota DPR dan Pressiden, bisa jadi hal ini akan berakibat
kekuasaan kehakiman terkooptasi oleh kekuasaan legislatif dan/atau kekuasaan eksekutif.12

Kesimpulan

Penerapan prinsip pemisahan kekuasaan di Indonesia dimulai sejak diamandemennya


UUD 1945 pasaca jatuhnya reformasi, sebelum itu Indonesia memakai prinsip pembagian
kekuasaan. Sebelum amandemen UUD 1945 kekuasaan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh
MPR, selanjutnya kekuasaan itu baru dipencarkan kepada Presiden/Mandataris MPR sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif. Kekuasaan legislatif diserahkan kepada DPR, sedangkan
kekuasaan Yudikatif berada di tangan Mahkamah Agung. Di samping itu juga ada kekuasaan
konsultatif yang diemban oleh Dewan Pertimbangan Agung dan ada BPK.

Setelah perubahan keempat UUD 1945 Indonesia menggunakan prinsip pemisahan


kekuasaan, dimana kekuasaan yang ada di tangan rakyat dilaksanakan menurut UUD yang
dipisahkan secara langsung ke dalam fungsi-fungsi kekuasaan masing-masing lembaga.
Kekuasaan legislatif diserahkan kepada DPR dan DPD, Presiden bertindak sebagai pemegang
kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikati dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi serta dibantu oleh Komisi Yudisial.

Pelaksanaan pemisahan kekuasaan dengan mekanisme check and balances di


Indonesia secara formil sudah sangat bagus dan konstitusional, namun jika kita lihat dari begitu
besarnya peran partai politik maka akan terlihat sebagai pemisahan pura-pura saja. Hal ini
karena setiap perekrutan semua cabang kekuasaan, baik secara langsung maupun tidak
langsung, akan melibatkan partai politik.

Pelibatan partai politik melalui fraksi-fraksinya di DPR dalam setiap urusan politik dan
hukum di Indonesia akan berpotensi menumpuknya atau bergabungnya cabang-cabang
kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif ke dalam satu tangan saja, baik genggaman
individu maupun kelompok tertentu.
Menyikapi hal ini perlu perubahan yang fundamental dalam sistem kepartaian kita,
terutama menyangkut kader-kader partai yang sudah duduk di pemerintahan, baik di eksekutif
maupun legislatif. Seharusnya elit-elit partai yang telah duduk di pemerintahan tidak lagi
mengutamakan kepentingkan partai, tapi kepentingan negara, bangsa dan rakyat yang harus
diutamakan. Seorang pemimpin bangsa hendaknya tidak lagi menjadi pemimpin partai, harus
lepas baju kepartaian, karena dia dituntut untuk menjadi seorang negarawan. Di samping itu,
penggunaan fraksi dalam parlemen sebenarnya memperkuat posisi partai itu sendiri di dalam
pemerintahan, sehingga ego kepartaian lebih diutamakan oleh para legislator dibandingkan
dengan kepentingan dan kemaslahatan umum, padahal partai hanya sebuah sarana menuju
kursi itu, rakyatlah yang menggaji mereka.

FootNote

1 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,
cet. IV, 2010, hlm. 322.

2 Pasal 20A ayat (1) UUD tahun 1945.

3Miriam Budiardjo, Dasar-dasar…., Hlm. 397-398.

4 Bambang Cipto, Politik dan Pemerintahan Amerika, Yogyakarta : Lingkar Buku, cet. II,
2007, hlm. 62.

5 Pasal 22E ayat (3) UUD tahun 1945.

6 Pasal 6A ayat (2) UUD tahun 1945.

7 Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, Yogyakarta : Lab. JIP dan JIP UGM, 2009, hlm. 6.

8 Selain fungsinya sebagai komunikasi politik, sosialisasi politik dan pengatur konflik. Lihat :
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar…., hlm. 405-416.

9 Pasal 24A ayat (3) UUD tahun 1945.

10 Pasal 24C ayat (3) UUD tahun 1945.

11 Jimly Asshiddiqie, Konsilidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta :
PSHTN UI, 2002, hlm. 44.

12 Kenyataan ini sebenarnya lebih kepada asumsi dan kekhawatiran penulis, sebab potensi
kearah tersebut mungkin dan sangat mungkin terjadi, walaupun bukti yang konfrehensif belum
ditemukan karena ini lebih merupakan fenomena demokrasi. Namun sebagai negara yang
menyebutnya negara hukum, Indonesia harus konsisten dengan konsep negara hukum, jangan
hanya sebatas formalitas saja, tapi memang secara substantif Indonesia harus
melaksanakannya.

Anda mungkin juga menyukai