Prayitno
Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik, Badan Pengkajian Kebijakan, Iklim, dan Mutu Industri
Kementerian Perindustrian RI
E-mail: prayitno_bbkkp@yahoo.com
ABSTRACT
Vegetable tanning agent is considered as the green tanning agent because of
its biodegradation. The used of vegetable tanning agent for producing garment
leather was conducted in this research. The aim of this work was to find out the
formulation for producing leather garment tanned with vegetable tanning agent for
substituting chrome tanning agent, for minimizing the environment impact. Mimosa as
vegetable tanning agent by concentration of 20% of pelt weight was used resulted
shrinkage temperature of 740C, whereas to gain the softness properties of the
garment leather were used combination of the synthetic and natural fat liquoring
agent. The combination of fat liquoring used was varied by 13; 14; 15; 16; and 17 %.
The research result saw that finish leather resulted by processed using 15%
combination of 5% synthetic oil and 10% sulfited fish oil fatliquorings agent was fulfill
the requirement properties of the garment leather.
Prayitno
Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik, Badan Pengkajian Kebijakan, Iklim, dan Mutu Industri
Kementerian Perindustrian RI
E-mail: prayitno_bbkkp@yahoo.com
ABSTRAK
Bahan penyamak nabati dapat dikatakan sebagai bahan penyamak ramah
lingkungan sebab mudahnya terdegradasi. Telah dilakukan penelitian penggunaan
bahan penyamak nabati untuk pembuatan kulit jaket ramah lingkungan. Tujuan
dilakukan penelitian ini adalah untuk mendapatkan formulasi penyamakan kulit jaket
menggunakan bahan penyamak nabati sebagai pengganti bahan penyamak krom
yang saat ini hampir digunakan oleh semua industri pengolah kulit. Penyamakan
kulit menggunakan bahan penyamak krom disatu sisi dapat menghasilkan kulit
tersamak dengan kualitas yang baik namun disisi lain menghasilkan limbah logam
berat krom yang dapat dikategorikan limbah berbahaya dan beracun. Dengan
menggunakan bahan samak nabati akan mengurangi dampak lingkungan yang
timbul. Bahan penyamak nabati digunakan adalah mimosa sebanyak 20% dari berat
kulit pickle untuk memperoleh suhu kerut sampai minimal 74 0C dimana dapat
dikatakan kulit telah masak. Untuk mendapatkan kulit jadi yang memenuhi sifat
karakteristik kulit jaket digunakan kombinasi bahan peminyakan sintetis dan bahan
peminyakan nabati Bahan minyak yang digunakan agar kulit memenuhi persyaratan
kelemasan dan kelunakan sesuai kulit jaket jumlahnya divariasi 13; 14, 15, 16, dan
17 %. Dari penelitian diketahui bahwa untuk pembuatan kulit jaket ramah lingkungan
dapat lakukan dengan menggunakan bahan penyamak mimosa dan bahan
peminyakan digunakan sebesar 15%, kombinasi 5% minyak sintetik dan 10%
minyak alami ( minyak ikan tersufonasi), kulit yang dihasilkan memenuhi persyaratan
kulit jaket
Kata kunci: bahan penyamak nabati, kulit jaket, mimosa, bahan untuk peminyakan.
PENDAHULUAN
Proses penyamakan adalah suatu proses untuk mengolah kulit mentah (hide
atau skin) menjadi kulit tersamak (leather). Proses tersebut dimaksudkan untuk
mengubah sifat-sifat kulit mentah yang mudah mengalami pembusukan dan
kerusakan oleh aktivitas mikrobia menjadi kulit tersamak yang tahan terhadap
aktivitas mikrobia dan pembusukan. Saat ini penyamakan banyak dilakukan dengan
garam basa krom trivalen. Reaksi dari garam krom dengan group karboksilat dari
protein kulit (kolagen) menjadikan kulit tersebut memiliki stabilitas hidrotermal tinggi.
Menurut Ono suparno dkk (2010) stabilitas termal kulit tersamak dengan krom
trivalen dapat mencapai suhu kerut (Ts) sampai 1000C dan tahan terhadap serangan
mikrobia. Penyamakan merupakan tahapan paling penting dalam produksi kulit
samak. Selama penyamakan kolagen akan memfiksasi bahan penyamak pada
situs-situs reaktifnya. Proses penyamakan kulit dilakukan melalui beberapa tahapan
proses dan pada setiap tahapan memerlukan banyak bahan kimia dan air. Kanagaraj
J. et all (2006) menyatakan bahwa untuk memproses 1 ton kulit mentah akan
dihasilkan 45 – 50 m3 limbah cair., sehingga industri ini sangat potensial
menghasilkan limbah dan mencemari lingkungan apabila tidak dilakukan upaya-
upaya penanganan limbahnya. Saat ini hampir semua indusrti kulit dunia memproses
penyamakannya dengan menggunakan bahan penyamak mineral krom sulfat, yang
merupakan kosekuensi kemudahan proses, keluasan kegunaan produk, dan
keunggulan dari sifat-sifat kulit yang dihasilkan ( Valeika et all, 2010). Namun disisi
lain bahan penyamak tersebut juga sangat berkostribusi sebagai penyebab
terjadinya pencemaran lingkungan. Adanya zat pencemar berupa logam berat
kromium yang mendasari industri kulit dikategorikan dalam industri penghasil limbah
B3. Meskipun usaha-usaha telah dilakukan untuk mengelola limbah yang
mengandung logam berat krom, baik dengan cara recycling maupun mengunakan
krom dengan daya adsorbsi tinggi tapi masih belum dapat menangani limbah krom
secara efektif ( Musa et all, 2011 ).
Secara garis besar bahan penyamak yang banyak digunakan di industri
pengolahan kulit khususnya pabrik penyamakan kulit digolongkan menjadi 5
golongan (Sharpouse, 1989), antara lain: bahan penyamak nabati; bahan penyamak
mineral; bahan penyamak sintetis; bahan penyamak aldehyde; bahan penyamak
minyak. Dari kelima golongan bahan penyamak tersebut diatas yang paling banyak
digunakan adalah bahan penyamak mineral terutama krome dan bahan penyamak
nabati. Bahan penyamak nabati merupakan bahan penyamak non mineral yang
dihasilkan dari bagian tertentu tumbuh-tubuhan terutama yang mengandung tannin
seperti kulit kayu acasia (Acasia mearnsii dan Acasia mangium) yang menghasilkan
bahan penyamak yang dikenal dengan nama mimosa, dari kayu Schinopsis
laerentzii dan Schinopsis balansae menghasilkan bahan penyamak quebracho.
Bahan penyamak nabati dapat dikatakan sebagai bahan penyamak yang ramah
lingkungan ( Koloka dan Moreki., 2011) hal tersebut dikarenakan bahan penyamak
ini dapat diurai oleh mikrobia. Kandungan utama dari bahan penyamak ini adalah
tannin, kandungan tanin dalam tumbuhan berkisar antara 19 – 39 %), di Sudan
dikenal jenis tumbuhan Acacia nilotica dan Acacia seyal yang juga digunakan untuk
bahan penyamakan kulit dengan kandungan tanin 30% ( Musa dan Gamelseed,
2013).
Dibedakan dua jenis tannin (Thortensen, 1985) yaitu Hydrolyzable Tannins
(Pyrogallol tannin) dan Condensed Tannins (Catechol tannin). Tanin jenis catechol
atau tanin yang dapat terkondensasi merupakan jenis bahan penyamak nabati yang
saat ini banyak digunakan, mempunyai sifat berat molekul tinggi, kandungan zat
asam rendah, pH range antara 4-5, kehilangan zat tanin pada penyimpanan lebih
sedikit, astringentia yang kuat, dan untuk penyamakan kulit akan menghasilkan kulit
yang berwarna kemerahan. Jenis tanaman yang banyak mengandung tannin jenis
cathecol antara lain: Gambir, Akasia, Magrove, dan Quibraco.( Nasir, 2005). Bahan
penyamak nabati dapat berbeda struktur kimianya namun mempunyai sifat-sifat
dasar yang sama yaitu, larut dalam air, tidak larut dalam pelarut organik seperti
kloroform, ether dan gasoline, derivat polivalen, zat yang amorphus dan sangat
sensitif terhadap oksidasi dan reduksi oleh adanya enzim, hygroskopis.( Puicia,
2006 )
Penyamakan menggunakan bahan penyamak nabati banyak dijumpai adanya
beberapa kekurangan terutama adanya penurunan kelemasan dan softness dari
produk kulit jadi ( Sreeram,2010 ). Untuk produk kulit yang mensyaratkan kelemasan
seperti kulit jaket, perlu bahan-bahan pembantu penyamakan untuk menaikan
kelemasan serta softness. Bahan yang dapat digunakan adalah bahan minyak ( fat
liquoring agent). Dalam proses peminyakan terjadi penetrasi minyak kedalam kulit
melalui efek mekanis dari pemutaran drum menyebabkan terjadinya tegangan
permukaan dan aksi kapiler dari kulit. Meningkatnya minyak ada dalam kulit akan
meningkatkan sifat kelemasan dan softness. Untuk membuat kulit jaket dari bahan
nabati. Untuk menggantikan bahan penyamak krom yang mencemari lingkungan dan
menciptakan industri kulit jaket akrab lingkungan, maka perlu dilakukan penelitian
untuk mendapatkan formulasi bahan yang digunakan terutama bahan minyak
(fatliquoring agent) untuk dapat memenuhi persyaratan kulit jaket sesuai kulit jaket
yang disamak dengan krom
Peralatan Penelitian
Drum penyamakan, alat timbangan, alat ukur suhu kerut, pemanas air, gayung
bervolume dan alat uji kuat tarik, ketahanan gosok, alat tembus air, spektrofotometer,
pH meter, alat-alat gelas.
Metoda Penelitian
Rancangan penelitian
Rancangan percobaan dilakukan dengan Rancangan acak lengkap pola
searah , terdiri atas 5 taraf perlakuan dengan memvariasi jumlah minyak untuk fat
liquoring yang digunakan, kemudian dilakukan analisa statistik terhadap hasil uji
produk jadi kulit jaket samak nabati dengan analisa varian dilanjutkan analisa LSD.
Pelaksanaan peneliti
Pengujian
Pengujian dilakukan sesuai dengan mutu kulit jaket domba/kambing SNI 19-
4593- 2011.
Analisa data
Data hasil analisa dievaluasi secara statistik dengan analisa varian untuk
setiap perlakuan dilanjutkan dengan analisa LSD derajat significan 5 %.
Adapun jumlah dan jenis minyak yang digunakan disajikan pada tabel 2.
Total minyak 13 14 15 16 17
Perlakuan
No Jenis Uji Satuan SNI
I II III IV V
1 Organoleptis
1.1 Warna - coklat Hitam coklat hitam coklat Rata
1.2 Kelepasan Nerf - T.L T.L T.L T.L T.L T.L
1.3 Elastisitas (Elastisity) - elastis Elastis elastis elastis elastis Elastis
2. Fisis
2.1 Tebal Mm 0,66 0,64 0,40 0,49 0,60 0,4-0,8
min.
2.2 Kekuatan sobek N/mm 16.56 16,85 17,90 18,53 14,75
12,5
2.3 Penyamakan - masak Masak masak masak masak Masak
2.4 Kekuatan tarik N/mm2 15,10 17,42 15,04 19,24 15,40 Min.14
Maks.
2.5 Kemuluran,% - 48,58 54,28 41,81 47,92 49,11
60
2.6 Ketahanan gosok cat
tutup, grey scale
a. Kering - 4/5 4/5 4/5 4/5 4/5 min. 4/5
b. basah 4 3 4 4 3 min.4
Perlakuan
No Jenis Uji Satuan SNI
I II III IV V
mg/cm2/
2.7 Tembus uap air 8,64 11,56 13,22 8,63 8,07 Min. 2,50
jam
3 Kimia
lebih baik dan penetrasi minyak akan meningkat. Reaktivitas bahan anionik menurun
pada pH netral, sehingga kemampuan penetrasinya minyak meningkat. Pencucian
sesudah penetralan dan retanning membuang garam-garam dari sistem, mengurangi
kestabilan emulsi minyak, menyebabkan penetrasi lebih baik.
Kadar air
Gambar 1 menunjukan kadar air kulit jaket yang diproses menggunakan
bahan penyamak mimosa 20%, dan bahan minyak 13, 14, 15, 16 dan 17 % berturut-
turut sebesar 15,00; 16,00; 15,99; 15,00 dan 11,2% penggunaan bahan minyak yang
bebeda memberikan pengaruh yang tidak signifikan pada kadar air kulit samak, rata-
rata hasil pengujian kadar air seperti disajikan pada tabel 4 yaitu berkisar 15 – 16%
lebih kecil yang disyaratkan standar maksimum sebesar 18%. Kadar air yang
melebihi 18% dapat mempercepat terjadinya kerusakan kulit sebagai akibat dari
pertumbuhan mikrobia, karena air dan protein yang masih ada pada kulit tersamak
merupakan media pertumbuhan mikrobia ditunjang dengan faktor lingkungan seperti
kelembaban, suhu dan penyimpanannya. Ketahanan terhadap penyerapan air juga
dipengaruhi oleh adanya proses peminyakan, daya serap air kulit akan diperkecil
dengan adanya peminyakan karena minyak akan masuk kedalam serat kulit
mengadakan ikatan dengan protein kulit sehingga lemak yang masuk dalam kulit
tidak mudah lepas mengakibatkan kulit lebih stabil terhadap sifat menyerap air. Hasil
penelitian dari Nasr (2013) kadar air kulit jaket samak nabati dengan mimosa
diperoleh kadar air sebesar 13,62 – 14,81 menyamai kulit samak jaket hasil
penelitian.
Kadar abu
Kadar abu adalah merupakan sisa-sisa bahan yang tidak dapat diabukan
pada pemanasan suhu tinggi, sisa hasil pengabuan pada dasarnya adalah
kandungan logam pada kulit, sedang bahan-bahan organik akan terabukan. Kadar
abu kulit jaket hasil penelitian disajikan pada gambar 1, dari perlakuan pada
percobaan dihasilkan kadar abu berturut-turut untuk perlakuan I, II, III, IV dan V
sebesar 0,84; 2,70; 1,74; 1.04 dan 2,12 %. Kadar abu terbesar diperoleh pada
perlakuan II dan V yaitu sebesar 2,7% dan 2,12% melebihi yang disyaratkan standar
sebesar maksimum 2%, sedang perlakuan I, III dan IV masih dibawah standar dan
tidak menunjukan perbedaan yang signifikan. Besarnya kadar abu pada perlakuan II
dan V kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal meliputi pencucian yang kurang
sehingga masih ada sisa-sia garam yang melekat pada kulit sehingga pada
pengabuan akan meninggalkan logam Na, atau zat warna yang masih melekat, zat
warna pada umumnya mempunyai gugus logam yang tak ikut terabukan. Penelitian
dari Nasr (2013) menghasilkan kadar abu 0,89 – 0,94%, sedangkan penelitian dari
Mahdi ( 2009) yang menyamak kulit atasan sepatu dengan menggunakan 20 %
samak nabati dikombinasikan dengan samak mineral Al203 menghasilkan kadar abu
2,30 – 2,50 %. Lebih kecil dari hasil penelitian perlakuan II akan tetapi lebih besar
dari I, III, IV dan V
penambahan minyak 16% sebesar 18,53 N/mm, Namun dari semua perlakuan
peminyakan dengan menggunakan minyak 13% – 17% semua memenuhi
persyaratan Standard Nasional Indonesia untuk Kulit Jaket Domba/Kambing.
Penggunaan jumlah minyak yang tepat dapat menghasilkan nilai sobek kulit
tersamak yang optimal
Perlakuan
Uji kemuluran kuli jasket hasil penelitian dengan perlakuan I, II, III, IV dan V
berturut-turut 48,58; 54,28; 41, 81; 47,92 dan 49,11% hasil uji statistik menunjukan
adanya beda nyata pada perlakuan I dan III dan Perlakuan II dengan perlakuan II,IV
dan V .
penyamak yang bersifat anionik seperti halnya bahan penyamak nabati dapat
mengurangi ketahanan gosokan juga penggunaan minyak sintetis memberikan sifat
ketahanan gosok yang paling baik dibandingkan dengan bahan minyak dari alam
seperti sulfoted fish oil. Hal tersebut disebabkan minyak alami yang disufotasi
bersifat kurang stabil sehingga dalam proses pengecatan sering kali terjadi cat
terakumulasi dipermukaan kulit dan mengurangi ketahan terhadap gosokannya
Kelemasan
Fleksibilitas kulit sangat bergantung pada kemampuan setiap serat di dalam
struktur untuk bereaksi bersama bahan-bahan lain, air di dalam dan di sekitar serat,
lemak alami dan stukture kulit itu sendiri. Ketika air dan minyak dihilangkan/ dibuang,
kulit menjadi kering dan retak dalam kaitannya dengan kepadatan serat dan ini dapat
terjadi sebelum dan setelah penyamakan. Fatliquoring dilaksanakan untuk
memperoleh kehalusan dan fleksibilitas dari kulit dengan menambahkan/ meminyaki
dengan bahan peminyak dalam proses finishing basah. Bahan peminyakan
(fatliquor) dimasukkan ke dalam kulit yang berfungsi sebagai pelumas, dan
membantu serat untuk mendorong/ berikatan satu sama lain. Proses tersebut juga
meningkatkan sifat mekanis dan fisik dari kulit. Data hasil uji menunjukan kelemasan
kulit yang memenuhi persyratan SNI 4593-2011 dicapai pada penggunaan bahan
minyak 15% - 17% atau perlakuan III,IV dan V berturut-turut sebesar 5; 5,87 dan
5.28, sedangkan pada perlakuan I dan II dengan bahan minyak 13% - 14 % belum
memenuhi standar yaitu berturut-turut sebesar 4,2 dan 4,26. syarat minimum adalah
5 mm, hal tersebut kemungkinan dikarenakan jumlah minyak yang ditambahkan
belum mencukupi untuk meliputi serabut-serabut kulit.
2. Saran
Penyamakan nabati dengan bahan penyamak mimosa merupakan teknologi
penyamakan cepat identik dengan penyamakan menggunakan bahan penyamak
mineral khrom. Harga bahan penyamak mimosa menyamai harga penyamak khrom
namun dalam pemakaiannya lebih banyak, sehingga perlu penelitian lebih lanjut
dengan ekstrak babakan untuk membuat mimosa yang diharapkan dapat
menurunkan biaya.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standardisasi Nasional, 2011, SNI 4593:2011 Kulit Jaket Domba/Kambing,
Badan Standardisasi , Nasional, Jakarta
Kanagaraj.J.,Vellapan.K.C., Babu,C.N.K. dan Sadulla, S., 2006. Solid Waste
Generation in The Leather Industry and it Utilization for Cleaner Environment-
a Review,, Journal of Scientific and Industrial Research Vol.65( 7): 541-548
Koloka.O., Moreki.J.C., 2011, Tanning Hide and Skin Using Vegetable Tanning
Agent, journal of Agricultural Technology Vol.7 (4):915-922
Mahdi.H., Palmika.K., Gurshi.A., Covington.D., 2009, Potential of Vegetable Tanning
Materials and Basic Alluminium Sulphate in Sudannese Leather Industry,
Journal of Engineering Science and Technology Vol.4(1):20 -31
Musa.B., Madhan,R., Aravidhan,S., Kanth,J.R., 2011, Studies on the Henna-
Glutaraldedyde Combination, JALCA. 107(5), 142-178,2012
Musa. A.E., Gesmelseed.G.A., 2013, Eco-Friendly Vegetable Combination Tanning
System for Production of Hair-on Shoe Upper Leather, Journal of Forest
Product and Industries Vol.2 (1), 5 – 12 , ISSN 2321
Nasir. F., 2005, The profile of vegetable tannins: Properties and performance ,
Leather International, Ed.October 2005, vol.207 no. 4759 P. 68 – 69 UK
Nasr. A.I., Abdelsalam. M.M., Azzam. A.H., 2013, Effect of Tann9ing Method and
Region on Physical and Chemical Properties of Barki Sheep Leather. Egyptian
Journal of Sheep and Goat Science, Vol. 8 (1), P: 123-130
Ono Suparno, Anthony,D., Covington, Evans, C.S., 2010. Teknologi Baru
Penyamakan Kulit Ramah Lingkungan Penyamakan Kombinasi Menggunakan
Penyamak Nabati, Naftol dan Oksazolidin. Journal Teknologi Industri
Peternakan vol.18 (2).79-84
Puicia.N.M, Pui.A., Florescu.M.,2006, FTIR Spectroscopy for The Analysis of
Vegetable Tanned Ancient Leather, Europian Journal of Science and
Technology Vol 2(4) 49 - 53
Sharphouse, J.H., 1989. Leather Technician’s Hand Book, Leather Producer
Assosiation, London
Sreeram, K.J., Aravindhan,R., Raghava RaoNair,B.U., 2010. Development of Natural
Garment Leather A Metal-Free Approach, JALCA, 105(12), 288-420.
Thorstensen.T.C.,1985. Practical leather Technology Robert.E. Krieger Publising
Company , Florida.
Valeika,V.,Sirvaityte,J.,Beleska,K., 2010. Estimation of Chrome Free Tanning
Method Suitability in Conformity with Physical and Chemical Properties of
Leather. Materian Science (medzigotyra) ISSN 1392-1320, Vol.16 no. 4. 330 -
338.