Anda di halaman 1dari 12

Eka Tjipta

Oleh Dahlan Iskan

Senin 28 Januari 2019

Janganlah melihat orang hanya saat suksesnya. Lihat juga perjuangan menuju sukses itu.

Hanya itu yang bisa saya simpulkan. Saat menulis naskah ini. Untuk menandai meninggalnya
konglomerat Eka Tjipta Widjaja. Pada usianya yang 98 tahun. Pukul 17:00. Sabtu lalu.

Saya sudah sangat lama tidak bertemu beliau. Beliau memang sudah sangat lama tidak aktif.

Semua bisnis sudah diserahkan kepada anak-anaknya. Yang ternyata sangat mampu. Menjadikan grup
Sinar Mas tetap yang terkaya di Indonesia.

Dari anaknyalah saya sesekali mendengar kabar tentang beliau. Misalnya saat beliau sakit. Atau saat baru
sembuh. Setelah ganti seluruh tulang pinggulnya.

Pada usia 98 tahun baru meninggal. Betapa panjang usianya. Betapa jarang laki-laki yang bisa mencapai
usia itu.

Saya masih bisa bertemu anaknya: Franky Wijaya. Yang menjadi pengendali grup usahanya. Atau Teguh
Ganda Wijaya. Bos besar usaha bidang kertasnya. Yang menguasai dunia. Sering juga bertemu anaknya
yang lain. Dari istri yang lain. Chandra, pemilik real estate besar di Surabaya: Pondok Chandra Indah.

Dengan Franky saya sesekali bertemu. Dalam bakti sosial Budha Tzu Chi. Sebuah agama yang melarang
umatnya membangun rumah ibadah. Juga melarang umatnya sembahyang. Sembahyangnya adalah
berbuat baik. Pada orang lain. Terutama pada orang yang lagi susah. Tempat ibadahnya adalah daerah-
daerah miskin.

Agama itu berpusat di Hualian, pantai timur Taiwan. Saya sudah pula ke sana. Bersama Franky.

Franky sudah jadi konglomerat. Tapi tetap angkat-angkat karung saat bakti sosial.

Agama ini juga punya jaringan stasiun TV DAAI (baca: Ta Ai). Yang hanya menyiarkan kebaikan.

Saya beberapa kali bertemu Pak Eka Tjipta Widjaja. Di Jakarta atau di Surabaya. Pernah juga menjadi
moderatornya. Saat beliau didaulat menjadi pembicara. Dalam sebuah seminar enterpreneur.

Saya juga pernah menulis satu buku kecil tentang Pak Eka. Yang terbit 30 tahun lalu. Saat umur saya
masih 40 tahun. Dan usia Pak Eka masih 70 tahun.

Saya tidak pernah lupa cerita beliau. Tentang awal-awal memulai jadi pengusaha. Bahkan awal
kehidupannya di Makassar. Saat umurnya baru 9 tahun.

Pada umur sekecil itu Eka ikut kapal. Dari daerah Hokkian. Mengarungi lautan bebas. Menyusul ayahnya.
Yang sudah lebih dulu ke Makassar.

Sang ayah waktu itu sudah punya rumah. Meski dindingnya terbuat dari bambu (gedhek). Dan atapnya
dari rumput. Mungkin maksudnya: daun rumbia.

Sang ayah sudah punya usaha kecil-kecilan. Toko sederhana. Eka tidak ingin sekolah dulu. Ingin
membantu ayahnya.

Yang ia pilih adalah: menjajakan barang mirip yang ada di toko ayahnya. Ke kampung-kampung. Ia tidak
mau hanya ikut menjaga toko. Tapi memilih 'jemput bola' ke rumah konsumen.
Masih kecil. Hanya bisa bicara Hokkian. Tapi sudah punya cara dagang yang berbeda.

Ketika umurnya 12 tahun ayahnya minta Eka sekolah. Di sekolah Tionghoa Makassar. Ketika ditest
kemampuannya masih terbatas. Tertinggal dari umurnya. Eka harus memulai dari kelas satu.

Eka tidak mau. Ia ingin langsung kelas tiga. Ia sangat malu. Kalau harus satu kelas dengan anak umur 7
tahun. "Saya terus pegangi kaki kepala sekolah. Saya sembah. Saya ciumi kaki itu," ujar Eka.

Kepala sekolah iba. Eka dimasukkan kelas tiga. Tapi bahasa Mandarin pun belum bisa. Semua pesimis Eka
akan bisa naik kelas.

Yang bikin guru jengkel adalah pemberontakannya. Terutama guru berhitung. Eka tidak mau ikut urutan
pelajaran hitung: tambah-kurang-bagi-kali.

Eka selalu memulai dari kali-tambah-kurang-bagi. "Kalau belum-belum sudah dikurangi dan dibagi mana
cukup," katanya mengenang.

Sampai-sampai guru menjintingnya. Memegang dua kakinya. Dijantur. Kaki di atas. Kepala di bawah.
"Hayo, sekarang berjalanlah. Bisa nggak," bentak sang guru. Sambil terus memegang dua kaki Eka di atas.

"Tidak bisa. Ampun," teriak Eka.

"Nah begitu juga berhitung. Tidak bisa dibalik-balik," ujar sang guru. Seperti yang diceritakan Eka.

Tamat SD Eka tidak mau sekolah lagi. Logikanya: sekolah agar bisa bekerja. Saya harus bisa bekerja tanpa
sekolah. Kalau siang untuk sekolah tidak bisa bekerja. Kalau siang untuk bekerja bisa sekolah malam.
Siang hari Eka bekerja. Hasil kerjanya untuk memanggil guru. Malam hari. Belajar di rumahnya. Ijazahnya
memang hanya SD tapi pengetahuannya tidak kalah dengan tamatan SMA. Plus pengalaman kerja.

Setamat SD Eka mendatangi grosir. Ingin dipinjami biskuit 4 kaleng. Untuk dijual. Bayar setelah biskuitnya
laku.

Tidak ada yang mau memberinya biskuit. Dianggap masih anak-anak.

Eka lantas menyerahkan ijazah SD-nya. Sebagai jaminan. Dapatlah ia 4 kaleng biskuit.

Dari toko yang ia ingat betul namanya: Ming Heng. Habis dalam dua hari. Uang pun disetor. Untuk ambil
yang baru. Lama-lama ambil enam kaleng. Ijazah dikembalikan. Eka sudah mendapat kepercayaan
penuh.

Eka lantas bisa membeli sepeda. Cukup untuk mengangkut enam kaleng biskuit. Omsetnya tidak pernah
lagi naik. Kapasitas sepedanya terbatas 6 kaleng.

Omsetnya baru naik ketika Eka bisa membeli becak bekas. Yang tidak ada joknya. Khusus untuk angkut
biskuit. Bisa 18 kaleng.

Eka membayar tukang becak. Lima gulden sebulan.

Dalam empat tahun ia bisa mengumpulkan tabungan 2.500 Gulden.

Ia minta ijin ayahnya. Memperbaiki rumah. Habis 1.000 Gulden.

Dinding bambu diganti dengan kayu. Atap daun diganti seng.


Sisanya ditabung. Ingin sekolah ke Tiongkok. Atau ke Hongkong.

Sambil mencari tambahan tabungan itu ia ikutkan arisan tender. Caranya: siapa yang mau memberi
bunga tertinggi yang menang. Belum ada deposito waktu itu. Orang seperti Eka tidak akan bisa diterima
bank.

Tahun 1941 Jepang masuk Makassar. Keadaan kacau. Ekonomi hancur. Tabungan itu hilang bersama yang
menang tender.

Itulah kejatuhan pertama Eka. Masih remaja sudah merasakan ludes. Ia pun tidak tahu apa yang bisa
dikerjakan. Di zaman perang seperti itu. Ia lebih banyak bermain di pantai Losari.

Saat duduk-duduk di bebatuan itulah ia kaget. Ada truk tentara yang membuang sampah. Di tanah tidak
jauh dari pantai. Sampah itu bukan sembarang sampah. Tapi reruntuhan bekas perang. Barang-barang
dari gudang yang terbakar: besi, kayu, karung-karung terigu, karung semen, seng dan sebagainya.

Tiap hari truk itu membuang rongsokan ke situ. Eka berpikir semua rongsokan itu bisa jadi uang. Tapi
bagaimana mengangkutnya. Uangnya habis. Tabungannya ludes.

Tapi orang yang membuang rongsokan itu pasti perlu minum. Maka Eka mendirikan warung di dekatnya.
Memasak kopi. Menyediakan meja kursi. Yang dibawa dari rumahnya.

Ternyata laku. Kopinya selalu habis. Lalu ibunya ia minta bikin ayam rebus. Ayam putih. Disajikan
bersama kopi.

Ayam putihnya itu tidak laku. Ia panik. Modal beli ayam itu yang terbesar. Bukan kopi. Justru tidak laku.

Ia kepepet. Nekat. Ia datangi komandan Jepang. Ia minta mencicipinya secara gratis. "Saya beri sepotong
saja. Tidak berani memberi banyak. Takut ayamnya habis tanpa mendapat uang," guraunya.
Harapannya terkabul. Sang komandan menyukainya. Anak buahnya membeli. Tiap hari ayam putihnya
habis.

Tapi tujuannya bukan jualan ayam. Yang utama cari modal. Untuk bisa mengangkut rongsokan-rongsokan
yang menggunung itu.

Halaman rumahnya pun penuh rongsokan. Juga tanah kosong di sebelah rumahnya. Besi-besi diluruskan.
Seng-seng diratakan. Terigu yang kelihatan terbakar dibuka. Bagian luarnya dibuang. Terigu yang masih
baik dikumpulkan. Karung dicuci. Dikeringkan. Untuk mewadahi terigu yang masih baik.

Semen-semen yang sudah membatu ditumbuk. Yang masih baik dikumpulkan. Dikarungi lagi.

Persoalannya: terigu bekas harganya murah.

Maka Eka mempelajari cara menjahit karung. Yang bisa sesempurna jahitan pabrik. Agar dikira semuanya
masih baru.

Ia beli jarum di toko. Ia praktekkan cara menjahit karung yang baik. Berhasil.

Terigu ia jual. Setiap hari. Semen tidak ia jual. Tunggu momentum. Toh dari jualan terigu sudah cukup
untuk bisa hidup.

Lalu ia pelajari: untuk apa orang beli semen. Ternyata banyak yang dipakai untuk membangun kuburan.
Kuburan Tionghoa.

Eka pun mencari siapa tukang makam terbaik. Ia ajak joint. Ia beri 'saham' 20 persen. Hasilnya
menggembirakan. Dalam setahun bisa membangun 8 makam. "Bagian depan makam dekat bandara
Makassar itu saya semua yang bangun," katanya.
Nilai semennya lebih tinggi daripada dijual dalam bentuk semen.

Dari bisnis barang rongsokan itu Eka bisa menabung Rp 20.000. Waktu itu harga sebuah rumah tembok
Rp 1.000. Stock rongsokannya pun habis.

Eka lantas ingin bisnis minyak goreng. Ia sudah tahu di mana pusat penghasil minyak goreng: Selayar.
Sebuah pulau di Selatan Sulawesi. Perlu naik kapal satu malam penuh untuk ke sana.

Ia pun berangkat. Semua tabungan dibawa. Diikatkan di pinggang secara merata. Ia tahu tidak bisa beli
secara utang. Harus kontan.

Di Selayar ia bisa kulakan 4.000 kaleng minyak goreng. @18 liter. Ia mendapat diskon 20 persen. Karena
membayar kontan.

Ia mabuk. Tidak mampu berdiri.

Pun waktu kapal sudah tiba kembali di pelabuhan Makassar. Ia harus pegangan tiang listrik dulu. Lama.
Sebelum bisa berjalan tegak. "Mabuk tapi hati sangat gembira. Semangat sekali," katanya.

Baru beberapa hari di Makassar keluarlah peraturan pemerintah Jepang. Penjualan minyak goreng hanya
boleh dilakukan pihak Jepang. Milik swasta harus diserahkan. Dengan harga dipatok. Rp 1,5/liter.

Eka Tjipta, yang waktu itu namanya masih Ek Tjhong, bangkrut untuk kedua kalinya.

Masih muda sudah merasakan 'jatuh' dua kali.

Hidup pun susah. Untuk semua orang. Berbulan-bulan tidak makan roti. Bukan tidak punya uang tapi
sulit mendapatkan roti. Beli roti harus antre. Satu orang dibatasi maksimal dua roti.
Hari itu ia sangat ingin beli roti. Ia antre. Beli dua. Tapi hanya diberi satu. Ia marah.

Tetap tidak diberi. Ia lemparkan roti yang di tangannya ke muka penjualnya.

Ia ngeloyor pulang. Hatinya mendidih. Dendam. Tekadnya bulat: ingin bikin pabrik roti.

Berhari-hari ia cari tahu: siapa juru masak pabrik roti itu. Ia datangi rumahnya. Ia bawakan oleh-oleh
untuk istrinya. "Kalau saya tidak bawakan oleh-oleh bisa-bisa tidak boleh masuk rumahnya," katanya
bergurau.

Langsung ia tawarkan gaji dua kali lipat. Dari Rp 15 ribu sebulan ke 30 ribu. Tawaran diterima dengan
senang. Tapi baru bisa bulan berikutnya. Ia tidak mau kehilangan gaji sebulan itu.

Eka tidak sabar. Dendamnya masih membara. Langsung saja dikeluarkan jurus pamungkasnya: ia bayar
gaji yang sebulan itu.

Pabrik rotinya maju.

Tapi sulit mendapatkan gula.

Beli gula harus antre. Satu orang hanya boleh antre untuk 1 kg.

Eka mencari pengantre bayaran. Tujuh orang. Satu bulan bisa mendapat 10 ton. Eka pun merinci. Berarti
satu orang antre di 40 tempat sehari.

Eka menjadi kaya kembali. Ia berani membeli mobil. Rp 70 ribu harganya. Tapi harus inden. Mobilnya
baru tiba enam bulan kemudian.

Saat itulah temannya kesusahan. Perlu uang. Menyerahkan mobilnya. Hanya dengan harga Rp 30 ribu.
Jadilah Eka punya dua mobil. Menjadi orang yang sangat terpandang.
Waktu meninjau bekas sekolahnya dulu sang kepala sekolah sendiri yang membukakan pintu mobilnya.
Eka banyak menyumbang ke sekolah itu.

Lalu terjadilah perang kemerdekaan. Keadaan kacau. Jalur logistik putus. Pasukan bahan baku macet. Eka
bangkrut lagi. Untuk ketiga kalinya.

Sekali lagi Eka tidak mau meninggalkan utang. Ia sangat yakin kepercayaan adalah modal terpenting.
Dengan kepercayaan ia yakin pasti bisa bangkit lagi. Kelak.

Ia jual yang bisa dijual cepat. Termasuk dua mobil kebanggaannya. Ia kembali naik sepeda.

Saat bangkrut yang ketiga itulah Eka merasa sangat sakit. Bukan soal hidup susah lagi. Tapi soal harga
diri. Orang yang dulu membukakan pintu mobilnya pun tidak mau menyapanya lagi. Bahkan melengos
saat disapa. Ia sampai malu keliling Makassar dengan sepedanya. Ia merasa semua jari menuding ke
mukanya.

Eka tidak tahan lagi. Dirinya merasa terhina. Ia pun minggat dari Makassar. Menuju Malino. Daerah
pegunungan sekitar 60 km dari Makassar. Ia menghabiskan waktu di situ. Dengan membaca. Ia memang
gemar membaca.

Enam bulan Eka retreat di Malino. Barulah hatinya dingin. Ia kembali ke Makassar. Ingin mengerjakan apa
yang bisa dikerjakan.

Waktu itu, awal 1950, TNI mengerahkan banyak pasukan ke Makassar. Untuk menumpas pemberontakan
Andi Aziz. Dan Kahar Muzakar. Tentara kekurangan logistik. Para pedagang tidak mau menjadi pemasok.
Khawatir pembayarannya macet.

Eka mendengar itu. Mau. Satu-satunya yang mau jadi pemasok. Ia punya logika sendiri. "Ini kan
tentaranya pemerintah. Pemerintah sendiri. Sudah merdeka. Pasti punya uang. Kalau pun tidak kan bisa
cetak uang. Kan negaranya sendiri," pikirnya.
Eka kembali akan mengandalkan kepercayaan. Sebagai modal utamanya. Ia datangi perusahaan dagang
negara. Peninggalan Belanda. Seperti Geowehry. Ia minta barang. Bayar belakangan. Minta waktu dua
minggu. Seperti pembayaran yang dijanjikan tentara.

Ternyata dua minggu tidak ada pembayaran. Satu bulan tidak ada. Satu bulan setengah juga tidak. Eka
datang ke Geowehry. Minta maaf. Menceritakan apa adanya. Membawa semua berkas dan tagihan. Ia
ceritakan apa adanya. Tidak ada yang disembunyikan.

Setelah lewat dua bulan pembayaran cair. Sekaligus. Banyak sekali. Eka menjadi banyak uang lagi.
Utangnya pun lunas.

Eka menjadi akrab dengan tentara. Tentara juga begitu. Merasa Eka orang yang berjasa. Kesempatan pun
terbuka. Eka boleh memanfaatkan kapal tentara. Yang pulang ke Makassar dalam keadaan kosong.
Setelah mengirim tentara ke Manado.

Eka pun memuatinya dengan kopra. Yang melimpah di Manado. Dengan harga murah. Ia jual di
Makassar. Dengan harga tinggi.

Jadilah Eka pedagang kopra. Ia sering pergi ke Manado, Palu, Toli-toli, Maluku. Pusat-pusat kopra ia
kuasai.

Ia pun sudah berani carter kapal. Untuk kirim kopra dari Manado ke Surabaya dan Jakarta. Jaringan
dagangnya kian luas.

Suatu saat ia sudah mengumpulkan 3 ribu ton kopra di Manado. Ia carter kapal besar dari Jakarta. Untuk
ukuran saat itu.

Ketika kapal tiba pecahlah pemberontakan Permesta. Terjadi perang. Eka menyelamatkan diri. Kopra 3
ribu ton ia tinggal. Kapal carterannya kembali ke Surabaya hanya membawa dirinya.
Eka bangkrut untuk keempat kalinya.

Ia tidak mau lagi tinggal di Makassar. Ia ingin pindah Surabaya. Di daerah yang lebih aman. Yang
memungkinkan bisnis berkembang.

Di Surabaya Eka ditampung di kamar temannya. Ukuran 2 x 3 meter. Ia hanya membawa modal
kepercayaan. Dan nama baik.

Ia pun menghadap Pangdam Brawijaya, Mayjen Basuki Rahmat. Diijinkan pula mengisi kapal tentara
dengan barang dagangannya. Kapal itu berangkat ke Sulawesi membawa bahan makanan. Balik ke
Surabaya kosong. Hasilnya dibagi dua: tentara mendapat 25 persennya.

Di Surabayalah Eka berkembang pesat. Dengan pabrik minyak kelapanya. Dari Surabaya merambah
Indonesia. Tidak pernah bangkrut lagi.

Waktu saya berumur 40 tahun saya bertanya pada Pak Eka: Apakah masih membayangkan bahwa suatu
saat akan bangkrut lagi. Untuk kelima kalinya.

"Sekarang sudah tidak mungkin lagi bangkrut. Sudah terlalu besar untuk bisa bangkrut," katanya.

Itu tahun 1992. Diucapkan di Surabaya. Kepada saya.

Saat itu Pak Eka sudah menjadi orang terkaya kedua di Indonesia. Setelah Liem Soe Liong. Pabrik minyak
gorengnya sudah yang terbesar di Indonesia. Pabrik kertasnya terbesar di Asia. Bisnis Grup Sinar Mas
sudah merambah ke segala arah.
Saya pernah ke Ningbo. Sudah ada Bank International Ningbo. Miliknya. Saya ke Suzhou. Sudah ada
pabrik kertas sangat besar di sana. Saya ke Shanghai. Gedung pencakar langitnya sangat menonjol di
pusat kota Shanghai.

Waktu mengucapkan 'tidak mungkin lagi bangkrut' kelihatannya Pak Eka tidak membayangkan: bakal
terjadi krisis moneter delapan tahun kemudian. Saat itu utang Sinar Mas mencapai sekitar Rp 110 triliun.
Kepada lebih 60 bank. Di lebih 40 negara.

Yang menagih pun sampai kesulitan. Untuk berunding pun sulit. 60 bank dan 40 negara harus setuju.
Caranya maupun pembagian hasil penagihannya.

Sampai-sampai utang itu distensil. Dibekukan. Ini membuat Sinar Mas kembali jaya. Semua hasil
penjualannya bisa untuk menggerakkan operasionalnya. Tanpa mikir nyicil utang.

Memang Sinar Mas sempat kehilangan Bank International Indonesia. Tapi Pak Eka benar: sudah terlalu
besar untuk bisa bangkrut.

Sabtu lalu Pak Eka meninggal dunia. Meninggalkan semua itu. Tapi juga meninggalkan pelajaran bisnis
yang luar biasa berharga.(dahlan iskan)

https://www.disway.id/eka-tjipta/

Anda mungkin juga menyukai